Translate

Jumat, 23 Oktober 2015

Waktu dan Pekerjaan

"Sebenarnya gimana sih pendapat teman-teman tentang aku, Des?" tanya saya pada Destri, teman sekantor saya. Destri berfikir sejenak, lalu menjawab "Kamu tuh kayak punya dunia sendiri, Dit. Teman-teman pada ngobrol bareng, jalan bareng, kamu gak mau nimbrung, asyik sama kegiatanmu sendiri."

"Oo gitu. Hmm.. Aku terlihat seperti orang yang sulit digapai ya? Sampai-sampai ada tuh teman-teman yang seusia dengaku atau lebih tapi mereka manggil aku mbak" saya kembali bertanya.

"Enggak gitu sih, Dit. Mungkin teman-teman itu segen aja sama kamu. Soalnya kamu itu kelihatan banget punya prinsip yang kuat"

Saya membuka obrolan ini bukan tanpa alasan. Saya sempat merasa khawatir orang lain di sekitar saya tidak bisa menerima saya yang "seperti punya dunia sendiri ini".

Saya kemudian menjelaskan kepada Destri bahwa saya memang tipe orang yang kurang suka ngobrol hahahihi tanpa arah dan tujuan yang jelas. Bagi sebagian orang, mengobrol seperti itu mungkin bermanfaat. Entah untuk mengakrabkan satu sama lain atau sekedar membuat fikiran rileks setelah bekerja/belajar. 

Bagi saya, mengobrol itu harus jelas akan membahas apa. Dalam obrolan itu, saya bisa belajar apa atau bisa mengajari apa. Saya pun biasanya merencanakan suatu obrolan. Misalnya begini, ketika saya pulang ke kampung halaman, saya biasanya sudah merencanakan akan mengobrol dengan siapa saja dan akan mengobrolkan apa saja. 

Kedengarannya ekstrim ya? Tapi tunggu, ini bukan berarti saya tidak bisa ramah pada orang-orang sekitar. Jika sedang berpapasan dengan orang-orang sekitar, saya biasanya tetap akan menyapa mereka dan menanyakan beberapa pertanyaan sewajarnya. Ini bukan hanya sekedar basa-basi, melainkan karena benar-benar ingin menjaga silaturahim. Jika pulang ke kos misalnya, saya biasanya menyempatkan bertegur sapa dengan teman-teman kos dan mengobrol entah dua atau tiga menit.

Saya melakukan semua itu karena saya berprinsip bahwa saya akan melakukan sesuatu jika dan hanya jika sesuatu itu bermanfaat bagi saya atau saya bisa memberikan manfaat. Saya mengatur detail waktu saya beserta target-target harian. Saya juga terbiasa melakukan pekerjaan secara multi tasking. Misalnya, ketika saya sedang makan sendirian, saya biasanya makan sambil melihat video kajian dari Youtube atau menonton film yang sudah saya simpan di dalam komputer saya.

Sama seperti manusia pada umumnya, keinginan untuk bermalas-malasan sesekali datang menghampiri saya. Untungnya, saya punya keluarga dan teman-teman yang menjadi pengingat saya untuk kembali bersemangat. Seperti malam ini, saat saya menelpon ibu saya, beliau bercerita bahwa malam ini ibu akan lembur mengerjakan pesanan makanan untuk esok pagi. Saya yang sudah berencana akan tidur awal waktu, tiba-tiba sigap membuka laptop dan membuat tulisan ini. Ibu saja bekerja tanpa kenal lelah, apa saya tidak malu jika tidak bekerja sekeras ibu?

Saat akan menutup tulisan ini, sementara mencari kata-kata yang pas sebagai penutup, tempelan kertas post-it yang berisi target-target saya tahun ini tiba-tiba seolah sedang menyapa saya, "kapan aku akan kau selesaikan, Dita?"

Waktu sangat terbatas, sementara pekerjaan yang harus diselesaikan masih banyak. Bismillah, mudahkan ya Allah. 

sumber gambar : ideaconnect.ugm.ac.id

Minggu, 18 Oktober 2015

Sabtu Untuk Mereka

Tahun ajaran baru ini, dua anak Bima kembali lolos dalam seleksi Nasional Beasiswa Smart Ekselensia Dompet Dhuafa. Mereka adalah Muhammad Isnaini dan Muhammad Abdillah. Ini berarti, sejak empat tahun lalu, sudah ada 10 anak Bima yang bersekolah di SMP-SMA Smart Ekeselensia Dompet Dhuafa dengan beasiswa penuh. 

