Translate

Minggu, 31 Mei 2015

Ujian Hidup

Semua orang tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing pagi itu. Tiba-tiba atasan kami keluar dari ruangannya, "Bapak baru saja ditelpon Ibu Lusri". Mendengar itu, kami seisi ruangan spontan mengarahkan pandangan ke arah atasan kami. Terlihat jelas wajah-wajah kaget dan penuh keingintahuan diantara kami. Pasalnya, dua jam sebelumnya kami mendengar kabar bahwa suami Ibu Lusri dilarikan ke rumah sakit karena penyakit gagal ginjal yang sudah lebih dari dua tahun diderita.

"Suami Ibu Lusri baru saja dipanggil oleh Allah SWT", lanjut atasan kami. Spontan kalimat istirja' meluncur dari mulut kami. Suasana kantor kami pun berubah drastis. Semua pekerjaan dihentikan. Masing-masing berinisiatif dan segera bergerak merespon kabar ini. Ada yang mengabarkan berita ini ke ruang lainnya. Ada yang menelpon Ibu Lusri untuk mengucapkan bela sungkawa dan menanyakan dimana posisi jenazah saat itu. Ada yang pergi ke bagian TU untuk melaporkan berita ini secara resmi. Ada pula yang mengoordinasikan mobil yang akan kami pakai untuk ta'ziyah. Hanya dalam hitungan menit semua urusan tersebut tuntas. Segera kami seisi ruangan bergerak ke Rumah Sakit POLRI Kramat Jati tempat suami Ibu Lusri menghembuskan nafas terakhir.

Setibanya di rumah sakit, kami langsung menuju ruang jenazah karena di sana jenazah bapak dari dua anak ini sedang disucikan dan dikafani oleh petugas rumah sakit. Aura kesedihan menguar dari ruang yang terletak di bagian paling belakang rumah sakit itu. Kami yang datang pun larut dalam suasana ini. Setelah bersalaman  dengan Ibu Lusri, kami berangsur-angsur keluar ruangan. Di depan ruangan itu kami menunggu hingga selesai penyucian dan pengafanan jenazah. Setelah semua selesai, kami berkonvoi mengiring jenazah hingga ke rumah duka.

Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumah duka itu kepala saya dipenuhi fikiran yang bermacam-macam. Kenangan masa-masa sulit yang pernah saya lalui pun berkelebat di kepala saya. Dan apa yang Ibu Lusri alami ini membuat saya menyimpulkan satu hal yaitu bahwa semakin kita bertambah usia, ujian hidup yang mesti kita lewati bukannya semakin sederhana melainkan justru semakin rumit dan tak terduga kedatangannya. 

Selama dua tahun penuh Ibu Lusri dengan sabar merawat suaminya yang harus secara berkala cuci darah tersebab penyakit gagal ginjal itu. Tentu itu adalah dua tahun yang tidak mudah. Waktu, tenaga dan biaya harus dikorbankan. Kelapangan hati menjadi taruhannya. Ibu Lusri pun bisa menjalani dua tahun itu dengan tegar. Semua orang mengakui ketegaran ibu yang tahun ini berusia 47 tahun itu.

Dan hari itu, Kamis, 28 Mei, Allah meningkatkan level ujian untuk Ibu Lusri. Sejak hari itu, suami yang dicintainya sudah pulang ke hadapan Allah. Jadilah beliau sebagai orang tua tunggal untuk kedua putra-putrinya yang saat ini masih berusia remaja (anak pertama duduk di bangku kuliah sedangkan anak kedua di bangku SMP). Lagi-lagi ini tentu bukan suatu perkara yang mudah. Mau tidak mau beliau harus menjalani semua itu. Bisa jadi di hari depan akan datang ujian-ujian lainnya yang lebih tinggi tingkatannya dari yang kali ini.

Ujian hidup adalah suatu keniscayaan bagi manusia. Seperti yang Allah firmankan dalam QS. Al-Ankabut : 2, Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman", dan mereka tidak diuji?. Kita tidak tau akan diuji dalam perkara apa dan bagaimana wujudnya. Semoga ujian yang Allah berikan kepada kita membuat kita semakin dekat pada Allah. Agar kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan menghadapi ujian, kita perlu selalu ingat dan yakin bahwa kita bisa melewati semua itu karena Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Bukankah begitu?


