Translate

Senin, 30 November 2015

Pena dari Makkah

Pagi itu, saya dan dua orang teman kantor saya, Rosi dan Mbak Putri, mengikuti Tabligh Akbar dengan tema Guruku Pahlawanku di Masjid Istiqlal. Di acara yang diselenggarakan oleh AQL Islamic Center ini kami sengaja datang lebih pagi agar bisa menempati shaf depan. Bagi kami, duduk di shaf depan di sebuah majelis itu banyak manfaatnya. Salah satunya adalah bisa lebih berkonsentrasi menyerap dan mencatat materi karena posisi kami yang cukup dekat dengan pembicara.

Ada tiga pembicara yang hadir di acara tersebut; Dr. Adian Husaini, Ustad Bachtiar Nasir dan Syeikh Khalid Al Hamudi. Dua pembicara yang saya sebut pertama itu saya sudah cukup familiar. Tapi, Syeikh Khalid Al Hamudi ini saya baru pertama kali mendengar nama beliau (mungkin karena saya yang kurang belajar).

Saat moderator mempersilakan Syeikh yang merupakan Imam Besar Masjidil Haram ini tampil dan mengisi materi, muncullah seorang berwajah Arab yang tengah duduk di atas kursi roda. Beberapa orang mendorong kursi roda beliau sampai ke atas panggung. Seketika itu hati saya rasanya ngilu seraya terus bertanya, "Itu benar Syeikh Khalid Al Hamudi?"

Melihat pemandangan itu, saya seperti dipaksa untuk memikirkan banyak hal. Beliau saja yang, maaf, tak bisa berjalan, mau terus berdakwah sampai jauh-jauh ke Indonesia. Bahkan, menurut penjelasan moderator, Syeikh Khalid Al Hamudi ini aktif berdakwah sampai ke Afrika. Sedangkan saya, yang secara fisik tak kurang satu apapun ini kadang masih berat mengayunkan kaki menghadiri majelis ilmu. Padahal, majelis ilmu ada di seputaran kota saya sendiri. Saya pun rasanya semakin seperti tertampar saat beliau mengingatkan kami para jamaah untuk sering menghadiri majelis ilmu karena salah satu fadhillah bagi seseorang yang berjalan ke majelis ilmu adalah Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.

Dengan semangat saya mencatat materi yang beliau sampaikan. Di akhir materi, beliau memberikan tiga pertanyaan kepada para jama'ah. Bagi yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, akan beliau beri hadiah. Sepersekian detik setelah pertanyaan pertama diterjemahkan oleh penerjemah, saya langsung mengangkat tangan. Sepersekian detik setelahnya, tangan-tangan lain ikut terangkat. Dan alhamdulillah, Syeikh mempersilakan saya menjawab pertanyaan pertama. Alhamdulillah lagi, jawaban saya dinyatakan tepat. Seorang anak laki-laki berwajah Arab mengambilkan hadiah saya dari atas panggung. Gemetar saya menerima kotak kecil bersampul putih itu. Bisa ditebak apa isinya? Yes, isinya adalah pena yang sangat indah. Bukan main saya senangnya.

Kenapa pena? Saya tak tau pasti apa maksud Syeikh memilih pena sebagai hadiah untuk kami. Mungkin, maksud beliau adalah agar kami semakin termotivasi untuk mendatangi majelis ilmu dan mencatat ilmu sebanyak-banyaknya dari para mu'allim (guru). Bagi saya pribadi yang suka dunia tulis menulis, hadiah pena ini seperti metafora agar saya terus menulis. Mungkin seperti itu.




Rabu, 25 November 2015

Hapsari

Dari 19 aksara yang menyusun namanya, ada satu kombinasi huruf yang membentuk satu kata dengan arti yang sangat bagus, "Sari" yang berarti bunga. Dalam keseharian ia tidak dipanggil "sari", tapi di tulisan ini izinkanlah aku menyebutnya "Sari".

Adakah di dunia ini orang yang tidak menyukai bunga? Barangkali hampir semua orang menyukai bunga. Pun orang yang alergi terhadap serbuk sari, bisa jadi mereka pada dasarnya tidak membenci bunga. Mungkin tersebab oleh alergi itulah mereka akhirnya tidak mau dekat-dekat dengan bunga tertentu.

