Translate

Rabu, 30 September 2015

Lepaskan

Dulu, ketika saya masih SMP, teman sekelas saya ada yang menjadi atlet olah raga panahan. Ia sering bercerita tentang kegiatan latihannya yang nampaknya seru namun cukup menyeramkan. Sambil memperlihatkan lengan tangannya yang lebam-lebam karena terkena pegas string busur, ia bercerita dengan antusias. Jika sudah seperti itu, saya hanya bisa bergidik sambil membayangkan betapa sakitnya tangan yang lebam-lebam seperti itu.

Saat itu saya sebenarnya ingin sekali-kali belajar memanah. Tetapi ya tetapi apa daya, saya yang masih menyandang gelar sebagai siswa termungil (baik dari segi tinggi badan maupun berat badan), harus sabar menelan ludah dan menyimpan rapat-rapat keinginan itu.

Sekian tahun berselang, saya pun sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa (belum tua ya! hehe) dengan tinggi badan dan berat badan yang lumayan proporsional. Datanglah sebuah pengumuman les panahan di Masjid Al-Alzhar. Maka, keinginan yang dulu tersimpan rapat-rapat itu pun muncul kembali. Tanpa pikir panjang, saya langsung mendaftar walaupun kalau kalian tahu kawan, biaya sekali latihan itu adalah sama dengan biaya yang saya butuhkan untuk makan selama dua hari. Catat, dua hari! Bukan dua kali! *Nyengir kuda.

Namun, kemudian datanglah bisikan gaib pada saya, "Alah, gak apa-apa Dita. Belajar memanah kan sunnah Rasul juga". Baiklah, lanjut sudah! Saya pun mantap  mendaftar.

Setelah latihan perdana dimulai, maka komentar Septaria, teman kantor saya yang juga mengikuti latihan panahan ini, "Nagih banget latihannya. Gak mau berhenti gue!" Sebelas dua belas dengan Septa, saya pun inginnya latihan terus. Rasanya tak sabar menunggu jadwal latihan selanjutnya, Hari Minggu berikutnya. Walaupun tangan pegel-pegel dan telapak jari tangan mengeras (a.k.a kapalan) karena keseringan menarik string, saya tetap senang.

Ternyata, belajar memanah itu membawa banyak manfaat. Salah satunya adalah memanah itu bisa menguatkan otot lengan. Betapa tidak, sebelum latihan memanah, kami harus terlebih dahulu melakukan pemanasan berupa peregangan otot dan push-up. Nah, kalau sudah tiba pada saatnya memanah, kekuatan otot dari kedua tangan harus dimaksimalkan. Tangan kiri mendorong busur ke depan, tangan kanan menarik string ke belakang. Jika tidak hati-hati saat string dilepaskan, ia akan meleset dan mengenai lengan kiri sehingga membuatnya lebam-lebam.

Selain itu, memanah bisa melatih kita untuk fokus dan konsentrasi. Nah, kalau otak saya sering saya pakai untuk fokus dan konsentrasi pada kegiatan yang bermanfaat semacam ini kan saya tak punya waktu lagi untuk memikirkan masa lalu to? (*Apasih?) Dengan belajar memanah, secara bersamaan saya juga sedang belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang masih sulit saya ikhlaskan. Seikhlas saya melesatkan anak panah dari busurnya, seikhlas itu pula saya melepaskan sesuatu itu. (Paragraf terakhir ini sungguh tidak jelas, haha).

