Translate

Senin, 26 Agustus 2013

Bapak

Kadang, aku merasa iri ketika dengan bangganya teman-temanku bercerita tentang ayahnya atau dengan penuh keceriaan berbicara melalui telepon dengan Ayah mereka. Ya, saat itu aku hanya bisa menelan ludah, tersenyum getir. Enak ya, punya ayah yang perhatian. Senang ya, ditelpon Ayah. Bahagia ya, ada Ayah yang bisa diajak berdiskusi saat harus mengambil keputusan. Oh... seandainya... andai saja... aku... aku.... pasti...tentu... akan..., tidak perlu dilanjutkan! Aku segera sadar dari perandaianku. Aku kembali pada kenyataan bahwa memang aku tidak pernah merasakan itu semua. Tidak pernah!

Aku tumbuh di tengah keluarga yang penuh masalah, terutama Ayah dan Ibuku. Bahkan, aku sampai lupa kapan tepatnya terakhir kali keuarga kami hidup harmonis. Ah tidak, lebih tepatnya aku selalu sengaja berusaha untuk tidak mengingatnya.


Potongan-potongan kenangan kurang baik dari masa lalu terkadang masih sesekali muncul di benakku. Benar-benar seperti hantu yang membuatku selalu ingin berteriak untuk mengusirnya. Sekuat tenaga, aku mengubur dalam-dalam semua itu. Aku tidak mau terjebak dalam kebencian. Aku mau belajar untuk bersyukur, walaupun sungguh itu bukan perkara yang mudah!


Untungnya, aku punya seorang Ibu yang luar biasa, yang bisa menjalankan peran sebagai Ibu sekaligus sebagai Ayah. Walaupun aku nyaris tidak pernah menerima kasih sayang dari seorang Ayah, cukup Ibuku  menggantikannya. She’s my everything.


Tanpa ku sadari, hidupku pun berjalan normal. Aku punya teman-teman yang penuh semangat dan saling mendukung dalam kebaikan. Prestasiku di sekolah dan kampus pun tidak terlalu mengecewakan. Dan akhirnya aku berkesimpulan bahwa tidak punya Ayah itu, tidak berarti tidak bisa maju. Tidak punya Ayah itu, tidak berarti tidak bisa bahagia. No father, no worries!


Jika hidup dijalani dengan penerimaan yang indah dan pengertian yang benar, ternyata Allah justru akan menambah nikmat itu. That’s a rule! Seperti aku saat ini. Selama menjadi Pengajar Muda, aku tinggal bersama keluarga angkat yang luar biasa. Ayah dan Ibu angkatku sangat perhatian padaku. Aku sangat terharu ketika setiap pagi Pak Taje, ayah angkatku selalu berkata,


“makan dulu, Dita”


Atau setiap malam bertanya,


 “Sudah tidur, Dita?”


Sepertinya itu hanya ungkapan-ungkapan sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi bagiku, itu sungguh sesuatu yang sangat istimewa. Aku merasa diperhatikan, disayangi oleh Bapak, sosok yang selama ini sudah hampir terhapus dari ingatanku. Walaupun secara hubungan darah Pak Taje bukan siapa-siapa bagiku, tapi setahun ini aku benar-benar menganggap beliau adalah Bapakku. Dan beliau pun sepertinya juga demikian, sungguh-sungguh menyayangiku sebagaimana anaknya sendiri.


Setiap hari, Aku, Bapak dan Ibu angkatku selalu makan bersama. Sambil mengobrol dan sesekali diselingi humor Bapak yang khas hingga kami pun tertawa bersama-sama. Juga, saat malam kami kadang mengobrol bersama hingga larut. Bapak bercerita banyak hal, tentang masa mudanya, tentang pertemuannya dengan ibu, tentang masa-masa saat putra-putri mereka masih kecil dan bercerita tentang apa saja. Sungguh, Bapak adalah seorang pencerita yang hebat. Aku suka, suka sekali mendengarkan cerita-cerita itu walaupun beberapa kali aku sampai terkantuk-kantuk saking sudah larut malamnya.


Yang membuatku semakin trenyuh adalah, beberapa hari lalu, saat kami makan malam bersama, Bapak tiba-tiba bertanya, “Kapan Dita menikah?”


