Translate

Minggu, 26 Juli 2015

Tentang "Surga yang Tak Dirindukan"

Lebaran tahun ini salah satu novel Asma Nadia kembali difilmkan, Surga yang Tak Dirindukan. Saya dan dua orang sahabat saya, Mari dan Tami --yang tergabung dalam sebuah geng bernama Geng Gemblung-- sengaja jauh-jauh pergi ke Solo untuk menonton film tersebut (maklumlah kota kami, Klaten, tidak memiliki gedung bioskop).

Sejak di meeting point, rumah Tami, kami sudah siap-siap membawa sebungkus tisu. "Ini buat persiapan kalau nanti nangis pas nonton film", begitu kata Tami. Saran Tami ini bukan tanpa alasan. Menurut cerita sanak saudara dan teman-teman yang sudah menonton film yang ber-setting di Jogja itu, banyak penonton yang menangis.  Apa iya sedramatis itu? Dalam suasana hati yang sarat rasa penasaran, kami mantap membeli tiket film yang berharga Rp 30.000/kursi itu. (Padahal, di website tertulis harganya Rp 25.000/kursi lho. Tentang perbedaan harga tiket ini, saya bela-belain tanya ke mbak cantik petugas penjualan tiket. Alhasil, raut wajah Mari berubah 180 derajat karena malu setengah mati melihat kelakuan saya :-p.)

Baiklah, kita tidak akan membahas jauh tentang harga tiket ini, langsung saja kita bahas tentang film besutan sutradara Kuntz Agus itu. Banyak orang menarik kesimpulan bahwa fokus film tersebut adalah tentang poligami. Akan tetapi, menurut saya bukan di sana fokusnya. Pesan utama yang saya ambil dari film tersebut adalah tentang seseorang yang tidak ingin cerita duka yang pernah ia alami terulang kembali pada orang lain.

Tokoh utama film tersebut adalah Prasetya (diperankan oleh Fedi Nuril). Pras, begitu ia disapa, mempunyai trauma kelam di masa lalu. Karena rumah tangga yang morat-marit, Ibu Pras bunuh diri saat Pras masih kanak-kanak. Sejak itu Pras hidup tanpa orang tua. Pras hidup di panti asuhan hingga ia dewasa. Merasa hidupnya selalu terbantu oleh uluran tangan orang-orang sekitar, Pras tumbuh menjadi seseorang yang sangat dermawan. Ia suka menolong orang lain, sekalipun orang yang belum ia kenal.

Pras menikah dengan seorang perempuan sholihat nan cerdas bernama Arini (diperankan oleh Laudya Cynthia Bella). Mereka tinggal di sebuah rumah mungil yang cantik di Yogyakarta. Pras bekerja sebagai arsitek di sebuah biro arsitek yang ia dirikan bersama dua orang temannya, sedangkan Arini adalah penulis cerita anak-anak. Rumah tangga mereka berjalan sangat bahagia dan menjadi lebih bahagia dengan dikaruniainya mereka seorang anak gadis yang cerdas.

Kebahagiaan itu pun terusik setelah Pras menolong Meirose (diperankan oleh Raline Shah). Meirose mempunyai latar belakang keluarga yang mirip dengan Pras. Orang tua Meirose bercerai. Sejak itu, Ibu Meirose gonta-ganti pasangan hingga pada suatu titik mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri. Sepeninggalan ibunya, Meirose kemudian hidup bersama pembantunya. Kehidupan yang sangat keras itu membuat Meirose jauh dari Tuhan. Ia kemudian dihamili oleh seorang lelaki yang berjanji akan menikahinya namun rupanya itu hanya janji palsu. Dalam kondisi hamil besar itu Meirose mencoba untuk bunuh diri. Saat itulah Pras datang menolong.

Meirose kemudian melahirkan seorang anak lelaki. Meirose yang merasa tak sanggup membesarkan anak tersebut, kembali mencoba untuk bunuh diri. Pras sekuat tenaga mencegahnya. Meirose begitu frustasi dengan kehidupannya, apalagi saat itu ia memiliki seorang anak tanpa ayah. Meirose akhirnya selamat dari percobaan bunuh diri setelah Pras berjanji akan menikahi Meirose dan menemani Meirose merawat bayinya. Niat Pras sederhana, ia hanya tidak ingin apa yang ia alami sewaktu kecil terulang pada bayi Meirose. Maka, Pras akhirnya menikahi Meirose saat itu juga di rumah sakit.