Sebuah kabar datang kepada kami sehingga membuat kami semakin merasa sangat bahagia. Tahun ini Dompet Dhuafa bekerjasama dengan Lembaga Insan Cendikia Madani untuk memberikan beasiswa kepada siswa peserta seleksi beasiswa Smart Ekselensia Indonesia (SEI) yang memenuhi kriteria (SEI) namun tak bisa diterima karena keterbatasan kuota. Ia adalah Muhammad Aidin, dari SDN Karumbu, Kecamatan Langgudu, Bima. 

Beberapa bulan lalu Aidin dan puluhan anak Bima lainnya mengikuti serangkaian tes seleksi beasiswa SEI. Dua anak, yaitu Isnaini dan Abdillah berhasil lolos dan berhak bersekolah di SMP-SMA SEI di Parung, Bogor.  Kala itu Aidin yang sudah masuk ke tes tahap 3 sempat sedih karena namanya tidak dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa SEI. Beberapa hari berselang, tanpa kami duga sebelumnya, sebuah kabar bahagia datang: Aidin berhak mendapatkan beasiswa penuh (asrama dan sekolah) dari program subsidi silang di Lembaga Pendidikan Insan Cendikia Madani (ICM), Serpong Tangerang.

ICM adalah sekolah yang terkenal dengan kualitas yang sangat baik dan biaya yang mahal. Tahun ini, siswa baru dikenai biaya masuk sebesar Rp 85.000.000 dan SPP Rp 6.000.000/bulan. SPP tersebut sudah termasuk biaya hidup di asrama dan sekolah beserta seluruh fasilitasnya yang serba lengkap, dari perpustakaan, aneka laboratorium dan fasilitas olah raga seperti lapangan tenis, basket, sepak bola dan kolam renang. Dari biaya yang dibayarkan oleh siswa-siswa kelas elit itu, sebagian diambil untuk menjadi dana subsidi silang bagi anak-anak pintar dari berbagai daerah yang kurang mampu secara finansial. 

Sabtu kemarin, saya dan dua alumni Pengajar Muda Kabupaten Bima, Riri dan Doni meluangkan waktu untuk menjenguk Aidin di ICM, Serpong. Ini adalah pertama kali kami mengunjunginya setelah 2,5 bulan ia resmi bersekolah di ICM. Rasa haru memenuhi ruang hati kami begitu anak Bima ini keluar dari asrama untuk menyambut kami. Senyumnya lebar, tatapan matanya penuh semangat. Dengan lancar ia kemudian menceritakan aktivitasnya dari bagun pukul 03.30 sampai tidur lagi di malam hari. "Kurikulum di sekolah ini pakai Kurikulum Cambridge, jadi belajarnya pakai Bahasa Inggris. Tapi kami yang dari daerah ini masuk kelas tersendiri yang pakai setengah-setengah Bahasa Indonsia karena kami belum lancar Bahasa Inggris," cerita Aidin pada kami.

Sabtu siang itu, agenda kami adalah membawa Aidin untuk mengunjungi teman-temannya di SEI, Parung. Tak disangka, 3 orang teman Aidin yang sama-sama penerima beasiswa ingin ikut bersama kami karena mereka juga ingin berjumpa dengan teman-teman sedaerah yang mendapat beasiswa di SEI. Akhirnya, berangkatlah kami ke Bogor bersama 3 teman Aidin itu: Rizki dari Pontianak, Isbi dari Kendari, dan Rizki lagi dari Medan.

Sepanjang perjalanan, kami mengobrol banyak hal, tentang kegiatan di sekolah, teman-teman, keluarga di Kampung dst. "Riski ini kemarin ikut lomba nyanyi Kun Anta Bu, tapi pengumuman juaranya baru besok Senin", kata salah satu dari mereka. "Kalau Aidin kemarin ikut stand up comedy Bu. Gini kata Aidin, saya akan membawakan cerita berbahasa Bima, begini ceritanya. Lalu Aidin diam lama sekali Bu. Lalu tiba-tiba dia bilang, sekian terima kasih. Semua orang yang nonton itu ketawa." 