Sebagaimana bunga pada umumnya, ia adalah sosok yang kehadirannya selalu menerbitkan keceriaan bagi orang-orang di sekitarnya. Ia ramah, murah senyum dan suka mengajak orang untuk bercanda. Setiap ia ada, suasana yang kaku pun bisa tercairkan. Namun, siapa sangka bahwa ia pernah mengalami kegetiran hidup yang begitu hebat di masa lalunya?

Saat Sari duduk di kelas 2 SMP, Allah memanggil ibundanya untuk berpulang ke haribaan-Nya. Ini membekaskan kesedihan yang luar biasa di masa belianya. Pasca itu, hari-harinya lebih banyak ia gunakan untuk belajar dan belajar. Wajahnya selalu terlihat murung dan kaku sehingga teman-temannya enggan bergaul dengannya. Ia semakin murung setelah ayahnya menikah lagi dengan wanita yang sifatnya sangat berbeda dengan almarhumah ibundanya. Ia merasa tidak nyaman berada di rumah. Sesekali terjadi pertengkaran kecil dengan ayahnya. Ini berlangsung terus hingga ia lulus dari SMA terbaik di kotanya.

Lulus SMA, ia diterima di sebuah universitas negeri favorit di Kota Pahlawan. Itu adalah titik balik kehidupan barunya. Tinggal jauh dari orang tua membuat ia menemukan kembali siapa dirinya. Perlahan ia kembali ceria. Semangat hidupnya kembali menyala. Skala pertemanannya pun semakin meluas. 

Ia lulus kuliah dengan predikat cummlaude. Ia lalu bekerja di sebuah perusahaan swasta bonafit di Surabaya. Namun, itu ternyata belum membuat puas ayahandanya. Sang ayah menginginkan putrinya ini bekerja di BUMN atau menjadi PNS. Berbagai rangkaian tes masuk BUMN dan CPNS ia coba. Pertama kali mencoba, gagal. Mencoba lagi, gagal di tahap sekian. Mencoba yang lain lagi, diminta untuk membayar uang pelicin sekian puluh juta, ia menolak. Mencoba yang lain lagi, gagal lagi. Demikian seterusnya entah hingga bilangan ke berapa.

Saat ia menghadapi kegagalan demi kegagalan itu, saat ia nyaris putus asa, datanglah seorang pria pintar dan baik hati melamarnya, mengajaknya untuk menikah. Ia bimbang. Satu sisi ia belum memenuhi keinginan keluarga besarnya untuk menjadi pegawai BUMN atau PNS, tapi di sisi lain ia tak mau menolak pria itu. Akhirnya, bismillah, ia mantap untuk berumah tangga. Untungnya, keluarga besarnya pun mengizinkan. Ia tinggalkan pekerjaannya di Surabaya kemudian menikah dan hijrah ke Ibukota, tempat tinggal suaminya.

Rupanya memang benar janji Allah bahwa Ia akan membukakan pintu-pintu rezeki bagi siapa yang berani menggenap. Beberapa bulan setelah mencicipi Ibukota, Sari diterima di sebuah universitas negeri untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Beberapa bulan berikutnya, ia lolos pada seleksi penerimaan CPNS di sebuah kantor pemerintahan di Jakarta. Ini adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi Sari dan tentu saja juga bagi keluarga besarnya.

Saat ini Sari sudah dikaruniai seorang putra yang sangat sehat, cerdas dan tidak rewel. Sama seperti dirinya, putra sulungnya ini begitu murah senyum. Ibu mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran cucu pertamanya ini. Terlebih saat beliau tau golongan darah cucunya itu, "Alhamdulillah golongan darahnya O, bisa agak slow nanti anaknya." Beliau berharap sang cucu bisa  mencairkan suasana keluarganya yang semuanya bergolongan darah A sejati: perfeksionis dan serius.