Kehadiran Meirose inilah yang memicu prahara pada rumah tangga Pras dan Arini. Banyak cerita terjadi setelah itu. Banyak pula pesan yang Asma Nadia sampaikan melalui cerita-cerita itu. Dan sekali lagi, pesan yang sangat nyata saya tangkap adalah tentang keinginan seseorang--dalam hal ini adalah keinginan Pras-- agar kisah duka yang pernah ia alami jangan sampai terulang kembali pada orang lain.

Saya pikir jamak orang juga berkeinginan demikian. Mereka tidak ingin kisah menyakitkan mereka terulang pada orang lain. Sesederhana keinginan Pras, sesederhana keinginan saya. Saya merasakan betul rumitnya hidup sebagai anak yang orang tuanya bercerai dengan cara tidak baik-baik. Karena itu, saya tidak ingin apa yang saya alami ini terjadi pada anak-anak lain. Saya kemudian banyak menulis tentang ini dengan harapan banyak orang yang membaca tulisan saya dan kemudian kembali berfikir ulang jika mereka ingin bercerai. Saya pun berbicara di forum-forum yang memungkinkan saya bicara tentang itu.

Ayah dan bunda sekalian, jika kalian bercerai, maka pihak yang paling akan tersakiti adalah anak-anak. Berfikirlah ratusan atau bahkan ribuan kali jika niat untuk bercerai sempat menyala di hati ayah dan bunda sekalian. Pikirkanlah perasaan kami duhai ayah dan bunda. Mungkin sebagian kami hanya diam dan nampak baik-baik saja menghadapi kondisi yang demikian. Tapi percayalah, dalam hati kami tergores luka yang teramat perih rasanya. Dan mungkin, luka itu tidak akan pernah hilang bekasnya sampai ajal kami tiba.



Rabu, 15 Juli 2015

Selamat Ulang Tahun Rida!

Hari ini, 15 Juli,  Rida berulang tahun. Yang ke berapa? Pokoknya yang ke sekian-sekian deh, hehe. *piss Rid :-p

Entah kenapa saya justru yang merasa melankolis di hari ulang tahun Rida ini. Ingatan saya tetiba melayang-layang pada persahabatan kami yang sudah kami mulai bukan sejak kemarin sore, melainkan sejak delapan tahun lalu, ketika kami sama-sama masuk di Jurusan Sastra Jepang UGM. Banyak hal terjadi selama delapan tahun itu. Dari yang paling menggelikan hingga yang paling menyebalkan, dari yang paling membahagiakan hingga yang paling memilukan dan menguras air mata. #apasih!

Dulu, saat masih kuliah, kami sama-sama sibuk. Di luar kegiatan kuliah, saya sibuk berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Sedangkan Rida, selain kuliah di UGM, dia mengambil kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus sebelah. Praktis kami tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang biasa menghabiskan waktu pulang kuliah dengan makan/nonton/jalan-jalan bersama. Bagi kami, tak ada waktu untuk berhaha-hihi macam itu. Tapi kami tetap bahagia.

Karena kesibukan kami ini, kami biasanya tiba di ruang kuliah saat hampir semua teman sudah berada di dalam kelas dan duduk dengan kelompok (genk) masing-masing. Ini kemudian membuat saya dan Rida kerap kali duduk bersebelahan saat jam kuliah. Selesai kuliah, saat teman-teman merencanakan kegiatan mereka setelah itu, saya dan Rida biasanya cepat-cepat pergi ke mushola untuk sholat. Usai sholat, bertebaranlah kami ke kegiatan kami masing masing.

Semua itu berjalan sangat alami. Yang akhirnya kami menjadi bersahabat, itu karena keadaan dan tentu saja karena Qadarullah. Sejak itu dan seterusnya, entah kenapa nasib kami sering hampir sama yang kemudian membuat persahabatan kami terus berlanjut.

Pertengahan tahun 2009 saya diterima menjadi tutor Bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di INCULS, FIB, UGM. Tak lama kemudian, Rida juga diterima di sana. Lalu, awal tahun 2010 kami mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang tingkat DIY dan Jateng. Qadarullah lagi, kami menjadi juara yang berhak mewakili regional DIY dan Jateng pada lomba tingkat nasional di Jakarta. Saat itu, tiket pesawat PP Jogja-Jakarta ditanggung oleh The Japan Foundation sebagai pihak penyelenggara. FYI, itu adalah pertama kalinya kami naik pesawat, hehe. Kami senang bukan kepalang karena pertama kali naik pesawat langsung Garuda dan gratis pula. 

Saat lomba di Jakarta itu kami sama-sama kalah. Namun, kekalahan itu tidak terjadi lagi pada lomba pidato Bahasa Jepang di Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIMNAS XXIII) di Denpasar beberapa bulan setelah lomba di Jakarta. Dari Denpasar kami sama-sama memboyong kemenangan untuk kampus kami tercinta. 