Bulan ini di sekolah ICM memang sedang banyak kegiatan perlombaan. Namun ini tidak mengganggu kegiatan rutin anak-anak. Kegiatan tahsin, tahfiz dan taklim tetap berjalan seperti biasa. Saat saya tanyakan tentang hafalan Quran mereka, dengan bangganya mereka menyebutkan surat-surat yang sudah mereka hafal. Kebanyakan dari mereka sedang menghafal juz 29 dan 30 serta beberapa surat pilihan. Sepanjang perjalanan pulang dari SEI, kami bermuroja'ah hafalan kami. Hasilnya adalah hafalan mereka lebih baik daripada hafalan kami. Saya pun hanya bisa menelan ludah.

Saya pun kembali harus menelan ludah saat di depan asrama, ekor mata saya tiba-tiba mengikuti dua anak laki-laki yang sedang berjalan berdampingan. Anak yang lebih tinggi merangkul pundak anak yang lebih pendek. Anak yang lebih pendek itu melantunkan ayat-ayat Al-Quran sambil terus berjalan. Dan anak yang lebih tinggi nampaknya sedang menyimak hafalan Al-Quran dari temannnya itu. Saya yang sama-sama sedang berjalan ke arah asrama tiba-tiba tersandung dan nyaris jatuh sebab saya terlalu terkesima dengan dua anak tersebut. MasyaAllah, saya betul-betul takjub. Dalam hati saya berkata, "Wah sayang ya, saya lahir jauh lebih dulu dari mereka." *memangnya kalau seumuran sama mereka, mau apa? :-p

Karena terjebak macet yang cukup lama dari Serpong ke Parung, akhirnya kami tidak bisa berlama-lama membersamai anak-anak di SEI. Tapi, melihat mereka bercerita dengan semangat, tumbuh dengan sehat dan santun, itu sudah membuat kami bahagia. Alhamdulillah!

Perjalanan mereka masih panjang. Sebentar lagi Abdullah, anak Bima yang pertama kali mendapat beasiswa ini harus mempersiapkan diri untuk seleksi masuk universitas. Awaluddin akan masuk kelas IV, kelas dimana ia harus menentukan pilihan akan masuk kelas IPA atau IPS. Edy, Zakir, Sabran, Dayat, Imam, harus fokus pada berbagai kompetisi. Sementara si bungsu, Abdillah, Isnaini dan Aidin, masih perlu menyesuiakan diri dengan lingkungan belajar dan pertemanan yang baru. 

Lolosnya mereka dalam beasiswa SEI dan ICM adalah sebuah keberhasilan. Namun, ternyata keberhasilan itu adalah awal dari perjalanan menuju keberhasilan lainnya. Ada anak tangga lainnya yang perlu mereka naiki. Ada puncak-puncak lainnya yang harus mereka takhlukkan. Semoga meraka bisa!


di depan asrama putra ICM
di lobi sekolah ICM
anak-anak Bima minus Abdillah (sedang ditelpon ibunya) dan Imam (sedang ikut LDK)
anak-anak Bima, Riri, Doni dan saya



Minggu, 11 Oktober 2015

Empati

Pukul sembilan lewat beberapa menit. Semilir angin malam menyusup dari balik jendela. Angin yang membuat suasana malam ini begitu damai.

Saya menyalakan laptop dan membuka laman beberapa media online. Tiba-tiba kedamaian saya terusik dengan berita-berita seputaran bencana asap dan krisis Suriah. Apakah mereka yang di Riau, Kalimantan dan Suriah merasakan kedamaian yang saya rasakan?

Saya bisa menghirup udara dengan bebas dan tanpa gangguan. Tapi, ternyata ada anak-anak di Riau sana kesulitan untuk sekedar bernafas. Saya punya kasur yang empuk tempat istirahat saya setiap malam, tapi ternyata di belahan bumi lain sana, di Suriah, ribuan anak tengah meringkuk kedinginan di pinggir jalan. Mata mereka mungkin terlelap, tapi alam bawah sadar mereka mungkin dipenuhi peristiwa menyedihkan ketika anggota keluarga mereka dibunuh di depan mereka atau ketika tempat tinggal mereka luluh lantah oleh misil yang dijatuhkan oleh penguasa mereka sendiri. 

Saya tidak bisa membayangkan jika tiba-tiba saya harus bertukar takdir dengan mereka. Tapi, bisa jadi suatu saat nanti saya akan mengalami semua itu. Bukankah takdir itu dipergilirkan? Bencana alam, konflik sosial, perang bisa terjadi dimana saja, menimpa bangsa apa saja. 

