Translate

Senin, 29 Juni 2015

Belajar Bersikap

"Anda harus punya sikap sedari awal karena sikap anda itu akan menentukan perlakuan orang lain pada anda seterusnya". Kata-kata atasan saya itu terus berkelebat di kepala saya seminggu terakhir ini. Harus punya sikap? Saya mengerti betul maksud beliau. Namun, perkara itu tidak cukup mudah karena ada hubungan sesama manusia yang perlu dijaga di sana. Juga, ada sistem yang sudah bercokol kuat dan sulit diubah.

Sebagai seorang staf baru, saya belum banyak berhadapan dengan situasi yang membutuhkan keberanian saya untuk bersikap. Kedepannya, mungkin situasi semacam itu akan semakin banyak saya hadapi. Dan lingkupnya pun tidak hanya di lingkungan kerja tetapi bisa jadi lebih luas daripada itu. 

Tepat empat hari setelah atasan saya berpesan tentang sikap itu, saya mengadiri acara talkshow di Universitas Al Azhar Indonesia yang salah satu poin materinya adalah tentang keberanian dalam bersikap. Salah satu narasumber acara itu, Ustad Bachtiar Nasir, berulang-ulang menegaskan tentang keberanian dalam bersikap ini. Masih menurut beliau, yang dibutuhkan pemuda saat ini adalah keberanian yang konsisten dan dilandasi dengan Iman kepada Allah SWT. Pemuda harus bisa membuat narasi yang hebat dan berani bersikap. 

Apa yang dikatakan atasan saya sangat setali tiga uang dengan apa yang dikatakan oleh Ustad inisiator AQL Islamic Center dan acara Hafidz Quran di Trans7 itu. Maka, otak logis saya pun menyimpulkan bahwa sebagai generasi muda, kita harus berani menentukan sikap. Untuk bisa menentukan sikap yang benar, tentu kita butuh dasar pijakan, bukan? Sebagai seorang muslim, Al Quran dan Al Hadist adalah pijakan kita dalam bersikap. Disana, di Al Quran dan Al Hadist, perkara yang haq sudah jelas, pun yang batil

Namun, permasalahannya, di antara yang haq dan batil itu ada perkara yang subhat (meragukan). Perkara pertengahan ini yang kadang membuat kita bingung untuk bersikap. Rasulullah menasihatkan agar kita meninggalkan hal yang subhat itu. Namun, lagi-lagi, tidak mudah meninggalkan yang meragukan itu. Lebih-lebih jika yang subhat itu tersamar oleh penjelasan-penjelasan yang nampak benar diterima nalar. 

Belum sempurna otak saya menyerap pesan dari dua orang yang saya kagumi ini --atasan saya dan Ustad Bachtiar Nasir--, sebuah kabar sedang mencuat hangat di media massa. Kabar yang menuntut saya untuk mengambil sikap. Kabar tersebut adalah disahkannya undang-undang pernikahan sejenis oleh Dewan Konstitusi Amerika Serikat. Singkatnya, UU tersebut menjadi payung hukum bagi para lesbian, gay, bisex dan transgender (LGBT). Banyak orang mendukung kebijakan ini, banyak pula yang mengecam. 

Di dalam Al Quran, Allah menceritakan kisah kaum Nabi Luth yang berperilaku homoseksual. Pada umat yang seperti itu, Allah mengutus Nabi Luth untuk memberi peringatan. Namun, walau sudah diperingatkan, mereka tetap tidak bergeming hingga akhirnya Allah mengazab mereka dengan bencana alam yang mengerikan. Dari kisah kaum Nabi Luth ini sebenarnya kita, umat Islam, bisa belajar untuk menentukan sikap menghadapi LGBT itu. 

Pertama, perilaku LGBT itu jelas salah. Karena itu, wajib bagi kita memperingatkan jika ada orang-orang di sekitar kita yang seperti itu. Kita juga harus menyadari betul bahwa perilaku semacam itu adalah penyimpangan yang wajib kita luruskan. Dan karena ia adalah penyimpangan, pasti ada sebab-musabab penyimpangan itu terjadi. Fokus kita semestinya diarahkan pada sebab-musabab itu agar dapat dicari solusinya. 

Sebaliknya, di luar sana banyak orang memandang LGBT itu sebagai suatu kewajaran dan perlu dibiarkan, atau bahkan perlu didukung atas nama hak asasi manusia. Padahal jika perilaku itu kita biarkan, nyatalah kerusakan yang akan ditimbulkan : tidak memiliki keturunan (jika semua orang berperilaku demikian, bukankah sangat mungkin eksistensi manusia akan bisa punah?), pranata sosial kerumahtanggaan akan carut marut, dan seterusnya, dan seterusnya.