Tolong abaikan paragaraf terakhir ini ya! Intinya gini, latihan memanah itu banyak sekali manfaatnya. Maka tak salah Rasulullah menganjurkan setiap muslim untuk belajar memanah. Bagi kawan-kawan yang mau belajar, yuk mari belajar bersama kami di Masjid Agung Al-Azhar! :-D


Selasa, 29 September 2015

Cerita Perubahan

Sebagai alumni Pengajar Muda (PM), secara berkala saya memperoleh e-journal yang berisi cerita perubahan yang terjadi di daerah dimana PM ditugaskan. Saya selalu antusias membaca cerita perubahan itu, terutama cerita dari Bima, tempat saya dulu bertugas. Dan tahun ini, rasa-rasanya cerita semakin menarik karena PM di Bima sudah memasuki tahun ke-5, tahun terakhir. Dari cerita perubahan yang ditulis para PM itu jelas tergambar perubahan apa yang terjadi dengan para aktor daerah (siswa, guru, kepala sekolah, pemangku kepentingan dan aktor-aktor terkait lainnya) selama keberadaan PM lima tahun di daerah tersebut.

Cerita perubahan semacam ini adalah salah satu alat untuk mengukur outcome pengiriman PM di daerah. Dari cerita-cerita tersebut dibuat peta besar yang menggambarkan perubahan yang dihasilkan dari keberadaan PM. Dalam bahasa sebuah gerakan, ini dikenal dengan istilah outcome mapping.  

Saya tidak akan membahas tentang outcome mapping dalam tulisan ini karena saya tak punya kapasitas yang cukup untuk membahasnya. Sebenarnya sebagai orang yang sekarang bekerja di sebuah kantor yang kata salah seorang senior saya, mengurusi kaum melarat, saya perlu mempelajari lebih dalam tentang outcome mapping. Karena, baik gerakan maupun program sosial seharusnya memang punya alat ukur yang jelas untuk mengetahui sejauh mana gerakan/program tersebut berdampak. Maka, sembari melakoni peran saya sebagai figuran di kantor sebesar ini, sepertinya pelan-pelan saya perlu mempelajari "peta keluaran" itu. Mungkin, suatu hari nanti akan bermanfaat. 

Bagi saya pribadi, saya belajar banyak dari skema cerita perubahan yang menjadi sumber outcome mapping itu. Tiap kali menerima kiriman e-journal dari para PM on service, ada semacam daya yang mendorong saya untuk merefleksikannya dalam kehidupan saya. Perubahan apa yang sudah saya hasilkan hari ini, minggu ini dan tahun ini? Sudahkah ada perbaikan-perbaikan yang saya buat untuk diri saya dan orang-orang di sekitar saya? Atau justru yang saya buat adalah kemunduran?

Sebagai seorang muslim, sudahkah saya mengamalkan perkataan Rasulullah, "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka ia merugi. Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemari, maka ia celaka."? Nah, bahkan jauh sebelum orang-orang merumuskan teori tentang outcome mapping, Rasulullah sudah mewanti-wanti kita agar menjadi orang yang selalu memperbaiki diri dari hari ke hari. 

Namun, memperbaiki diri itu ternyata merupakan usaha panjang dan tak mudah. Kita butuh teman-teman yang saling mendukung dalam kebaikan. Kita butuh melangkahkan kaki ke majelis-majelis ilmu yang mengukuhkan iman kita di kala iman itu melemah. Dan ternyata, melangkahkan kaki ke majelis ilmu pun terkadang tak mudah. Ada banyak godaan dari kemalasan hingga pekerjaan yang kesannya sangat menumpuk padahal jika kita benar-benar berikhtiar untuk mengelola waktu, kita tetap bisa meluangkan waktu untuk menghadiri majelis ilmu. 

Kawan, walaupun semua ini tak mudah, semoga Allah SWT selalu menjaga kita dalam hidayah-Nya ya!


Sumber gambar: agusnuramin.wordpress.com

Senin, 21 September 2015

Surat dari Timur

Akhirnya, surat yang berhari-hari saya nantikan pun tiba juga, surat yang dikirim oleh bocah-bocah lucu di Timur jauh sana. Saat amplop dibuka, terlihat kertas warna-warni bertuliskan huruf-huruf yang mereka goreskan. Tangan saya sedikit gemetar. Senyum saya mengembang. Ada rasa gembira bercambur haru mendera.