Sumber gambar : mutiarahikmah.com

Sabtu, 30 Mei 2015

Menyambut Ramadhan


Masjid berkubah warna emas ini adalah masjid yang terdekat dengan kos saya sekarang. Jika saya naik ke lantai 4 kos saya, dan menghadap ke arah selatan, maka pemandangan seperti foto inilah yang tertangkap. Cantik, bukan? Waktu terbaik untuk menikmati view ini adalah pagi hari saat matahari perlahan naik dan senja hari saat langit berubah warna menjadi jingga mempesona. View yang keren itu adalah bonus yang saya peroleh sejak tinggal di kos ini.

Sebelum memutuskan untuk memilih kos ini, salah satu hal yang menjadi pertimbangan saya adalah keberadaan masjid ini yang hanya seperlemparan batu (meminjam istilah Tere Liye, hehe) dari kos saya. Sejak saya kecil, Ibuk sering kali berkata kepada saya bahwa ke mana pun kami pergi, tempat pertama yang wajib kami perhatikan adalah masjid. Kenapa? Karena dengan memperhatikan masjid, kami bisa menentukan arah kiblat saat kami sholat.

Walaupun tidak secara denotatif Ibu menyuruh saya mencari tempat tinggal di dekat masjid, pesan ibuk --untuk memperhatikan masjid agar bisa menentukan arah kiblat-- dengan tidak saya sadari telah membuat saya menempatkan masjid di posisi yang penting di hati saya sampai-sampai saya keukeuh mencari tempat tinggal yang dekat dengan masjid. Pesan ibuk dan kompilasi pengalaman selama saya berkunjung ke berbagai daerah semakin membuat saya mantap untuk memiliki rumah di dekat masjid. (Duh, kapan ya bisa punya rumah sendiri? ;-) )

Saya merasakan betul manfaat tinggal di tempat yang dekat dengan masjid. Seperti di kos baru ini. Saat waktu sholat tiba, saya bisa dengan jelas mendengar suara adzan. Dengan mendengar suara azan yang demikian jelas (baca: keras), saya yang kadang masih menunda-nunda waktu sholat ini, merasa sangat terbantu. Suara adzan yang keras itu tidak mungkin tidak "mengusik" telinga saya. Setelah merasa "terusik", niat untuk sholat pun seketika muncul, walaupun kadang masih menunda beberapa menit dengan membuka HP (tetap saja nunda ya? Duh!). Tapi lumayan lah, daripada jika tidak mendengar adzan sama sekali. Bisa-bisa terus asyik dengan aktivitas saya tanpa menyadari waktu sholat sudah datang.

Di masjid ini, sebelum adzan subuh dan maghrib berkumandang selalu diperdengarkan bacaan Al-Quran dengan pengeras suara. Dan seminggu ini, ayat yang dibacakan selalu dimulai dari Surat Al-Baqarah ayat 183, ayat yang berbicara tentang perintah untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Takmir masjid sepertinya sengaja memperdengarkan ayat tersebut agar kami, kaum muslimin sadar bahwa Ramadhan segera datang, bahkan hanya dalam hitungan beberapa hari lagi.

Dan pagi ini, ba'da subuh, tema kajian di masjid ini adalah tentang seputaran Ramadhan. Karena kajian disiarkan dengan pengeras suara, saya bisa jelas mendengarkan dari kamar kos saya. Penceramah menekankan kepada jama'ah agar mempersiapkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Persiapan ruhiah, badaniah dan materi. Persiapan ruhiah dilakukan dengan menghadiri pengajian tarhib Ramadhan atau membaca buku-buku seputaran Ramadhan. Persiapan badaniah dilakukan dengan menjaga kondisi kesehatan agar nanti bisa menjalankan berbagai ibadah di Bulan Ramadhan dalam kondisi prima. Lalu, persiapan materi dilakukan dengan menabung agar nanti bisa maksimal bershodaqoh selama Ramadhan.