Sari terlihat sangat bahagia walaupun sebenarnya tetap ada kerikil-kericil kecil yang manghalau perjalanan hidupnya. Doaku untukmu, Sari, semoga kamu selalu bahagia dan membahagiakan orang-orang di sekitarmu. 


sumber gambar : pernikdunia.com

Selasa, 24 November 2015

Hadapi Saja!

"Aku akan mencarinya. Ku dengar dia tinggal di Ambon sekarang, bersama keluarga barunya."

Riana* mengawali ceritanya siang itu. Dia nampak yakin walaupun tetap saja gurat kegundahan tergambar di wajahnya. 

"Ya, sebaiknya memang begitu. Bagaimanapun, dia tetap ayah kandungmu. Dialah yang paling berhak menikahkanmu", pelan-pelan aku menimpali.

"Tapi aku belum sepenuhnya ikhlas. Bagaimana bisa orang yang tak pernah ku kenal, tak membesarkanku tiba-tiba harus menjadi orang terpenting di hari pernikahanku?" matanya mulai berkaca-kaca.

Hening. Aku diam, menantikan kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan.

"Bagaimana juga dengan mamaku? Mama pasti tidak akan mau jika dia --orang yang sudah menggoreskan luka di hati mama-- yang menjadi wali nikahku. Bagaimana juga dengan perasaan bapakku yang sekarang? Aku, anak yang telah dibesarkanya sebagaimana anak kandungnya sendiri, menikah di bawah kewalian mantan suami istrinya."

"Mama mau aku memakai wali hakim", ia lalu diam, menantikan responku.

Aku diam sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "Wali pertama memang ayah kandung. Jika tidak ada, hak perwalian baru turun ke paman dari pihak ayah. Ini masalah hukum. Sebaiknya kita bertanya pada ustad yang lebih paham tentang ini." Aku kemudian menuliskan link dari situs Yutube berisi kajian Ustad Khalid Basalamah yang membahas perkara nikah.

"Kajian Kitab Bulughulmaram Hadits ke 996 Bab Nikah." Ku sodorkan catatan itu padanya.  

"Coba dari sekarang sering-sering diskusi dengan Mama tentang masalah ini. Yakinkan agar beliau ridho kamu nikah di bawah perwalian ayah kandungmu. Jelaskan sepelan dan selembut mungkin. Juga pada ayahmu yang sekarang, jelaskan bahwa ini semua tidak akan mengurangi rasa hormat dan sayangmu pada beliau. Atau bisa juga begini, setelah kamu bertemu dengan ayah kandungmu, mintalah izin agar dia ikhlas kamu menikah dengan wali hakim demi menjaga perasaan mama dan ayahmu yang sekarang. Tapi pendapatku ini sangat subyektif"

"Tapi aku tetap takut. Bagaimana jika ini akan menyulut masalah baru? Aku pun sebenarnya masih ragu untuk mencari bapak kandungku ke Ambon. Ya, kalau dia mempermudah pernikahanku, kalau justru mempersulit, bagaimana? Belum lagi dengan respon keluarga besar mamaku dan keluarga besar bapak kandungku. Aku benar-benar takut konflik lama akan bangkit kembali".

Aku mencoba memahami ketakutan-ketakutannya itu. "Tugas kita berikhtiar semampu kita. Wajar kita takut pada hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Tapi,  bukankah Allah selalu menyelipkan hal baik terhadap setiap hal buruk yang menimpa kita? Kita harus mengharapkan yang terbaik sembari menyiapkan hati untuk menghadapi hal yang terburuk yang mungkin akan terjadi. Ya, kita hanya perlu menghadapinya."

Kami sama-sama diam beberapa detik. "Berarti, hadapi saja ya?", retoris ia bertanya padaku. "Ya, hadapi!", aku mengangguk sembari tersenyum padanya.


sumber gambar : ellyswartz.com


*Nama sebenarnya tapi bukan nama panggilannya sehari-hari.