Melihat berderet-deret huruf yang tertulis di atas kertas itu, membuat rasa haru semakin membuncah. Saya membayangkan bagaimana perjuangan bocah-bocah belia itu menggoreskan huruf demi huruf itu. Saya membayangkan posisi mereka memegang pena dan perlahan menulis, sembari memikirkan kata-kata apa yang mereka tulis. Mungkin juga saat itu mereka sembari memutar ulang ingatan tentang saya, bibinya yang sudah dua tahun tak mereka jumpai ini.

Lembar demi lembar kertas surat ini saya perhatikan betul-betul. Lembaran yang beberapa hari sebelumnya berada di tangan-tangan mungil mereka. Tiba-tiba saya mengimajinasikan sedang berada di tengah-tengah mereka, mendengarkan celoteh mereka yang bercampur-campur antara Bahasa Bima dan Bahasa Indonesia. Maka, ada rasa semacam ngilu di ulu hati saya. Ngilu yang dipicu oleh rindu.

Beberapa detik lamanya saya baru bisa duduk tenang dan mulai membaca lembaran-lembaran dari Timur jauh itu. Lembar pertama, dari Ayra. Tulisannya rapih, hampir tak ada kesalahan penulisan. Itu wajar karena Ayra baru saja naik ke kelas III. Ayra bercerita bahwa ia suka membaca buku-buku bacaan yang dulu saya tinggalkan. Semoga nanti Bibi Dita bisa kirimkan buku-buku buat Kakak Ayra dan yang lainnya ya! (Ambil post it, tulis "Buku untuk Ayra dkk, Oktober" dan tempel di kaca).

Suat ke-dua, dari Isma. Di amplop yang dibuat dari kertas buku tulis yang ditutup dengan stiker Hello Kitty mungil, tertulis "dari Isma buat bibi Dita di Tempat". Sama seperti Ayra, sekarang Isma sudah naik ke Kelas III. Isma bersekolah di Madrasah, sedangkan Ayra di SD Negeri. Isma menuliskan bahwa semester kemarin Isma mendapat Juara I. "Doakan Isma semoga Isma bisa dapat juara I lagi", begitu bocah ini melanjutkan tulisannya. 

Fiqa, yang baru saja naik kelas II, tidak kalah semangat dengan Kakak Ayra dan Kakak Isma dalam menulis surat. Bahkan, surat Fiqa lebih panjang dari kedua kakaknya. Bahasanya sangat mengalir. Banyak hal yang diceritakanya, tentang ia yang sudah bisa mandi dan memakai baju sendiri, ia yang baru saja punya adik laki-laki, tentang acara doa pemberian nama untuk adik laki-lakinya. Di akhir suratnya, Fiqa meminta saya mengirim surat lagi. 

Selain ketiga bocah ini, sebenarnya ada satu bocah lagi yang ingin menulis surat untuk Bibi Ditanya. Dia adalah Fais, adik Isma. Ibu angkat saya yang sekaligus nenek dari para bocah ini mengirimkan pesan singkat pada saya, "Fais nangis mau tulis surat juga buat Bibi Dita. Tapi dia baru bisa tulis namanya saja." Membaca pesan ini, bagaimana hati saya tidak meleleh? Cepat-cepat saya membalas pesan Ibu agar disampaikan pada bocah laki-laki yang masih belajar di Taman Kanak-Kanak itu, "Untuk Fais, jangan nangis ya. Nanti kalau Fais sudah bisa nulis, Bibi Dita tunggu surat dari Fais. 

Membaca surat-surat itu, terbit rasa bahagia di hati saya. Walaupun secara hubungan darah saya bukanlah siapa-siapa bagi mereka, ternyata mereka masih mengingat saya. Momen saat kami makan bersama, belajar bersama, ternyata masih tertinggal di ingatan mereka. Sebagaimana kalian mengingat Bibi Dita, Bibi Dita pun insyaAllah akan mengingat kalian, sayang! Juga berdoa untuk kebaikan kalian. 