Bagaimana dengan persiapan saya? Nyaris tak ada! Padahal Ramadhan tinggal 18 hari lagi terhitung dari hari ini. Maka, saya pun membuat target untuk mengejar ketertinggalan ini. Inilah target saya :

1. Membaca artikel di internet seputaran Ramadhan (minimal satu judul artikel setiap hari)
2. Sabtu ini ke perpustakaan dan meminjam buku-buku tentang Ramadhan (seminggu membaca satu judul buku).
3. Menabung setiap hari dengan minimal angka tertentu sembari terus berdoa agar rapel gaji cair tanggal 1 Juli (Beginilah nasib civil servant, belum mendapat gaji di beberapa bulan awal bekerja. Padahal sisa tabungan dari gaji di perusahaan lama sudah semakin menipis, hoho *curhat).
4. Untuk menjaga kesehatan : senam minimal seminggu 2 kali (di kantor sekali dan di kos sekali), makan teratur walaupun dengan lauk seadanya *curhat lagi :-p, tidur cukup (tidak kurang, tidak juga berlebihan). Kesehatan harus benar-benar dijaga karena ini sedang musim pancaroba dan beberapa teman sudah ada yang jatuh sakit.
5. Ibadah diperbaiki (baca Quran, sholat Rawatib, Dhuha, Qiyamul' lail)
6. Hablum minannas : perbaiki sikap dan tutur kata dengan orang-orang sekitar, lebih ramah dan murah senyum (ini cukup susah karena sebagai seorang introvert saya cenderung terlihat jutek dan pendiam sehingga unreachable oleh orang-orang sekitar)

Yosh! Bismillah, dimulai hari ini. Agak terlambat memang. Tapi tak apalah, daripada tidak mempersiapkan sama sekali. Semoga Istiqomah.  Ganbatte Ikimasshoi!!


Selasa, 26 Mei 2015

Ruang Interaksi Positif

Fay dan Ncan tengah asyik di depan komputer masing-masing saat saya datang. Menyadari kedatangan saya, mereka sejenak berpaling dari layar komputer untuk mengobrol ringan dengan saya.

"Oh, itu sedang ada meeting Kelas Inspirasi Jakarta, Kak", Fai menjawab pertanyaan saya tentang keriuhan yang terdengar dari ruang rapat. Dari ruangan tempat saya duduk, saya melengok ke arah ruangan berukuran 6x8 meter itu. Nampak belasan orang dengan rentang usia kira-kira antara 20-40 tahun. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka adalah pekerja kantoran di tempat-tempat terbaik di ibukota.

Walaupun berstatus alumni Pengajar Muda (PM), saya belum pernah secara langsung terlibat dalam Kegiatan Kelas Inspirasi, kegiatan yang dikelola oleh officer IM, alumni PM dan para relawan. Dan malam itu, --saat saya datang ke Jalan Galuh II no 4 lalu bertemu dengan Fay dan Ncan untuk mengerjakan tugas di divisi rekrutmen PM--, untuk pertama kalinya saya menyaksikan semangat para relawan Kelas Inspirasi.

Saya tertegun beberapa detik lamanya. Apa yang sebenarnya mereka cari? Setelah jam pulang kantor bisa saja mereka memilih berjalan-jalan ke tempat-tempat hiburan, --mall, bioskop dan restoran misalnya-- untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Mereka bergaji besar --dilihat dari penampilannya, dapat dipastikan mereka adalah pekerja yang bergaji besar--, tentu mereka bisa membeli segala kenyamanan dan kesenangan jika mereka mau. Tapi apa nyatanya? Mereka justru berkumpul untuk membicarakan sebuah kegiatan untuk menginspirasi anak-anak SD di pinggiran Jakarta. Mereka mau bercapek-capek untuk mengurusi anak-anak SD, urusan yang mungkin bagi sebagian besar orang dianggap sangat remeh-temeh.

Meaning (sebagaimana artikel Prof Renald Kasali beberapa waktu lalu), bisa jadi itulah yang sedang mereka cari. Mereka mendermakan waktu, tenaga, kreatifitas dan materi (karena kegiatan ini mereka danai sendiri) untuk orang lain. Dengan berbagi, mereka menciptakan meaning atas keberadaan mereka. Atau dengan kata lain, mereka ingin membuat hidup mereka berarti bagi banyak orang.

Saya menangkap meaning tidak hanya dari keriuhan di ruang rapat Jalan Galuh II no 4 Jumat petang itu. Keesokan paginya, saya hadir dalam pertemuan relawan Festival Gerakan Indonesia Mengajar (FGIM) di kantor PWC, Rasuna Said. Aura "keberartian" (baca: meaning) terpancar dari wajah-wajah para relawan FGIM. Mereka merelakan akhir pekan mereka untuk menghadiri pertemuan ini, pertemuan yang tak memberikan janji imbalan apapun kepada mereka. Yang ada justru sebaliknya, para relawan harus berkorban lebih.