Aku kira ini pertanyaan humor seperti yang biasanya Bapak lontarkan padaku. Maka, aku pun menjawab sambil tertawa, “De, belum tau ni Bapak!”


Dan Bapak pun menimpali, “Maksudnya, nanti kalau Dita menikah, Bapak pasti ke Jawa ni. Dita kan anak Bapak juga.” Kali ini Bapak tampak serius.


Aku nyaris tersedak mendengar kata-kata Bapak itu. Benarkah yang dikatakan Bapak itu? Dita.....anak....Bapak.... juga...??? I am dreaming, aren’t I?


Ku tatap air muka Bapak yang selalu teduh itu. Dadaku sesak, mataku mulai penuh. Jika tidak segera ku kendalikan maka air mata ini akan segera tumpah begitu saja.


“Benar Bapak mau ke Jawa?” aku bertanya untuk menguatkan tanggul mataku.


“Iya ni”, jawab Bapak memastikan.


Ya Allah, betapa setahun ini aku sungguh beruntung. Hanya setahun memang, tapi setidaknya ada episode dari hidupku yang pernah kulewati bersama seorang Ayah yang menyayangiku.  Sungguh, aku bersyukur. Dan menjadi Pengajar Muda adalah perantara yang Allah berikan padaku untuk belajar bersyukur.




(Cerita ini ditulis pada Mei 2013, sebulan sebelum aku meninggalkan Bima)


           

Rabu, 21 Agustus 2013

ASAHAN, SUMATRA UTARA


Satu lagi perjalanan bersama BFM (Februari 2012)

Selalu ada jalan untuk setiap niat baik. Hukum itulah yang selalu ku pegang, ku yakini kebenarannya. Berkali-kali aku mengalami langsung hukum itu berlaku dalam hidupku. Bukan hanya jalan yang selalu terbentang, melainkan keajaiban yang tak pernah disangka-sangka.

Hari itu, Senin, 16 Januari 2012. Aku memutuskan untuk tidak ikut kegiatan BFM kali ini, ke Asahan, Sumatra Utara. Ingin sekali, ingin sekali aku ikut. Ingin bertemu anak-anak di sana, ingin belajar bersama mereka, ingin tahu mimpi mereka, ingin melihat tawa mereka, dan ingin, ingin, ingin banyak sekali. Tapi, harapannku semakin menciut setelah melihat kondisi keuanganku saat itu yang tidak mengizinkan aku ikut. “Ok, mungkin untuk perjalanan kali ini aku tidak ikut dulu”, kataku dalam hati dengan sangat berat tapi mencoba untuk ikhlas.

Sore hari sekitar jam 14.30 aku bersama Rida, sahabatku duduk di sebuah bangku di bawah pohon besar yang meneduhi area parkir belakang fakultas kami. Angin berhembus perlahan, membuat kami betah berlama-lama duduk di tempat itu tanpa suara, hanya ingin menikmati suasana sore itu. Aku menarik nafas panjang dan mulai bersuara, “jadinya aku gak ikut acara BFM ke Sumatra Utara Rid”. “oooh.. gitu?”, Rida yang dari awal sudah tahu kesulitanku menjawab dengan nada seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. Kami pun kembali diam.

Tak berapa lama, HPku bergetar. “Ada telepon”, aku masih sedikit kaget karena suara HP itu memecahkan keheningan kami. Aku langsung membuka tasku dan dengan cepat menemukan letak HP itu. “Hah, mbak Umi nelpon. Ada apa ya?”. “Udah, buruan angkat aja!”, perintah Rida sambil melihat layar HPku. Kami sama-sama kaget karena jarang-jarang mbak Umi, pegawai administrasi jurusan kami menghubungi mahasiswa. Aku semakin bertanya-tanya karena pada saat itu posisiku sudah bukan mahasiswa lagi, melainkan alumni. “Semoga bukan karena ada masalah”, doaku dalam hati.

“Assalamu’alaikum.. Mbak Umi, ada apa ya?

“Haloo, Dita san ya? Ini Pak Stedy”, terdengar jawaban dari ujung sana.

