Translate

Sabtu, 28 Maret 2015

Kenang-Kenangan tentang Abangku

Tak pernah kubayangkan akan bertemu dengan sosok seperti dia di Bima, tempatku bertugas selama 2012-2013. Namanya Iwan Supartana, putra pertama dari orang tua angkatku di sana. Usianya jauh di atasku sehingga aku memanggilnya "Abang Iwan".  

Dia adalah orang yang sangat baik sehingga Allah lebih menyayanginya dengan cara memanggilnya dalam usia yang masih sangat muda, 35 tahun. Sama seperti kepergian orang baik pada umumnya, kepergian abangku membawa duka yang mendalam bagi banyak orang, tak terkecuali aku, adik angkat yang hanya dua musim mengenalnya.

Gurat wajahnya masih lekat di ingatanku. Pun suaranya, rasa-rasanya baru kemarin melintas ke telingaku. Namun, wajah dan suara itu tak akan pernah lagi bisa kulihat dan kudengar. Rindu? Sudah tentu aku merindukannya. Lalu dengan cara apa aku menawarkan rindu ini?

Menulis. Itulah salah satu caraku untuk kembali menghidupkan sosoknya. Raganya memang sudah tiada. Tapi aku mau jiwanya terus hidup bersama kami, orang-orang yang menyayanginya. Tanpa kutulispun, jiwanya sudah pasti akan tetap hidup di ingatan orang-orang yang pernah mengenalnya. Aku berani bertaruh bahwa ingatan yang tetap hidup itu adalah kenangan yang baik-baik karena semua orang mengakui abangku adalah orang baik, sangat baik bahkan.

Bapak sering bercerita bahwa Abang Iwan sejak kecil sudah terlihat potensi kebaikannya. Setelah lulus SD, abang Iwan sudah hidup mandiri di Kota Bima, jauh dari bapak dan ibu yang tinggal di Desa Karumbu. Bapak dan ibu sengaja membeli rumah di kota agar anak-anaknya bisa bersekolah di tempat yang lebih baik. Hampir semua anak bapak dan ibu mengenyam pendidikan SMP-SMA di Kota Bima, kecuali Akmal, si anak bungsu. Lalu, setelah lulus SMA, semua dikuliahkan di Makassar, kota dimana bapak berasal.

Masih menurut cerita bapak, sejak remaja Abang Iwan sudah rajin puasa sunnah Senin-Kamis. Setiap hari selalu bangun jam 03.00 lalu sholat tahajud dan membaca Quran hingga Subuh. Sholat lima waktu pun hampir selalu ditunaikannya di masjid. Bahkan, Abang Iwan-lah yang kadang mengumandangkan adzan karena dia yang pertama kali datang ke masjid saat masuk waktu sholat. Jika punya waktu senggang, Abang Iwan mengisinya dengan membaca buku-buku Islami.

Setelah lulus kuliah, Abang Iwan diangkat menjadi pegawai bidang administrasi di kantor UPT (Unit Pelaksana Tugas) Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kecamatan Langgudu. Di lingkungan kantornya, ia dikenal sebagai pegawai yang sangat jujur, rajin dan disiplin.

Abang Iwan menikah dengan Kak Fatimah, guru di sebuah SMK di kecamatan kami. Mereka dikaruniai dua orang anak, Isma Fadillah dan Fais Assaukani. Pernikahan mereka tampak sangat bahagia. Mereka membuat sebuah rumah panggung di dusun Dana Kala, sekitar 1 km dari rumah bapak dan ibu. Di halaman rumah itu mereka tanami berbagai jenis bunga, sayur-mayur, umbi-umbian dan tanaman buah seperti pisang, pepaya, serikaya dan mangga. Di halaman depan dibangun sebuah selaja, semacam balai-balai bambu, untuk mencari angin saat siang hari yang terik. Jika sedang berkunjung ke rumah Abang Iwan, aku sangat suka duduk di selaja itu sambil menikmati semilir angin dan suasana kebun yang hijau menyejukkan mata.


Fais dan Isma sebelum berangkat ke sekolah. Foto ku ambil beberapa bulan sebelum aku pulang ke Jawa

Kedua suami istri ini sepertinya tidak punya rasa lelah. Di luar pekerjaan kantor dan berkebun, mereka masih sempat menggarap sepetak sawah milik bapak dan ibu. Bahkan Kak Fat kadang masih menerima pesanan abon ikan dan beraneka macam kue dari para tetangga. Oh ya, Kak Fat ini sangat pandai memasak.

Sebagaimana suami istri pada umumnya, Abang Iwan dan Kak Fat sesekali juga pernah bertengkar. "Tapi seringnya saya sih yang marah-marah, Bapak Isma selalu diam saja kalau saya marah-marah", begitu kata Kak Fat suatu ketika pada saya. Kak Fat menambahkan, "Dulu-dulu saja saya sering marah, tapi sekarang jarang-jarang karena kalau saya marah, temannya bapak Isma itu sering ganggu saya sih." Temannya?

Iya, temannya. Atau lebih tepatnya teman-temannya. Semua keluarga besar kami tahu bahwa Abang Iwan adalah seorang Indigo, bisa melihat makhluk halus. Bahkan beberapa setia mengikutinya, menjadi temannya. Dulu, saat Abang Iwan masih tinggal di rumah bapak dan ibu, teman-temannya itu kadang mengganggu adik-adik Abang Iwan. Kak Ida, adik ke-3 Abang Iwan pernah bercerita padaku bahwa barang-barang milik Kak Ida sering berpindah tempat. Yang memindahkan tidak lain adalah teman-teman Abang Iwan itu.

Pernah suatu ketika Kak Fat sedang marah pada Abang Iwan lalu menangis dan bersembunyi di kamar mandi. Tiba-tiba pintu kamar mandi terkunci dari luar. Siapa yang mengunci? Siapa lagi kalau bukan teman-teman Abang Iwan. 

Itulah sekelumit kenang-kenanganku tentang Abang Iwan-ku. Dengan menuliskannya, aku menjadi lega. Semoga Allah memberikan kubur yang terang dan lapang untuk Abangku. Semoga Allah mengampuni semua kesalahannya dan menerima amal baiknya.

Semoga kita dipertemukan lagi di Surga-Nya kelak, ya abangku!

                                                                                                             ***
"Puja dan puji sebanyak jumlah bilangan pasir di pantai dan sebanyak buih di lautan hanya untuk-Mu ya Rabb...", status Facebook Abang Iwan sebulan sebelum Ia menghadap Rabb-Nya.

Jumat, 27 Maret 2015

Pesan dari Laut

Kawan, lihatlah dermaga kayu sederhana itu,
betapa lapang dadanya ia 
menyambut setiap sampan yang menambat padanya,
tak satu pun ia tolak

lalu, pandanglah sampan-sampan itu,
betapa setianya mereka 
membersamai tuannya melintasi selat, 
bahkan hingga ke samudra
tak sekalipun ia menentang
tentang arah mata angin yang akan dituju tuannya

tengoklah pula mentari
betapa jujurnya ia 
menunjukkan mana barat, mana timur
tak sedikitpun berniat dusta

juga, perhatikanlah ikan-ikan itu
betapa ikhlasnya meraka akan takdir 
mereka relakan nyawa mereka 
supaya terus tersambung nyawa keluarga nelayan

pada dermaga yang lapang dada
pada sampan yang setia
pada mentari yang tak pernah dusta
pada ikan yang relakan nyawa
ada pesan untuk kita baca

Selasa, 24 Maret 2015

Galeri Indonesia Kaya

Edu-tainment a.k.a wisata edukasi mulai menunjukkan geliat perkembangannya di kota-kota besar, tak terkecuali di Jakarta. Aktor pengembangnya tidak melulu pemerintah tetapi swasta pun kini sudah memperlihatkan perannya. Djarum Foundation misalnya. Melalui program Bakti Budaya-nya, Djarum Foundation menginisiasi sebuah galeri seni di West Mall, Grand Indonesia. Galeri ini diberi nama Galeri Indonesia Kaya (GIK). (Maaf, saya tidak hendak mempromosikan perusahaan rokok, perusahaan yang sangat debatable).

Saya pertama kali mengunjungi galeri ini beberapa bulan yang lalu. Tempatnya tidak terlalu besar, hanya ada 2 ruang utama yaitu ruang pameran dan auditorium. Di ruang pameran tersedia layar-layar digital yang berisi berbagai informasi, gambar-gambar tentang budaya dan alam Indonesia. Tak ketinggalan juga aplikasi permainan tradisional dan foto dengan pakaian adat. Aplikasi tersebut terkoneksi dengan media sosial sehingga pengunjung bisa mengunggah aktivitas mereka saat menggunakan aplikasi tersebut. Semua fasilitas itu sangat menarik dan edukatif. Cocok untuk segala usia. Info lebih jelasnya bisa dilihat di sini http://www.indonesiakaya.com/galeri-indonesia-kaya/fasilitas

Jika ruang pameran dibuka setiap hari, maka ruang auditorium yang mampu menampung 150 penonton itu hanya dibuka secara berkala, yaitu saat digelar pagelaran musik, tari, pemutaran film, diskusi budaya, monolog dll. Kegiatan tersebut umumnya digelar pada hari Sabtu dan Minggu. Jadwal kegiatan untuk 1 bulan bisa dilihat di website yang sama dengan yang saya tautkan di atas.

Sejak pertama kali pergi ke sana, saya menjadi sering membuka website Galeri Indonesia Kaya untuk melihat jadwal pementasan. Hampir semua pementasan yang digelar itu menarik bagi saya. Namun, saya hanya akan pergi ke sana jika waktu saya memungkinkan. Seperti Sabtu lalu (23/3), Saya dan sahabat saya, Rida, sedang punya waktu luang sehingga bisa pergi ke sana untuk menonton pementasan tari "Jiwaku Tansah Hambeksa" karya koreografer dari Universitas Negeri Jakarta, Kristiono Soewardjo.