Maka, sebagai umat Islam, pola pikir mana yang perlu kita pilih: memandang LGBT sebagai masalah kemudian kita cari solusinya, atau memandang LBGT sebagai kewajaran yang perlu didukung? Sudah sangat jelas jawabannya.

sumber : www.kiblat.net


Senin, 22 Juni 2015

Menciptakan Kesempatan

Juni hampir berakhir, suasana musim kemarau mulai semakin terasa. Debu-debu halus beterbangan di jalanan, membekas tipis di permukaan dedauan. Tiap siang matahari bersinar dengan teriknya, membuat orang-orang enggan beraktivitas di luar ruangan.

Pun dengan saya. Tiap akhir pekan, Sabtu-Minggu, sebenarnya saya enggan beraktivitas di luar rumah, terlebih Bulan Ramadhan seperti ini. Ada saja alasan yang membuat saya malas untuk keluar rumah. Namun, ada satu motivasi yang membuat saya memaksakan diri untuk menghabiskan akhir pekan dengan kegiatan luar rumah yang variatif. Motivasi tersebut adalah keinginan untuk membuat akhir pekan saya berisi dengan sesuatu yang ada manfaatnya --walaupun berbicara tentang manfaat sebenarnya sangat subyektif--.

Seperti akhir minggu lalu, pada Hari Sabtunya saya dan beberapa teman saya alumni Sastra Jepang UGM menonton final tingkat nasional lomba pidato Bahasa Jepang yang digelar di The Energy Building. Esoknya, Minggu, saya, Rida dan tiga orang teman alumni Pengajar Muda mengikuti kajian, buka puasa bersama dan tarawih di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Juga akhir-akhir pekan sebelumnya, saya selalu sempatkan untuk berkegiatan di luar rumah, entah Sabtu dan Minggu-nya, atau hanya salah satu dari dua hari itu.

Dengan bepergian di akhir pekan itu, saya merasa mendapat manfaat yang banyak sekali. Menyambung silaturahim, tentu saja masuk dalam manfaat itu. Ya, karena saya biasanya bepergian tidak hanya sendirian tetapi bersama dengan teman-teman saya. Kami pergi bersama, saling bercerita tentang aneka tema. Kami juga berbagi apapun: berbagi ongkos perjalanan, makanan, tempat duduk di dalam kendaraan umum hingga berbagi keluh kesah, pun motivasi. Bagi saya, kebersamaan semacam itu selalu menerbitkan semangat baru sehingga saya merasa lebih siap menjalani rutinitas harian. 

Selain kesempatan untuk menyambung silaturahim, manfaat lain yang saya peroleh adalah saya bisa mendapat berbagai pelajaran berharga. Dengan mengunjungi tempat-tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru dan merasakan suasana yang juga baru itu membuat saya belajar untuk mengolah rasa agar lebih peka dan mudah berempati. Semua yang saya lihat, dengar dan alami pada tiap akhir pekan itu mendorong saya untuk lebih reflektif terhadap segala sesuatu. Dari refleksi itu, saya belajar untuk lebih berhati-hati dalam menjalani hidup terutama berhati-hati dalam mengontrol sifat buruk saya. Dari kegiatan refleksi itu pula muncul inspirasi-inspirasi untuk saya menulis. 

Itu hanya sepersekian manfaat yang saya rasakan dari kegiatan bepergian di akhir pekan. Lainnya? Tentu masih banyak karena manfaat kegiatan semacam ini bukan hanya manfaat yang datang secara langsung seketika itu melainkan adapula manfaat jangka panjang yang mana akan bisa saya rasakan di kemudian hari. Itulah kenapa bagi saya kegiatan bepergian adalah salah satu bentuk investasi yang penting selain investasi emas dan properti tentunya (padahal belum punya investasi emas dan properti :-p). 

Pendek kata, kegiatan bepergian di akhir pekan membuat saya memperoleh berbagai kesempatan baik. Apa jadinya jika tiap akhir pekan saya hanya berdiam diri di kamar? Tentu saya tidak akan mendapatkan berbagai kesempatan baik itu. Maka, saya memilih untuk menciptakan kesempatan itu walapun rasa malas kadang memberatkan kaki untuk melangkah.  

buka puasa bersama di Masjid Al-Azhar

* Ini cara saya mengisi akhir pekan. Setiap orang punya cara masing-masing untuk mengisinya. Semoga cara yang kita pilih itu membawa manfaat untuk kita dan orang-orang sekitar ya! :-)

Selasa, 16 Juni 2015

Allah Yang Maha Baik

Saya bukan seorang perencana keuangan yang baik, tetapi juga bukan yang terlalu buruk juga. Satu yang menjadi dasar saya adalah menjaga keseimbangan cash flow. Jangan sampai pengeluaran lebih besar daripada pemasukan.