“Oh, Stedy sensei. Maaf, saya kira mbak Umi. Ada apa sensei?”, tanyaku sedikit grogi karena sudah lama tidak berbicara dengan ketua jurusanku itu.

“Ini, Dita san dapat beasiswa tapi belum diambil ya?

“Hah?, beasiswa apa sensei?”

Lalu beliau menjawab singkat dan meminta saya untuk segera datang ke kantor pusat.

“Tapi sensei, Saya kan sudah lulus?Apa masih bisa diurus?”

“Datang saja ke kantor pusat, nanti ditanyakan di sana”

“Iya sensei, terima kasih banyak!”

Aku masih tidak percaya dengan telepon yang baru saja ku terima tadi. “Ini keajaiban Rid, benar-benar keajaiban!”, aku menggebu-gebu berkata pada Rida. “Iya dit, segera diurus aja! Ayo aku anterin ke kantor pusat!”

Kami pun segera melangkah bersama ke tempat yang kami hendak tuju itu dan tak henti-hentinya mengucap syukur. Aku lalu teringat sesuatu bahwa beberapa bulan lalu, saat aku mengerjakan skripsi, aku pernah membaca pengumuman di website akademik kampusku bahwa aku mendapat beasiswa. Tapi karena kesibukan skripsi, aku benar-benar melupakan itu tanpa ku sengaja. Tapi, hari ini, Allah mengingatkanku pada saat yang sangat tepat. “Subhanallah, rencana Allah indah sekali ya Rid?”. “Iya, dit!”. Kami tersenyum lebar.

Di kantor pusat, kujumpai namaku ada di daftar penerima beasiswa itu. Lalu ku tengok nominal yang tertera di sana. Alhamdulillah cukup untuk ongkos ke Sumatra Utara, lebih bahkan, hehe. Aku langsung mengambil HPku, ku ketik sms ”InsyaAllah jadinya aku ikut”. Ku kirim ke nomor mbak Niniek, salah seorang teman di BFM. Alhamdulillahhirabbil ‘alamin. Ya Allah, ini sungguh keajaiban-MU!

Sesuai rencana, kami, tim BFM Asahan, Sumatra Utara berangkat dari Jogja hari Rabu sore tanggal 25 Januari. Ini adalah pejalanan BFM paling heboh sekaligus paling lama. 14 orang jumlah tim kami; Aku, Niniek, Tya, Russel, Arni, Bulan, Ve, Bagus, Ivan, Sogi, Halim, Sholeh, Lambang dan Faqquh. Semua berangkat dengan penuh semangat.

Untuk menghemat beaya, perjalanan Jogja-Jakarta kami tempuh dengan kereta api kelas ekonomi. Cukup dengan Rp 35.000 kami sudah bisa sampai di Jakarta. Di kota itu, kami menginap semalam di rumah Faqquh.

Penerbangan kami ke Medan dibagi menjadi 2 kloter. Maklumlah, kami memakai tiket yang sedikit murah sehingga harus rela mendapat jadwal penerbangan paling pagi dan paling malam. 7 orang berangkat jumat pagi jam 08.00 dan 7 orang lagi jam 06.00 petang masih dalam hari yang sama. Di hari itu, kami menginap di Medan, rumah Uwak mbak Russel.

Sabtu pagi kami bertolak menuju Pematang Siantar, rumah mbak Tya. Sebagian naik mobil pinjaman dari Uwak mbak Rusel dan sebagian naik bus. 3 jam perjalanan yang kami butuhkan  dari Medan ke Siantar. Bagiku, ini adalah perjalanan yang sangat menarik karena untuk pertama kalinya aku melewati kota-kota yang biasanya hanya aku dengar dari buku-buku, Koran dan TV. Medan, Tebing Tinggi, Deli serdang, Serdang Bedagai, Pematang Siantar, Simalungun dll. Jajaran perkebunan karet dan kelapa sawit di kanan dan kiri jalan menghiasi hampir seluruh perjalanan kami. Pemandangan yang belum pernah aku temukan di Jawa.

Setelah menginap semalam di Siantar, kami menuju Kisaran, ibukota kabupaten Asahan. Di kota itu kami disambut hangat oleh Tante dari mbak Rusel. Semalam pula kami menginap di sana.  Esok harinya, baru kami datang ke Dinas Dikpora Kabupaten Asahan untuk memberitahuakan tentang kegiatan kami.