Tempat yang nyaman, fasilitas yang berteknologi tinggi dan layanan gratis untuk semua fasilitas dan kegiatan, mungkin yang membuat GIK hampir selalu ramai pengunjung, terlebih akhir pekan. Untuk kegiatan tertentu bahkan tiketnya sudah habis terpesan secara online beberapa hari sebelum kegiatan diadakan. Seperti Sabtu kemarin saat saya dan Rida berencana akan menonton pementasan tari itu, kami sudah kehabisan tiket. Jadilah kami harus datang ke GIK 1 jam sebelum acara untuk mendaftar di kursi waiting list. Untungnya kami tetap bisa masuk dan menyaksikan pementasan lima judul tari karya koreografer Kristiono Soewardjo itu. :-)






Jumat, 20 Maret 2015

Tuhan, Izinkan Saya ke Bukittinggi Tahun Ini!

"Tam, pokoke aku harus ke Bukittinggi tahun ini!", sebaris pesan saya layangkan pada Tami melalui aplikasi WhatsApp pagi ini. Ah, barangkali Tami sudah bosan mendengar kicauan saya tentang keinginan ini. Pasalnya hari-hari lalu entah sudah berapa kali saya merusuhi harinya dengan pesan yang mengandung dua kata kunci itu: "Bukittinggi" dan "tahun ini". Jangan bosan ya Tam! Hehe

Keinginan ini bukan datang tiba-tiba. Entah kebetulan atau bukan, beberapa bulan terakhir ini buku-buku yang saya baca kebanyakan adalah buku yang ditulis oleh orang Minang: Bung Hatta, Buya Hamka dan A. Fuadi. Dari karya-karya mereka saya memperoleh gambaran tentang alam dan budaya Sumatra Barat. Jujur, saya jatuh cinta! Sungguh! 

Dulu, saat masih menjadi Tutor Bahasa Indonesia bagi mahasiswa asing di Indonesian Cultural and Language Learning Service (INCULS), UGM, saya mempunyai seorang mahasiswa dari negeri kangguru yang mengambil matakuliah Etnografi Minangkabau. Sebagai tutornya, salah satu tugas saya adalah mengecek tugas kuliahnya, yang umumnya berupa esai/makalah, sebelum dikumpulkan pada dosennya. Dari sanalah saya mulai berkenalan dan menaruh ketertarikan pada serba-serbi Minangkabau. 

Dan beberapa bulan terakhir ini, setelah membaca buku-buku karangan orang Minang, ketertarikan itu berkembang sempurna, bak sakura di bulan April. Ya, saya ingin ke Sumatra Barat! Tahun ini! Bersama siapa? Naik apa? Gampanglah. Bismillah, pasti ada jalan!

Dari semua daerah di Sumatra Barat, yang paling ingin saya kunjungi adalah Bukittinggi. Kenapa? Karena ini adalah kotanya Bung Hatta, salah satu tokoh inspiratif saya. Apa saja yang ingin saya lakukan di Bukittinggi? Pertama-tama saya akan berkunjung ke tempat-tempat yang ada hubungannya dengan Bung Hatta seperti Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, Istana Bung Hatta dan Taman Monumen Bung Hatta. Lalu tempat-tempat bersejarah lainnya seperti Benteng Fort de Kock, Lobang Jepang dan Jam Gadang. Tak ketinggalan juga Ngarai Sianok. Di sela-sela mengunjungi tempat itu, saya ingin mampir ke tiga Sekolah Dasar yang letaknya di pinggiran kota. Di sana saya ingin mengajar dan berbagi semangat pada anak-anak barang sejam atau dua jam untuk masing-masing SD. 

Apakah cita-cita ini bisa terwujud? Ataukah sekedar utopia belaka? Dalam bukunya yang berjudul Pribadi Hebat, Buya Hamka pernah mengutip kata-kata Mark Twain, "Periharalah cita-citamu baik-baik! Karena jika cita-cita padam, samalah artinya dengan mati." Yosh, saya akan pelihara cita-cita saya ini, juga cita-cita yang lainnya! 

Jadi, siapa yang mau menemani saya ke Bukittinggi? :-D 


Sumber gambar : bukittinggiwisata.com

Rabu, 18 Maret 2015

Mau Menjadi Sepintar Naoki? Ayo Baca Buku!

Serial drama Love in Tokyo berlanjut ke season 2! Dan minggu ini episode teranyarnya sudah sampai episode 14! Naga-naganya drama ini masih akan panjang jika dibandingkan dengan drama Jepang lainnya yang hanya berkisar 10 episode. Tapi tidak apa-apa, saya akan tunggu kelanjutannya karena tidak akan sepanjang Cinta Fitri atau Tukang Bubur Naik Haji, hehe. (Salam dua jari ya!)

Karena merupakan drama yang diadaptasi dari komik, karakter dan jalan cerita Love in Tokyo sangat komikal (baca:imajinatif). Bahkan beberapa bagian cenderung berlebihan dan kurang masuk akal. Salah satu cotoh yang menurut saya berlebihan adalah peran Kotoko (tokoh utama wanita). Kotoko digambarkan sebagai wanita yang kurang pintar yang kemudian jatuh hati kepada Naoki (tokoh utama pria) yang notabene seorang pria tampan nan pintar serta menjadi idola banyak wanita. Saking sukanya pada Naoki, Kotoko melakukan banyak hal konyol untuk memikat hati Naoki.  

Saya sempat berfikir bahwa peran Kotoko tersebut merendahkan martabat wanita. Tapi, kenapa saya sangat suka menonton drama ini? Ke-ekspresif-an para pemainnya dan kelucuan adegannya-lah yang saya suka. Kedua hal ini memancing gelak tawa saya. Pernah saya bercerita pada salah seorang teman saya tentang kesukaan saya pada drama yang satu ini. "Kamu kok kayak ABG sih Dit, suka drama yang kayak gitu. Ingat umur!" Haha, tidak apa-apa, biar awet muda!

Sama seperti drama Jepang lainnya, Love in Tokyo juga membawa beberapa pesan tertentu. Salah satu pesan yang saya tangkap adalah tentang pentingnya membaca. Dalam kesehariannya, Naoki adalah seorang yang sangat cerdas dan gemar membaca. Di beberapa episode dimunculkan adegan Naoki tengah asyik membaca buku dan surat kabar berbahasa Inggris. Yuki, adik laki-laki Naoki yang juga seorang siswa prestatif di sekolah, di sela-sela waktunya juga diisi dengan membaca buku. Sementara itu, Kotoko adalah antitesis Naoki dan Yuki. Kotoko tidak sekali pun digambarkan tengah membaca buku dengan asyik. Yang ada justru sebaliknya. Kotoko selalu tampak "menderita" membaca text book sekolah/kuliah tiap kali mendekati waktu ujian. 

Drama ini seolah menyampaikan pesan, "Mau pintar seperti Naoki? Ayo baca buku!" Pesan ini mengingatkan saya pada Film Assalamu'alaikum Beijing. Film besutan sutradara Guntur Soeharjanto ini juga menyelipkan pesan "gemar membaca". Ara, tokoh utama dalam film ini adalah seorang perempuan muda yang pintar, gemar membaca dan berprofesi sebagai penulis. 

Menurut saya, "menyampaikan pesan" lewat sebuah karya seni, seperti film atau drama misalnya, adalah cara yang elegan, cenderung tidak menggurui dan mudah ditangkap oleh masyarakat luas. Pesan tersebut bahkan bisa mengubah mindset (pola pikir) dan menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dan apapun pesan yang disampaikan melalui sebuah karya, baik pesan positif atau negatif (dalam hal ini ukurannya bisa jadi variatif, entah berdasarkan agama, hukum atau norma lainnya) pasti akan tertangkap oleh penikmat karya walaupun kadang tidak 100% tertangkap. Maka, sudah seyogyanyalah para pembuat karya mengedepankan "pesan positif" dalam setiap karya mereka. Bukan begitu?

Selasa, 17 Maret 2015

School of Leadership

"Selesai penugasan Pengajar Muda, ada kelanjutannya? Langsung diangkat jadi PNS? Atau jadi gampang ketrima di perusahaan bagus ya?

Itulah yang sering orang-orang pertanyakan pada saya sejak saya masih berada di tempat tugas hingga saat ini, dua tahun setelah saya selesai bertugas menjadi Pengajar Muda. Ketika dihujani dengan pertanyaan semacam itu, saya biasanya tidak langsung menjawab. Saya justru kembali bertanya kepada si penanya, "dapat informasi itu dari mana?"

Seperti yang pernah saya ceritakan lewat tulisan-tulisan saya sebelumnya bahwa saya pertama kali mendengar informasi tentang Gerakan Indonesia Mengajar dari Mbak Rusel, teman saya di Komunitas Book For Mountain. Saat itu akhir tahun 2010, kami sedang dalam perjalanan ke shelter pengungsian letusan Merapi di Magelang untuk mengadakan kegiatan trauma healing pada anak-anak di pengungsian. "Kayaknya Mbak Dit cocok ikut Indonesia Mengajar deh", kata Mbak Rusel.

Dua bulan setelah itu, saya dengan penuh semangat menghadiri Open House Gerakan Indonesia Mengajar yang digelar di University Club, UGM. Di depan ratusan peserta yang hadir hari itu, Pak Anies Baswedan menguraikan dengan gamblang tentang seluk beluk gerakan yang beliau cetuskan itu. Saya pun menjadi semakin mantap setelah menyimak pemaparan beliau. Namun, saya terkendala satu hal, saya belum lulus. Ini kemudian melecut saya untuk segera menyelesaikan skripsi saya yang sudah dua semester berjalan namun belum selesai juga.

Bulan April 2011 pendaftaran Pengajar Muda angkatan III dibuka. Skripsi saya belum juga selesai. Namun saya nekat mendaftar. Saya buat semua esai yang diminta dan saya penuhi semua persyaratan, kecuali satu hal yaitu scan ijazah/surat tanda lulus. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya? Saya ditolak bahkan baru di tahap awal. Saya sempat kecewa namun setelah membaca surel penolakan dengan gaya bahasa yang sangat "membesarkan hati" dari Pak Anies, saya bertekad untuk mendaftar di angkatan selanjutnya.

