Translate

Kamis, 30 Juni 2011

Catatan dari Ponre-Ponre


Rabu, 27 April 2011
            
Hari ini akan menjadi hari yang tak kan terlupakan bagiku. Kenapa? Karena ini adalah pertama kalinya kuinjakkan kakiku di bumi Celebes, buminya Pangeran Hasanuddin. Hari ini menjadi semakin istimewa karena aku datang ke sini tidak sendirian tetapi bersama teman-teman BOOK FOR MOUNTAIN, teman-teman yang mencintai buku dan ingin anak-anak di pelosok negeri ini juga mencintai buku. Tujuh orang berangkat dalam aksi kali ini, Aku sendiri, Lambang Wicaksono, Niniek Febriani, Russelin Edhyati, Khofif Duhari Rahmat, Arni Rohimatun dan Oki Pramudya. Rasanya tidak berlebihan jika aku menyebut mereka, teman-teman satu timku ini sebagai mahasiswa-mahasiswa yang istimewa.
            
Bertujuh kami berangkat dari Jogja dengan semangat yang sama, semangat untuk mengajak anak-anak di pedalaman Bone tersenyum bersama. 120 judul buku kami hadiahkan khusus untuk mereka. Juga, beberapa ketrampilan telah kami siapkan untuk kemudian kami ajarkan kepada mereka. Singkatnya, pagi ini kami benar-benar siap untuk program kami seminggu di Bone. Semoga Allah ridho dengan apa yang kami karyakan di bumi Celebes ini.
            
Sekitar jam 8.30 WITA kami tiba di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Perjalanan selanjutnya kami lanjutkan dengan mobil keluarga mbak Niniek dan sebuah mobil sewaan. Jarak 140 km kami tempuh hingga akhirnya kami sampai di Dusun Lapak Pape, Desa Tompo Bulu, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perjalanan selama kurang lebih tiga jam ini begitu mengesankan. Hamparan sawah membentang luas sejak keluar dari kota Makassar, melintasi kabupaten Maros hingga Bone. Secara sepintas nyaris sama dengan suasana persawahan di Jawa. Perbedaanya adalah kita bisa melihat rangkaian pegunungan, bukit-bukit dan tebing-tebing indah yang meliuk-liuk hampir di semua sisi daerah yang kami lalui. Bentuk pegunungan-pegunungan ini mirip dengan pegunungan Halong bay di Vietnam. Benar-benar indah.
            
Sesekali mobil yang kami tumpangi harus melaju diantara bukit-bukit itu. Mobil juga beberapa kali melintasi bukit-bukit yang cukup tinngi. Naik-turun bukit yang dipenuhi pohon-pohon besar, belokan tajam dan jalan yang sempit membuat perjalanan ini cukup menegangkan sekaligus menyenangkan.

Memasuki wilayah Bone pemandangan sedikit berubah. Di kanan-kiri jalan terbentang padang-padang ilalang tempat di mana ratusan bahkan mungkin ribuan sapi dan kuda yang sengaja dibiarkan mencari makan  secara liar oleh pemiliknya.  Seolah-olah bentangan ilalang yang luas itu adalah daerah kekuasaan para kawanan sapi dan kuda semata. Kita, para manusia sepertinya hanya sekedar tamu di negeri para sapi dan kuda ini. Ah, kurasa tidak berlebihan jika kukatakan begitu karena ini adalah pertama kalinya aku melihat sapi dengan jumlah yang sangat banyak. Bisa jadi populasi sapi lebih banyak dari pada penduduk di daerah itu. Betapa tidak? Setelah beberapa hari kami di sana, kami tahu bahwa sebuah keluarga bisa mempunyai 40 ekor sapi.. Hmmm…. Bisa dibayangkan betapa banyaknya?
            
Setelah mampir sejenak di rumah keluarga mbak Niniek, di Desa Bune, kami lanjutkan perjalanan ke Dusun Lapak Pape, Desa Tompok Bulu. Dusun ini tidak begitu jauh dengan desa Bune, hanya kira-kira 10 km. Jam 16.00 akhirnya kami sampai di dusun tujuan kami, Lapak Pape. Kami tidak langsung menuju rumah panggung tempat kami menginap sepekan ke depan. Terlebih dahulu kami pergi ke rumah kepala desa Tompo Bulu yang berjarak kurang lebih 8 km dari dusun Lapak Pape. Perjalanan sejauh 8 km ini ternyata justru membuat mata kami semakin termanjakan oleh keindahan alam Bone. Dalam perjalanan menuju rumah Pak Kepala Desa ini kami melintasi sebuah bendungan raksasa bernama Ponre-Ponre. 