Setelah menginap di beberapa loksi yang berbeda itu, akhirnya Senin sore, 30 Januari kami tiba di sekolah kami, SD Inpres 017725 Buntu Pane, Dusun Sido Rukun, Desa Sionggang, Kecamatan Buntu Pane, Asahan, Sumatra Utara. Sejenak kuedarkan pandangan ke sekeliling sekolah itu sambil berucap syukur, “Alhamdulillah kami akhirnya tiba di sini”. Damai sekali rasanya setelah tiba di sekolah yang kokoh berdiri di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit itu.

Karena sudah sore, sekolah yang hanya memiliki 4 ruangan itu tampak sepi. Tapi di lapangan sepak bola yang tebentang di depannya, ramai dengan sekelompok pemuda yang tengah asyik bermain bola.

Secara bangunan fisik, sekolah ini bisa dikatakan sudah cukup bagus. Keempat ruangannya sudah berupa bangunan permanen.  3 ruang untuk ruang kelas dan 1 untuk ruang guru. Masing-masing ruang kelas disekat menjadi 2 bagian karena dipakai sekaligus untuk dua kelas. Pembagiannya, kelas satu seruangan dengan kelas 2, kelas 3 dengan kelas 4 dan kelas 5 dengan kelas 6.

Saat pelajaran berlangsung, kelas yang berada pada ruangan yang sama tentu saling terganggu walaupun jumlah murid di masing-masing kelas tidaklah banyak. Namun, karena sudah menjadi kebiasaan, para guru dan murid sudah tidak terlalu menganggap ini sebagai masalah yang besar. Mereka masih sangat bersyukur karena gedung yang sekarang mereka tempati itu adalah gedung baru. Ini jauh lebih baik dari gedung sebelumnya.

Di sekolah mungil ini, ada 43 anak yang tiap hari datang menimba ilmu. Masing-masing kelas, dari kelas 1 sampai kelas 6 mempunyai 1 wali kelas. Semua murid dan guru menyambut kedatangan kami dengan sambutan yang sangat hangat setelah mengetahui maksud kami untuk membuat sebuah perpustakaan dan seminggu mengajar di sana.

Selama seminggu di sana, kami menempati rumah dinas guru yang sudah beberapa tahun tidak ditempati. Karena sudah lama tidak ditempati, di rumah ini tidak ada penerangan satu pun. Jadilah malam pertama kami di sana harus diisi dengan kegiatan memasang lampu dan bersih-bersih. Pak Supratman, kepala sekolah baik hati yang bertempat tinggal tidak jauh dari sana turut membantu kami malam itu. Istri beliau juga tak kalah baik. Beliau meminjamkan dua buah tikar besar sebagai alas kami tidur dan perlengkapan untuk memasak, dari kompor, panci, penggorengan, baskom hingga alat-alat makan seperti sendok, piring dan gelas. Kami benar-benar merasa terbantu.

Di satu ruangan dari 3 ruang yang ada di rumah yang kami tempati itu, kami meletakkan sebuah rak buku yang kami buat sendiri dua hari setelah tiba di sana. Rak sederhana ini adalah tempat kami memajang 160 buah buku yang kami bawa dari Jogja. Agar suasana ruangan ini nampak menarik bagi anak-anak, kami mengajak anak-anak menggambar di tembok ruangan ini dengan cat minyak. Lucu sekali melihat mereka dengan semangat mengoreskan kuas di tembok, menggambar sesuka mereka, menuliskan nama mereka. Tidak hanya di tembok bagian dalam, di bagian luar pun anak-anak dengan antuasis menggambar apapun yang mereka inginkan. Warna-warni, sangat cantik dan lucu.

Di bagian atas tembok yang tidak terjamah oleh gambar cat minyak itu kami tempelkan hasil karya anak-anak selama kami mengajar di sana; berbagai bentuk origami, papper quiling, kerajinan flannel, kerajinan dari stick dan gambar anak-anak di atas kertas. Tak ketinggalan 2 buah peta yaitu peta Indonesia dan peta dunia turut menambah semarak ruangan perpustakaan kami itu. inilah persembahan kami BOOK FOR MOUNTAIN; sebuah perpustakaan mini untuk SD Inpres 017725 Buntu Pane, sekolah yang sejak tahun 1983 berdiri belum pernah memiliki perpustakaan.