Alhamdulillah Bulan Oktober 2011 saya menjalani sidang skripsi dan dinyatakan lulus. Sebulan kemudian saya wisuda. Tepat di bulan saya wisuda, dibukalah pendaftaran Pengajar Muda angkatan IV. Saya mendaftar dan mengikuti semua proses seleksinya dari seleksi dokumen dan esai, direct assesment dan terakhir medical check-up hingga dinyatakan sebagai bagian dari Keluarga Besar Indonesia Mengajar, alhamdulillah.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana setahun di Bima, tempat penugasan saya. Tapi saya perlu membahas satu pertanyaan yang cukup mengulik dan sering ditanyakan selama penugasan, "setahun di tempat pelosok sendirian gak galau ya?" "Galaunya gak ketulungan deh!", jawab saya. Bahkan, hal-hal sepele pun sering membuat galau. Hal-hal yang dulu sebelum menjadi PM tidak pernah memicu kegalauan, saat di penugasan ternyata bisa. Sulit diceritakan. Ini hanya bisa dimengerti oleh sesama PM. Bahkan orang tua, sahabat atau pacar sekalipun (bagi yang punya pacar) mungkin tidak akan mudah berempati ketika kami menceritakan kegalauan kami. Sudah galau, tak ada pula orang yang mengerti kegalauan ini. Galau kuadrat jadinya, haha! 

Namun, kondisi ini justru memperkuat hubangan antar teman-teman yang ditugaskan di kabupaten yang sama. Kami biasanya bertemu sebulan sekali di Kota Kabupaten untuk mengerjakan program kelompok dan tentu saja untuk saling curhat juga. Kesamaan nasib kami sebagai PM membuat hubungan kami menjadi sangat dekat, seperti keluarga sendiri, bahkan hingga saat ini. Inilah salah satu yang saya syukuri dengan menjadi Pengajar Muda.

Sepulang penugasan, kami kembali ke dunia masing-masing. Memulai segalanya dari nol lagi. Sempat saya minder dengan teman-teman seangkatan kuliah saya yang  rata-rata sudah bekerja di perusahaan bagus dengan penghasilan yang bagus pula. Sedangkan saya? Harus kembali menulis surat lamaran, memperbarui CV dan melayangkannya ke berbagai perusahaan. Mengikuti tes ke beberapa tempat, menunggu panggilan tahapan-tahapan tes dan menunggu hasilnya. Semua ini persis dengan apa yang dilakukan oleh para fresh graduated. Cukup melelahkan ternyata.

Pengalaman sebagai alumni PM apakah menjadi nilai tambah yang dilihat perusahaan? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi menurut saya, ini tidak terlalu berpengaruh karena dunia kerja lebih melihat kemampuan kita di bidang yang memang dibutuhkan perusahaan tersebut. Sebagai contoh, sebagai lulusan Sastra Jepang yang hendak bekerja sebagai interpreter, tentu perusahaan melihat kemampuan saya dalam berbahasa Jepang. Tidak ada hubungannya apakah saya seorang alumni Pengajar Muda atau bukan! Ini yang membuat saya harus ekstra keras belajar Bahasa Jepang lagi karena sudah banyak yang terlupa setelah setahun lebih tak terpakai. Walaupun sudah belajar dengan keras, nyatanya Bahasa Jepang saya hanya pas-pasan sampai-sampai seorang senior saya di kantor pernah berujar, "Dita ini kurang pengalaman ya!" Kalian tau betapa sakitnya mendengar itu? T_T

Ternyata tidak hanya saya yang harus tertatih meniti karir pasca penugasan sebagai PM. Banyak yang bernasib seperti saya. Diah misalnya, teman saya yang seorang alumni Kedokteran Hewan sempat gemetaran saat memegang hewan yang akan ia suntik. Selain itu, di klinik tempatnya bertugas, beberapa dokternya adalah teman seangkatan dan junior Diah saat  kuliah. Saat Diah pulang dari penugasan PM dan mulai bekerja di klinik tersebut, posisi Diah berubah menjadi junior yang belajar dari nol lagi.

Lalu, sepulang penugasan apakah kami akan diangkat jadi CPNS? Orang yang bertanya atau berkomentar macam ini pasti tidak tau proses seleksi CPNS!

Hampir semua alumni PM harus kembali berjuang dari nol untuk memulai karier, kecuali bagi yang pernah bekerja dan mendapat cuti setahun saat mengikuti Indonesia Mengajar. Namun tidak semua yang sudah bekerja pun mendapat izin cuti untuk menjadi PM. Mereka umumnya mengajukan resign sehingga ketika pulang dari penugasan sebagai PM, mereka harus melamar pekerjaan lagi, mulai dari awal.

Jika sepulang penugasan ada yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri, pihak yayasan Indonesia Mengajar memang membantu kami dengan menuliskan rekomendasi berdasarkan rekam jejak kami sebagai PM. Akan tetapi, ini juga tidak menjamin akan memudahkan untuk lolos seleksi beasiswa ke luar negeri. Ada komponen-komponen lain yang tak kalah penting selain surat rekomendasi seperti nilai ujian Bahasa Inggris, proposal penelitian, pencapaian prestasi selama S1, dst.

Karena setelah lulus kuliah saya langsung mendaftar sebagai PM, praktis setelah selesai penugasan saya memulai kehidupan saya dari awal lagi, dalam Bahasa Jawa istilahnya nul puthul (benar-benar nol). Namun, kata-kata Pak Anies selalu teringiang-ngiang di kepala saya, "It's not about me, but about them." Yaitu bahwa yang telah kami kerjakan sebagai PM adalah bukan tentang kami, tapi tentang mereka: anak-anak di pelosok negeri. Kami hadir dengan niat untuk membersamai mereka melangkah menuju masa depan yang lebih cerah. Inilah yang kemudian menguatkan kami (terutama saya) dalam menghadapi masa-masa setelah penugasan dan tak pernah sekalipun menyesal telah menjadi PM! Setahun yang kami berikan kepada anak-anak Indonesia bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan.

Kami, masing-masing PM, memang memberikan waktu setahun untuk mereka, namun kenyataannya justru kamilah yang mendapatkan yang jauh lebih banyak. Setahun itu adalah kesempatan kami untuk menempa diri dan melatih kepemimpinan. Bidang tugas kami yang meliputi 4 hal yaitu pembelajaran kurikuler, pembelajaran ekstrakurikuler, pembelajaran masyarakat dan advokasi pendidikan telah mengembangkan dimensi kepemimpinan kami.

Kata Pak Anies suatu ketika, "Indonesia Mengajar adalah School of Leadership bagi anak muda kita. Harapannya alumni PM akan menjadi pemimpin masa depan berkelas dunia (world class leader) namun mempunyai pemahaman yang baik terhadap masyarakat akar rumput (grass root understanding)."

Selain "disekolahkan" selama setahun, satu hal yang juga sangat kami syukuri  dengan menjadi PM adalah kesempatan berjejaring dengan berbagai pihak, istilah keren-nya adalah networking. "Orang bodoh sibuk mencari kerja sedangkan orang pintar lebih memilih menjalin networking", kata-kata yang saya peroleh dari buku Notes From Qatar-nya Muhammad Assad. Ternyata memang networking begitu penting. Mungkin tidak dalam waktu dekat berguna, tetapi beberapa tahun mendatang pasti ada gunanya.

Ah, menulis ini membuat saya teringat teman-teman saya se-tim di Bima, tempat tugas saya. Teh Nani, Teh Morin, Budi, Kokoh, Petra, Gilar, Slam, Faisal, minna genki? Semoga Allah selalu menyayangi dan melindungi kalian dimanapun kalian berada ya!



Senin, 16 Maret 2015

Betawi Steam Motor

"Kyou wa ii tenki da ne!"(Hari ini cuacanya bagus ya!), kata atasan saya setelah melihat langit yang biru sempurna. "Hai, sou desune", saya mengamini sambil membandingkan cuaca hari itu dengan cuaca beberapa hari sebelumnya yang hujan berturut-turut, matahari hampir sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. 

"Mumpung cerah, nanti nyuci motor ah", pikir saya. Maksudnya bukan nyuci sendiri ya, tapi menggunakan jasa pencuci motor, hehe.

Tersebutlah sebuah tempat cuci motor yang terletak di Jalan Meruya Utara, Jakarta Barat. Betawi Steam Motor (BTM) namanya. Pemiliknya seorang ibu muda berusia sekitar 35 tahun kalau saya tidak salah taksir. Ibu muda yang logat bicaranya kental dengan dialek Betawi ini, selalu ramah kepada para pelanggannya. Pada 3 orang anak muda pekerjanya, juga tampak demikian. 

Ketika pertama kali menggunakan jasa tempat cuci motor ini awalnya saya kaget dengan ongkos yang dikenakannya. Tahun lalu, saat tempat lain memasang tarif Rp 8000 untuk sekali cuci, tempat ini berani memasang Rp 10.000. Lalu, tahun ini, ketika tempat lain Rp 10.000, tempat ini menjadi Rp 12.000. Namun, jika dilihat dari kualitas hasil cuciannya, tempat inilah yang terbaik jika dibandingkan dengan tempat lainnya. Saya sempat memperhatikan proses pencucian motornya. Dari ketiga pekerjanya itu, cara dan urutan kerjanya sama persis. Mungkin ada SOP (Standard Operating Procedure) khusus yang diberlakukan oleh pemiliknya sehingga proses dan output kerjanya bisa sama. Pelayanan yang baik dan kualitas hasil cucian yang super inilah yang sepertinya membuat BTM tak pernah sepi pelanggan. Selisih harga Rp 2000 sepertinya tidak jadi soal bagi pelanggan. 