Bintang kemujuran rupanya terus bersinar di atas mimpi-mimpi Rida. Di akhir tahun 2010 itu Rida memperoleh beasiswa pertukaran pelajar selama setahun di negerinya Oda Nobunaga. Saya senang sahabat saya mendapat beasiswa bergengsi itu. Namun, dalam waktu bersamaan saya pun sedih karena saya tidak lolos seleksi beasiswa itu. Mungkin quote dari Farhan dalam Film Three Idiots ini mewakili perasaan batin saya saat itu, "When your friend fails, you feel bad. But if your friend comes in first, you feel worse." :'(

Setelah menenangkan kondisi batin yang demikian ini (halah), saya mulai berfikir jernih. Saya mulai menyadari usaha Rida untuk meraih semua itu sungguh luar biasa. Beberpa kali saya pernah diajak ke rumahnya. Pada tembok kamarnya, rida menempel potongan-potongan kertas bertuliskan huruf kanji yang pernah dia pelajari. Tiap kali saya pergi ke rumahnya, semakin penuhlah tembok kamarnya itu dengan huruf kanji. Saya pernah menyontoh cara Rida ini dengan cara menuliskan huruf kanji pada potongan kertas yang saya bawa kemana-mana (saya tidak bisa menempelkannya di kamar kos karena saya tidak tinggal sendirian di kamar kos tersebut). Semangat saya untuk menghafal kanji itu tidak se-istiqomah Rida. Selain istiqomah menghafal kanji, Rida juga istiqomah untuk berlatih menjawab soal-soal Nihongo Noryouku Shiken (Ujian Kemampuan Bahasa Jepang) yang menjadi salah satu syarat utama agar lolos beasiswa ke Jepang.

Usaha yang tak kenal lelah itu Rida barengi dengan doa yang tak putus-putus. Ia rayu Tuhannya dengan sholat tahajjud di sepertiga malam terakhir dan puasa sunnah Senin-Kamis. Dengan ikhtiar sesungguh itu, wajarlah Tuhannya mengabulkan pintanya. 

Selama Rida di Jepang, seminggu sekali kami mengobrol lewat media chatting di Facebook. Saya ingat betul kala itu saya belum mempunyai modem (makan aja susah, apalagi beli modem? hehe) sehingga seminggu sekali, pada malam setelah isya', saya pergi ke warnet di dekat kos saya tiap kali akan mengobrol dengan Rida. Kesempatan itu selalu kami tunggu-tunggu karena kami ingin saling didengar dan mendengar cerita masing-masing. 

Sepulang dari Jepang, Rida menyelesaikan kuliah dan skripsi di dua universitas sekaligus. Saya tidak bisa membayangkan membuat dua skripsi sekaligus. Apalagi, dosen-dosen di dua universitas ini terkenal high quality sehingga menuntut mahasiswa untuk membuat skripsi dengan standar baik. Semenata Rida kembali ke Jogja, saya justru meninggalkan Kota Pelajar ini setelah menamatkan Srata 1 saya. Saya lolos seleksi sebagai Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar yang kemudian ditempatkan untuk mengajar di sebuah SD di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Qadarullah lagi, setelah Rida menyelesaikan dua studinya dan saya menyelesaikan tugas saya di Indonesia Megajar, kami sama-sama bekerja di Ibukota sebagai penerjemah. Tahun lalu, 2014, kami mencoba peruntungan untuk melamar sebagai civil servant. Sekali lagi, qadarullah, kami lolos. Rida di Kementerian Keuangan, saya di Kementerian Sosial.   

Persahabatan dengan Rida ini adalah salah satu hal yang sangat saya syukuri dalam hidup ini. Saya belajar banyak dari Rida dan keluarganya. Bapak Ibunya yang selalu menyambut baik tiap kali saya datang. Kakak-kakaknya yang juga tidak kalah baik. Saya tidak tau takdir semacam apa yang akan Allah jalankan atas persahabatan kami setelah ini dan setelah ini. Semoga itu adalah takdir baik yang berakhir di surga-Nya kelak. Aamiin ya Rabb. 




Selasa, 07 Juli 2015

Menikah untuk Meraih Surga (Part 2)

Sudah baca tulisan yang Part 1? Kalau begitu, kita lanjut ke Part 2 ya! Kali ini materi disampaikan oleh Ustadzah Dr. Sitaresmi S Soekanto, seorang ibu dari 7 anak dan nenek dari 4 orang cucu. Selain aktif menjadi pembicara di berbagai acara seminar kewanitaan dan pendidikan anak, beliau adalah dosen di FKM, UI. Di masjid BI sendiri, beliau adalah narasumber tetap yang mengisi kajian reguler.