Selain pengadaan perpustakaan, program utama kami di sana adalah seminggu mengajar. Kegiatan seminggu mengajar ini kami bagi menjadi 3 waktu yaitu pagi di sekolah, sore di rumah anak-anak dan malam di rumah kami tinggal sementara. Materi utama yang kami sampaikan adalah ketrampilan-ketrampilan dan membaca buku bersama sebagai upaya menumbuhkan minat baca pada anak-anak sekaligus mengajak mereka untuk senang terhadap buku. Ketrampilan-ketrampilan itu antara lain papper quling, kerajian dari kain flannel, origami, ecomonopoly, kesenian Randai, membaca puisi dan permainan-permainan edukatif.

Selain mengajar, ada 2 buah kegiatan tambahan yaitu outbond dan pentas seni saat hari terakhir kami di sana.  Semua berjalan sangat menyenangkan. Tapi, saat outbond, ada sebuah masalah kecil. Isma, seorang siswi kelas 6 menangis saat tiba di pos 5. Saat itu dia bertugas sebagai pemimpin dan kebetulan saya sebagai pendamping kelompoknya. Dia menangis karena ada salah seorang anggota kelompoknya yang mengejeknya. Tidak hanya itu, mungkin dia merasa minder juga karena sejak di pos pertama hingga pos ke 5 ini kelompoknya belum pernah menang. Aku sebagai pendamping kelompoknya cukup bingung karena harus membujuk Isma agar berhenti menangis sekaligus harus membesarkan hati anggota kelompok agar tetap bersemangat walaupun belum pernah sekalipun menang. Untungnya, mbak Russel sebagai penjaga pos 5 membantuku untuk menenangkan Isma. Sampai pos terakhir, Isma masih tetap diam, tidak mau mengikuti rangkaian acara selanjutnya. Beberapa teman kami ikut membujutnya, tapi ia tetap tak bergeming. Perlu waktu lama hingga akhirnya ia mau kembali tersenyum saat pengumuman bahwa kelompoknya mendapat hadiah sebagai kelompok paling sportif.

Sejak awal tiba di sana, kami sudah mendengar cerita tentang Isma yang mempunyai masalah krisis percaya diri yang akut. Dari cerita-cerita itu kami tahu bahwa masalah ini adalah sebagai akumulasi dari pandangan negative tentangnya dari orang-orang di sekitarnya termasuk teman-teman, guru dan orang tuanya. Di sekolah, gurunya melabelinya sebagai anak bodoh sehingga sangat sering mendapat tamparan dari gurunya. Di rumah ,orang tuanya menganggapnya sebagai anak yang suka ngambek dan agak lemah menerima pelajaran. Pandangan-pandangan itulah yang membuatnya mengalami krisis percaya diri, mudah minder dan kurang mau bergaul.

Di sore hari setelah outbond, kami bertiga, aku, Mbak Rusel dan Mbak Ve mengungjungi Isma di rumahnya untuk memastikan apakah ia masih ngambek atau tidak. Saat kami tiba di rumahnya beberapa anak sedang berkumpul dan bermain bersama-sama. Dan kami temukan Isma ada diantara mereka, terlihat cerah wajahnya. Ia beserta teman-temannya itu tampak bersemangat menyambut kami. Aku dekati dia dan melontarkan beberapa pertanyaan untuk memastikan bahwa ia sudah baik-baik saja. Setelah sedikit memberinya semangat dan yakin bahwa dia sudah kembali tersenyum, kami sangat lega.