Sore itu, ketika saya datang, ada tiga motor sedang dalam proses pencucian dan tiga motor lainnya mengantri.  Awalnya agak malas mengantri, tapi akhirnya saya tetap memarkir motor di tempat antrian. Saya pun duduk di ruang tunggu yang berupa balai-balai bambu bersama para pelanggan lainnya yang semuanya bapak-bapak. Tampaknya mereka sama seperti saya, baru saja pulang dari tempat kerja.

Baru beberapa menit duduk, perut saya sudah bergetar-getar (baca: lapar :-p). Getaran itu seolah berlomba dengan getaran ponsel yang sedang saya pegang. Muka saya mulai rusuh menahan lapar. Berganti-ganti mata saya melihat ke arah layar ponsel dan motor saya untuk memastikan motor saya dicuci sesuai dengan urutan kedatangan. Maksudnya, agar pekerja tidak salah menentukan motor mana dulu yang harus dicuci berdasarkan urutan kedatangan. Apalagi, setelah saya datang, ada beberapa motor yang menyusul terparkir di tempat antrian.

"Yosh, habis ini motor saya", kata saya dalam hati sambil tersenyum tipis. Mata saya kemudian kembali ke layar ponsel. Tak beberapa lama kemudian, tertangkaplah oleh mata saya motor berwarna dasar hitam-hijau diposisikan di tempat pencucian. Sontak saya langsung bereaksi, "Loh mas, harusnya kan motor saya dulu!", sambil menunjuk ke arah motor saya dengan mata nanar. Saya yakin seharusnya motor saya yang lebih dulu dicuci. Lalu si mas tadi menjawab, "Kan ini dulu yang datang mbak." Saya pun tak mau kalah, "Motor itu tadi di sebelah mana?". Dijawabnyalah, "Tuh, pas di sebelah kiri-depan mbak", katanya sambil menunjuk sebelah kiri-depan tempat saya duduk. Cepat-cepat saya mengingat-ingat apa benar tadi ada motor di sini. "Ah iya ding, tadi kan aku mau duduk tapi kehalang motor ini", saya hanya membatin, tak berani mengatakannya. "Oh gitu ya", jawab saya dengan muka merah karena malu. Rasanya ingin muka ini saya surukkan ke suatu tempat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Tapi kemana? Saya benar-benar malu!

Untung saja bapak-bapak yang sama-sama mengantri itu diam saja melihat ulah saya. Tak tau bagaimana ekspresi wajah mereka, tapi yang jelas tak ada sepatah katapun mereka keluarkan. Tak sanggup saya menoleh ke arah mereka. Sisa waktu menunggu itu akhir saya habiskan dengan muka menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel. Ah terkadang memang seperti itulah manusia (baca:saya), gajah dipeluk mata tidak terlihat tapi justru kuman di seberang lautan yang terlihat. Nyata-nyata motor itu tadi ada di kiri-depan saya, lha kok tidak kelihatan. "Besok lagi, kalau mau berkomentar tentang sesuatu, pikir baik-baik dan lihat kondisi dengan teliti dulu! Jangan reaktif! Jangan gegabah!", ujar saya pada diri sendiri.  

Kejadian ini tampak sangat sederhana. Namun, ada pelajaran di sana. Rasanya benar sekali kata Pramudya Anantator dalam novelnya Rumah Kaca“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya." Semoga kita selalu bisa mengambil pelajaran dari yang sederhana-sederhana itu.






Sabtu, 14 Maret 2015

Ujian Cinta

"Judul macam apa itu? Enggak banget deh! Bikin mual aja!"

Haha.. Mungkin ada yang berkomentar seperti itu setelah membaca judul tulisan ini. Atau mungkin ada yang semacam ini komentarnya, "sehat Dit?", atau "lagi kasmaran ya?" Okelah, setiap orang boleh berkomentar apapun. Tapi tunggu dulu, apa sebenarnya yang mau saya tulis? (memperbaiki cara duduk dan lanjut mengetik).

Begini critanya. Pagi ini saya masih terngiang-ngiang dengan cerita serial drama Jepang yang tadi malam saya tonton. Saya suka sekali dengan hampir semua dialog yang ada dalam drama tersebut. Jika ada kata-kata yang saya anggap bagus, saya menirukannya berkali-kali. Ini membuat saya menyadari bahwa saya sangat mencintai Bahasa Jepang.

Dulu, ketika masih kuliah, sering orang bertanya pada saya, "Kenapa memilih jurusan Bahasa Jepang?" Dan saya pun menjawab, "ya karena suka aja." Karena saya memang suka. Di telinga saya, bunyi Bahasa Jepang terdengar bersemangat. Artinya, mendengarkan saja saat Bahasa Jepang diucapkan (oleh orang Jepang) tanpa tau artinya pun, saya menangkap kesan semangat itu. Pun sebaliknya, saat suasana pembicaraan sedang sedih (terlihat dalam drama misalnya), kata-kata Bahasa Jepang terasa "dalam", menyentuh hati. Itu yang saya suka.

Beberapa semester awal, saya sangat menikmati belajar Bahasa Jepang. Namun, lama-lama saya mulai kesulitan terutama dalam menghafal huruf kanji. Kanji yang saya pelajari dan hafalkan sulit sekali masuk dalam long-term memory saya. Misal bulan ini sudah menghafal 50 kanji, bulan depan tambah 50 lagi, maka 50 yang awal itu terbang satu-persatu (baca:lupa ;-p). Lalu saya ulang lagi dari awal. Sudah ingat, tambah menghafal yang baru, yang lama lupa lagi. Begitu terus-menerus. Jatuh bangun saya belajar kanji. Ibarat yang berjuang adalah kaki, mungkin sudah penuh kaki saya ini dengan bekas luka akibat jatuh berkali-kali. (lebay :-p).

Bagi mahasiswa jurusan Bahasa Jepang, belajar kanji itu hukumnya fardhu 'ain. Ya iyalah, lha wong semua mata kuliah seperti tata bahasa, membaca, menulis, berbicara, semua materinya pakai huruf kanji. Kalau tidak menguasai banyak kanji, gimana bisa membaca soal ujian? Kalau soalnya saja tidak bisa membaca, gimana bisa menjawab? Nyaris putus asa saya, Ich bin verzweifelt! (Lah, malah ingat Bahasa Jerman. Hahaa)

Walaupun susahnya minta ampun, akhirnya saya lulus November 2011. FYI, saya lulusan tercepat di angkatan saya lho (se-jurusan maksudnya, bukan se-fakultas ya! hihii). Alhmadulillah lulus walaupun dengan nilai yang membuat alis sedikit mengerut karena tak melampui target. Tapi ya sudahlah, tak apa. Syukur sudah lulus.

Setelah lulus, saya sebenarnya diterima kerja di sebuah perusahaan manufaktur di Batam, sebagai penerjemah. Ini membuat hati saya bergolak. Siapkah saya kembali berhadapan dengan Bahasa Jepang? Bayangan ribuan huruf kanji tiba-tiba berputar ligat di sekitar kepala saya.

Sejak akhir tahun 2010 sebenarnya saya sudah berencana mendaftar menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar. Setahun kemudian, saat hari kelulusan tiba, pikiran saya rasanya seperti diaduk-aduk. Tetap mau mendaftar sebagai PM atau bekerja di sektor industri. Kalau menjadi PM, apa saya siap "dibuang sendirian" ke daerah pelosok? Ah, ternyata kehidupan pasca wisada itu lebih menantang ya?

Setelah melalui proses berfikir yang panjang, maka, atas nama cinta tanah air (lebay :-p), saya memilih menjadi PM dengan hati mantap. Saya menjalani proses rekrutmen selama 6 bulan bersama 8500 orang lainnya. Alhamdulillah saya lolos di semua tahap seleksi dan mendapat tiket untuk melenggang ke Jakarta, camp pelatihan (macam ikut audisi Indonesian Idol, haha). Setelah menjalani pelatihan selama 2 bulan, saya dan 70 teman lainnya diberangkatkan ke lokasi tugas masing-masing selama setahun.

Setahun berlalu secepat laju kereta Argo Bromo (apasih? haha). Apa yang harus saya lakukan setelah ini? Saya ingin kembali ke Bahasa Jepang. Setelah menunggu beberapa lama dan sempat bekerja di sektor selain Bahasa Jepang, masuklah saya bekerja di kantor yang sekarang, sebagai interpreter (penerjemah) . Saya girang bukan kepalang karena akhirnya saya bertemu kembali dengan yang saya cintai, Bahasa Jepang. :-)

Karena sudah lama tak digunakan, Bahasa Jepang saya seperti terpreteli satu per satu. Maka, saya pun kembali sungguh-sungguh belajar Bahasa Jepang. Dan ujian cinta pun kembali datang, bak hujan di bulan Februari, kadang turun begitu deras, kadang gerimis tipis namun lama.  

Dan ternyata benar kata teman-teman saya, menjadi interpreter Bahasa Jepang itu susyaaaah. Tiap kali harus menerjemahkan rapat, tangan terasa dingin dan lemas. Telinga harus terpasang maksimal untuk mendengar setiap pembicaraan orang yang akan diterjemahkan. Otak harus berfikir cepat mengkonversi rentetan kata-kata, dari Indonesia ke Jepang dan sebaliknya. Ibarat google translate lah. Tapi nyatanya, ini lebih rumit dari pada apa yang dilakukan oleh google translate. Mesin penerjemahan tersebut hanya dirancang untuk menerjemahkan perkata, tidak untuk menerjemahkan "maksud" dan "nuansa". Sedangkan apa yang dilakukan oleh seorang interpreter (penerjemah lisan) mencakup semua itu. Pertama-tama kami harus memahami kata-kata yang diungkapkan oleh si pembicara. Kemudian, otak menghubungkannya dengan berbagai informasi yang terkait dengan tema pembicaraan (misal sedang menerjemahkan divisi marketing, interpreter harus mengetahui informasi dan keadaan divisi tersebut). Jika "maksud" sudah ditangkap, baru bisa diterjemahkan dengan tepat.