Bendungan ini baru selesai dibangun lima tahun yang lalu. Lengkap sudah keindahan alam daerah itu. Bukit-bukit cantik dengan pepohonan yang hijau, hamparan padang rumput, langit biru yang indah dan bendungan Ponre-Ponre yang memancarkan kesan sejuk dan damai di hati. Semua menyatu membentuk harmoni alam yang mempesona.  Juga,  membuat setiap mata yang memandangnya akan berdecak kagum dan berucap syukur kepada Tuhan yang membuat lukisan alam seindah ini.

Menjelang Maghrib kami tiba di rumah panggung. Rumah yang kami tempati ini adalah rumah yang baru dibangun oleh pemiliknya dan belum ditempati. Di rumah inilah kegiatan kami berpusat selama sepekan ke depan. Tiba di sana, kami disambut oleh ibu Kurni, salah satu guru di sekolah yang kami tuju. Rumah bu Kurni dekat dengan rumah panggung tempat kami menginap, hanya sekitar 100 m. Guru muda inilah yang banyak membantu aktifitas kami selama di Lapak Pape.

Kamis, 23 Juni 2011

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Itu Ada di Sini




Sejak kepemimpinan Beliau, sederet prestasi anak-anak gunung ini berhasil Beliau gali dan tunjukkan di tingkat kabupaten dan Propinsi. Dari olimpiade SAINS hingga kesenian berhasil menembus tinggkat Kabupaten. Bahkan, di tingkat Atletik, Pak Ghofur berhasil menggali bakat seorang pelari putri hingga menembus tingkat Propinsi. Beliau menyebut anak-anak Ngadirejo ini sebagai mutiara yang terpendam. Tugas beliau dan para guru adalah menggali mutiara-mutiara itu dan menjadikan mereka bersinar hingga semua orang bisa menikmati kilauan cahayanya.
            
Jarak rumah Pak Ghofur ke Ngadirejo tak kurang dari 45 km. Jadi, setiap hari setidaknya 90 km Beliau tempuh untuk pulang pergi Ngadirejo ke Kota Probolinggo, rumah Beliau. Jam 6 pagi biasanya Beliau berangkat dari kota Probolinggo dengan mengendarai sepeda motor. Cuaca pegunungan dengan curah hujan yang cukup tinggi terkadang menghalangi Beliau untuk Pulang ke kota Probolinggo setelah menyelesaikan tugasnya di sekolah. Beliau harus menginap di sekolah jika hujan deras tiba dan tak kunjung reda sedangkan hari sudah semakin gelap. Beberapa guru kadang juga harus menginap di sekolah jika tak memungkinkan lagi untuk turun gunung.

Selain karena faktor cuaca, ada satu faktor lagi yang membuat para guru pulang lebih akhir dari pada guru-guru di sekolah lainnya. Faktor itu adalah tidak adanya jam di SDN Ngadirejo. Maksudnya adalah, guru mengajar sesuai keinginan siswa. Jika siswa menginginkan terus belajar, maka guru akan menuruti mereka. Bahkan, tererkadang jam 02.00 siang sekolah baru usai. Siswa lebih sering keasyikan belajar di sekolah, nyaris tak ada waktu untuk bosan.

Pak Ghofur, juga para guru lainnya sepertinya tidak mengenal hari libur terutama tiga bulan belakangan ini ketika bencana Bromo meluluh lantahkan sekolah mereka, SDN Ngadirejo. Ketika memang ada sesuatu yang harus dikerjakan di sekolah, maka mereka akan tetap berangkat ke sekolah meskipun hari itu adalah tanggal merah. Ini adalah karena kecintaan mereka pada sekolah dan para siswa. Mereka posisikan para siswa sama seperti anak-anak mereka seniri. Suatu ketika Pak Ghofur pernah berkata kepada Pak Wul. Waktu itu Pak Ghofur memilih untuk menginap di sekolah karena harus mengerjakan banyak hal beberapa saat setelah sekolah roboh terkena hujan pasir Bromo. Begini kata Beliau, “Kalau Saya pulang ke Probolinggo, bagaimana dengan anak-anak Saya di sini?” Seperti itulah sosok Pak Kepala Sekolah. Semoga cinta beliau pada anak-anak berbalas cinta Allah Yang Maha Indah.