Otak kapitalis saya kadang tidak bisa menjangkau "kegilaan" para relawan ini dalam berderma. Dan saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala saat bertemu langsung dengan para relawan FGIM yang akan datang langsung ke Bima, Bawean, Tulang Bawang Barat, Maluku Tenggara Barat dan Lebak sebagai inspirator di daerah-daerah tersebut. Mereka berangkat dengan biaya transportasi dan akomodasi dari rekening mereka sendiri! Apa pula namanya ini kalau tidak disebut sebagai suatu "kegilaan" yang kronis?

Yes, they just create meaning. Ah, beruntungnya mereka, nanti di hari akhir, mereka tidak perlu lagi bingung menjawab pertanyaan Allah, "Kau gunakan untuk apa masa mudamu?"

Selepas pertemuan di Rasuna Said itu, saya naik bus trans-Jakarta menuju Japan Foundation untuk menyaksikan lomba pidato Bahasa Jepang. Bus yang saya tumpangi tidak penuh seperti saat rush hour. Saat itulah saya duduk menerawang, memaknai interaksi yang sejak Jumat malam sebelumnya saya alami. Saya tersenyum tipis dan menggumam dalam hati, "Duhai Allah, terima kasih telah mengikatkanku pada ruang interaksi yang positif ini."


Meet up relawan FGIM

Jumat, 22 Mei 2015

Kekuatan Tulisan

Rabu sore itu saya sudah berniat untuk tidak akan berpuasa keesokan harinya. Apa pasal? Sesorean saya merasa ada yang tidak beres dengan tenggorokan saya. Ada semacam rasa sakit sesaat setelah menelan makanan. Sepertinya saya terkena radang tenggorokan sehingga saya butuh banyak minum. Kalau begitu, besok saya tidak perlu berpuasa jika tidak ingin sakit ini semakin menjadi-jadi, begitu saya membuat kesimpulan.

Iseng saya melakukan blog-walking ke blog teman-teman saya. Pertama-tama, saya membuka dashboard Blogspot untuk mengecek tulisan terbaru di beberapa blog yang saya ikuti. Munculah sebuah judul di blog Mari yang menarik hati saya untuk membacanya. Peperangan yang Tak Boleh Usai, demikian Mari memberi judul pada tulisan terbarunya itu. 

Hanya dengan sekali klik, laman blog sahabat saya ini langsung terpampang di layar komputer saya. Baik-baik saya membaca setiap kata yang Mari tuliskan. Terhenyaklah saya saat tiba pada kalimat, "Seperti jika aku ragu untuk berpuasa, maka suara itu akan berkata “ Badanmu lagi nggak enak kan, udah nggak usah puasa aja.” atau “ Hari ini kan ada acara makan-makan, besok aja puasanya lagi.” Suara yang ini lebih mudah kucerna dan kuterima daripada suara satunya, “ Ayo puasa, kamu kan kuat. “ atau “ Apa yang kamu khawatirkan, ayo luruskan niat”.

Hei, kenapa ini pas sekali dengan keadaan saya? Allah sepertinya sedang mengingatkan saya lewat tulisan Mari. "Baiklah, besok saya akan berpuasa. Saya sehat, saya kuat!" saya memberi afirmasi positif pada diri saya. Segera setelah selesai membaca tulisan Mari, saya minum bergelas-gelas air putih hingga malam sebelum tidur untuk menghalau sakit tenggorokan saya. Ajaibnya, keesokan dini harinya saat saya makan sahur, sakit itu sama sekali sudah tidak terasa lagi. Dan sehariannya pun saya bisa berpuasa tanpa hambatan apapun. Alhamdulillah, ya Rabb.

Tetiba saya berfikir, apa jadinya bila sore itu Allah tidak mengilhamkan pada saya untuk melakukan blog-walking? Kali ini saya benar-benar merasa campur tangan Allah begitu nyata dalam menuntun langkah saya. Tentu saja harapan saya adalah hari esok dan seterusnya Allah selalu melakukan yang demikian pada saya, lewat segala perantara, tidak melulu lewat tulisan. 