Di bulan-bulan awal menjadi interpreter, setiap pagi saya selalu cemas sehingga membuat saya menggumamkan doa-doa sepanjang perjalanan ke kantor. Ketika akan menerjemahkan meeting, doa favorit saya adalah doa nabi Musa, Robis shrohli shodri wa ya shirli amri wah lul uqdatam mil lissani yah khohu khouli“ (Ya Tuhanku lapangkanlah dadaku, dan lancarkanlah lidahku serta mudahkanlah urusanku.) Bahkan, sekarang, setelah setahun lebih saya menjadi interpreter, doa itu masih terus saya rapal sebelum menerjemahkan rapat. Telapak tangan kadang masih terasa dingin karena gugup. Tapi sudah berkuranglah, dibandingkan dengan bulan-bulan awal dulu. 

Terlepas dari semua kesulitan menjadi interpreter, saya menikmati semua itu. Ya, karena saya suka pada Bahasa Jepang. Rasanya senang setiap mengobrol dengan atasan menggunakan Bahasa Jepang. (Saat mengobrol santai ya! Bukan saat rapat! haha)

Mungkin seperti itulah perjalanan cinta (baca: cinta yang universal). Seberapa besar cinta kita pada sesuatu, atau seseorang, selalu saja ada ujiannya. Jadi, jika kita siap mencintai, kita juga harus siap diuji ya! Hehe.


                                                                                                                     ***
Beberapa lama lagi saya akan pindah kerja di kantor pemerintahan yang menangani urusan sosial. Di sana mungkin Bahasa Jepang saya tidak akan terpakai. Sedikit berat, tapi tidak apa-apa karena saya pun sangat mencintai pekerjaan yang ada hubungannya dengan sosial. Minggu lalu, saat saya memberitahukan ini pada atasan saya, beliau berkata, "Wah sayang sekali Bahasa Jepang Dita yang sudah bagus itu tidak dipakai lagi." Saya tersandung, eh bukan ding, maksudnya tersanjung maksudnya, karena kemampuan Bahasa Jepang saya dipuji. Lalu saya menjawab, "nanti setiap akhir pekan saya akan mengajar Bahasa Indonesia pada orang Jepang. Jadi saya tetap bisa memakai Bahasa Jepang. Karena saya suka Bahasa Jepang". "Oh, kalau begitu, Dita menikah saja dengan orang Jepang", atasan saya menimpali dengan nada bercanda. Haha.



Jumat, 13 Maret 2015

Tentang Menulis

Beberapa teman berkomentar pada saya, "akhir-akhir ini rajin banget nulis, Dit!" Saya biasanya langsung merespon, "Mumpung masih single dan gak ada kegiatan selain ngantor, hehe." Itu jawaban spontan saya yang kalau dipikir-pikir lagi ada benarnya tapi ya tidak sepenuhnya benar. Ada banyak alasan mengapa saya kemudian menjadi lebih sering menulis.

Saya sebenarnya sudah sejak tahun tahun 2011 menulis di blog. Namun, tulisan saya kebanyakan bernada galau. Blog adalah media saya untuk meracau, curhat dan menumpahkan isi hati. Alhasil, tulisan yang saya post di blog pun banyak yang menguarkan perasaan negatif bagi pembacanya. Capek, ditulis di blog. Marah, ditulis juga. Sakit hati, apalagi. Lagi galau, tak mungkin tak ditulis. Intinya, sebagian besar tulisan saya berisi ungkapan perasaan yang tidak mengenakkan. Dan karena hanya berisi hal-hal seperti itu, saya tidak pernah membagi tulisan saya ke media sosial macam Facebook atau Twitter.


Time goes by dan tulisan saya masih macam itu-itu saja.  

Pertengahan tahun lalu (2014), saya menonton serial drama Jepang berjudul 1 Litre of Tear untuk ke sekian kalinya. Ada yang tau drama itu? Pasti banyak yang tau karena drama tersebut sangat terkenal di Indonesia ketika saya SMP. Drama yang di Indonesia pernah dibuat versi kloning-nya tersebut diambil dari kisah nyata seorang anak perempuan Jepang yang menderita penyakit langka yang membuat syaraf geraknya perlahan berhenti berfungsi hingga akhirnya lumpuh total.


Dalam sebuah adegannya, Aya, tokoh utama penderita penyakit langka tersebut mengeluh kepada ibunya tentang penyakitnya. "Kenapa penyakit ini memilihku? Dengan tubuh yang semakin lama semakin tidak bisa digerakkan seperti ini, apa aku bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain? Yakuni tachitai yo! Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak! Begitulah keinginan Aya.


Lalu sang Ibu menunjukkan buku-buku harian Aya yang ditulis sejak Aya remaja. Ibunya menjelaskan bahwa Aya memang tidak bisa melakukan banyak hal, tapi buku harian Aya sudah dibaca dan memotivasi banyak orang. Itu artinya hidup Aya sudah berguna untuk banyak orang.


Tiba-tiba saya teringat dengan tulisan-tulisan saya di blog. Alih-alih memotivasi orang, isi blog saya justru memperkeruh hati setiap orang yang membacanya. Ah, malu sekali saya!


Sejak itu saya kemudian menghapus tulisan-tulisan saya yang banyak berisi curhatan perasaan pedih perih itu. Saya bertekad sejak saat itu saya mau menulis dengan baik dan sebisa mungkin bermanfaat untuk orang lain. Atau setidaknya bisa bermanfaat untuk diri saya sendiri jika suatu saat saya baca kembali.


Saya jalan-jalan ke blog teman-teman saya dan blog yang tertaut dengan blog teman-teman saya. Saya baca baik-baik blog mereka dan mulai belajar menulis dengan kaidah yang benar, baik secara tata bahasa maupun secara content. Sebagaimana ungkapan “man saara ala darbi washala” (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan), saya pun sepertinya menemukan jalan untuk mencapai keinginan saya. Dari kegiatan blog walking tersebut saya menemukan banyak sekali motivasi untuk menulis. Dari blog Kak Hety misalnya, saya membaca satu kutipan yang ia nukil dari Pramudya Ananta Tour, "Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, sambunglah dengan tulisan...". Lalu, dari blog Bang Fahd Pahdepie, "Selalu ada kisah hidup luar biasa yang ceritanya belum pernah dituliskan pengarang manapun, belum pernah difilmkan oleh produser dan sutradara manapun. Mungkin itu adalah kisah hidupmu sendiri."


Membaca quote dari bang Fahd tersebut, terbit semangat untuk menulis hal-hal yang saya temui dan alami dalam kehidupan sehari-hari yang mana telah membuat saya belajar dan terinspirasi. Saya juga menjadi bersemangat untuk menuliskan kisah orang-orang di sekitar saya yang sudah menginspirasi saya. Sayang sekali jika kisah-kisah hebat mereka tidak diabadikan dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca oleh banyak orang.


Beberapa lama berselang, ada beberapa alumni Pengajar Muda yang mempunyai ide untuk membuat grup belajar menulis. Saya pun cepat-cepat bergabung. Dari sana saya mendapat banyak ilmu tentang kepenulisan. Lalu, tak lama setelah itu, saya saksikan tayangan talkshow di salah satu TV swasta yang saat itu mengundang Asma Nadia sebagai narasumbernya. Di akhir acara, penulis yang sudah menulis puluhan buku best seller dan beberapa darinya sudah diangkat ke layar lebar ini menegaskan tentang motivasi beliau dalam menulis. "Saya menulis untuk berbagi, sebagai kado buat umat."


Innamal a'malu binniat wa innama likulliriin ma nawa... (Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai dengan niat dan segala perkara itu tergantung apa yang diniatkan...). Begitulah isi potongan hadist arbain yang pertama. Lalu, niat apa yang saya genggam dalam menulis? Bismillah, saya menulis dengan niat untuk berbagi motivasi, inspirasi dan semoga bisa menjadi amal jariyah saya di akhirat nanti. Maka, jika suatu saat nanti tulisan saya sudah mulai keluar dari niat, mohon pembaca mengingatkan saya ya! :-)

Saat ini saya memang masih punya banyak waktu luang sehingga bisa menulis dengan cukup aktif. Nanti, ketika saya sudah berkeluarga, mungkin waktu luang saya akan berkurang karena kesibukan saya bertambah dengan mengurus rumah tangga. Walaupun begitu, saya tetap ingin menyempatkan waktu untuk menulis. Semoga istiqomah ya!



Kamis, 12 Maret 2015

Kara

Akhir-akhir ini saya sedang sangat suka melihat acara televisi Jepang berjudul Sanma No Manma. Acara talkshow yang dipandu oleh Sanma Akashiya, yang tak lain adalah seorang komedian ini, selalu menghadirkan aktris, aktor dan penyanyi Jepang. Saya menyukai acara ini karena tema yang dikupas selalu ringan namun menarik (baca: lucu) sehingga sering membuat saya terpingkal-pingkal sendiri.

Tayangan terakhir Sanma No Manma yang saya tonton dan cukup membuat saya mengernyitkan dahi adalah episode dengan bintang tamu Kara, girl band asal Korea. Tidak biasanya Sanma No Manma mengundang selebritis luar Jepang, begitu yang saya batin. 

Kara sejak beberapa tahun yang lalu mengadakan ekspansi pasar musiknya ke Jepang. Mereka meluncurkan beberapa lagu berbahasa Jepang yang kemudian laku keras di negeri matahari terbit itu. Di Jepang, selain lagu-lagunya yang laku keras, Kara juga pernah mendapatkan penghargaan musik bergengsi semacam Oricon dan beberapa penghargaan lainnya.

Saat hadir dalam talkshow Sanma No Manma itu, semua anggota Kara sangat lancar berbicara dalam Bahasa Jepang ternyata. Saya dengarkan baik-baik isi talkshow yang sepenuhnya berlangsung dengan Bahasa Jepang itu dan saya dapatkan fakta bahwa gadis-gadis cantik asal Korea tersebut memang sudah menguasai Bahasa Jepang dengan sangat fasih. Bahkan, mereka bisa menangkap sense of humor orang Jepang. Orang yang tak benar-benar belajar Bahasa Jepang tak mungkin bisa mengerti ini. 