Semua guru di sekolah ini hebat! Aku paling kagum dengan para guru GTT yang walaupun dengan gaji yang tak seberapa, tetap bisa mengajar para siswa dengan sepenuh hati. Bisa jadi gaji itu hanya cukup untuk ongkos transportasi dari rumah mereka ke sekolah. Bahkan mungkin tidak cukup. Ada seorang GTT yang jarak rumahnya ke sekolah adalah 45 km. Apakah gaji beliau cukup untuk ongkos transportasi sejauh itu? Wallau ‘alam. Yang jelas, beliau tetap semangat mengajar, berbagi ilmu dengan anak-anak Naga Betara. Semoga Allah memberkahi ilmu Beliau sehingga bisa mengantarkan Beliau ke pintu syurga. Amin ya Rabb…!

Status Mereka memang guru bagi para siswa SDN Ngadirejo, tapi sebenarnya Mereka juga guru bagi kami. Dari para guru hebat ini kami belajar menjadi bijaksana, belajar menjadi seseorang yang layak dicontoh dan dicintai, serta belajar untuk ikhlas memberi dan berbagi. Inilah yang manis, yang indah dan yang tak terlupakan dari sepekan berada di tengah-tengah para manusia teladan.   

Selasa, 21 Juni 2011

SD Ngadirejo, Sekolah Naga Betara!


Sampai Maret ini Bromo masih terus mengalami erupsi. Karena erupsi itulah, sebagian besar gedung SDN Nagadirejo roboh. Maka, hampir tiga bulan anak-anak harus belajar di dalam tenda darurat. Tiga tenda didirikan sebagai pengganti ruang kelas. Masing-masing tenda itu dipakai oleh dua kelas. Cukup sempit memang, tetapi anak-anak tetap bersemangat walaupun harus belajar di dalam tenda darurat. 

Menurut salah seorang guru, ketiga tenda darurat itu sempat dua kali roboh karena tidak kuat menahan pasir yang terus menerus turun. Jadi, setiap hari para guru harus membersihkan pasir yang menumpuk di atas tenda dan di atas atap gedung yang masih berdiri tegak. Jika tidak, maka bisa jadi tenda akan kembali roboh dan gedung yang tersisa pun akan ikut roboh.

Para guru tidak kurang akal menyiasati gedung sekolah yang roboh. Pondasi kelas yang roboh mereka sulap menjadi lapangan volley untuk para siswa. Tidak hanya itu, kayu bekas atap sekolah yang roboh disulap menjadi alat permainan semacam karapan sapi. Oleh karena itu, ketika istirahat anak-anak bisa bermain volley dan karapan sapi. Anak-anak pun bisa terus ceria dan semangat datang ke sekolah.  Hampir setiap hari nyaris tak ada siswa yang absen dari sekolah. Selama sepekan kami di sana, dari 67 siswa hanya satu siswa yang pernah absen, itupun karena sakit.

Setiap anak di sekolah ini spesial. Masing-masing mereka mempunayai kelebihan tersendiri. Semua mempunyai keunikan tersendiri. Kami memang semingu mengajar anak-anak ini, tetapi sebenarnya kamilah yang belajar banyak dari anak-anak luar biasa ini. Secara tidak langsung merekalah yang mengajar kami, mengajar banyak hal yag sebelumnya belum kami pelajari di bangku kuliah. Ingin sekali aku ceritakan semua profil anak-anak ini. Akan tetapi, saat ini aku baru bisa menceritakan beberapa saja. Semoga semua pembaca tulisan ini bisa ikut merasakan kehebatan anak-anak ini.