Sabtu, 19 September 2015

Melihat Diri Kita dari Mereka


Mari : Dituuuul... Mo nanya. Menurutmu, kelebihanku apa?
Saya : Kelebihanmu?? Tinggi badan ;-p
Mari : Serius kii, '(

Itu percakapan saya dengan Mari beberapa waktu lalu. Mari sedang mengikuti training for trainer yang diisi oleh Pak Jamil Azzaini. Katanya, maestro trainer ini meminta semua peserta untuk bertanya pada orang lain tentang kelebihan mereka. Nah, sebagai salah satu partner in crime selama lebih dari satu dasawarsa, saya mendapat kehormatan menjawab pertanyaan ini. #Apasih?

Setelah sesaat berkontemplasi, memutar ulang memori tentang Mari, dengan mantap saya menuliskan jabawan pertanyaan itu. "Pertama, kamu itu kalau menganalisis sesuatu bisa mendalam dan komphrehensif. Kedua, kamu itu kreatif, punya banyak ide. Ketiga, kamu itu kalau mengerjakan sesuatu, lebih dari yang diminta."

Pertanyaan semacam ini memang sering kali muncul dalam pelatihan-pelatihan pengembangan diri, tes masuk kerja dan psikotes. Ada yang memang perlu dijawab oleh diri sendiri, ada pula yang perlu dijawab oleh orang lain di sekitar kita. Dan sore itu, setelah saya menjawab pertanyaan Mari, saya merasa kembali diingatkan betapa pentingnya teman dalam hidup kita. Kadang, ada hal-hal tertentu dalam hidup kita yang kurang kita pahami namun justru lebih dipahami oleh teman kita. 

Saat saya berada dalam kondisi terlemah misalnya, teman-teman, tak terkecuali Mari, selalu punya cara untuk membangkitkan semangat saya. Mereka menguatkan saya, "Kamu itu kuat, Dita. Kamu tangguh." Mereka kemudian menceritakan titik-titik tertinggi yang pernah berhasil saya lalui di masa lampau. Mendengar kalimat motivasi seperti itu, semangat saya pun perlahan muncul kembali. 

Di lain kesempatan, saya belajar banyak hal dari teman-teman saya. Mereka mengajari saya banyak hal tanpa mereka sadari. Keteguhan mereka memegang prinsip, semangat mereka dalam berkarya untuk umat, keistiqomahan mereka dalam memperbaiki diri, diam-diam saya contoh. Tanpa sepengetahuan mereka, saya menduplikasi kebaikan mereka. 

Seperti hari ini, ketika saya bertanya kepada teman saya lainnya, Tami, tentang kegiatan apa saja yang ia lakukan hari ini, ia menjawab, "..... memberi hadiah pada anak kecil...." Maka, saya menjadi termotivasi dan tergerak untuk melakukan kebaikan lainnya. Saya menduplikasi kebaikan Tami.

Ibnu Katsir pernah berkata, "Kebaikan itu akan melahirkan kebaikan-kebaikan baru, seperti halnya keburukan itu akan melahirkan keburukan-keburukan berikutnya." Dan ya, ini terbukti benar. Secara subyektif saya mengartikan perkataan Ibnu Katsir tersebut bahwa kebaikan seseorang akan menular pada orang lain. Oleh karenanya, saya selalu mengapresiasi teman-teman yang melakukan kebaikan. Dari sanalah saya terinspirasi dan mau melakukan hal yang semacamnya. 

Al mu'minu miratul mu'mini, seorang mukmin adalah cermin bagi mu'min lainnya (HR. Abu Daud dan Al Bukhori). Dari teman-teman, kita bercermin, melihat diri kita. Apakah kebaikan yang ada pada teman kita sudah ada pula pada diri kita? Ketika teman kita terus bertransformasi menjadi seseorang yang lebih baik, sudahkah kita mengikutinya sehingga bayangan yang dihasilkan oleh cermin itu sama baiknya? Sebaliknya, ketika teman kita itu melakukan kesalahan, siap sediakah kita hadir mengingatkannya? 