Secara umum, anak-anak di sekolah yang kami kunjungi itu sangat bersemangat mengikuti rangkaian kegiatan dari kami. Sayang, kami hanya seminggu bisa membersai mereka. Akhirnya, kami pun harus meninggalkan mereka. Di hari terakhir, kami mengadakan acara peresmian perpustakaan yang dihadiri oleh seluruh guru, kepala sekolah, perwakilan Dinas Pendidikan, perwakilan UPT dan yang paling penting adalah para wali murid. Baru kali ini, acara perpisahan BFM dihadiri oleh wali murid. Kami merasa senang sekali atas antusiasme mereka memenuhi undangan kami yang hanya kami tulis secara manual. Maklum, tidak ada tempat untuk fotocopy di sana. Tidak hanya itu, para wali murid juga masing-masing membawa makanan sebagai suguhan acara perpisahan tersebut. Dan yang paling membuat kami terharu adalah, saat acara hampir selesai, para orang tua secara suka rela tanpa kami minta, mengumpulkan uang yang kemudian diberikan kepada kami. “sedikit tambahan untuk ongkos”, begitu kata mereka. Entah apa yang menggerakkan mereka untuk melakukan itu. Kami hanya bisa berucap, “terima kasih, Pak, Bu….”.







Selasa, 20 Agustus 2013

Dompu? Mana tuh?


             DOMPU. Ketika disebut nama itu, mungkin sebagian orang akan mengernyitkan dahi sambil berkata, “mana tuh?”. Berada di tengah-tengah pulau Sumbawa, Kabupaten Dompu seolah tertutup oleh nama tenar Sumbawa. Namun, jika kita sempat mengunjungi tanah Dompu ini, sungguh kita tidak akan pernah menyesal!


                Selama tahun 2012, saya berkesempatan bertugas di Kabupaten Bima, ujung timur pulau Sumbawa. Wow, bukan main senangnya saya ketika mendapat kesempatan ini. Betapa tidak, saya akan segera berkenalan dengan savana, kuda liar dan Tambora. Icon-Icon terkenal dari Pulau Sumbawa. Begitu pikir saya saat itu.


                Waktu penugasan pun tiba. Saya mendarat di Bandara Sultan Muhammad Shalahuddin, Kapupaten Bima. Saat itu cuaca sedang sangat cerah. Saat pesawat yang saya tumpangi hampir mendarat di Bandara tersebut, mata saya tiba-tiba menangkap pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit yang tetumbuhannya menguning oleh kemarau, langit biru sempurna dan teluk Bima yang menentramkan hati. Berkali-kali saya berdecak kagum.
                Setahun bukan waktu yang lama. Mengingat saya di sana bukan untuk jalan-jalan, melainkan bekerja. Ya, bekerja! So, saya harus pintar-pintar memanfaatkan waktu libur untuk menjelajah pulau Sumbawa, especially Dompu!
        Well, Pantai Ria! Itu tempat pertama di Dompu yang saya kunjungi. Pantai ini cocok sekali untuk rekreasi keluarga. Oh ya, orang Dompu sangat suka sekali berwisata bersama keluarga ke pantai. Biasanya mereka memanfaatkan waktu-waktu tertentu untuk berlibur bersama keluarga. Bisa waktu libur sekolah, setelah pembagian raport, hari raya Idul Fitri atau hari Minggu biasa. Nah, saat itulah biasanya mereka memboyong seluruh anggota keluarga sampai cucu-cucu yang masih balita pun tak boleh ditinggal. Mereka biasanya membawa bekal nasi dan makanan kecil dari rumah. Sedangkan lauknya? Ini yang unik, dengan angkutan yang mereka pakai, mereka sertakan ayam, bebek atau entok yang masih hidup. Unggas-unggas inilah yang kemudian dipotong dipinggir pantai, dicuci dengan air laut dan dibakar. Setelah matang, daging-daging unggas ini dinikmati dengan sambal khas Dompu yang dibuat dari irisan bawang merah, cabai dan jeruk nipis ditampah garam secukupnya. Atau bisa juga ditambah kecap. Hmmm... Caru poda!! (enak sekali).


                Destinasi ke II, Satonda. Yuhuuu.....  Pulau Satonda!!


                Dulu, semasa kuliah, saya pertama kali mendengar nama Satonda dari seorang teman saya, mahasiswa jurusan Geologi. Baginya, Satonda adalah fenomena Geologi yang menarik. Satonda hanyalah pulau kecil di sebelah utara Dompu. Apa menariknya?? Saya baru bisa berkata “Wow”, ketika akhirnya saya berkesempatan menapakkan kaki saya di Pulau yang ternyata cukup terkenal di kalangan wisatawan asing ini.