Senin, 16 November 2015

Naik Pesawat

Salah satu mimpi masa kecil saya adalah bisa naik pesawat terbang. Ketika ada pesawat yang suaranya terdengar cukup keras, cepat-cepat saya keluar rumah dan menengok ke angkasa. Mata dan telinga saya seolah bersinergi mencari sumber suara tersebut. Saya pun girang bukan kepalang ketika mendapati pesawat tersebut terlihat lebih besar daripada yang saya lihat pada hari-hari lainnya. Jika sedang sangat bersemangat, saya bahkan melambaikan tangan seraya berteriak, "Halo Pilot!", berulang-ulang. #norakmodeon.

Adalah hal yang nyaris mustahil bagi anak desa seperti saya ini bisa naik pesawat. Bisa makan tiga kali sehari saja sudah alhamdulillah, kok jauh-jauh membayangkan berpergian naik pesawat. Walaupun begitu, impian saya untuk bisa naik pesawat tidak pernah pupus. Ketika usia saya semakin bertambah, nyatanya saya tetap takjub tiap kali ada pesawat yang terbang cukup rendah melintasi angkasa. Suatu hari nanti saya pasti bisa naik pesawat, gumam saya sembari menerawang jauh mengikuti laju pesawat itu.

Saat saya kelas XI SMA, saya lolos ke babak final tingkat nasional lomba pidato anti-korupsi yang diselenggarakan oleh KPK. Tentu saya senang menerima kabar ini. Namun, ada satu hal yang membuat saya lebih senang, saya membayangkan pergi ke Jakarta dengan naik pesawat. Saya sudah yakin betul bahwa panitia akan menyediakan tiket pesawat PP untuk para finalis berlaga di Jakarta. Namun, ternyata tidak! Kata guru saya yang mengurus perjalanan saya ini, panitia hanya bisa menyediakan tiket kereta api eksekutif untuk finalis yang berasal dari Pulau Jawa karena keterbatasan anggaran. Runtuh sudah imajinasi tentang pesawat ke Jakarta itu.

Empat tahun setelah kejadian itu, saat saya kuliah semester VI,  saya mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang tingkat DIY dan Jawa Tengah. Tak disangka, saya menang sehingga berhak maju ke babak final di Jakarta. Sebagai penyelenggara, The Japan Foundation meyiapkan tiket pesawat PP untuk saya ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung, Pesawat Garuda! Bukan main bahagianya saya kala itu. Pertama kalinya naik pesawat, langsung Garuda!

Tak lama setelah itu, nasib baik sepertinya berpihak pada saya. Berturut-turut saya memenangkan lomba. Pekerjaan saya pun semakin lancar. Pundi-pundi tabungan saya mulai terisi.

Menjelang akhir tahun 2010, saya dan teman-teman saya yang tergabung dalam kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) menginisiasi sebuah komunitas, Book For Mountain namanya. Kami mengunjungi daerah-daerah pelosok di Indonesia untuk memotivasi anak-anak agar gemar membaca dan berani meraih cita-cita. Dengan tabungan pribadi, saya bisa mengikuti semua project yang kami rencanakan. Dan tentu saja, beberapa lokasi project itu berada di tempat yang jauh sehingga harus kami tuju dengan pesawat. Lama-lama, naik pesawat adalah hal yang biasa bagi saya.

Dulu ketika saya kecil, saya membayangkan semua kenyamanan yang akan saya raih di masa depan, termasuk berpergian dengan naik pesawat, sepenuhnya hanya demi saya pribadi. Ibarat sebuah sebuah Diagram Venn, himpunan mimpi saya itu sama sekali tidak ada irisannya dengan himpunan lain. Akan tetapi, semua itu perlahan berubah karena banyak faktor: keluarga, pertemanan, buku-buku bacaan dan lingkungan lainnya. Faktor-faktor itu serupa puzzle yang satu persatu tersusun membentuk gambar pemahaman yang utuh.

Saya mulai paham bahwa semua kenyamanan yang saya dapatkan tidak akan ada nilainya di mata Allah jika tidak dibagikan kepada sesama. Saya mulai mengerti bahwa kebahagian yang sesungguhnya itu bisa kita raih jika kita mau berbagi. Seperti kata Sayyid Quthb, "Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri, maka ia akan terasa sangat singkat dan tak bermakna. Tapi, ketika hidup ini kita persembahkan untuk orang lain, ia akan terasa panjang, dalam dan penuh makna."