Rahmat untuk Kami

Stasiun Manggarai ramai lancar (macam jalan raya aja ya! hehe) Sabtu siang itu. Ah, tentu saja ini tidak seramai saat weekday, yang konon kata orang, mau jalan saja uyuk-uyukan, dempet-dempetan dengan ratuan atau ribuan penumpang lainnya. Itu hampir jam 11.00 saat saya tiba di stasiun yang namanya selalu mengingatkan saya dengan nama salah satu kabupaten di Flores sana: Kabupaten Manggarai Barat.

Clingak-clinguk saya mencari bangku kosong untuk duduk karena saya lelah, juga lapar setelah muter-muter ke beberapa tempat sebelum tiba di Stasiun Manggarai. Alhamdulillah, kursi yang dicari pun ada, sekonyong-konyong saya duduk dan segera membuka sebungkus mangga masak siap makan yang sebelumnya saya beli di depan Runah Sakit Carolus. Nyam-nyam, nikmatnya. Berhenti sudah konser Jazz dari dalam perut saya. Hehe.

Oh ya, saya belum cerita ini saya mau kemana, ya? Hehe, baiklah saya beri tahu (memangnya ada yang mau tau apa? ;-p). Jadi ceritanya siang itu saya ada janji dengan Vivi, Teh Nani dan Budi (suami Teh Nani) untuk pergi ke Tangerang bersilaturahim ke rumah teman kami, Faisal dan Savira (mereka ini pasangan suami istri). Saya berangkat dari Stasiun Manggarai, sedangkan tiga teman saya itu berangkat dari Stasiun Sudirman.

Kawan, saya beri tau (lagi?) ya. Sejujurnya, perjalanan kali ini cukup berat bagi saya. Saya sudah menduga pembicaraan apa saja yang akan kami bicarakan nanti di rumah Faisal dan Savira. Tema pertama, pasti seputar kehamilan Savira dan Teh Nani. Itu adalah tema yang saya haqqul yaqin, akan dibahas. Pembahasannya pun pasti akan sangat panjang, lebar plus mendetail. Tema kedua, pastilah tentang persiapan pernikahan Vivi yang hanya tinggal menghitung hari. Mereka punya cerita menarik tentang tahap kehidupan mereka, sedangkan saya? Hidup saya masih sama, belum ada cerita baru yang menarik untuk dibagi. Hiks.

Tapi, dengan kekuatan kame-kame dari Son Goku, saya mengusir semua perasaan iri hati dan minder yang mendera saya. Saya harus ikut, ini akan menjadi cara saya untuk meluaskan hati, begitu ikrar saya sesaat sebelum saya memutuskan untuk ikut ke Tangerang. Kenyataan itu pahit, tapi tetap harus dihadapi. Jika saya menghindari pertemuan ini, selamanya saya akan terjebak dalam perasaan iri dan minder yang entah sampai kapan akan mengendap di hati saya. 

Waktu pertemuan itu pun tiba. Tebakan saya tentang tema pembicaraan kami pun tak meleset barang sesenti juga. Saya mengikuti pembicaraan itu sambil sesekali menimpali sewajarnya, sepengetahuan saya. Padahal, dalam hati saya tak henti-hentinya menggumam, "Ya Allah, luaskan hatiku. Luaskan ya Allah."

Hari itu pun berlalu dengan indah. Senyum-senyum bahagia terpancar dari wajah kami, sambil berharap akan ada pertemuan semacam ini lagi di lain hari. Bagi saya pribadi, ada satu bonus kebahagiaan, yaitu hati saya terasa lebih luas dari sebelumnya. Satu celah sempit di hati saya kini sudah menjadi lebih luas. 

Mungkin inilah yang dinamakan berkah silaturahim. Semoga Allah memberikan rahmat untuk kita ya teman-temanku, Vivi, Teh Nani, Budi, Faisal dan Savira. Sampai jumpa di lain waktu dalam kondisi yang selalu semakin baik ya! Ja mata itsuka



Selasa, 15 September 2015

Seperti Garam

"Jadilah seperti garam! Keberadaannya selalu dibutuhkan. Apa jadinya jika masakan tanpa garam? Dialah garam, yang tak terlihat namun semua orang merasakan manfaatnya, yang ketika ia tak ada maka kita mencarinya."