Memikirkan semua ini saya seperti sedang dihadapkan pada sebuah cermin. Segala masalah yang pernah saya alami tiba-tiba menjelma menjadi bayangan yang amat kecil. 

Saya kemudian juga merasa sedang diingatkan untuk tidak berlebihan dalam hidup. Tidak pantas bagi saya untuk membeli makanan yang sangat mahal sementara banyak orang yang tak bisa makan meskipun sehari sekali. Tidak pantas bagi saya menyimpan banyak uang sementara ribuan anak tak bisa sekolah karena kesulitan ekonomi. Tak pantas bagi saya untuk malas bangun malam sementara para mujadin di Suriah sana bahkan harus mengerjakan sholat di tengah hujan peluru dan bahan peledak. 

Dengan menghindari hal-hal yang tidak pantas itu, saya setidaknya sedang menguatkan hati untuk belajar berempati. Rasa empati yang Rasulullah selalu contohkan pada kita sebagaimana yang terterang dalam Q.S At-Taubah : 128 "Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman."

Jumat, 09 Oktober 2015

Baca Buku

Saya suka membaca buku. Setiap bulan ada anggaran yang khusus saya persiapkan untuk membeli buku. Selain Al-Quran, biasanya saya membawa buku bacaan di dalam tas saya. Saat sedang jam istirahat kantor, menunggu teman, atau menunggu bus misalnya, saya biasanya menyempatkan beberapa menit untuk membaca buku.

Tak jarang, saat saya sedang membaca buku, beberapa teman penasaran ingin ikut membaca buku yang saya baca itu. Saya pun dengan senang hati meminjamkannya, tapi setelah saya selesai membaca buku tersebut, hehe. Salah satu keinginan saya adalah ingin menularkan "virus suka membaca" pada orang-orang di lingkungan saya. Saya merasakan betul manfaat dari membaca. Maka, saya ingin mereka juga merasakan manfaat itu. 

Saya suka berteman dengan orang-orang yang suka membaca buku. Bahkan, beberapa di antara mereka bisa disebut maniak buku. Biasanya kami saling menanyakan buku apa yang sedang kami baca saat itu kemudian saling berbagi intisari buku tersebut. Terkadang juga kami saling memberikan rekomendasi buku apa yang bagus dan sebaiknya kami beli. Jika saldo anggaran beli buku sudah tak tersisa dan semua buku yang dibeli di bulan itu sudah selesai dibaca sedangkan keinginan membaca buku tak mau menunggu jeda, maka kami pun mengadakan barter buku. Tapi, hanya barter baca, bukan barter kepemilikan. :-D 

Saya menemukan kesenangan tersendiri dengan membaca buku. Jika anak kecil yang sedang menangis tiba-tiba diam dan mendadak sumringah setelah diberi coklat atau es krim, maka saya pun tentu akan berhenti menangis jika diberi buku yang saya suka. (Tapi misalnya diberi coklat atau es krim saya sebenarnya juga mau, hehe). 

Buku juga mengalihkan perhatian saya pada hal-hal yang tidak perlu. Daripada mengobrol dengan banyak orang yang akhirnya pasti akan membicarakan aib orang lain, saya lebih suka menghabiskan waktu saya untuk membaca buku. Daripada galau memikirkan masa depan, misalnya tentang jodoh, saya memilih untuk membaca buku :-p. Daripada sibuk memainkan gadget, saya akhir-akhir ini lebih sering memaksa diri untuk membaca buku. Ini sebenarnya sulit karena memainkan gadget sebenarnya juga bisa memberi kesenangan. 

Ada satu lagi alasan kenapa saya suka membaca buku. Dengan membaca buku, saya ingin menjadi calon ibu yang pintar. Saya mendengar bahwa gen kecerdasan ibu itu bisa menurun pada anak-anaknya, walaupun tetap ada faktor-faktor lain yang juga membentuk kecerdasan anak. Secara subyektif saya mengorelasikan antara kesenangan membaca seorang ibu dengan kecerdasan anak-anaknya begini, jika seorang ibu punya banyak pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan membaca, maka pengetahuan itu bisa ia gunakan untuk mendidik anak-anaknya sehingga menjadi anak-anak cerdas. Bukankah berbeda antara ibu berilmu dan yang tidak berilmu? Kira-kira seperti itu.  