Terkhusus tentang tulisan, saya sepertinya memang tipe orang yang mudah terinspirasi dan tergerak setelah membaca tulisan-tulisan yang memang inspiratif. Namun sayangnya, rasa malas membaca kadang masih melanda saya dengan berbagai alasan, terlebih membaca terjemahan Al-Quran (astaghfirullahal'adzim). Maka, doa saya kali ini adalah semoga segera setelah ini saya menjadi lebih gemar membaca. Juga, semoga Allah selalu memudahkan hati saya untuk menangkap semua pelajaran baik dari setiap tulisan yang saya baca sehingga raga saya terasa ringan  menyontoh kebaikan itu. Semoga.


Selasa, 19 Mei 2015

HHFC

Senin (18/5) terjadi kehebohan di kalangan HHFC, Hikmat Hardono Fans Club. Pasalnya, sang idola, Pak Hikmat Hardono dijadwalkan tampil di acara Kupas Ketujuh di Metro TV. Hanya dalam hitungan menit, kabar ini langsung tersebar di berbagai grup media sosial. Semua yang mengaku sebagai anggota sejati HHFC dengan segala cara memastikan untuk tidak melewatkan acara yang tayang live, jam 20.00 itu.

Sebagai anggota fanatik HHFC, saya tentu saja sangat ingin menyaksikan secara langsung kemunculan idola saya itu. Karena di kos saya tidak ada TV, saya sengaja pergi ke kos Rosi, teman saya, untuk menumpang menonton acara yang bertajuk Wajah Pendidikan Negeri Ini.

Betapa girangnya hati saya bisa melihat Pak HH tampil di layar kaca. Aura kecerdasan dan kebijaksanaan beliau memancar, membuat saya semakin mantap dan bangga menyebut diri saya sebagai anggota sejati HHFC. Ah, seandainya... Seandainya apa? Tak usah dilanjutkan ya! Haha.

Saya pun khusyuk menyimak perkataan Pak HH. Saya hanya bisa ndlongop mendengar setiap kata yang beliau ucapkan. Kalimatnya sangat efektif, tak ada kata yang sia-sia, semua berisi meaning tertentu. Bahkan, jika kita mau menranskrip setiap kata yang beliau ucapkan, pasti jadilah paragraf yang bisa dengan mudah dipahami oleh pembaca sekalipun pembaca tidak mendengarkan kata-kata tersebut saat diucapkan oleh beliau, penuturnya.

Berikut beberapa kalimat beliau yang sempat ditranskrip oleh angggota HHFC. "Saya kira yang kita butuhkan adalah gambaran besar mengenai pengembangan karier guru". "Kami percaya bahwa untuk memajukan pendidikan harus didukung dengan gerakan-gerakan masyarakat yang kuat. Namun, tidak melupakan bahwa peran negara harus efektif."

Begitulah orang pintar. Kata-katanya tidak berbelit-belit. Semua terstruktur dengan rapih dan mudah dipahami. Daripada banyak bicara, mereka lebih memilih banyak bekerja. Sekalipun perlu untuk berbicara, mereka tidak berbicara panjang lebar. Mereka memilih diksi dan pola kalimat yang sederhana namun sangat bermakna. Bahkan nyaris tak ada kata-kata yang terbuang sia-sia.

Semoga suatu saat saya bisa menjadi orang yang seperti itu.




Minggu, 17 Mei 2015

Mengenal Diah

Kita tidak pernah tau akan menjalani cerita hidup seperti apa, bertemu dengan orang-orang semacam apa. Namun yang pasti adalah bahwa semua itu terjadi dengan alasan tertentu. Ada kuasa dan maksud Tuhan di sana, walaupun kadang kita tidak bisa mengetahui "maksud" itu di awal waktu.

Pun perkenalan saya dengan Diah Septyadari, Pengajar Muda (PM) pengganti saya di Bima. Bulan Mei 2013, kami para PM pendahulu sudah mendapat kiriman foto dan profil PM penerus dari kantor Indonesia Mengajar (IM) di Jakarta. Karena di hampir semua desa penempatan kami tidak ada sinyal internet, kami 9 orang PM pendahulu bersepakat untuk berkumpul di Kota Bima untuk menantikan "kabar gembira" itu.