Dan ternyata, jika kita niatkan hidup kita untuk orang lain, beban hidup rasanya semakin ringan. Segala penat, lelah dan sedih rasanya berkurang beberapa derajat ketika kita mengingat untuk siapa semua pengorbanan ini kita berikan. Mengutip kata-kata Pak Anis Baswedan saat pelatihan Pengajar Muda Angkatan IV, "Ingatlah, apa yang kita kerjakan ini bukan tentang kita, tapi tentang mereka (anak-anak Indonesia). It's not about me, but about them!" Ah kawan, semoga Allah selalu memberikan sinyal hidayah-Nya pada kita agar istiqomah menciptakan arti untuk orang-orang sekitar.


sumber : dearryk.com

Minggu, 15 November 2015

Sekali Lagi, Islamofobia

Tahun ini, 2015, dibuka dengan berita serangan pada kantor redaksi majalah satire Perancis, Charlie Hebdo. Bisa ditebak, kepolisian Perancis menyatakan bahwa pelaku serangan tersebut adalah sekelompok muslim, bagian dari jaringan Al-Qaeda katanya. Sejak peristiwa itu, gelombang Islamofobia di negara-negara barat makin menguat. 

Masih segar ingatan kita pada peristiwa tersebut, kita kembali dikejutkan dengan berita senada yang juga terjadi di Perancis. Kali ini, korbannya semakin banyak. Lebih dari 100 orang tewas dalam serangan yang lagi-lagi menurut otoritas keamanan setempat dilakukan oleh sekelompok muslim tertentu. Laman BBC Indonesia menyebutkan bahwa, "Penyelidik Prancis sudah mengungkap identitas seorang penyerang yang menewaskan 129 orang di Paris. Nama warga negara Prancis Omar Ismail Mostefai disebut oleh media lokal dan parlemen Prancis."

Media sosial seketika dipenuhi dengan ungkapan simpati pada peristiwa tersebut. Dan muslim pun seolah sedang dipojokkan atas peristiwa tersebut sehingga sebagian merasa perlu ikut bersalah. 

Ada sebuah ironi di sini. Ketika Palestina bertubi-tubi diserang oleh Israel dan kawanannya, mengapa warga dunia seolah tutup mata dan tak bereaksi apa-apa? Ketika dalam waktu yang hampir bersamaan dengan serangan Paris, terjadi pula serangan mematikan di Beirut, mengapa mata dunia seolah hanya tertuju pada Paris? 

Media massa pun tidak berimbang memberitakan semua itu. Jika yang menjadi korban adalah barat, sepertinya sah-sah saja menjadikan muslim sebagai satu-satunya tersangka. Media kompak melabelkan muslim sebagai teroris. Sementara itu, Amerika Serikat yang jelas-jelas menyerang Iraq dan Afganiskan sehingga menewaskan puluhan ribu jiwa, tak pernah dilabeli sebagai teroris! Yang terjadi justru sebaliknya, "Amerika adalah pembasmi teroris." Dan anehnya, dunia sepakat dengan label itu.

Kita (muslim) tanpa sadar kadung ikut menerima pandangan itu. Semua pemberitaan yang memojokkan Islam kita telan mentah-mentah. Padahal, jika kita mau berfikir sedikit saja, banyak kejanggalan yang ada pada berita-berita yang dirilis oleh media massa. Seperti yang kita baca pada laman BBC Indonesia berikut ini. 



Dikatakan bahwa, "Sebuah paspor Suriah, ditemukan dekat jasad seorang pelaku penyerangan di Stade de France, dipakai untuk melewati Pulau Leros, Yunani, bulan lalu, kata pejabat Yunani". Bukankah ini aneh? Di belahan bumi manapun, pelaku kejahatan selalu sebisa mungkin menghapus jejak mereka agar meraka atau kelompok mereka tidak tertangkap. Jika benar pria Suriah ini adalah salah satu pelaku serangan tersebut, apakah mungkin ia sengaja membawa paspornya saat aksi itu ia lakukan? Dan lagi, mengapa paspor tersebut bisa tetap utuh sementara jasad semua yang dinyatakan sebagai pelaku itu sudah hancur berkeping-keping? Benar-benar sebuah lelucon yang menggelikan!