Aku mulai ceritakan tentang Karcok, seorang anak laki-laki kelas IV. Penampilannya sangat biasa, sama seperti anak-anak gunung lainnya. Prestasinya juga biasa, tidak terlalu bagus juga tidak terlalu jelek. Tidak banyak bicara, tetapi banyak bergerak, sangat lincah. Yang sangat menonjol dari Karcok adalah semangatnya untuk bersekolah. Jarak rumahnya dari sekolah sebenarnya adalah 7 km jika melewati jalan biasa, tetapi dicarinya jalur alternative dengan memotong bukit sehingga jarak yang ditempunya menjadi 4 km. Jangan bayangkan jarak 4 km seperti jarak UGM sampai Malioboro yang datar dan tak banyak hambatan! Medan yang ditempuh Karcok adalah bukit dengan dindingnya yang cukup curam. Naik turun bukit dan juga menyebrang sungai. Kondisi semacam itu akan menjadi sangat tidak bersahabat ketika hujan turun. Jalan menjadi becek dan berlumpur, sungai penuh dengan air sehingga tak bisa diseberangi.  Maka, Karcok harus menunggu air sungai surut, baru dia bisa melanjutkan perjalanan.

Walaupun jarak rumah Karcok ke sekolah cukup jauh, justru Karcok selalu menjadi anak pertama yang tiba di sekolah. Betapa tidak? Jam 4 Subuh Karcok sudak berangkat dari rumahnya, menembus dinginnya pagi dan gelapnya perbukitan. Hanya sendirian! Bahkan ketika Bromo sedang bergejolak seperti akhir-akhir ini, Karcok tetap pada kebiasaannya semula; menjadi anak pertama yang tiba di sekolah. Padahal dalam kondisi yang seperti ini, satu hambatan lagi menghadang Karcok. Apa itu? Hujan pasir!  Hujan pasir yang terus-menerus turun sejak tiga bulan yang lalu. Kondisi ini akan semakin parah jika hujan air juga turun. Maka, akan berubah menjadi hujan lumpur karena hujan pasir bercampur dengan hujan air.  Namun, semua ini bagi Karcok tidak menjadi hambatan untuk menjumpai guru-gurunya yang luar biasa. Semua benar-benar simpel bagi Karcok.

Beberapa hari kami menjumpai Karcok tiba di sekolah sebelum jam 06.00 pagi. Lalu apa yang dilakukannya? Dibersihkannya lapangan Volly dari timbunan pasir yang terus turun semalaman. Itulah kehebatan Karcok! Kalau kita ingat Lintang dalam Laskar Pelangi, maka Karcok adalah Lintang versi Bromo.  Beruntung kami melihat langsung Lintang versi Bromo ini. Tidak akan pernah kami melupakanmu, Karcok!

Selanjutnya, giliran Timbul Slamet yang akan aku ceriatakan. Anak ini biasa dipanggil Akas oleh para guru dan teman-temannya. Akas, seorang siswa kelas VI yang mempunyai bakat seni yang luar biasa. Pandai menyanayi, membuat puisi, bermain teater dan bermain alat musik. Anak istimewa ini pernah menjuarai lomba baca puisi ketika festival Tengger pada hari Raya Karo. Pada saat itu, tutur teman-temanya, Akas bisa menjiwai puisi yang dibacakannya hingga benar-benar menangis. Selain lomba baca puisi, lomba teater di tingkat kabupaten Probolinggo pernah diikutinya. Namun sayang, karena properti panggung Akas roboh tanpa disengaja, juara I tak jadi dirahnya. Dia harus puas menjadi yang kedua.

Bakat seninya itu juga terlihat dari piawainya Akas memainkan alat-alat musik sederhana yang terbuat dari kaleng biscuit, kentongan, jirigen bekas wadah minyak, dan gallon air. Alat-alat sederhana itu dia dan teman-temannya mainkan sehingga menghasilkan alunan musik yang indah. Alat-alat itu sengaja disediakan oleh Pak Ghofur, Pak Kepala Sekolah untuk mewadai bakat musik para siswa. Pak Kepala Sekolah sendiri juga yang mengajarkan cara memainkan alat-alat itu agar bisa menghasilkan irama yang enak di dengar.  Kami sempat beberapa kali mencoba memainkan alat-alat ini. Walaupun kami memainkannya dengan cukup tak beraturan, ternyata memang sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Mungkin jika suatu saat nanti aku punya kesempatan untuk berkunjung kembali ke sekolah ini, hal pertama yang ingin kulakukan adalah memaikkan alat-alat itu bersama anak-anak. Natsukashii ne…!