Kemampuan untuk menyeimbangkan cash flow ini mendapat ujian yang cukup serius beberapa bulan terakhir. Sebagai staf baru di sebuah kantor pemerintahan, saya belum mendapatkan gaji selama beberapa bulan di awal karena memang seperti itu sistem penggajiannya. Praktis, saya memenuhi semua kebutuhan saya beberapa bulan ini dengan sisa tabungan saya di masa lalu. Jika saya hitung-hitung, sisa tabungan saya itu rasa-rasanya tidak akan cukup. Namun ternyata, sampai hari ini alhamdulillah masih cukup dan saya pun masih bisa hidup secara wajar (tidak terlalu memprihatinkanlah :-p)

Saya tetap bisa makan dengan cukup baik (secara kualitas maupun kuantitas). Saya bisa membeli buku-buku yang ingin saya beli. Di akhir pekan saya bisa jalan-jalan, nonton film dan makan di tempat-tempat yang agak mahal. Setiap awal bulan saya masih bisa menyokong kebutuhan orang tua di rumah. Dan ya, saya masih bisa bersedekah. Bahkan bulan lalu saya malah bisa bersedekah lebih banyak daripada bulan-bulan sebelumnya.

Jika saya memakai kalkulator buatan manusia untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran saya ini, rasa-rasanya uang yang saya miliki tidak akan cukup untuk membiayai semua pengeluaran itu. Tapi nyatanya, alhmdulillah saya bisa memenuhi semua pengeluaran itu.

Saya jadi teringat dengan kata-kata Pak Aris, guru SMA saya. Pada suatu waktu, beliau pernah berujar bahwa jika segala nikmat yang beliau dapatkan dihitung dengan kalkulator manusia, maka tidak akan pernah ketemu hasilnya. Iya, karena semua nikmat itu hanya bisa dihitung dengan "kalkulator Allah" yang mana kita tidak akan pernah tau berapa dan bagaimana hitungan itu didapat. Tugas kita adalah beramal, rezeki dan nikmat nanti akan datang mengikuti dari arah yang tidak disangka-sangka. Demikian kata guru favorit saya itu.

"Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. "(At Thalaq: 2-3). Ya, saya merasakan betul kebenaran hukum itu. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Maka tidak pantas bagi saya untuk tidak bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah Yang Maha Baik. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"


Sumber gambar : https://myfitriblog.wordpress.com/2014/12/05



Kamis, 11 Juni 2015

Tulisan Mas Awe

Saya mengenal Mas Ardi Wilda dari grup jejaring sosial "PM Suka Menulis", yaitu grup yang beranggotakan para alumni Pengajar Muda (PM) yang gemar menulis. Meski sekalipun belum pernah bertemu langsung dengannya, saya sudah mendapatkan banyak sekali inspirasi dan ilmu terkait dunia tulis-menulis dari pemuda yang pernah bertugas sebagai PM di Kabupaten Tulang Bawang Barat ini.

Pertama kali membaca laman pribadi milik Mas Awe, begitu ia sering disapa, tanpa pikir panjang saya langsung mem-follow laman tersebut. Sejak itu, saya selalu mendapatkan notifikasi secara otomatis melalui e-mail tiap kali Mas Awe mengunggah tulisan terbarunya. Momen saat datangnya notifikasi itu menjadi salah satu momen yang saya tunggu-tunggu. "Hari ini akan belajar apa lagi ya dari Mas Awe?" begitu tanya saya dalam hati tiap akan membaca tulisan terbaru dari Mas Awe.

Ada dua hal utama yang saya pelajari dari tulisan-tulisan Mas Awe yaitu tentang teknik bercerita (termasuk proses kreatifnya) dan tentang konten. Sebagai pencerita yang masih tengah mencari "gaya" yang khas, saya banyak belajar dari teknik bercerita Mas Awe. Saya suka alur berfikir yang Mas Awe gunakan dalam bercerita. Cerita selalu diawali dengan evidence yang nyata sehingga pembaca bisa membayangkan dan melibatkan perasaannya dalam merespon evidence tersebut. Karena evidence-nya nyata, maka cerita tersebut mampu menyusup dalam memori jangka panjang para pembaca tanpa mereka sadari. Maka, secara otomatis pula, "pesan" yang disampaikan lewat cerita tersebut akan sampai kepada para pembaca. 