Saat itu perasaan kami bercampur-campur. Senang, karena sebentar lagi kami akan pulang ke tempat asal masing-masing. Sedih, karena akan berpisah dengan anak-anak didik dan keluarga angkat yang sudah setahun membersamai kehidupan kami. Ada satu perasaan lagi yang sebenarnya agak egosentris, namun nyatanya itu mengisi sepersekian ruang di hati kami. Perasaan itu adalah ketakutan tidak akan diingat lagi oleh semua orang di tempat tugas kami karena eksistensi kami segera tergantikan oleh PM yang baru. Intinya, kami takut "tergantikan".

Maka, cerita akan menjadi semakin menarik jika ternyata PM penerus kami jauh lebih baik daripada kami, baik dari segi prestasi maupun fisik. Inilah akhirnya yang kami jadikan sebagai bahan bullying di antara kami, PM pendahulu. Dan karena penerus saya adalah Diah, tak bisalah saya luput dari objek bullying teman-teman. Ada apa dengan Diah? Berikut saya lampirkan profil Diah. 


Diah Septyadari

Putri yang besar dengan budaya Sumatera, Sunda, dan Jawa ini akrab disapa Diah. Ia lahir di Cimahi dan berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Kedokteran Hewan. Semasa mahasiswa, dia aktif dalam berbagai kegiatan akademik maupun non-akademik.
Di antaranya, ia pernah dipercaya sebagai Kepala Departemen (Kadep) PSDM IMAKAHI, Kepala Divisi Kajian Strategis dan Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH, FLP Yogyakarta, dan ketua Senat Mahasiswa FKH UGM.
Bersamaan dengan itu, Diah pun membenamkan diri sebagai pengajar LBB SSC Intersolusi, asisten praktikum fisiologi, dan asisten dokter hewan klinik. Dengan tim penelitiannya, Diah mendapatkan medali emas dalam Pimnas bidang riset yang mengambil tempat di Bali, sebagai bentuk sumbangsih demi kemajuan medis veteriner.
Anugerah yang amat Diah syukuri adalah memperoleh beasiswa dan bimbingan leadership tiga tahun dari Beastudi Etos yang membuatnya senantiasa mengasah diri dan mendekatkan diri pada-Nya.
Bergabung dengan Indonesia Mengajar juga merupakan mimpinya untuk menyatu dengan tunas bangsa, mengembangkan, dan memekakan naluri kebangsaan guna bersama-sama menunjukkan pada dunia bahwa anak Indonesia berpotensi. Kelak ia ingin membuat sekolah kolong jembatan integrated bagi masyarakat kurang mampu.
Diah ditempatkan di Kabupaten Bima perbatasan NTB dan NTT, di SDN Soro Afu periode 2013-2014. Satu pesannya, “Kita hidup bukanlah selalu tentang diri kita, tetapi tentang orang lain. Maka pekakanlah hati dan telinga untuk mendengar nuansanya sehalus siluet jingga. Salam hangat bagi dan dari Indonesia!"
Glek, saya hanya bisa menelan ludah, tak mampu berkomentar apapun. Macam-macamlah komentar kedelapan teman-teman saya. "Wah, sudah dipastikan kamu bakal cepet dilupain, Dit", seloroh Faisal mulai mem-bully saya. Morin pun menambahkan, "PM pertama kan Ibu Mutia, terus ada yang ke-2, baru yang ke-3 Ibu Diah. Yang ke-2 itu ibu siapa?", dengan ekspresi mengejek saya (tapi hanya bercanda). Seorang lagi menambahkan, "Setelah Ibu Mutia langsung Ibu Diah kok, gak ada yang lain." Rontok sudah rasa percaya diri saya.

Tidak hanya saya yang tertimpa bullying. Kami pun mem-bully satu sama lain karena kami merasakan suasana hati yang sama; takut tergantikan. Dan kegiatan saling mem-bully itu pun sebenarnya hanyalah salah satu usaha kami untuk katarsis. Dengan saling mem-bully, kami bisa menertawakan diri sendiri sehingga sesuatu yang awalnya terasa berat pun bisa berubah menjadi ringan. Toh pada dasarnya kami tidak sungguh-sungguh merasa "terancam" oleh kehadiran para PM penerus. Kami dan para PM penerus ibarat rangkaian estafet menuju Indonesia yang lebih baik. *serius mode on :-p*