Senin, 05 Oktober 2015

Setelah Lima Tahun


"Siapapun kita, pasti ingin menikah dengan orang yang dicintai. Bukankah begitu? Lalu, sebelum menikah kita pasti ingin hidup bersamanya sampai kapanpun. Kita sering mendengar banyak pasangan berkata semacam, “Aku tidak bisa hidup tanpamu” atau “Bagaimanapun jangan pernah membiarkanku sendirian!” Pada saat sebelum menikah, ungkapan semacam itu sering diucapkan. Namun, setelah menikah setahun, 3 tahun, atau 10 tahun, mengapa banyak pasangan kemudian memutuskan untuk bercerai? 

Baru-baru ini baik di Jepang maupun di Indonesia ada kecenderungan meningkatnya jumlah pasangan yang bercerai. Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, dikatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat 251.000 pasangan yang bercerai. Sementara itu, menurut Kementerian Agama Indonesia, dikatakan bahwa pada tahun 2009 terdapat 250.000 pasangan yang bercerai. Bukankah kelihatannya hampir sama? Akan tetapi, karena jumlah penduduk Jepang lebih sedikit daripada Indonesia, bisa disimpulkan bahwa rasio perceraian di Jepang lebih tinggi daripada di Indonesia. Dari tahun ke tahun, angka perceraian itu terus bertambah. Ini adalah masalah sosial yang cukup serius. 

Saya menaruh minat yang cukup besar terhadap angka percerian yang terus meningkat ini. Saya kemudian mencoba membaca berbagai data berkaitan dengan masalah ini. Dari data-data tersebut saya menjadi tau bahwa pada dasarnya alasan perceraian itu bermacam-macam. Akan tetapi, jika diambil tiga alasan utamanya, yang pertama adalah karena perselingkuhan. Lalu yang kedua adalah kekerasan dalam rumah tangga. Tentang kekerasan dalam rumah tangga ini, akhir-akhir ini banyak koran dan televisi Indonesia sering memberitakannya. Inilah yang membuat istri menggugat cerai suaminya. Selanjutnya, alasan ketiga adalah ketidakcocokan karakter. Perbedaan pendapat dengan pasangan memicu terjadinya pertengkaran sehingga pada akhirnya kemungkinan untuk bercerai menjadi tinggi.

Setelah bercerai, di antara pasangan suami istri yang sudah berpisah ini timbul permasalahan baru. Masalah itu adalah tentang anak. Setelah orangtuanya bercerai, yang menjadi masalah adalah anak-anak akan tinggal dengan ayah atau ibu. Ada anak-anak yang kemudian menjadi rebutan orangtuanya. Itu membuat anak-anak sedih. Bagi mereka, perceraian orangtua tidak akan pernah mereka lupakan sampai kapanpun. Bagi anak-anak kecil, perceraian orangtua akan menjadi penghambat perkembangan mental mereka. Berbagai macam pengaruh negatif dari perceraian orangtua itu akan tertinggal sebagai luka di hati mereka.

Sejak setahun yang lalu saya menaruh minat terhadap perkembangan anak-anak. Kenapa demikian, ini karena saya mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak SD di sebuah tempat kursus. Sebagai guru, tidak hanya melihat prestasi belajar, saya merasa perlu memperhatikan karakter dan sikap murid-murid saya. Saya kemudian merasa ada perbedaan sikap dan karakter anak-anak yang orangtuanya bercerai. Ketika sedang belajar, anak-anak ini cukup sering melamun. Tidak hanya itu, mereka mudah marah dan agresif. Prestasi belajarnya pun secara umum kurang bagus.

Saya mengerti perasaan anak-anak seperti mereka. Sebenarnya, saya sendiri pernah mengalaminya. Dulu saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri, “Kenapa saya berbeda dengan anak-anak lainnya? Kenapa saya tidak bisa memiliki kehidupan seperti anak-anak lainnya?” Lama saya berfikir hingga akhirnya saya menemukan jawabannya. “Apakah saya memang butuh hidup sebagaimana anak-anak lain? Tidak, saya bisa hidup dengan cara saya sendiri. Saya adalah saya. Saya tidak akan pernah bersedih lagi!”. Inilah jawaban saya. Dengan afirmasi positif semacam itu saya menjadi bisa hidup dengan semangat. 