Kembali pada Akas. Sekali lagi Akas menunjukkan bakat seninya dengan menciptakan sebuah lagu berjudul “Naga Betara”. Lagu inilah yang menjadi semacam jingle SDN Ngadirejo. Hampir semua anak di sekolah ini bisa menyanyikan lagu ciptaan Akas ini. Saking seringnya kami mendengarkan lagu ini, secara tidak sadar kami juga telah menghafal lagu yang enak didengar ini. Liriknya yang simpel membuat setiap orang yang mendengarnya akan tertarik dan mudah menghafalkannya.

Selain mempunyai bakat seni yang luar biasa, oleh teman-temannya Akas dikenal sebagai anak yang baik dan mengayomi teman-temannya. Anak yang sering mendapat rangking II di kelas ini tidak pelit ilmu kepada teman-temannya. Ketika teman-temanya ada yang tidak mengerti pelajaran, maka Akas tak segan mengajari mereka. Dia juga punya emosi yang stabil, jarang marah serta mau mengerti kesulitan orang lain.

Satu hal yang paling aku ingat tentang Akas adalah ketika hari Minggu, 6 Maret kami, anak-anak kelas 4, 5, 6 dan para guru berjalan-jalan naik ke bukit untuk melihat Puncak Bromo lebih dekat. Perjalanan sejauh 5 km dengan tanjakan-tanjakan yang cukup curam membuatku kelelahan dan kehabisan energi. Jadilah aku tertinggal cukup jauh dari rombongan. Pada saat itu, Akas dan tiga anak kelas VI dengan sabar membersamai langkahku yang terseok. Kalau tidak menungguku, mungkin mereka sudah bisa menyusul rombongan awal dengan langkah mereka yang gesit karena  sudah terbiasa melewati rute itu. Akhirnya, kami berlima bisa sampai di puncak bukit dan bersama-sama menikmati keindahan puncak Bromo yang terlihat jelas.

Karcok dan Akas sudah kucritakan. Sekarang giliran Ika yang akan aku ceritakan profilnya. Ika, si anak lucu ini duduk di kelas IV, sekelas dengan Karcok. Ika sedikit gendut dengan pipi yang sangat menggemaskan. Ia sangat gesit dan enerjik. Cukup banyak bicara tapi tidak pernah bicara yang tidak baik. Anak yang banyak gerak ini sering mendapat godaan dari teman-teman lelaki dan para guru. Walaupun begitu, Ika tak pernah benar-benar marah mendapat perlakuan yang seperti itu karena ia tahu bahwa teman-teman dan para guru hanya bercanda.

Dalam urusan pelajaran, Ika memang tidak terlalu pintar. Ketika mempelajari sesuatu yang baru, Ika terlihat cukup kesulitan. Namun, Ika adalah tipe anak yang tidak mudah menyerah. Dia terus mencoba, terus dan terus hingga dia bisa. “ Aku tidak boleh menyerah”, itulah kata-kata yang sering diucapkannya untuk meyakinkan bahwa dia pasti bisa. Hal ini terlihat saat kami mengajari anak-anak membuat bunga dari kertas krep. Beberapa kali aku mengajari Ika, tapi tetap saja ia belum juga bisa. Aku hampir-hampir menyerah jika Ika tidak berkata pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh menyerah”.  Semangatku seketika bangkit ketika ia ucapkan kata-kata itu. Alhasil, setelah mencoba berulang kali akhirnya Ika bisa membuat bunga yang sangat-indah. Senyumnya pun mengembang melihat hasil usaha kerasnya.

Semangatnya juga terlihat ketika jalan-jalan hari Minggu. Ika yang berbadan agak gendut terlihat agak kesulitan menakhlukkan bukit-bukit yang curam. Jadilah ia dan beberapa anak  ditemani, Halim, anggota BFM berada di urutan akhir rombongan. Mereka baru tiba di puncak bukit kira-kira 30 menit setelah rombongan pertama tiba. Ika, walaupun tampak capek, masih bisa tersenyum memamerkan pipinya yang lucu. Beberapa teman yang sudah tiba lebih dulu, menggodanya. Akan tetapi, Ika tidak menanggapinya. Senyum kepuasan karena berhasil mencapai puncak tetap dikembangkannya. Begitulah Ika, seorang anak yang telah mengajari kita tentang usaha keras, pantang menyerah, pantang putus asa dan keyakinan.