Episode penyulutan Islamofobia mungkin belum akan berhenti pada aksi Perancis kali ini. Sebagai orang awam, kita mungkin tidak akan benar-benar tau siapa sesungguhnya sutradara dari semua aksi semacam itu. Tapi, setidaknya kita perlu selektif menyaring berbagai berita yang menyudutkan Islam. Dan sepertinya, kita pun perlu punya keberanian untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang menyudutkan agama kita (Islam).

Jumat, 13 November 2015

Selubung Tak Tembus Pandang

“Nah, itu Universitas Indonesia!”, kata saya pada anak-anak saat kereta Commuter Line (CL) yang kami tumpangi melintasi salah satu kampus terbaik di tanah air itu. “Dulu, Ibu Mutia dan Ibu Riri kuliah di UI”, saya menambahkan dengan lebih antusias.

Hari itu, kami Alumni Pengajar Muda Kabupaten Bima dan para relawan sedang mengadakan kegiatan Tur Kota Tua dengan anak-anak Bima yang mendapat kesempatan belajar di SMP-SMA Smart Ekeselensia Dompet Dhuafa dan Insan Cendikia Madani. Itu adalah perjalanan pertama anak-anak dengan CL. Mereka terlihat sangat bersemangat. Mereka mengamati setiap detail yang mereka jumpai di sepanjang perjalanan dari Bogor sampai ke Kota Tua itu. Saya pun mendadak berubah macam pemandu wisata yang menerangkan banyak hal kepada peserta tur.

“Gedung yang bentuknya seperti batu itu adalah perpustakaannya”, saya melanjutkan. Iman, siswa kelas VIII tiba-tiba bertanya kepada saya, “Kalau utadzah, dulu kuliah dimana?”. Saya bingung, ustadzah siapa? Saya tidak mengenal seorang pun ustadzah di sekolah mereka. Saya hanya mengenal beberapa ustad wali asrama mereka. Jadi, ustadzah mana yang Imam maksud?, saya berfikir beberapa detik.”Ustadzah siapa?”, saya bertanya untuk mengurai maksud Imam. “Ustadzah!”, jawab Imam sambil menunjuk saya. Seketika itu saya kaget dan Riri yang berdiri tepat di samping saya pun kaget sehingga kami secara reflek saling berpandangan. Hening. “Yang Imam maksud itu mungkin Kak Dita”, kata Riri sambil menahan tawa.

Pandangan saya beralih ke Imam. Saya menjadi salah tingkah. Tak sanggup saya membahasakan diri saya sebagai ustadzah. Panggilan itu terlalu berat untuk saya yang masih sepayah ini. “Oh, Ibu Dita maksudnya?”, pertanyaan itu saya lontarkan sambil mengarahkan ujung jari telunjuk ke batang hidung saya. Imam mengangguk, “Iya.” Saya yang masih agak syok dengan panggilan yang Imam berikan pada saya itu, mulai menguasai situasi. “Kalau Ibu Dita dulu kuliahnya di UGM, Imam. Sama seperti Ibu Diah.”

Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa Imam memanggil saya dengan sebutan ustadzah? Apakah dia mengira saya adalah salah satu ustadzah di sekolahnya sekarang? Dulu ketika di Bima Imam memang bukan berasal dari sekolah yang saya ajar sehingga bisa jadi ia kurang familiar dengan saya. Tapi, selama 1,5 ia bersekolah di Smart Ekselensia, tak kurang lima kali saya sudah menjenguknya dan mengajaknya jalan-jalan. Masakah Imam tidak mengingat saya?

“Oo.. soalnya kamu itu pantes jadi ustadzah, Dit!” terang Kak Mutia saat saya meceritakan apa yang baru saja saya alami itu. Kejadian itu terus terngiang-ngiang di benak saya. Barangkali Imam memanggil saya “ustadzah” karena melihat penampilan saya, saya berkesimpulan demikian.