Dalam seminar Menikah untuk Meraih Surga pada tanggal 5 Juli 2015 di masjid BI ini Ustadzah Sitaresmi banyak berbagi pengalamannya berumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Latar belakang beliau sebagai akademisi menambah khasanah pengetahuan beliau terkait dunia rumah tangga yang juga beliau bagi di seminar 5 Juli itu.

Menurut beliau, menikah adalah learning proses dan learning proses is a never ending job. Oleh karena itu, memasuki fase pernikahan berarti memasuki fakultas kesabaran di universitas kehidupan. Di fakultas kesabaran itu kita belajar menjalankan mata kuliah "fungsi keluarga". Dalam Islam, ada empat fungsi keluarga. Pertama, sebagai pembendung dekadansi moral. Kita lihat dekadansi moral yang terjadi saat ini salah satu sebabnya adalah karena orang tua tidak mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik. Kedua, sebagai tempat berlindung yang memberikan rasa aman kepada semua anggota keluarganya. Ketiga, sebagai basis penanaman akhlak  dan yang keempat adalah sebagai wadah tarbiyatul aulad (pendidikan anak).

Sebagai pendidik, orang tua harus ikhlas, amanah, jujur, bertanggung jawab dan berilmu. Orang tua harus terus meng-upgrade pengetahuannya dalam mendidik anak. Orang tua tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang mereka miliki. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Orang tua hendaknya menjadi guru pertama untuk mempraktikkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini orang tua harus bekerja sama dan meluangkan waktu khusus. Di Norway misalnya, seorang ibu yang melahirkan berhak atas cuti selama 2 tahun penuh agar pengasuhan dan pendidikan anak bisa dijalankan dengan sepenuhnya. Dalam 2 tahun ini si ibu menjadi full time mother. Selain si ibu yang diberikan hak cuti, si ayah juga diberi hak cuti walaupun cuma 3 bulan untuk menemani istrinya selama proses persalinan dan pengasuhan anak di usia tiga bulan pertama. (Kebijakan ini karena komposisi parlemen Norway lebih dari 50% adalah perempuan)

Setelah memasuki fase pernikahan kita biasanya terjebak pada rutinitas seperti mengurus anak dan rumah tangga. Oleh karena itu, asupan ruhiah (bisa dari pengjian atau buku-buku, dll) harus terus ditambah. Seorang istri yang uring-uringan salah satu sebabnya adalah karena asupan ruhiahnya mengalami defisit.

Ujian pernikahan itu bermacam-macam: kekurangan makanan/harta dsb. Rumah tangga Ali dan Fatimah misalnya. Pada suatu ketika, Ali tidak mempunyai uang yang bisa dibelanjakan untuk memberi makan anak dan istrinya. Lalu, Fatimah meminta Ali menjual kain yang sudah ia rajut untuk dibelanjakan roti. Pergilah Ali ke pasar. Setelah kain berhasil dijual dan uangnya dipakai untuk membeli roti, di perjalanan Ali berjumpa dengan pengemis yang nampak lemas. "Aku dan anak istriku baru sehari tidak makan sedangkan pengemis itu mungkin sudah berhari-hari tidak makan", begitu pikir Ali yang kemudian menyedekahkan semua roti itu pada si pengemis sehingga Ali pulang dengan tangan kosong. Menyambut suaminya yang pulang tanpa membawa makanan itu Fatimah hanya diam dan menangis. Lalu kata Ali, "Tenanglah istriku, aku akan keluar dan kembali membawa makanan untuk kita dan anak-anak kita".

Ali kemudian kembali ke pasar. Bertemulah ia dengan seorang laki-laki yang membawa segerombolan domba. Lalu kata lelaki itu, "Wahai Ali, belilah satu dombaku ini dengan harga yang murah." Jawab Ali, "Tapi saya tidak punya uang untuk membayarnya." Laki-laki tersebut lalu menyerahkan seekor dombanya pada Ali sembari berkata, "Sudahlah, nanti bayar lain kali saja", kemudian pergi. Ali bingung karena lelaki itu pergi dengan sangat cepat. Ali kemudian menjual domba tersebut. Uang hasil penjualannya ia pakai untuk membeli roti dan sisanya ia putar sebagai modal perniagaan. Di hari esok dan esoknya lagi dan lagi, saat Ali akan mengembalikan uang itu kepada pemilik domba, Ali mencari-cari lelaki itu namun tak dapat ditemukannya. Lalu Ali mengadukan perkara ini kepada Rasulullah yang kemudian dijawab oleh Rasulullah bahwa lelaki pemilik domba itu adalah malaikat yang diutus oleh Allah untuk menggantikan rezeki yang sebelumnya Ali sedekahkan pada pengemis. Kata Allah dalam QS Al Hadid : 11 "Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya dan baginya pahala yang mulia."