Dalam sebuah perceraian, yang paling merasa sangat bersedih adalah anak-anak. Oleh karena itu, sebelum bercerai, tolong benar-benar berfikir seratus, seribu atau sepuluh ribu kali. Jika timbul niat untuk bercerai, tolong benar-benar fikirkan perasaan anak-anak. Bagi anak-anak, tidak ada orang yang lebih penting daripada orangtua. Anak-anak ingin tinggal bersama ayah dan ibunya. Anak-anak kadang tidak bisa mengungkapkan semua itu tetapi dalam hati mereka berfikir seperti itu.

Saya ingin menyampaikan sesuatu kepada anak-anak yang orangtuanya bercerai. Apapun yang terjadi, kita tidak perlu lagi bersedih. Tuhan selalu menjagamu, juga membantumu. Ayo kita lewati hari-hari kita dengan bahagia. Di dunia ini ada banyak anak sepertimu. Kamu tidak sendirian. Banyak orang di sekitarmu yang menyayangimu. Hiduplah dengan mimpi-mimpi besarmu!"

                                                                                                        ***
Teks di atas adalah naskah pidato yang saya bawakan di sebuah acara nasional lima tahun yang lalu. Membaca kembali teks ini saya hampir tak percaya bahwa pada umur yang baru awal 20-an kala itu, saya bisa berbicara seperti itu.

Itu adalah pertama kalinya saya jujur kepada publik tentang keluarga saya. Orang-orang bertepuk tangan menyambut pidato saya, namun saya justru merasa ketakutan, "Tidakkah saya sedang mempermalukan diri saya di depan umum?" Namun semua sudah terlanjur. Pelan-pelan saya kemudian mulai membuka diri dan mengikis rasa malu dan minder tentang latar belakang saya. Proses yang panjang dan tak mudah. 

Lima tahun berselang, saya baru betul-betul menyadari efek pidato saya itu. Saya menjadi semakin percaya diri dan merasa tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dari diri saya. Saya justru lebih banyak membagi pengalaman ini pada banyak orang sambil berharap ada pelajaran yang bisa tersampaikan pada mereka. 

Minggu, 04 Oktober 2015

Keluar dari Zona Nyaman

Menjelang selesainya tahun anggaran seperti ini (macam kementerian/lembaga negara saja, hehe), saya menjadi lebih sibuk dari biasanya. Alasannya sudah bisa ditebak, banyak target belum terpenuhi sedangkan tahun sudah akan berganti. Setiap kali melihat kalender, rasa-rasanya deretan tanggal-tanggal sedang tertawa mengejek saya, "Memangnya targetnya bisa tercapai semua?" Kalau sudah begini, badan mulai panas dingin. Niat hati ingin mencapai semua target itu. Tapi rasa ngeri akan segera bergantinya bilangan tahun terus saja mengekor kemana pun saya pergi. 

Maka, salah satu cara yang bisa saya lakukan adalah dengan memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar saya bisa membubuhkan tanda centang pada target-target yang belum tercapai. Nah, salah satu target perbaikan diri saya tahun ini adalah menjadi seseorang yang berani keluar dari zona nyaman. Parameter keberhasilan pencapaian target yang satu ini memang agak sulit. Namun setidaknya saya harus lebih sering menghadapi dan menyelesaikan situasi/hal-hal yang saya tidak suka. Contoh mudahnya adalah saya yang tidak suka bangun pagi di hari libur harus pelan-pelan mengubah kebiasaan itu. 

Bangun pagi di hari libur bagi saya sejujurnya bukanlah hal yang mudah. Setelah lima hari kerja, Sabtu-Minggu adalah waktu yang pas untuk bangun siang, menebus beberapa jam kekurangan tidur di hari kerja. Saya biasanya tetap beraktifitas di luar rumah pada hari Sabtu-Minggu, hanya saja saya memilih berangkat agak siang setelah membayar hutang tidur dan mengerjakan urusan "domestik".

Pagi ini, saya memaksa diri saya untuk bangun pagi agar bisa menyelesaikan semua urusan yang telah saya rencanakan untuk hari ini. Menurut jadwal yang saya buat sendiri, saya harus keluar rumah jam 06.00 pagi karena saya memiliki kelas memanah di Masjid Agung Al-Azhar jam 07.00. Kelas memanah selesai jam 09.00 dan setelah itu saya mesti pergi ke Ancol untuk menghadiri acara temu kangen alumni Universitas Gadjah Mada. Sebisa mungkin saya harus hadir karena Lia, teman saya, meminjam sebuah buku dari saya untuk mengerjakan tesisnya. 