Tiga anak hebat! Karcok si anak tangguh, Akas yang si seniman cilik dan Ika si anak yang pantang menyerah. Baru dari tiga anak saja aku sudah belajar banyak hal. Tak terkira pelajaran yang aku peroleh dari ke-67 siswa sekolah ini. Sudah kubilang di awal bahwa masing-masing mereka adalah spesial. Satu hal yang menjadi kesamaan mereka, yaitu mereka semua punya cita-cita besar! Mereka punya mimpi masa depan yang cerah. Jujur, aku sangat terharu ketika mendengar mereka satu persatu dengan yakinnya menyebutkan cita-cita besar itu. Ingin sekali aku menjadi bagian dari usaha mereka mewujudkan cita-cita itu. Ingin sekali suatu saat nanti melihat mereka menjadi seseorang yang sesuai dengan yang mereka cita-citakan saat ini. Pasti bisa! Mereka pasti bisa meraih cita-cita itu.  

Senin, 20 Juni 2011

Yang Manis, Yang Indah, Yang Tak Terlupakan





Bromo Permai, Kami datang membawa cinta
1 Maret 2011

Bismillahhirrahmannirrahim ..
Kumulai ceritaku. Hari pertama di bulan Maret, hari yang kutunggu-tunggu kedatangannya. Hari ini aku bersama teman- teman BOOK FOR MONTAIN kembali memulai aksi. Kali ini, SDN Ngadirejo, Kec Sukapura, Kab Probolinggo, Jawa Timur yang kami pilih. Sekolah ini terletak di lereng gunung Bromo, gunung yang keelokanannya tersohor di seluruh penjuru dunia. Kami memilih gunung ini sebagai objek aksi karena sejak bulan November tahun lalu hingga mengalami erupsi yang berkepanjangan. Tujuan kami satu; membawa cinta untuk anak-anak Ngadirejo, lereng Bromo!

Desa Ngadirejo, ketika kami tiba di sana mirip keperti Desa mati. Kenapa? Tak ada lagi hijau terlihat. Pepohonan semua menghitam, mati karena hujan abu dan pasir Bromo yang sudah berlangsung selama tiga bulan ini. Ladang kentang, kubis, strawberi, semua terkubur habis oleh pasir. Tak sebatang pun tersisa.  Pucuk-pucuk cemara yang berderet-deret sepanjang bukit hitam sudah. Jalanan juga penuh pasir. Di sisi kanan kirinya penuh timbunan pasir hasil pengerukan warga dari badan jalan. Sudah berkali-kali dikeruk, tetapi tetap saja pasir terus menutupi jalan karena hingga kami tiba di Ngadirejo sepertinya belum ada tanda-tanda hujan pasir akan segera berhenti.

Atap rumah juga penuh dengan pasir. Tiap hari kami melihat warga membersihkan pasir yang menutupi atap rumah. Jika tidak setiap hari dibersihkan, maka atap rumah akan roboh karena tak kuat menahan pasir yang terus menebal. Beberapa rumah bahkan sudah tak sempat lagi diselamatkan, roboh oleh beratnya pasir.  Amukan hujan pasir juga mengganggu aliran listrik dan air. Selama sepekan kami berada di Ngadirejo, hanya sehari listrik hidup. Begitu juga air. Kami harus sangat hemat menggunakan air karena jumlahnya yang terbatas.

Tiga bulan sudah warga Ngadirejo hidup dalam keterbatasan air, listrik dan bahan makanan. Tak tahu akan berapa lama lagi keadaan ini berlanjut karena tak ada yang tahu kapan erupsi Bromo akan berhenti. Kalaupun akan berhenti dalam waktu dekat ini, warga yang mayoritas adalah petani ini harus menunggu setidaknya setahun untuk mengolah tanahnya agar siap untuk kembali ditanami.