Dari rumah tangga Ali-Fatimah kita bisa mengambil banyak pelajaran. Untuk memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah, sebagaimana keluarga Ali-Fatimah, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam pernikahan diantaranya: memiliki banyak persamaan (sehingga dengannya kita bisa merasa confort), memiliki kemampuan komunikasi dan problem solving yang baik, mampu saling memberikan kesempatan untuk tetap menjadi diri sendiri dan saling bertumbuh, mampu mengendalikan emosi. Tentang poin "memiliki banyak persamaan" ini ada sebuah kisah dari sepasang suami istri, teman dari ustadzah Sitaresmi. Pasangan tersebut memiliki cita-cita pernikahan dan passion yang sama yaitu mengabdikan diri pada dunia kemanusiaan. Saat keduanya menjadi dokter umum, mereka pergi ke Afganistan untuk menjadi dokter di medan perang. Di sana mereka menyaksikan banyak sekali korban perang yang tidak bisa mereka tangani (misalnya patah tulang) karena mereka hanya dokter umum. Mereka kemudian kembali ke tanah air untuk mengambil kuliah spesialis. Sang suami mengambil spesialis ortopedi di UI sedangkan sang istri spesialis internis di UNAIR. Setelah lulus, mereka pergi ke Palestina untuk kembali menjadi dokter di daerah konflik.

Lalu, di bagian akhir sesi kedua ini Ustadzah Sitaresmi menerangkan tentang hak suami dan istri. Hak istri antara lain: dipergauli dengan baik, diajari ilmu agama, diberi mahar dan nafkah, dijaga fisik dan perasaannya dari segala gangguan, dijaga rahasianya, diizikan untuk pergi keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Sedangkan hak suami antara lain: ditaati perintahnya selama bukan perintah untuk bermaksiat, diakui kebaikannya, dsb (sayangnya banyak poin yang tidak sempat tercatat).

Kholas sudah materi sesi 2. Untuk materi sesi 3 tunggu di tulisan selanjutnya ya! :-)


Senin, 06 Juli 2015

Menikah untuk Meraih Surga (Part 1)

Tulisan kali ini adalah resume kajian di Masjid Bank Indonesia, 5 Juli 2015 yang bertajuk "Menikah untuk Meraih Surga". Di kajian yang dimulai pada pukul 08.30 sampai 14.00 ini, tiga orang pembicara yaitu Ust Arifin Nugroho, Ustadzah Sitaresmi S Soekanto dan Ust Bendri Jaisyurrahman hadir dan memberikan materi yang super ciamik. Kajian ini bukan hanya ditujukan bagi yang belum menikah melainkan juga untuk pasangan yang sudah menikah lho! Penasaran dengan materi yang disampaikan? Check this out ya! :-)

Materi 1 : Sakinah, Mawaddah dan Rohmah (Ustadz Arifin Nugroho, Lc)

Di sesi pertama ini, pembicara membahas tentang makna "sakinah, mawaddah dan rohmah". Secara bahasa, sakinah berarti ketenangan. Di dalam keluarga itu salah satu yang paling penting adalah saling memberikan ketenangan antara suami dan istri. Sebagai contoh, Khodijah yang selalu memberikan ketenangan ketika Rasulullah menghadapi suatu perkara yang sulit. Dikisahkan saat pertama kali Rasulullah bertemu dengan malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu Allah yang pertama, Rasulullah menggigil ketakutan. Keringat dingin bercucuran. Beliau kemudian cepat-cepat pulang ke rumah dan berkata kepada Khodijah, istrinya "selimuti aku! selimuti aku!" Khodijah pun segera menyelimuti sang suami tanpa banyak bertanya. Ini tidak lain untuk memberikan ketenangan pada sang suami yang tengah dilanda kepanikan. Apa jadinya jika Khodijah saat itu ikut panik sambil mengeluarkan serentetan pertanyaan? Mungkin situasinya justru akan semakin keruh.