Kesuksesan Kara di Jepang tak lepas dari kerja keras pihak management-nya yang mempersiapkan personil Kara dengan sangat baik sebelum melebarkan sayap mereka ke luar negeri. Selain pandai menyanyi dan menari, personil Kara harus mahir berbahasa Jepang untuk memuluskan ekspansinya ke Jepang. Fenomena semacam ini rasanya belum banyak atau bahkan belum ada di industri hiburan negara lain.

Seperti yang kita ketahui bahwa sejak tahun 2000an industri hiburan Korea mengalami perkembangan yang cukup mencengangkan. Drama dan musik Korea atau yang lebih dikenal dengan istilah K-Pop, mulai digandrungi oleh anak muda dari berbagai belahan dunia. Ini tak lain karena peran pemerintah Korea yang memberikan perhatian penuh pada industri yang digadang-gadang bisa meraup devisa sebanyak-banyaknya itu.

Pekerja dunia hiburan dipersiapkan sedemikian rupa sehingga jadilah mereka aktris atau aktor yang serba bisa dan pantas menjadi idola baik di dalam negeri mereka maupun luar negeri. Secara fisik mereka juga mendapat perawatan dan pelatihan khusus dengan standar yang mumpuni. Setiap latar yang akan dijadikan lokasi syuting film, drama atau video klip dipersiapkan khusus sehingga bisa menarik wisatawan asing untuk mengunjungi tempat itu. Sebagai contoh, Nami Island, lokasi pengambilan gambar drama berjudul Winter Sonata, drama yang pernah meledak di berbagai negara beberapa tahun lalu itu, kini menjadi destinasi wisata favorit bagi turis asing.

Itulah kisah sukses pemerintah Korea mengelola dunia hiburan untuk memperkaya negara mereka. Jika apa yang dilakukan oleh pemerintah Korea ini diwakili dengan sebuah peribahasa, maka "sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui" adalah peribahasa yang pas. Industri pariwisata ikut berkembang seiring dengan dikembangkannya industri hiburan. Lalu, bagaimana dengan dunia hiburan di negara kita?

*Melihat daftar film lokal yang masih didominasi film bertema pocong dan roman picisan, saya jadi ingat meme yang sedang booming saat ini: "Di situ kadang saya merasa sedih!"

Tambora, Dua Tahun Lalu

Waktu itu hari sudah gelap, kami tiba di Pos 3 dalam perjalanan turun setelah menakhlukkan puncak Tambora. Di pos ini kami ber-14 menghabiskan sisa bekal kami, beberapa lembar roti tawar dan selai strawberry. Saat itu kami sengaja tidak sholat maghrib karena kami yakin tidak sampai jam 10.00 malam kami pasti sudah sampai di dusun Tambora dan berencana menjamak sholat maghrib dan isya' di sana.

Setelah mengganjal perut, perjalanan kami lanjutkan. Tak sampai 2 jam, kami tiba di Pos 2 dan hanya beristirahat sebentar. Di pos itu rombongan kami sudah mulai terpisah. Teman-teman yang masih energik, berjalan lebih dahulu. Saya dan 3 orang lainnya yaitu Teh Nani, Faisal dan Kokoh menjadi rombongan terakhir. Saat itu, saya dan teh nani sudah mulai berjalan dengan terseyok. Bahkan kami sampai memakai tongkat. Ketika harus melompati pohon besar yang tumbang dan menutupi jalan setapak yang kami lewati, rasa-rasanya hampir tidak kuat. Sudah campur-campurlah rasanya. Mata sepet karena hampir 24 jam tidak tidur sama sekali, urat betis pegal luar biasa, sekujur kulit kaki rasanya perih penuh lecet akibat beradu dengan bebatuan dan jarum-jarum halus daun Meladi. Semua itu  menghasilkan kombinasi rasa yang seumur-umur baru pertama kali saya alami saat itu. Gak ketulungan deh rasanya.

Karena berjalan sangat lambat dan banyak duduk beristirahat, kami baru tiba di pos 1 sekitar jam 11.00 malam. Dusun Tambora sudah dekat. Dari Pos 1 ke Pos 0 kami hanya melewati sedikit bagian hutan, selebihnya adalah perkebunan kopi. Hati kami mulai tenang saat sudah memasuki area yang mulai renggang susunan pepohonan besarnya karena sudah banyak yang ditebang dan ditanami kopi di sela-selanya.

Setelah berjalan beberapa lama, kebun kopi yang kami lewati sepertinya tidak ada habis-habisnya. Dan anehnya, kami merasa sudah melewati jalan itu beberapa waktu sebelumnya. Kami rasanya hanya berputar-putar di sana saja. "Lah, itu kan pohon yang kita lewati tadi", celetuk saya sambil menunjuk pohon besar di sisi depan kiri kami. Semua pun merasakan hal yang sama namun mereka berusaha menangkis, "Iya sih, tapi bukan ah!"

Keadaan semakin terasa mencekam saat kami tiba-tiba mengendus bebauan aneh. Tapi Faisal kemudian menyangkal, "Itu bau bunga kopi. Tenang aja!". Oh, gitu ya? Tapi bau kopi masa' seharum itu?, saya membatin, bulu kuduk mulai berdiri. Tak berani saya menimpali aneh-aneh karena takut membuat suasana semakin mencekam.

Kami terus berjalan, namun belum juga kami melihat tanda-tanda adanya jalan besar ujung kebun kopi. Apakah kami tersesat? Paniklah kami. Tak ada sinyal telepon di sana. Jadi tak bisalah kami berkomunikasi dengan rombongan awal atau orang tua angkat Faisal di dusun Tambora. Faisal mulai berteriak memanggil teman-teman rombongan awal dan Bapak angkatnya yang ia yakin pasti menjemput kami di jalan besar. Tak ada jawaban! Kami arahkan senter ke atas membentuk sinyal SOS, siapa tahu ada yang melihat. Tapi nyatanya tak ada!

Dalam keadaan hati yang bergumul dengan ketakukan dan kecemasan, kami terus merapal doa-doa sembari berjalan semampu kami. Akhirnya, jam 01.00 kami sangkil juga di Dusan Tambora dengan selamat sentosa. Syukur beribu kali syukur. Dan barulah kami tahu bahwa rombongan awal sudah tiba di dusun Tambora 2 jam sebelum kami. Kenapa mereka bisa sampai 2 jam lebih awal dari kami ya? Ah sudahlah, yang penting kami seluruh rombongan sudah kembali dengan lengkap dan selamat.

Kini, 2 tahun setelah peristiwa itu berlalu, saya masih ingat benar setiap detailnya, termasuk perasaan yang menyertainya. Tapi tentu saja, setelah berlalu, se-menegangkan apapun sebuah peristiwa, kita pasti akan mengingatnya sambil terkikik-kikik. Padahal dulu, saat mengalaminya, rasanya mungkin seperti antara hidup dan mati. (Emang pernah merasakan mati? Kok tau rasanya antara hidup dan mati?) Hihi.

Pun dalam waktu dan peristiwa lain. Se-menyakitkan atau seberat apapun, pasti semua itu akan berlalu. Dan syukurnya, kita bisa mengenang semua itu dengan tersenyum lebar karena berhasil melewati yang berat dan menyakitkan itu. Jadi, jika saat ini kita sedang dihadapkan dengan peristiwa semacam itu, percayalah, bahwa setelah satu kesulitan, ada dua kemudahan. Itu janji Allah. Dan janji Allah tak mungkin tidak ditepati.

Senin, 09 Maret 2015

Cermin

Pagi yang hampir selalu sama. Jutaan warga ibukota bangun pagi, bersiap-siap mengusahakan rezeki. Macam-macamlah yang dikerjakannya. Tak lama bersiap, berduyunlah mereka ke jalan dengan cara masing-masing.  Dan tentu saja dengan membawa perasaan yang lain-lain pula. 

Sambil melewati 17 km jarak menuju tempat kerja, saya mengamati aneka rupa para tokoh cerita pagi hari yang berlatar di jalanan itu. Larutlah saya dalam emosi yang bercampur-campur. Saat berpapasan dengan penjual air keliling misalnya. Maka otak saya pun selalu berimajinasi dengan sejumlah pertanyaan. Harga jual 1 jirigen air hanya Rp 2000, setiap gerobak ia hanya bisa memuat 10 atau 12 jirigen, berapa keuntungan yang ia dapatkan? Dalam sehari berapa jirigen yang berhasil ia jual? Apakah anak-anaknya bisa hidup cukup dengan penghasilan tersebut? Rumahnya dimana dan seperti apa? Dan imajinasi tentang penjual air itupun baru akan diakhirkan setelah ada tokoh lain yang menarik perhatian saya.

Lagi-lagi, saya selalu lebih tertarik memperhatikan tokoh-tokoh yang tampak berjuang sangat keras menyambung hidup. Pasukan penyapu jalan misalnya. Sebelum jam 07.00 pagi, hampir semua ruas jalan raya yang saya lewati sudah bersih, semua sampah sudah disapu bersih oleh pasukan berseragam oranye itu. Jam berapa mereka mulai menyapu jalan? Apakah mereka sudah sarapan sebelum mulai bekerja? Apakah mereka tidak terganggu dengan debu jalanan yang beterbangan di sekitar ayunan sapunya? Berapa kilometer luas jalanan yang mereka bersihkan setiap harinya?  