Semua rencana itu terlaksana. Artinya, hari ini saya telah berhasil keluar dari salah satu zona nyaman saya yaitu bangun siang di hari libur. Selain tentang waktu, hari ini saya juga mencoba keluar dari zona nyaman lainnya. Saya biasanya ikut memanah di sesi 3, mulai jam 11.00. Di sesi itu saya sekelas dengan Septa dan Rida, teman saya. Bagi saya itu adalah zona nyaman saya karena di kelas saya tidak perlu berkenalan atau mengobrol dengan teman-teman lainnya. Akan tetapi, hari ini saya pindah kelas ke sesi 1, jam 07.00. Ini berarti saya tidak memiliki teman yang sudah saya kenal di kelas itu. Ini berarti juga bahwa saya harus mencoba berkenalan dengan mereka jika saya tidak ingin menjadi patung sepanjang kelas berlangsung. Ini zona nyaman kedua yang perlu saya enyahkan. Sejujurnya saya termasuk orang yang cuek dan agak malas berbicara dengan orang-orang baru. Namun pagi itu saya harus mencoba. Dan alhamdulillah saya berkenalan dengan 4 orang di kelas. Seorang dari 4 orang tersebut ternyata adalah teman kuliah dari teman SMA saya. 

Selesai kelas memanah, saya cepat-cepat berangkat ke Ancol. Di dalam Bus Trans-Jakarta yang saya tumpangi, saya mengajak mengobrol seorang ibu berwajah oriental yang duduk di samping saya. Dari sana saya belajar untuk memanusiakan orang-orang di sekitar saya walaupun saya belum mengenal mereka.

Saat saya sampai di Halte Ancol, Lia dan Wiwit masih transit di Stasiun Duri dan menunggu kereta yang ke arah Stasiun Kampung Bandan. Saya kemudian memutuskan masuk ke gedung acara lebih dulu. Ini sebenarnya sulit bagi saya karena saya pasti akan celingak-celinguk seperti anak hilang di antara alumni yang beratus-ratus atau mungkin beribu-ribu jumlahnya itu. Saat turun dari bus Gratis yang disediakan Ancol khusus untuk pengunjung, saya berbarengan dengan dua orang perempuan muda. "Mau ke acara Kagama, Mbak?", saya mengawali percakapan. Setelah mengiyakan dan tau bahwa saya sedang menunggu teman-teman yang belum datang, kami pun masuk bersama sambil mengobrol. Ternyata, setelah ngobrol ngalor-ngidul, salah satu dari mereka adalah teman kos saya di kos yang hanya sekitar 6 bulan saya tempati di Jogja sebelum saya lulus kuliah. Dunia sungguh sempit!

Sepanjang acara berlangsung, saya mencoba menjadi orang yang ramah. Saya berkenalan dengan temannya teman dan mengobrol seru. Lalu, saat Pak Anies Baswedan datang, saya sebenarnya ingin menyapa tapi beliau kadung dirubung oleh para alumni lainnya. Saya pun kemudian memutuskan untuk menyapa Ibu Fery Farhaty, istri Pak Anies yang sedang duduk bersama ibu-ibu lainnya. Dengan Ibu Fery saya tidak mengobrol banyak. Untuk menghormati privasi beliau, saya pun mohon diri dan menitip salam untuk Pak Anies. Ibu Fery pun mengucapkan terima kasih karena saya sudah mau menyapa beliau. Dalam hati saya berkata, sekelas Ibu Fery lho mau mengucapkan terima kasih untuk sapaan yang sederhana dari remah-remah krupuk seperti saya ini. 

Terakhir, menjelang pulang, saya baru menyadari bahwa saya hanya bertemu dengan dua teman angkatan 2007. Sepanjang saya membaca nametag yang berisi nama, fakultas dan angkatan, saya belum melihat angkatan 2007 lainnya. Saya kemudian iseng mengedarkan pandangan membaca papan nama satu persatu. Macam ketemu teman lama, saya reflek berteriak, "hei, angkatan 2007 ya?" pada seseorang yang saya lihat di name tag-nya bertuliskan angka yang saya cari-cari itu. Setelah mengobrol singkat, ternyata kami sudah berteman di ruang virtual. Ia pun kemudian mengenalkan teman-teman lainnya yang juga sudah cukup familiar bagi saya di ruang virtual.