Selanjutnya tentang mawaddah yang berarti rasa cinta. Rasa cinta ini timbulnya dari ketertarikan fisik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pernikahan itu ketertarikan fisik adalah hal yang perlu diperhatikan walaupun bukan yang paling utama. Setelah kita menikah, kita tetap perlu memperhatikan penampilan fisik kita untuk menjaga mawaddah dari pasangan kita. Ada orang yang ketika keluar rumah tampil sangat maksimal tetapi ketika di rumah sangat seadanya. Kebiasaan itu perlu diubah. Ketika di rumah kita tetap harus tampil bersih, wangi, dan menarik. 

Jika mawaddah adalah rasa cinta yang dilandaskan pada ketertarikan fisik, maka rohmah adalah rasa kasih sayang yang dilandasi keimanan kepada Allah SWT. Ada sebuah kisah seorang suami yang merawat istrinya yang sakit lumpuh selama bertahun-tahun. Si suami ikhlas merawat sang istri dan tidak menikah lagi. Semua ini sang suami lakukan karena rasa sayang yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah. Ada sebuah kisah lagi seorang suami yang sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan istri dan anak-anaknya. Hingga pada suatu hari sang suami jatuh sakit di rumah sakit selama berbulan-bulan. Sang istrilah yang secara penuh merawat sang suami hingga sang suami menyadari betapa besar kasih sayang istrinya itu padanya. 

Mencipkatan sakinah, mawaddah dan rohmah dalam rumah tangga itu bukanlah perkara yang mudah karena setan akan sekuat tenaga memisahkan ikatan pernikahan suami-istri. Di kalangan para setan, keberhasilan menceraikan sepasang suami-istri adalah prestasi yang berada di level yang tinggi. Godaan untuk menggoyahkan ikatan pernikahan itu selalu ada. Godaan yang menciptakan konflik yang muncul dari salah satu pihak, suami atau istri. Konflik yang berupa kemarahan misalnya. Jika istri sedang marah, maka sebaiknya suami tidak terpancing untuk ikut marah. Begitu pun sebaliknya.

Diceritakan suatu hari salah seorang sahabat datang ke rumah Kholifah Umar ibn Khotob. Sahabat tersebut berencana akan mengadukan istrinya yang sangat cerewet dan suka memarahinya. Saat berada di depan pintu rumah sang Kholifah, sahabat tersebut mendengar sang Kholifah sedang dimarahi istrinya. Sahabat tersebut kaget dan bergegas pulang. Namun, saat ia melangkah pulang, sang Kholifah keluar dan bertanya kepada sahabat tersebut apakah ada keperluan yang hendak disampaikan kepadanya. Awalnya sahabat tersebut tidak mau bercerita tetapi akhirnya ia bercerita setelah didesak oleh sang kholifah. Setelah ia bercerita tentang kondisi rumah tangganya, ia bertanya kepada sang Kholifah mengapa sang Kholifah diam saja ketika istrinya marah. Maka, jawab Kholifah, "Cerewetnya istri saya ini tidak sebanding dengan betapa besarnya pengorbanan istri saya pada saya. Saya bisa tampil dengan gagah di depan umum itu karena pakaian dan makanan yang semuanya disiapkan oleh istri saya dengan sepenuh hati."

Setiap orang memiliki kekurangan. Ada yang mudah marah, tidak rapih dan seterusnya. Tugas pasangan dalam pernikahan adalah sebagai pakaian satu sama lain, artinya adalah sebagai pelindung dan penutup aib sekaligus sebagai penghias satu sama lain. Jika kita melihat ada satu kekurangan pada pasangan kita, maka kita sebaiknya melihat kekurangan itu dengan kaca mata dokter, yaitu mengobati/memperbaiki dengan penuh kasih sayang. Sebaliknya, jika kita melihat "potensi baik" pada pasangan kita, maka tugas kita adalah memotivasi dan melejitkan potensi pasangan kita.

Duh, sudah panjang sekali tulisan ini, padahal masih ada dua pembicara lagi. Daripada kita pusing pala berbie membaca tulisan yang terlalu panjang, materi dari dua pemateri lainnya insyaAllah saya tulis di Part 2 dan Part 3 ya, hehe... Just wait!:-)


sumber gambar : ibnuabbaskendari.wordpress.com 

Jumat, 03 Juli 2015

Berbagi Kursi

Selama Ramadhan ini, pada jam pulang kerja, jalanan ibukota nampak lebih macet daripada bulan-bulan lainnya. Mungkin ini karena orang-orang ingin segera pulang dan berbuka puasa bersama keluarga di rumah. Tak ayal, jam empat sore aneka kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum sudah mulai merayap di jalanan utama. Kendaraan umum pun penuh sesak dengan penumpang dari beragam profesi.