Kira-kira seperti itu analogi yang disampaikan oleh Ustad Subhan Bawazier pada Kajian Lepas Kerja, Rabu malam pekan lalu di Masjid Agung Al Azhar. Masjid penuh, semua yang datang khusyuk mendengarkan sang guru berbicara. Beberapa khusyuk menyimak sambil tekun mencatat.

Malam itu ustad banyak berbicara tentang insan yang bermanfaat. Sebagai seorang muslim, begitulah seharusnya kita. Hidup kita, keberadaan kita, harus memberikan manfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Khoirunnas anfa'uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat untuk orang lain, begitu kata Rasulullah.

Saya menjadi teringat cerita yang pernah disampaikan oleh Ustad Bachtiar Nasir. Pendiri AQL Islamic Center ini mempunyai cara unik untuk membiasakan putranya bersedekah setiap hari. Bersedekah sebagai implementasi paling sederhana perkataan Rasulullah di atas. Setiap pagi, ustad mewajibkan putranya untuk bersedekah, entah dari bekal makanan atau uang saku yang putranya bawa ke sekolah. 

Tentu saja, banyak cara yang dapat kita lakukan agar bisa membuat diri kita bermanfaat bagi banyak orang. Seperti teman-teman kita yang dalam usia masih sangat muda sudah bisa merintis usaha, membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Alih-alih merutuki situasi ekonomi yang demikian ini, mereka memilih untuk bertindak nyata. Mereka tak banyak beretorika, tapi bekerja dan menghasilkan karya yang manfaatnya dirasakan oleh banyak orang. 

Saya ingat perkataan Pak Anies Baswedan dulu ketika menyambut Calon Pengajar Muda (CPM) angkatan IV, "Selama kita terus berdebat, umur anak terus bertambah, kawan! Berhentilah berdebat, mari bekerja! Kata-kata itulah yang kemudian membatasi kami, CPM IV ketika diskusi kami sudah ngalor-ngidul, tak jelas ujung pangkalnya. Tak mudah memutus hasrat kami untuk berdiskusi panjang lebar. Apalagi, anak muda seusia kami sungguh gemar mengutip pendapat tokoh-tokoh besar kemudian mengelaborasi dengan pendapat pribadi. Kami muda, kami "merasa" perlu bicara, kami pun "merasa" tau dan benar.

Kecenderungan semacam itu sepertinya terjadi pada banyak anak muda masa kini. Alih-alih menjadi seperti garam, sebagian kita justru lebih suka "tampil" agar mendapat pengakuan dari banyak orang. Media sosial menjadi ajang narsisme massal. Indah di dunia maya, tapi nihil karya di dunia nyata. Hanya maya, semu, tak nyata, ibarat bayang-bayang yang dihasilkan oleh kaca pembesar. 

Lalu, mau menjadi yang seperti apakah kita, kawan? 






Senin, 07 September 2015

Bocah-Bocah Lucu

Aneh, sungguh aneh. Jika sedang berpuasa, selapar apapun saya nyaris tak pernah sakit kepala. Tapi, selagi tidak berpuasa, sebentar saja terlambat makan, sakit kepala kerap menghampiri saya. Kepala rasanya kliyengan, badan rasanya nyaris limbung terutama ketika bangun dari duduk. Kadang-kadang malah sampai mual dan hilang nafsu makan kalau terlanjur lapar berat. Hmm, mungkin ini karena anemia yang masih saja setia mengikuti saya sejak dulu kala. Tapi mungkin juga sebab lain yang entah apa. 