Tiap kali membayangkan pertanyaan yang berupa-rupa itu, sesungguhnya saya sedang diberikan kesempatan untuk sejenak menekur dan mengambil hikmah. Jika saya mengeluh karena setiap hari harus pergi bekerja pagi-pagi dan pulang petang, maka di luar sana banyak orang yang harus bangun dan berangkat lebih pagi, bahkan sebelum terbit fajar. Jika saya sedang dengan kecut membandingkan penghasilan saya dengan teman-teman yang berpenghasilan di atas saya, maka di luar sana ada yang kesulitan untuk sekedar mencari makan. Jika saya lelah dengan pekerjaan saya, maka sekali lagi diluar sana ada ribuan atau bahkan jutaan orang harus rela kulitnya menghitam legam dan mandi keringat hanya sekedar untuk mengumpulkan keuntungan berupa mata uang lembaran yang umumnya sudah sangat lusuh. 

Dan saat menulis ini, terbayang dalam benak saya tokoh-tokoh jalanan lainnya. Bapak tuna-netra penjual kerupuk, kakek penjual buah, bapak penjual tisu, supir kopaja dan metromini, ibu-ibu penjual nasi uduk, polisi cepek pengatur jalan, para tukang ojek, buruh pabrik, semua sedang sama-sama bekerja keras. Jadi, apakah kita --yang sepertinya setingkat lebih beruntung ini-- pantas untuk mengeluh dan enggan bekerja keras? Sungguh, dari mereka kita bisa bercermin dan mengambil pelajaran. 

                                                                                                         ***
Pesan : Yuk kita sisihkan sebagian rupiah kita untuk membeli apa yang mereka jajakan! Entah sebungkus tisu, seikat rambutan atau sebotol air mineral. Setidaknya, itu adalah penghargaan kita terhadap usaha mereka yang bekerja keras dan tidak menjadi peminta-minta. 

Minggu, 08 Maret 2015

Menunggu

Di Arion Mall, setelah menunggu 45 menit.

Rida   : Maaf ya Dit, membuatmu menunggu lagi.
Saya   : Iya, gak apa-apa. (menjawab sambil tersenyum tawar)
Rida   : Mungkin, selama hampir 26 tahun kamu hidup, 2 tahunnya habis buat menunggu ya Dit? (berusaha melucu)
Saya   : Mungkin lebih. Menunggu ini, menunggu itu.... (menjelaskan ingatan-ingatan tentang kegiatan yang bertema "menunggu")
Rida   : Termasuk menunggu jodoh ya Dit?
Saya   : ............ (senyap sejenak, bingung mau berekspresi apa)

Waktu pun berlanjut. Beberapa tempat disinggahi. Beberapa teman ditemui. Ada yang menunggu, ada yang ditunggu. Dan setelah seharian mempraktikkan langsung penggunaan kata "menunggu", saat berada di dalam lift hendak turun ke lantai 1 FX Sudirman, kami menjumpai kerumunan pria-pria muda yang sedang menunggu dibukanya pintu teater JKT48. Dalam hati saya membatin, "wow!" sambil memencet tombol lantai 5 agar lift kembali naik sehingga kami bisa sekali lagi menyaksikan fenomena yang "wow" itu. 

Kesimpulan: sepertinya semua orang di dunia ini menggunakan sepersekian waktu hidupnya untuk menunggu. 

Sabtu, 07 Maret 2015

Lihatlah Lebih Dekat

Hatiku sedih, hatiku gundah, tak ingin pergi berpisah
Hatiku bertanya, hatiku curiga,
Mungkinkah ku temui kebahagiaan seperti di sini

Sahabat yang slalu ada dalam suka dan duka 
Sahabat yang slalu ada dalam suka dan duka

Tempat yang nyaman, kala ku terjaga dalam tidurku yang lelap
Pergilah sedih, pergilah resah, jauhkanlah aku dari salah prasangka
Pergilah gundah, jauhkan resah
Lihat segalanya lebih dekat 
Dan ku bisa menilai lebih biijaksana

Mengapa bintang bersinar
Mengapa air mengalir
Mengapa dunia berputar
Lihat segalanya lebih dekat
Dan kau akan mengerti

(Lagu Lihatlah Lebih Dekat: Sherina)

Lagu ini adalah salah satu lagu tema dalam Film Petualangan Sherina. Selain lagu ini, ada beberapa judul lagi seperti Kembali ke Sekolah, Jagoan, Persahabatan, Keliling Dunia dan Bermain Musik. Saya menyukai semua lagu tersebut karena nadanya yang enak didengar dan liriknya yang berisi nasihat yang positif.

Betapa beruntungnya saya lahir di dekade 90'an, dekade yang mana anak-anak masih dimanjakan dengan lagu-lagu anak yang berkualitas. Selain lagu-lagu Sherina, adapula lagu-lagu Chikita Meidy, Trio Kwek-Kwek, Eno Lerian, Dhea Ananda dll. Sedangkan hari ini, adakah lagu-lagu semacam itu? Tidak ada! Jadilah anak-anak zaman sekarang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang liriknya tentu saja tidak sesuai dengan umur anak-anak. Miris!

Tunggu, kenapa saya menjadi mengkritisi lagu anak ya? Awalnya saya hanya akan membahas tentang lagu Sherina, Lihatlah Lebih Dekat tadi. Baiklah, saya kembali ke tema awal, heheee..

Lagu Lihatlah Lebih Dekat adalah "lagu tema" setiap saya mau pindahan, entah pindah kerja atau pindah kos. Intinya pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tentu saja senang akan pindah ke tempat baru. Namun, tetap saja berat rasanya untuk meninggalkan tempat yang lama. Teman-teman yang sudah akrab, tempat yang sudah nyaman, makanan yang sudah pas di lidah, semua itu yang berat untuk ditinggalkan. Di sisi lain, walaupun tempat baru menjanjikan harapan baru, tetap saja ia menyiratkan kekhawatiran dan ketakutan. Seperti kata Sherina, "Mungkinkah ku temui kebahagiaan seperti di sini?"

Bagaimana kalau nanti kesulitan mendapatkan teman yang sehati? Bagaimana kalau nanti tempatnya tidak aman? Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu? Dan sederet pertanyaan yang menggerus nyali. Tapi sepertinya kekhawatiran semacam ini wajar. Hampir semua orang mengalaminya. Saat sedang dihampiri oleh perasaan seperti ini biasanya saya sengaja memutar lagu Lihatlah Lebih Dekat yang dipopulerkan oleh Sherina ini. "Pergilah sedih, pergilah resah, jauhkanlah aku dari salah prasangka. Pergilah gundah, jauhkan resah. Lihat segalanya lebih dekat. Dan ku bisa menilai lebih biijaksana". Saya resapi baik-baik penggalanan lirik tersebut untuk mengusir prasangka. Saya juga membaca ulang nasihat Imam Syafi'ini yang satu ini,

Merantaulah.. 
Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang.. 

Merantaulah..
Kau kan dapati pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan.. 
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup kan terasa setelah lelah berjuang..

Aku melihat air menjadi kotor karena diam tertahan..
Jika mengalir, ia kan jernih.. 
Jika diam, ia kan keruh menggenang..

Singa jika tak tinggalkan sarang, tak kan mendapatkan makanan..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak kan mengenai sasaran..

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam..
Tentu manusia kan bosan, dan enggan untuk memandang..

Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah..
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan.. 
Jika bijih emas memisahkan diri, barulah ia menjadi emas murni yang dihargai..
Jika kayu gaharu keluar dari hutan, ia kan menjadi parfum yang bernilai tinggi..

Dalam hati saya merapal Basmallah, bersiap untuk mengulur tali-tali menuju masa depan. 

Kamis, 05 Maret 2015

Tas Misterius

Sebuah kegaduhan terjadi di kontrakan kami, El-Zahra E16 pada suatu hari, lima tahun lalu. Tami, salah satu warga kontrakan berpenghuni delapan orang muslimah asli Klaten ini, menemukan sebuah tas kecil berwarna hitam berlogo salah satu kementrian. Tas tersebut tergantung di dinding kamarnya. 

Tami menanyai semua penghuni kontrakan kami ini satu persatu. Tapi, tak seorang pun merasa memiliki tas yang tak berisi selembar kertas pun itu. Aneh, benar-benar misterius.

Setelah mendapat persetujuan kami bertujuh, tas tersebut untuk sementara waktu akan menjadi hak Tami. Jika suatu saat ada teman dari kami yang mengklaim bahwa itu adalah tasnya yang tertinggal, maka akan diberikan kepada yang bersangkutan. Maka, terkembang mekarlah hati Tami mendapatkan hak pakai atas tas tersebut, macam baru saja memenangkan sengketa Pemilu di MK saja air mukanya. (Ini perumpamaan yang berlebihan, haha). Sejak itu, Tami selalu dengan bangga menyandang tas mungil itu kemana pun ia pergi.

Beberapa bulan terlewati. Kakak ke-2 Tami yang tinggal di Tangerang melahirkan anak pertama. Tami didaulat oleh orang tuanya untuk menengok keponakan yang baru lahir itu dan membawakan aneka makanan dan keperluan lain. Kebetulan saat itu saya berencana pergi ke Perpusnas di Jakarta untuk mencari referensi skripsi saya. Maka, kami kemudian bersepakat untuk melakukan simbiosis mutualisme. Saya menemani Tami pergi ke Tangerang sambil membawakan berkardus-kardus oleh-oleh. Di sisi lain, Tami akan menemani saya bertandang ke Perpusnas di Salemba.

Berangkatlah kami ke Barat mencari kitab suci, eh bukan ding, menunaikan misi maksudnya, hehe. Misi Tami tertunai di awal. Barulah kami, dua anak bertampang ndeso ini mencoba menjelajah Ibukota. Setelah bertanya sana-sini depan belakang dan kanan kiri, sampailah kami di Salemba, daerah yang menurut saya menjalarkan kesan magis karena pernah diabadikan Taufiq Ismail dalam puisinya berjudul Karangan Bunga.

"Wah, besar sekali ya ternyata, Perpusnas", Saya takjub. Tak berapa lama, misi saya pun tercukupkan. Setelah melemparkan pandangan ke sekitar, kami baru menyadari bahwa gedung tinggi yang persis berdiri di sebelah Perpusnas adalah gedung berlogo kementrian yang tak asing bagi kami. Ya, itulah logo yang sama dengan yang terbordir cantik di tas hitam kecil yang beberapa bulan sebelumnya ditemukan oleh Tami di kontrakan kami. Tanpa berfikir lama, terbitlah keinginan kami untuk pergi ke sana. Tapi untuk apa? 