                Kira-kira 20 menit adalah waktu yang saya perlukan untuk menyeberang ke Pulau Satonda memakai perahu motor bermesin satu. Perahu yang saya tumpangi ini hanya berukuran 3 x 0,5 meter. Jadilah saya basah kuyup terkena cipratan air karena saking derasnya arus laut. Sungguh perjalanan yang menegangkan sekaligus menantang. Mendekati pulau Satonda ini, perahu mulai bergerak melambat. Saat itulah, mata saya menangkap pemandangan bawah laut yang sangat indah, terumbu karang berwarna-warni sangat jelas terlihat dari permukaan air laut yang jernih.


Ternyata, kekaguman saya masih berlanjut. Sesampainya di Satonda, saya dan rombongan segera menuju ke danau yang letaknya tepat di tengah-tengah pulau. Dari bibir pantai, danau tersebut tidak terlihat karena posisinya yang berada di tempat yang agak tinggi. Pengunjung harus menaiki tangga sejauh kurang lebih 600 m dari bibir pantai. Baiklah, saya pun dengan semangat menaiki setiap anak tangga itu.

Akhirnya, tibalah saya di danau vulkanik yang asin rasa airnya itu. Suasana yang tenang membuat danau itu sepertinya memunculkan suasana mistis, itu menurut saya, hehe... Mungkin orang lain akan berpendapat berbeda. Dan benarlah, serombongan turis asing tiba beberapa saat setelah saya. Apa yang mereka lakukan di sana? Dengan ceria, turis-turis itu berenang-renang hingga ke tengah danau. Hilang sudah kesan mistis yang sebelumnya menempel di pikiran saya.


Pantai, pulau dan danau sudah. Oke, sekarang giliran Gunung. Mana lagi kalau bukan Gunung Tambora, gunung yang 200 tahun lalu letusannya pernah menggemparkan dunia. Bahkan, konon, Eropa sampai mengalami paceklik berbulan-bulan karena langitnya tertutup debu letusan Gunung Tambora. Maha Dahsyat!!


Tambora, tanah yang hilang. Begitu kata orang-orang tua setempat. Secara administratif, Gunung Tambora berada di wilayah Kabupaten Dompu di belahan selatan dan Kabupaten Bima di belahan utara. Dulunya, Bima dan Dompu berasal dari satu nenek moyang, yaitu orang-orang dari Sulawesi Selatan. Maka, sampai sekarang Bima dan Dompu memakai Bahasa yang sama yaitu Bahasa Mbojo. Adat Istiadat, kuliner, sampai bentuk rumah pun sama, rumah panggung mirip milik orang-orang Bugis.


Secara geografis, bentangan alam Dompu dan Bima juga mirip. Sedikit perbedaannya adalah di Dompu lebih banyak terdapat savana-savana yang luas. Di savana-savana inilah hidup kawanan kuda liar, sapi, kerbau dan kambing. Saat musim kemarau, rumput-rumput di savana ini akan menguning. Jadilah bentangan luas yang serba kuning. Jika kita berada di sana saat itu, maka rasa-rasanya kita sedang berada di Afrika. Sayangnya, di savana Dompu ini tidak ada singa, hehe...

Savana-savana luas ini menjadi pemandangan yang saya nikmati sepanjang perjalanan dari ibu kota kabupaten Dompu hingga dataran tinggi Tambora. Saat perjalanan sudah mulai melewati dataran yang agak tinggi, pemandangan savana digantikan oleh pemandangan hutan yang tidak terlalu lebat, kemudian, berhektar-hektar pohon kopi, kopi khas Tambora. Kalau kita sempat ke Tambora, akan rugi jika tidak membeli kopi Tambora sebagai buah tangan. Oh ya, selain kopi, madu Tambora juga tidak kalah menarik untuk dijadikan buah tangan.


Perjalanan dari ibukota kabupaten Dompu kami tempuh dengan Bus hingga Kadindi, termasuk ke dalam wilayah kecamatan Pekat, Dompu. Perjalanan kami lanjutkan dengan ojek selama kurang lebih 50 menit menuju Dusun Tambora, tempat saya dan teman-teman akan memulai penadakian. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian Tambora. Kami waktu itu memilih melalui Dusun Tambora karena kami punya kenalan di sana. Maka, setelah persiapan usai ditunaikan, pendakian pun dimulai.