Dua tahun setelah masa itu pun berlalu. Saya yang dulunya sempat merasa "terancam" oleh Diah, baru kini berhasil mendefinisikan maksud Tuhan. Dokter muda nan cantik ini ternyata adalah teman bercerita yang mengasyikkan. Kesamaan nasib sebagai PM yang ditempatkan di lokasi yang sama mungkin yang menjadikan kami selalu "nyambung" ketika bercerita. Apapun diceritakan, dari masalah yang sama sekali tak penting, hingga sangat amat penting dan rahasia. Namun uniknya, apapun awal pembicaraannya sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya tentang "itu". Iya "itu". (urusan wanita, hanya kami yang tau, hehe)

Baru dua tahun kami berkenalan. Bertemu pun baru beberapa kali, mungkin belum genap 10 kali. Tapi anehnya, tak adalah sekat di antara kami untuk menceritakan apapun. Saat saling berbagi cerita, adakalanya kami tertawa, menangis, kadang pula menangis sambil tertawa. Inilah yang membuat saya merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan Ibu guru yang pada akhir penugasannya berhasil membawa enam orang anak didiknya untuk berskolah SMP-SMA di Smart Ekselensia Dompet Dhuafa dengan beasiswa penuh ini
.



*Tulisan ini dibuat setelah kemarin malam mengobrol dengan Diah tiga jam penuh melalui aplikasi WhatsApp. Semoga Allah menjaga persahabatan kita sampai ke surga-Nya, ya Di!

 


Kamis, 14 Mei 2015

Tempat Baru

Terhitung mulai bulan Mei ini saya resmi bekerja di kantor yang baru, di Jalan Salemba no 28 Jakarta Pusat. Untuk memudahkan mobilitas, saya pindah kos di daerah yang dekat dengan kantor baru ini. Tak sampai 10 menit berjalan kaki dari kos, sudah bisa saya tiba di depan kantor.

Kantor baru, kos baru, lingkungan baru dan beberapa hal baru menyambut saya bersamaan. Excited, begitu perasaan saya. Sebab, kata orang, segala sesuatu yang baru selalu menjanjikan harapan baru (tentu saja harapan yang baik). Dalam hati saya mengaminkannya, "Semoga ada hal baik yang teriring bersama hal-hal baru ini."

Sebagaimana kepindahan saya yang sebelumnya, kali ini sanak keluarga pun bergantian menelpon, memastikan saya baik-baik saja di tempat yang baru. Doa-doa mereka rapalkan melalui ujung telepon. "Hati-hati di tempat baru ya",  "jaga diri baik-baik", "semoga semua urusanmu berjalan lancar," dan doa-doa semacamnya. Saya sangat terharu mendengar itu semua teralun dengan tulus.

Rasa haru semakin membuncah saat Bude Ice menelpon, "Semoga di tempat yang baru banyak yang sayang sama Dita ya, jadi teman dan keluarga yang baik!" Glek, tenggorokan saya serasa tercekat. Seingat saya, belum pernah ada yang mendoakan saya dengan doa seindah itu. Seketika, kata-kata itu tersangkut pada memori jangka panjang saya.

Telepon di hari Minggu siang itu memaksa saya untuk sejenak berefleksi. Tentu saja saya mengaminkan doa Bude saya itu. Tetapi, pastilah ada syarat-syarat yang harus saya penuhi sehingga saya menjadi seseorang yang layak disayangi oleh orang-orang di sekitar saya (atau setidaknya keberadaan saya tidak menjadi beban bagi orang lain). Lalu, apa syaratnya? Tidak ada syarat lain kecuali saya menjadi orang baik, orang yang keberadaannya bisa memberikan manfaat, lebih-lebih bisa menjadi orang kehadirannya dinantikan (atau minimal, adanya saya tidak menjadi pembuat masalah, tidak menyebalkan).

Saya jadi teringat dengan salah satu judul buku Asma Nadia, Jangan Jadi Muslimah Nyebelin. Melalui buku ini Mbak Asma mengajak para muslimah untuk terus memperbaiki diri dalam berbagai aspek. Bukan ingin menyamakan muslimah dengan malaikat yang bebas dari salah dan dosa, melainkan ingin mengajak muslimah untuk meminimalisir kesalahannya sehingga bisa menjadi muslimah yang keberadaannya minimal tidak menerbitkan rasa marah, jengkel, sakit hati orang lain.

Untuk menjadi "muslimah yang tidak nyebelin" perlu proses perbaikan diri yang panjang. Dan saya? Sepertinya jalan saya masih panjang. Pesan untuk diri sendiri, "Selamat menapaki perjalanan perbaikan diri ya! Dan lingkungan barumu adalah fase baru yang akan kau tapaki!"