Beruntunglah saya yang indekos 200 meter dari kantor tempat saya bekerja sehingga saya tidak perlu merasakan kemacetan semacam itu setiap pulang dan pergi bekerja. Ya, cukup berjalan kaki tak lebih dari 10 menit saya bisa tiba di lobi kantor.

Namun, adakalanya saya tidak langsung pulang ke kos tetapi pergi dahulu saya ke suatu tempat. Seperti Jumat lalu, saya pergi ke Masjid Agung Al Azhar untuk mengikuti kelas tahsin sekalian lanjut buka bersama dan sholat tarawih. Jam 15.30 saya keluar kantor, berjalan kaki menuju Halte Busway Matraman. Tak lama menunggu, bus yang hendak saya tumpangi sudah datang. Walaupun bus penuh penumpang, untungnya saya masih bisa tetap masuk. Berdiri pun tidak masalah, asalkan saya bisa segera sampai ke Al Azhar, begitu pikir saya. Tidak sampai 20 menit saya sudah tiba di Halte Dukuh Atas. Saya kemudian berganti bus Koridor 1: Kota-Blok M. Ternyata bus ini lebih sesak daripada bus Matraman-Dukuh Atas yang sebelumnya saya tumpangi. Dan saya pun harus berdiri bergelantungan lagi. Baiklah, tidak apa-apa. Toh saya tidak setiap hari mengalami yang seperti ini.

Jika jalanan sedang lancar, Dukuh Atas-Al Azhar biasanya hanya sekitar 30 menit. Akan tetapi, sore itu jalanan terlalu macet sehingga beberapa titik jalur busway, yang berbagi ruas dengan jalur nonbusway (karena efek pembangungan jalur monorel), ikut macet. Di situlah saya menyadari bahwa sungguh sangat tidak enak berdiri bergelantungan di dalam bus Trans Jakarta dalam kondisi jalan yang stag seperti itu. Betis dan persendian lutut saya mulai ngilu. Telapak tangan saya kemerahan karena terlalu lama bergelantungan dan menahan beban badan saya. Kepala pun pusing, perut mual. Rasanya seperti hampir pingsan.

Di depan saya, dengan tampak sangat enaknya duduk beberapa perempuan muda. Bahkan, ada yang tertidur lelap. Melihat mereka, muncul perasaan iri bercampur geram di hati saya (ini perasaan negatif ya, tidak boleh ditiru, hehe). Bagaimana bisa mereka tidur terlelap sedangkan di depannya puluhan orang (wanita semua karena saya masuk di bagian khusus wanita) bergelantungan dan berdesak-desakan? Bukankah kita membayar ongkos yang sama sehingga kita punya hak yang sama untuk duduk? Apakah hanya karena meraka lebih dahulu masuk dan mendapat tempat duduk sehingga mereka berhak duduk sampai di halte tempat mereka turun?

Sore itu saya kemudian berjanji dalam hati bahwa jika suatu saat saya mengalami situasi semacam ini dan kebetulan saya mendapat tempat duduk, saya akan duduk bergantian dengan penumpang yang tidak mendapat tempat duduk. Kami bisa bergantian setiap dua atau tiga halte. Mungkin ini akan lebih adil dan menguntungkan untuk saya dan penumpang lain.

Rabu ini, saya punya kesempatan untuk membuktikan niat saya itu. Sore itu saya menghadiri acara penyambutan Pengajar Muda Angkatan VIII di Wisma BNI Slipi. Setelah transit di halte Harmoni, saya berganti bus Koridor 1 dan turun di halte Bendungan Hilir. Saya dapat tempat duduk. Setelah melewati dua halte, Monas dan BI, saya menawarkan untuk bergantian tempat duduk dengan wanita muda yang berdiri tepat di depan saya, "Kita gantian duduk aja Mbak, kita sama-sama bayar soalnya". Si mbak itu nampak heran mendengar ajakan saya, "Oh, mbaknya mau turun ya?". "Enggak sih, saya turun di Benhil, Mbak", jawab saya padanya sambil tersenyum tipis dan dia pun menyambut dengan senyuman tipis pula.

Tanpa saya duga, saat melewati halte Dukuh Atas, Si Mbak justru yang lebih dulu menawarkan untuk bergantian tempat duduk, "Kita mau gantian lagi Mbak?" Saya pun segera menyahut, "boleh", karena kaki saya memang sudah pegal berdiri.  Saya duduk sampai tujuan akhir saya, Benhil, kemudian mengembalikan kursi pada wanita muda itu. Saya puas, saya senang.