Dua hari dua malam kami berjibaku dengan medan Tambora yang mengesankan. Beberapa anggota tim kami terkena gigitan pacet dan tertusuk duri tumbuhan Meladi, Tumbuhan khas Tambora. Saya pun dua kali tidak sengaja merasakan sensasi gatal dan panas akibat tertusuk duri Meladi. Rasanya hampir menyamai sengatan lebah. Semua rasa capek dan sakit selama penadakian, tuntas terbayar saat kami tiba di Puncak Tambora. Sun Rise yang mempesona, kaldera yang mengagumkan.Tambora oh Tambora!

Tahun 2015 nanti kabarnya pemerintah pusat akan mengadakan festival Tambora untuk memperingati 200 tahun meletusnya Tambora. Kabarnya pula, utusan dari berbagai negara pun akan ikut serta dalam acara itu. Sudah saya niatkan, semoga saat itu sekali lagi saya bisa menyambangi puncak Tambora. Semoga ada kesempatan!












<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">&lt;a data-blogger-escaped-target="_blank" href="http://microsite.detik.com/minisite/sevenwonders/"&gt;&lt;/a&gt;</span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">&lt;img data-orig-src="http://o.detik.com/images/odetik_images/blogdetik-sevenwonders.gif" src="//images-blogger-opensocial.googleusercontent.com/gadgets/proxy?url=http%3A%2F%2Fo.detik.com%2Fimages%2Fodetik_images%2Fblogdetik-sevenwonders.gif&amp;amp;container=blogger&amp;amp;gadget=a&amp;amp;rewriteMime=image%2F*" /&gt;</span>





               

Sabtu, 20 Juli 2013

Dia, yang istimewa


"Naga-naga Betara
Dari desa Ngadirejo
Pimpinan Bapak Ghofur
Siap Menerjang"

Itulah petikan lagu kebanggaan anak-anak SDN Ngadirejo, sekolahnya anak-anak suku Tengger di lereng gunung Bromo. Aku pertama kali mendengar lagu itu pada Maret 2011, saat bersama teman2 BFM membuat project di sekolah itu.

Lagu itu benar-benar racun, pikirku saat itu. Siapapun yang pertama kali mendengar lagu itu disenandungkan, pasti akan langsung refleks menirukan. Tidak terkecuali aku. Seketika itu aku langsung menirukan lagu yang disenandungkan anak-anak dengan iringan alat musik perkusi dari barang-barang bekas.

"Bagus sekali lagunya. Siapa yang menciptakan?", tanyaku pada anak-anak. Mereka pun menjawab, "Akas!" sambil menunjuk anak yang dimaksud. Pandanganku pun langsung mengarah ke anak yang dimaksud. Diapun tersenyum ke arahku.

Dia istimewa! itulah kata-kata yang terus terngiang di benakku saat itu.

Keesokan harinya, kami kembali ke pondok kecil tempat alat-alat perkusi disimpan. Sore itu kami ingin kembali menganyi sambil memainkan barang-barang bekas yang kami sebut perkusi itu. Anak-anak sudah berkumpul dan siap dengan alat masing-masing. Tiba-tiba seorang anak berseru, "Tapi pengrawitnya belum datang". Pengrawit adalah istilah untuk pemimpin pertunjukan gamelan jawa. "Siapa pengrawitnya?'", tanyaku.
"Akas!!!!"

Untungnya, yang dinanti segera datang tak beberapa lama kemudian. "Konser" pun dimulai. Kami semua hanyut dalam keceriaan sore itu.

Ya, hari itu otakku kembali dipenuhi dengan kata-kata, "Dia istimewa. Akas sungguh istimewa".

Semakin lama mengenalnya, aku menjadi tahu cukup banyak tentang dia,
terutama tentang keluarganya. Dia punya keterbatasan. Tapi sungguh, keterbatasan sama sekali tidak boleh membuatnya berhenti maju. 

Ayo Akas, kamu harus maju terus! Kamu pasti bisa!