Kantor Baru

Selasa, 12 Mei 2015

Sempurna

Baru seminggu aku mengenal perempuan muda berparas cantik ini. Tinggi dan berat badannya yang ideal menambah kecantikan parasnya tampak menjadi lebih lengkap. Sorot matanya tajam, melukiskan rasa keingintahuan yang tinggi.

Siang itu Senin yang cukup terik. Aku dan 115 teman lainnya tiba di PUSDIKLAT Kementrian Sosial RI di Kebayoran Lama. Sebelum menjalani rangkaian kegiatan yang dijadwalkan hingga seminggu ke depannya, kami terlebih dahulu diminta untuk memasukkan barang-barang kami ke kamar yang telah disediakan. Aku mendapat kamar 108 bersama Niken dan perempuan muda yang ciri-cirinya aku sebutkan di awal tulisan ini.

Kau tau kawan, siapakah perempuan muda berparas cantik ini? Aku merasa sangat perlu menuliskan tentang teman baruku ini karena seminggu lalu ia telah mengajariku banyak hal, bahkan dengan tanpa suara. Ya, tanpa suara! Karena ia seorang tunarungu.

Walaupun tunarungu, ia bisa berkomunikasi dengan bahasa oral, yaitu dengan gerakan bibir. Jika tidak sedang menggunakan alat bantu dengar, ia sama sekali tidak bisa mendengarkan segala rupa bebunyian di sekitarnya, sekalipun bunyi pintu yang kita gedor sekuat tenaga.

“Aku kuliah S1 jurusan Desain”, perempuan muda itu bercerita. “Lulus kuliah, aku melamar kerja ke 100 lebih perusahaan, tapi aku enggak diterima karena aku tunarungu”, ia melanjutkan cerita dengan tambahan bahasa tubuh karena aku dan Niken cukup kesulitan memahami gerakan bibirnya. “Lalu, aku jadi aktivis untuk teman-teman tunarungu. Tahun 2011 aku ikut kontes Miss World Deaf di Cheko dan mendapat gelar Runner Up”. Menyimak ceritanya ini hatiku berdesir, selaksa kagum menyeruak.

Di kali lainnya, ia bercerita tentang cita-citanya. Kondisinya sebagai tunarungu dan pengalamannya sebagai aktivis mendorongnya untuk membuat  satu LSM lagi suatu hari nanti. LSM itu nantinya akan fokus pada penyediaan beasiswa, peralatan sekolah dan alat bantu dengar untuk para penyandang tunarungu. Ia juga berkeinginan untuk terus menjadi inspirasi bagi anak-anak penyandang disabilitas.

Ah kawan, seandainya kau mengenalnya secara langsung dan sempat bercakap dengannya, tentu kau akan merasakan apa yang aku rasakan. Rasa yang sulit ku uraikan dengan deretan kata.

Dan seminggu pertemuan kami pun ditutup dengan sebuah kejadian yang membuatku harus kembali tergemap. Waktu itu kami semua peserta camp ini mengunjungi Panti Sosial Bina Grahita (PSBG) di Cibinong, Jawa Barat. Saat tengah berkeliling ke kelas-kelas, terbata-bata ia berkata padaku bahwa ia ingin tampil lima menit di depan anak-anak tunagrahita untuk memberikan motivasi. Ia sampai berkata beberapa kali karena aku kesulitan menangkap maksudnya.

Setelah paham akan maksudnya, aku segera menyampaikan hal ini pada Pak Rahmanto, salah satu panitia kegiatan ini. Gayung pun bersambut. Dibantu oleh Malia sebagai penerjemah bahasa isyarat, dengan penuh semangat dan ekspresi ia tampil menginspirasi anak-anak penyandang tunagrahita.  Saat itulah mulutku terkunci, hatiku penuh.

Kawan, tidakkah kalian ingin mengenal sosok yang luar biasa ini? Baiklah, ku beri tahu siapa namanya. Ia adalah Dian Inggrawati Soebangil. Karena segala prestasi yang telah ia raih selama ini, Ibu Menteri Sosial RI memberikan penghargaan pada Dian sebagai perserta camp yang berprestasi.


Ah Dian, di mataku kau sempurna dalam keadaanmu.