Kami datang ke Ngadirejo tak membawa sesuatu yang berharga untuk mereka kecuali hanya cinta. Cinta yang kami wujudkan berupa buku dan ilmu. Kami memang belum bisa membantu kesulitan mereka menghadapi bencana alam ini. Tapi kami datang untuk mengajak anak-anak kembali tersenyum, kembali meneguhkan cita-cita mereka, kembali melihat dunia melalui buku-buku yang kami bawa. Hanya itu, tidak lebih. Semoga yang tak seberapa ini bermanfaat untuk mereka, anak-anak lereng Bromo. 

Mereka disebut orang Tengger

Warga Nagadirejo adalah suku Tengger, suku yang secara umum mirip dengan suku Jawa. Bahasa yang mereka gunakan juga Bahasa Jawa. Akan tetapi, ada cukup banyak kosa kata yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Misalnya, kata “pakde” dalam bahasa Jawa pada umumnya berarti “paman”. Akan tetapi, dalam bahasa Jawa yang dipakai oleh masyarakat Tengger “pakde” berarti “kakek”. Itulah keistimewaan Bahasa masyarakat Tengger.

Secara fisik, suku Tengger juga hampir sama dengan  suku Jawa. Perbedaaannya hanya pada matanya. Orang Jawa secara umum mempunyai kornea mata berwarna hitam walaupun ada sebagian yang berwarna kecoklatan. Sedangkan orang Tengger mayoritas mempunyai kornea mata berwarna kecoklatan yang khas. Kalau kita cermati mata mereka, terutama anak-anak akan jelas sekali keindahannya.

Lalu, kalau kita berbicara tentang agama orang Tengger, mereka adalah pemeluk agama Hindu. Pada prktiknya, agama Hindu orang Tengger cukup berbeda dengan agama Hindu orang Bali. Hindu di Tengger banyak mendapat pengaruh dari budaya Kejawen dan budaya nenek moyang mereka. Misalnya, adanya upacara Karo dan Kasada, yaitu upacara untuk menghormati leluhur mereka yaitu Rara Anteng dan Jaka Seger. Orang Tengger percaya bahwa asal mula suku Tengger adalah keturunan dari kedua orang ini. Nama Tengger sendiri juga diambil dari kedua nama orang ini. TENGGER = Rara anTENG dan Jaka seGER . Untuk menghormati nenek moyang mereka ini, maka diadakanlah upacara Karo dan Kasada yang berupa pelarungan semua hasil pertanian ke dalam kawah gunung Bromo.

Add caption
Itulah sekilas tentang etnografi masyarakat Tengger. Sedikit banyak kami telah mempelajarinya ketika kami seminggu tinggal bersama masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sayuran ini. Sambutan yang hangat kami rasakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Desa Ngadirejo, lereng Bromo ini. Selama seminggu ini kami dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok lak-laki tinggal di rumah keluarga Pak Shinta sedangkan yang perempuan tinggal di keluarga Pak Kawula. Keduanya memberikan sambutan yang luar biasa pada kami.

Tak bisa kami lupakan kehangatan keluarga Pak Kawula. Tiap pagi Ibu Kawula bangun lebih pagi dari yang lainnya untuk memasakkan sarapan kami. Tak lupa juga dimasakkanya air hangat untuk mandi kami. Tapi, selalu saja kami tak berani mandi pagi karena begitu dinginnya udara pagi di Ngadirejo. Kami hanya menggunakan air hangat itu untuk cuci muka dan gosok gigi. Selesai berbenah diri, segelas susu hangat sudah tersedia untuk masing-masing kami. Juga, perapian sudah dinyalakan. Maka, Pak Wul, begitu kami menyapa Pak Kawula, langsung memepersilahkan kami duduk di depan perapian sambil menikmati segelas susu hangat dan biskuit.

Sarapan, makan siang dan makan makan malam nyaris tak pernah terlambat Ibu Wul siapkan untuk kami. Juga, air hangat untuk mandi sore. Kalau malam tiba, beliau benarkan selimut kami ketika selimut kami bergeser. Kami benar-benar diperlakukan seperti anak-anak Beliau sendiri. Beribu ucapan terima kasih rasanya tidak akan sebanding dengan kebaikan keluarga Pak Kawula pada kami. Arigatou gozaimasu, thank you so much, danke, xie xie ni, kamsa hamnida, syukron, mercy, terima kasih, matur nuwun, kuucapkan untuk keluarga Pak Wul.