Kami berjalan keluar dari area Perpusnas. Mendekati pos satpam kementrian tersebut, niat kami sempat bolak-balik. Pasalnya, kami belum punya alasan yang kuat kenapa mau masuk ke gedung itu. Seandainya ditanya oleh Pak satpam, paling kami hanya bisa menjawab, "Ya pengen aja Pak, hehe." Ah, itu jawaban yang konyol. Kami memutar isi kepala, mencari jawaban yang terdengar agak "pintar". :-)

Di setiap kementrian pasti punya perpustakaan. Entah dari mana hipotesis itu muncul di kepala kami. Meluncurlah jawaban ini saat satpam mencegat kami di pintu masuk dan menanyakan tujuan kami, "Mau ke perpustakaan Pak." Lalu Pak Satpam menudingkan arah pintu masuk yang harus kami tuju. Kami pun segera mengeloyor pergi menuju pintu itu.

Di lobi, pertanyaan yang sama ditanyakan lagi oleh resepsionis. Setelah kami jawab, kami diminta menyerahkan kartu identitas dan dibarter dengan kartu pengenal bertuliskan "pengunjung" (kalau tidak salah ingat, begitulah tulisannya, hehe). "Perpustakaan ada di lantai sekian", kata resepsionis. Dengan takut-takut kami menuju lift. Daaaan... sampai-lah kami di perpustakaan kementrian tersebut. Tak lupa kami mengambil foto seperti di bawah ini.


Setelah kunjungan "gila" ke perpustakaan kementrian tersebut, hati kami semakin tertambat ke kementrian yang kala itu digawangi oleh Pak Salim Segaf Al-Jufri itu. Kami pernah berujar suatu saat bisa bekerja di sana. Dan betapa terkejutnya saya ketika bulan lalu, tanggal 12, saya dinyatakan lolos menjadi staf di sana setelah melalui serangkaian tes. Cerita yang dirancang Allah memang selalu cemerlang. 

Untuk Tami, aku menunggumu di tempat ini ya! Aku berdoa untukmu. Pasti Allah punya cerita yang tak kalah cemerlang untukmu, sahabatku. :-)


Tas misterius yang warnanya sudah memudar. Foto diambil Tami pagi tadi.

Rabu, 04 Maret 2015

Mari Kita Pergi ke Dapur dan Memasak Bersama

Awal bulan lalu Toko Buku Gramedia memberikan diskon 30% bagi setiap pembelian buku terbitan grup Gramedia. Namun, diskon ini hanya berlaku bagi pemegang kartu Gramedia atau pembelanjaan yang dibayar dengan kartu kredit dan kartu Flazz BCA. Ketentuan ini menerbitkan kecewa di hati saya. Pasalnya, saya tidak mempunyai baik kartu Gramedia maupun kartu kredit BCA. Tiba-tiba teman saya berkata, "pakai kartu flazz BCA yang biasa untuk naik Trans Jakarta itu bisa kok. Top up isinya bisa di mana aja, di gerai yang menyediakan layanan debit BCA. Di Gramedia juga bisa."

Aha! Sore itu, sepulang kerja, saya langsung mampir ke Gramedia Puri Indah Mall. Singkat cerita, terbelilah 6 buah buku yang sudah lama ingin sekali saya baca. Sambil menating plastik berisi barang belanjaan saya itu, menggembunglah hati saya sepanjang perjalanan pulang. (Dasar orang bermental diskonan, haha.)

Salah satu buku yang saya beli adalah Ranah 3 Warna, novel ke-2 dari Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Novel yang mengobarkan semangat man shabara zhafira ini selesai saya baca kemarin. Selesai membacanya, saya menjadi penasaran dengan kelanjutan kisah si Alif, tokoh utama dalam Trilogi tersebut. Di novel pertama A. Fuadi menceritakan tentang kehidupan Alif selama di Pondok Madani. Lalu di novel ke-2 penulis menceritakan kehidupan Alif semasa menjadi mahasiswa di Jurusan Hubungan Internasional di UNPAD dan keikutsertaannya dalam program pertukaran pemuda ke Kanada. Bagaimana nasib Alif setelah ini ya? Saya penasaran. 

Saya pun berselancar ke dunia maya mencari bocoran tentang kelanjutan kisah Alif di novel ke-3, Rantau 1 Muara. Pertama-tama, saya ketik nama Ahmad Fuadi, penulis Trilogi ini. Lalu muncullah profil penulis berdarah Minang ini di laman Wikipedia. Di pojok kanan atas muncul foto A. Fuadi dan identitas singkatnya. Di kolom pekerjaan tertulis: Pekerja Sosial, Novelis dan Wartawan. Pekerja Sosial? Maksudnya? Saya tergemap. 

Saya kemudian mengingat-ingat pertemuan saya dengan Abang yang satu ini. Dua kali pernah saya berada di forum yang mana beliau menjadi narasumber. Pertama, pada pertengahan 2012 yaitu saat Pelatihan Intensif Pengajar Muda Angkatan IV (PM IV). Saat itu beliau mengisi sesi "tokoh inspiratif". Setahun berselang, saat kami, PM IV, sudah kembali dari penugasan, diundanglah kami makan malam di rumah Pak Anies Baswedan. Saat itu datang pula Bang Ahmad Fuadi. Seusai makan malam, beliau berbagi cerita pada kami tentang pengalamannya meraih beberapa beasiswa luar negeri. Di akhir acara beliau sedikit bercerita tentang kegiatan beliau saat itu yaitu mengembangkan Komunitas Menara, komunitas yang bercita-cita ingin memajukan pendidikan anak bangsa yang kurang mampu secara ekonomi. Salah satu programnya adalah mendirikan 1000 PAUD untuk anak-anak di kawasan marginal. Oh, mungkin inilah maksud "pekerja sosial" pada kolom isian pekerjaan bang Fuadi.

Pekerja sosial, pekerja sosial. Frasa tersebut rasanya menjalar di syaraf otak saya. Sebangga itukah Bang Fuadi dengan profesinya sebagai pekerja sosial? Pertanyaan ini memaksa saya untuk berfikir lebih mendalam.

Lalu terlintaslah di kepala saya kata "relawan", kata yang mulai tersangkut cukup kuat di kepala saya sejak dituturkan oleh Pak Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar. Kata "relawan" dan "pekerja sosial" sejatinya mempunyai makna yang hampir senada. Kata "relawan" saya kenal dari Pak Hikmat, sedangkan "pekerja sosial" dari Bang Fuadi. Saya sengaja menebalkan kalimat tersebut karena saya menyadari adanya relasi yang apik di sana. Ya, relasi antara orang-orang pintar dengan karya nyata mereka di ranah sosial.

Dan sepertinya relasi inilah yang coba terus ditumbuhkan oleh Gerakan Indonesia Mengajar. Sejak pelatihan intensif selama dua bulan sebelum ditugaskan ke daerah, Calon Pengajar Muda (CPM) dibekali berbagai materi pelatihan yang salah satunya adalah sesi "forum leadership". Tercatat sudah sejumlah nama seperti A. Fuadi, Ibu Tri Mumpuni, Ibu Tri Risma Harini, Bapak Ridwan Kamil dst, diundang dalam sesi tersebut. Harapannya, CPM bisa belajar dari tokoh-tokoh tersebut dalam menggerakkan masyarakat. Lalu, saat di penempatan, salah satu tugas PM adalah mendorong individu-individu lokal untuk berinisatif dan bergerak untuk mengembangkan daerahnya, khususnya di bidang pendidikan.

Tidak hanya itu, Indonesia Mengajar juga mengajak masyarakat umum maupun perusahaan swasta untuk ikut bergerak dalam proses perbaikan ini. Kenapa semua pihak perlu dilibatkan dalam proses ini? Karena sesungguhnya semua permasalahan ataupun kekurangan yang ada pada sektor pendidikan bangsa kita ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita sebaiknya tidak lagi melihat permasalahan itu sebagai outsider, pihak yang ada di luar masalah dan hanya berperan sebagai komentator. 

Jika ada anak yang putus sekolah misalnya, sebaiknya kita berhenti berkomentar, "Apa saja kerja pemerintah?" Sebaliknya, marilah kita berlatih untuk memberi respon semacam, "Apa yang bisa saya bantu?" Jika semakin banyak orang yang mau memposisikan diri sebagai bagian dari masalah dan berusaha untuk memperbaiki masalah itu, bukankah itu akan mempercepat kemajuan bangsa kita? 

Lamat-lamat saya teringat dengan kisah kegemilangan masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kala itu, karena semua orang (termasuk Sang Khalifah) tergerak untuk memberi dan membantu, tak ada satupun orang yang mengaku miskin. Badan 'amil zakat sampai kesulitan menyalurkan zakat karena sudah tidak ada lagi penerima zakat. Tidak inginkah kita menjadi masyarakat yang demikian? Maukah kita melangkah bersama-sama untuk mencapai kegemilangan itu?

Jika kita katakan "ya", kemudian bertanya kita, "apa yang bisa saya bantu?". Tentu saja banyak. Salah satu alternatif jawabannya adalah bergabung dengan IURAN PUBLIK GERAKAN INDONESIA MENGAJAR. Kenapa IURAN? Karena, sekali lagi, kita memposisikan diri kita sebagai bagian dari masalah dan ingin memperbaiki masalah itu. Maka perlu kita tegaskan pula bahwa ini adalah IURAN, bukan SUMBANGAN! Kita mau IURAN karena kita merasakan "lapar" yang sama, lapar akan ilmu pengetahuan dan kemajuan. Untuk itulah, mari kita pergi ke dapur dan memasak bersama!

Selamat bergabung dengan #IuranPublik http://indonesiamengajar.org/donasi/ !