Jadi, hari ini saya sudah berapa kali keluar dari zona nyaman? Banyak!! Keluar dari zona nyaman itu awalnya memang tidak mengenakkan. Tetapi, ada kejuatan-kejutan kecil yang menyenangkan. Besok dan seterusnya apakah saya masih bisa meneruskan usaha saya untuk keluar dari zona nyaman? Nobody knows, but I'll try! Dan agar besok saya lebih siap untuk keluar dari zona nyaman, saya putuskan untuk menutup hari ini dengan menuliskan pengalaman seharian ini ke dalam blog. Sebenarnya kepala saya sedikit pusing dan ingin segera tidur. Tapi saya kemudian menstimulus diri saya untuk menulis. Dan ternyata, alhamdulillah saya bisa. Sekali lagi saya bisa keluar dari zona nyaman.

Sumber gambar dari sini



Kamis, 01 Oktober 2015

Hari Bahagia

Beberapa bulan terakhir ini, saya selalu meluangkan waktu Rabu lepas kerja saya untuk mengikuti kajian di Masjid Agung Al-Azhar. Maka, setiap Hari Rabu saya selalu berusaha keluar dari kantor segera setelah jam kantor selesai. Saya bersedia lembur hari apa saja selain Rabu. Saya atur pekerjaan saya sedari awal pekan agar sebisa mungkin tidak menumpuk di Hari Rabu. 

Mendatangi masjid, sholat berjama'ah di sana, membaca Al-Quran, mendengarkan kajian bersama ratusan orang lainnya, selalu berhasil membuat hati saya damai. Saya merasa bahagia. Perasaan semacam itulah yang membuat saya keukeuh meluangkan Rabu petang saya. 

Sebenarnya, jika saya tak bisa pergi ke Al-Azhar Rabu petang itu pun saya tetap bisa mengikuti kajian melalui aplikasi Periscope secara streaming dari rumah. Namun, tetap saja rasanya berbeda. Menurut saya streaming itu tak hidup, tak ada ukhuwah, tak ada suasana masjid yang syahdu, tak ada pancaran semangat teman-teman yang datang ke majelis ilmu itu. 

Di Rabu malam itulah saatnya saya menyerap semangat teman-teman yang datang. Ada Vivi yang selalu tak mau melewatkan Rabu Malam itu jika memang sedang tidak dinas ke luar daerah. Ada Kak Mutia yang selalu tak masalah menembus kemacetan Jakarta demi Rabu Malam itu. Ada Rida yang selalu ingin datang ber-Rabu malam bersama kami walaupun urusan pekerjaan sering menghalangi. Juga, ada semangat ratusan orang lainnya yang mungkin juga sekuat tenaga meluangkan waktu, melawan kemalasan dan hambatan untuk Rabu Malam yang berharga itu.

Semangat mereka itulah yang memicu saya untuk ikut bersemangat juga. Dengan kata lain, mereka menularkan semangat itu pada saya. Saya kemudian mencoba menularkannya kepada teman-teman kantor saya walaupun ternyata ini tidak cukup mudah. Berkali-kali saya mengajak teman-teman kantor saya, tetapi hanya respon datar yang saya dapat. "Yah, jauh banget ke Al-Azhar". "Kok weekday sih acaranya? Kan Kamisnya kerja?". "Kok malam gitu acaranya?" 

Tapi, sepertinya Allah kemudian kasihan pada saya yang terus-terusan mendapat respon semacam itu. Sebulan terakhir ini, satu persatu teman kantor saya mau ber-Rabu Malam bersama saya. Awalnya Septa, dua pekan kemudian tambah Mbak Arta. Sepekan selanjutnya tambah Oci. Akhirnya, Rabu Malam di hari terakhir September ini, kami berempat bersama-sama menghabiskan Rabu Malam kami di Masjid peninggalan Buya Hamka itu dengan satu niat, tholabul 'ilmi. Bagi saya, kesempatan semacam ini adalah salah satu kesempatan yang paling membahagiakan. 

Hati manusia itu berbolak-balik. Saat ini kami memang sedang dalam semangat penuh untuk mendatangi majelis ilmu. Namun, di waktu-waktu mendatang apakah kami akan bisa tetap istiqomah seperti ini? Tidak ada yang bisa menjamin. Maka, kami titipkan hati kami hanya pada Allah. Pelan-pelan saya mendengaungkan doa rabithoh. 

"Ya Allah, sesngguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka bersatu (di jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, Ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma'rifat-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin. Dan semoga sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad SAW, kepada keluarganya dan kepada semua sahabatnya."