Seperti hari Minggu lalu, karena tak sempat makan siang, paniang-lah kepala saya. Setelah mengikuti kajian di Al Azhar, saya keasyikan mengobrol dengan Kak Mutia sehingga lupa waktu. Saat pulang, saya berencana membeli cilok atau siomai atau apa saja makanan untuk mengganjal perut. Namun, takdir berkata lain. Semua penjual makanan, jejaknya pun sudah tak nampak. Ya, sudahlah. Saya berjalan pulang dengan sisa-sisa tenaga.

Sudah sampai di kos, sudah makan pula, kepala masih saja paniang. Belum lewat jam 08.00 malam, saya bersiap-siap tidur. Novel Ayah-nya Andrea Hirata sudah siap menjadi pengantar tidur. Baru beberapa halaman terbaca, HP saya berdering. Nomor asing yang nampak. Awalnya malas saya mengangkatnya, "tapi angkat saja sudah", pikir saya. Mendengar suara di ujung sana, saya spontan bangun. "Ibuuuuuuu!", seru saya. Ya, itu telepon dari Ibu angkat saya di Bima. Senang benar saya menerima telepon dari Ibu yang pernah setahun menampung saya di rumahnya itu. Setelah saling bertanya kabar dan melepas rindu, Ibu mengutarakan maksud sebenarnya kenapa malam itu Ibu sengaja menelpon saya.

"Jadi Ibu menelpon karena disuruh sama Ayra, Fiqa dan Isma ni", Ibu mengawali cerita.
"Hah?" saya kaget sekaligus penasaran. Tidak biasanya para cucu Ibu ini meminta untuk ditelponkan saya. Saban saya telepon saja, mereka selalu tak mau bicara dengan saya, "maja" (malu), begitu selalu alasan mereka. Bukankah ini hal yang aneh mereka tiba-tiba minta ditelponkan saya? *penasaran mode on.

Ibu pun mulai bercerita. Kata beliau, bocah-bocah yang belum genap berusia 8 tahun itu sibuk menulis surat sesorean. Setelah surat ditulis, mereka membeli bungkus kado dan biskuit di warung. Lalu dibungkuslah surat dan biskuit itu dengan bungkus kado. Melihat tingkah polah cucu-cucunya itu, Ibu penasaran kemudian bertanya untuk siapa itu surat dan kadonya. Mereka menjawab, "Mau dikirim buat Bibi Dita". Ibu kaget sekaligus tidak percaya anak sekecil mereka punya ide semacam itu. Sambil tertawa, Ibu bertanya pada mereka, "Memangnya kalian tau alamat Bibi Dita ro? Dengan polosnya mereka menggeleng. Di usia seperti mereka, mereka juga sebenarnya belum pahan betul proses bagaimana suatu surat/benda bisa dikirim dan sampai pada seseorang yang tinggal di tempat yang jauh.

"Kalau mau kirim surat itu, pertama-tama harus tau alamat Bibi Dita", Ibu lanjut menjelaskan pada bocah-bocah kreatif itu. "Kalau gitu, Nenek saja telepon Bibi Dita tanya alamatnya", usul mereka. Setelah eyel-eyelan siapa yang harus menelpon saya, akhirnya nenek mengalah. Neneklah yang akhirnya menelpon saya.

Menyimak cerita Ibu itu, rasa haru membanjiri hati saya. Seketika itu pula, saya tak lagi merasakan sakit kepala. Bahkan saya lupa kalau sebelumnya kepala saya paniang bukan kepalang. Tak sabar saya menunggu surat dari ponakan-ponakan yang lucu itu. Hati saya penuh, senyum lebar mengembang macam bunga sepatu di depan kantor saya. Aih, pokoknya saya senang betul! Senang bercampur haru, juga berpadu rindu pada bocah-bacah lucu itu.

Seketika itu pula, saya langsung menghubungi teman saya yang berbisnis kaos muslim Afrakids dan memesan 8 pcs untuk ponakan-ponakan saya yang di Bima. Segera setelah saya terima surat dari meraka, insyaAllah akan saya balas surat itu dan saya kirimkan kaos yang saya pesan itu untuk mereka.


Fais, Ayra, Fiqa dan Isma 3 tahun yang lalu