Lalu, dari segi konten, Mas Awe sangat lincah memadukan berbagai informasi ke dalam sebuah tulisan sehingga cerita yang dihasilkan pun mengalir dengan smooth dan enak dibaca. Dari segi konten ini juga, saya jadi tau buku-buku yang pernah dibaca oleh Mas Awe. Jika buku-buku tersebut menarik hati saya, maka saya tidak bisa tidak tergoda untuk ikut membacanya. Dengan kata lain, membaca tulisan-tulisan Mas Awe menginspirasi saya untuk membaca buku-buku yang lain. 

Membaca tulisan-tulisan Mas Awe kerap kali juga membuat saya termotivasi untuk menulis. Seperti siang ini, saat saya membaca tulisannya yang berjudul Jeda Viriya. Di akhir tulisan tersebut, Mas Awe mengutip tulisan Budi Darma, "Bagi saya, kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang pengarang. Makin tajam kepekaan seorang pengarang, makin berkelejatanlah imajinasinya. Dan makin tumpul kepekaannya, makin malas imajinasinya, kemudian mengantuk, kemudian tidur, dan bahkan mungkin mampus."

Berkali-kali saya membaca kutipan itu hingga mata saya menangkap dua kata kunci, kepekaan dan imajinasi. Saya kemudian sadar bahwa sebulan terakhir ini intensitas menulis saya menjadi sedikit menurun. Taulah sekarang saya sebabnya. Mungkin akhir-akhir ini saya menjadi kurang peka sehingga imajinasi/ide-ide untuk menulis susah sekali muncul. Saya terlalu larut pada pekerjaan baru saya. Saya kekurangan waktu untuk membaca buku. Dan ya, satu lagi, akhir-akhir ini hati saya sedang sibuk dengan perasaan-perasaan negatif semacam jengkel dan marah sehingga itulah yang menutup hati saya dari kepekaan.  

Ah, untungnya siang ini saya membaca tulisan "Jeda Viriya"-nya Mas Awe.  Sepertinya saya memang perlu mengasah kepekaan dengan cara  lebih banyak mendengar, berempati dan peduli. 



Senin, 08 Juni 2015

Mencari Motivasi

Saya selalu mendapatkan semangat baru setiap kali menengok anak-anak Bima yang bersekolah di SMP-SMA Smart Ekselensia Dhompet Dhuafa, Bogor. Makanya, kesempatan berkunjung ke tempat itu selalu saya nanti-nantikan. Namun sayangnya, saya tidak bisa sering-sering mengunjungi mereka karena sulitnya mencocokkan jadwal saya, Kak Mutia dan Diah yang sama-sama masih eksis di dunia persilatan masing-masing :-D.

Saat kami datang, tampak beberapa orang-tua yang juga datang untuk menjenguk anak-anak mereka. Anak-anak yang sering mendapat kunjungan itu umumnya anak-anak yang berasal dari daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Lain halnya dengan anak-anak yang berasal dari luar Pulau Jawa. Sudah dapat dipastikan anak-anak ini nyaris tak mendapat kunjungan dari keluarga. Alasanya jelas: jarak dan biaya.

Di sela-sela mengobrol dengan delapan anak Bima yang kami kunjungi ini, tiba-tiba saya bertanya, "Selain kami, adakah yang datang ke sini mengunjungi kalian?" Sambil menggeleng, mereka serentak menjawab, "Tidak ada, Ibue." Lalu Dayat menambahkan, "Cuma Baba Awa sama Imam yang pernah dijenguk saudaranya, Ibue." Mendengar jawaban itu, kami cepat-cepat membesarkan hati mereka agar mereka tidak terlampau sedih karena tidak mendapat kunjungan keluarga.

Saya tidak bisa membayangkan jika saya mesti bertukar takdir dengan mereka. Di usia yang masih sangat belia, mereka harus tinggal berjauhan dengan orang tua dan keluarga, bersekolah dengan anak-anak dari suku yang berlainan, makan masakan yang serba berbeda dengan masakan ibu mereka dan hanya bisa pulang ke kampung halaman setahun sekali. Namun, dibalik segala kesulitan yang mereka rasakan itu, mereka selalu menunjukkan wajah ceria dan bersemangat ketika kami datang. Itulah yang membuat saya selalu mendapatkan motivasi baru tiap kali mengunjungi mereka. Mereka saja bisa bersemangat, alangkah malunya jika saya tidak bersemangat.