Ternyata, hanya dengan ide sesederhana ini, dua orang bisa diuntungkan. Saya membayangkan seandainya semua orang mau berbagi walau hanya dengan hal-hal sederhana semacam ini. Bisa jadi itu akan membawa efek kebaikan yang lebih luas. Bagaimana menurut teman-teman?

sumber gambar : duniaibrahim.wordpress.com

Rabu, 01 Juli 2015

Hati-Hati Gratifikasi!

Karena tidak banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan hari ini, juga karena atasan saya sedang tidak berada di kantor (hehe), saya membaca kembali catatan beberapa workshop/pelatihan yang saya ikuti dua bulan terakhir ini. Pada catatan tertanggal 3 Juni 2015, saya menulis judul Pelatihan Pengisian LHKASN (Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara) dan LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara). Materi tersebut disampaikan oleh seorang ibu berusia paruh baya dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN RB).

Saya mencatat bebarapa hal penting dari pelatihan yang diikuti oleh semua auditor dan calon auditor di lingkungan pekerjaan saya ini. Pertama, LHKASN dan LHKPN adalah salah satu upaya untuk secara berkala melihat perkembangan jumlah harta kekayaan Aparatur Sipil Negara dan Pejabat Negara. Dengan begitu, perkembangan jumlah kekayaan yang tidak wajar bisa terlihat. Tujuan utamanya adalah untuk memudahkan pemberantasan tindak korupsi dan sebagai bentuk transparansi ASN/PN. 

Korupsi adalah permasalahan yang terjadi mungkin di semua negara, tak kecuali negara kita. Jenisnya pun beragam: suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dan tindakan lain yang merugikan negara. Dan menurut sejarah, korupsi sudah ada sejak dahulu kala. Di Tiongkok misalnya, pada 100 tahun pertama sejak dibangunnya tembok besar Tiongkok, sudah tiga kali musuh berhasil masuk. Alasannya bukan karena tembok tersebut dirobohkan musuh, melainkan karena penjaga menerima gratifikasi dari musuh.  


sumber : presentasi dari KEMENPAN RB 
Selanjutnya, pemateri memaparkan fakta-fakta tentang korupsi di negara kita. Menurut rilis data dari acch.kpk.go.id sampai dengan 30 September 2014, sebanyak 115 pejabat eselon dan 76 anggota DPR tersangkut kasus korupsi. Tak ketinggalan, 19 kepala lembaga/ kementerian, 10 hakim, 12 gubernur, 4 duta besar, 41 walikota dan 7 komisioner ikut mengisi daftar kasus korupsi di KPK. Swasta pun ternyata tak sedikit menyumbangkan angka korupsi, tercatat 106 pimpinan perusahaan swasta tersangkut kasus korupsi. 



Melihat angka-angka itu, miris sekali rasanya. Bagaimana bisa negara yang mayoritas berpenduduk muslim mempunyai angka korupsi yang demikian tinggi? Rupanya para muslim (termasuk saya) di negara kita ini belum sepenuhnya mengimplementasikan ajaran agama pada kehidupan sehari-hari. Padahal Islam sudah mengajarkan kita untuk tidak memisahkan agama dengan kehidupan sehari-hari. Artinya, semestinya agama tidak hanya dipraktikkan berupa ritual ibadah tetapi dalam seluruh aspek kehidupan manusia. 

Ritual ibadah yang Allah syariatkan pada manusia pun sebenarnya berisi hikmah-hikmah yang bisa diterapkan dalam kehidupan keseharian. Dari ibadah puasa misalnya, kita bisa mengambil banyak hikmah. Sebagaimana isi ceramah tarawih yang saya dengar di Masjid Bank Indonesia kemarin malam, dari ibadah puasa saja kita bisa mengambil banyak pelajaran hidup. Pelajaran tentang jujur pada diri sendiri misalnya. Saat kita menunggu waktu berbuka puasa, adakah diantara kita yang berbuka sebelum waktu berbuka tiba? Sepertinya semua orang yang berpuasa tidak ada yang nekat berbuka jika waktu buka belum betul-betul tiba. Bahkan, banyak dari kita yang sudah jelas melihat jam menunjukkan waktu berbuka tapi bila belum mendengar adzan berkumandang, masih sekali lagi memastikan kepada orang-orang sekitar adakah yang sudah mendengar adzan. 

Ini berarti kita sudah jujur dengan puasa kita. Harapannya, latihan kejujuran yang kita pelajari dari ibadah puasa ini juga kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Nampaknya itu hal yang sederhana, namun agaknya tidak cukup mudah untuk dipraktikkan. Semoga Allah SWT selalu membimbing kita untuk berfikir, berbicara, bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan ajaran Islam, ya kawan!