Semangat mereka tentu tidak datang tiba-tiba. Mereka bisa mengalihkan rasa sedih mereka karena Dompet Dhuafa mengkonsep asrama dan sekolah Smart Ekselensia menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak. Asramanya asri dan bersih. Fasilitasnya lengkap: lapangan futsal, perpustakaan, dst. Ekskrakurikulernya bernakena ragam dari olah raga, seni, keilmuan hingga bela diri. Guru-gurunya sangat kreatif dan inspiratif. Penataan kelasnya pun sangat menarik. Itulah faktor-faktor yang menceriakan hari-hari para siswa. Keceriaan itu kemudian menstimulus anak-anak untuk menorehkan prestasi baik di tingkat lokal maupun nasional.

Untuk itu, kami merasa sangat perlu untuk berterima kasih kepada Dompet Dhuafa, terutama para tokoh di balik program pendidikan Smart Ekselensia ini. Semoga semakin banyak anak Indonesia yang merasakan manfaat atas keberadaan program ini.


Jumat, 05 Juni 2015

Bersabar atau Bersyukur?

Ketika kenyataan yang kita hadapi sangat melenceng dari apa yang kita ekspektasikan, kita cenderung akan mengeluh atau bahkan marah. Secuil hal yang tak mengenakkan hati kadang menutupi hal-hal baik yang sebenarnya juga ada. Itulah yang membuat kita merasa sedang terjepit dalam situasi yang kita pandang tidak baik. Hasil akhirnya adalah kita merasa tidak bahagia. Maka, respon yang muncul biasanya akan seperti ini, "Baiklah, sepertinya saya harus bersabar dulu sekarang".

Secara sepintas, respon semacam itu sepertinya merupakan respon yang positif. Kita sedang menstimulus hati kita untuk bersabar menghadapi hal-hal yang tak mengenakkan hati itu. Namun, dengan mengeluarkan respon seperti itu, secara bersamaan kita sebenarnya sedang mengamini bahwa kita memang sedang dalam situasi yang tak ideal. Efeknya, hal-hal yang tak ideal itu akan semakin memburamkan hal-hal baik yang sebenarnya ada.

Itulah yang saya alami akhir-akhir ini. Saya terlalu banyak mengeluhkan keadaan yang saya hadapi. Saya merasa ada banyak hal tak ideal di depan mata saya. Perasaan ini bahkan sampai membuat saya tidak tau harus berbuat apa.

Dan paradigma saya dalam menghadapi kondisi ini perlahan berubah setelah saya menghadiri kegiatan tabligh akbar di Masjid Istiqlal Selasa lalu. Salah satu pembicara dalam acara tersebut, Ustad Deden (Juara Hafidz International di Maroko, 2014) menerangkan tentang sabar dan syukur. Dalam hal menghafal Al-Quran misalnya, paradigma yang kita bangun haruslah syukur, bukan sabar. Jika kita masih menggunakan paradigma sabar, maka kegiatan menghafal Al-Quran akan selamanya terasa sebagai kegiatan yang berat. Berbeda halnya jika kita menggunakan paradigma syukur. Maka, kegiatan menghafal Al-Quran akan terasa lebih ringan. Kita harus bersyukur karena kita masih dikaruniai niat untuk menghafal Al-Quran. Kita harus bersyukur karena Allah menjanjikan akan memberikan mahkota nanti di syurga pada orang tua yang anaknya adalah penghafal Al-Quran.

Paradigma sabar dan syukur ini pun berlaku dalam hal-hal lain dalam hidup kita. Umpamanya, dalam menghadapi kondisi pekerjaan atau pertemanan atau apapun itu. Jika kita merasa ada hal yang tak ideal di sana, maka sebaiknya kita bersyukur dengan cara mencari dan menghitung hal-hal baik yang ada. Seburuk-buruknya suatu kondisi, pasti ada hal baik yang menyertainya.

Saya pun mulai menghitung hal-hal baik itu. Ternyata, ada banyak hal baik yang melingkupi saya saat ini hingga saya merasa sangat perlu bersyukur atas semua hal baik yang Allah karuniakan itu. Salah satu dari bilangan hal-hal baik itu adalah keberadaan Perpustakaan Nasional yang tepat bersebelahan dengan tempat saya bekerja. Sayang sekali jika "gudang pengetahuan" ini tidak saya manfaatkan dengan baik. Dan dengan hanya menyadari satu hal sederhana ini pun, ternyata saya bisa merasa bersyukur dan bahagia. :-)

Perpustakaan Nasional RI