Kadang, apa yang nampak dari luar itu dijadikan kesimpulan untuk menilai dalamnya seseorang. Padahal, tidak selamanya yang di luar itu paralel dengan yang di dalam. Dengan melihat penampilan kita atau cara kita bertutur, orang-orang mungkin akan memberikan penghargaan lebih pada kita. Di balik itu semua, barangkali banyak sikap kita yang senyatanya belum sesuai dengan penghargaan orang lain pada kita. Dalam situasi seperti itu, barangkali Allah sedang menutup aib kita, cela kita. Allah sedang mendekap kita dalam selubung yang tak tembus pandang.

Apa jadinya jika semua aib kita ini Allah izinkan tersingkap dan nampak jelas di depan banyak orang? Tentu kita perlu bersyukur selama Allah masih berkehendak menutupi aib kita sehingga yang nampak dari kita adalah yang baik-baik. Jika Allah saja mau menutup aib kita, tapi kenapa kita terkadang justru mengumbar aib saudara-saudara kita?

Tidak ada manusia yang bersih dari dosa dan cela. Usahlah kita mencari-cari aib dan mempergunjingkannya. Karena seburuk-buruknya akhlak seseorang, masih banyak hal yang kita pelajari dari mereka. Pun apa yang kita lihat buruk dalam takaran kita itu bisa jadi bernilai baik dalam takaran Allah.


Imam

Kamis, 12 November 2015

Kelas Internasional

Salah satu acara televisi favorit saya saat ini adalah sitkom Kelas Internasional di Net-TV. Menonton acara ini, saya serasa sedang bernostalgia dengan masa empat tahun yang lalu saat saya masih menjadi tutor Bahasa Indonesia di INCULS (Indonesian Cultural and Language Learning Service) di Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Suasana kelas di INCULS, orang-orang yang pernah ada di sana, muncul kembali di ruang memori saya tiap kali menonton Kelas Internasional.

Saya mulai menjadi tutor Bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing sejak petengahan 2009 hingga akhir 2011. Saya tidak ingat pasti berapa jumlah mahasiswa asing yang pernah saya ajar. Namun, adegan-adegan di sitkom yang tayang lima kali seminggu itu selalu berhasil membangkitkan kenangan-kenangan saya pada para mahasiswa saya. 

Saat melihat adegan tokoh Lingling yang kesulitan melafalkan kata "internasional" misalnya, pecahlah tawa saya karena tiba-tiba saya teringat pada salah seorang mahasiswa saya dari Jepang yang kesusahan melafalkan kata "perpustakaan". Contoh lainnya misalanya saat tokoh Kotaro memperagakan Karate, saya langsung teringat Mas Meddy, mahasiswa dari Perancis yang dengan piawai tampil memperagakan Pencak Silat saat acara pisah sambut mahasiswa INCULS.

Mengenal dan berinteraksi dengan aneka rupa manusia dari berbagai belahan dunia membuat saya belajar banya hal. Saya mulai mengenal ada negara bernama Vanuatu di Oceania dari seorang mahasiswa Papua Nugini. Saya mengenal gambaran alam dan penduduk Madagaskar dari Freddy, mahasiswa saya asal Madagaskar. Saya seolah sedang menyaksikan langsung konflik yang terjadi di Libya saat seorang mahasiswa saya asal Libya menceritakan konflik yang tengah terjadi di negaranya kala itu. Dari Laurent, mahasiswa saya asal Australia, saya menjadi tau bahwa di negeri Kanguru tersebut, Bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib bagi siswa SMA. 

Semua itu membuat saya merasa sangat bersyukur. Dengan menjadi tutor di INCULS, setidaknya saya telah mengisi masa muda (cie, dulu masih muda sih ya?) dengan kegiatan yang bermanfaat bagi diri saya dan semoga juga bagi bangsa saya. Menurut saya, menjadi tutor bagi mahasiswa asing adalah kesempatan yang baik untuk menghadirkan wajah bangsa Indonesia yang baik. Bagaimanapun, tutor adalah orang yang cukup sering mereka temui selama mereka di Indonesia. Semoga, dengan menjadi tutor yang baik, bisa mengubah opini negatif mereka tentang Indonesia.

"Orang Indonesia itu tidak bisa tepat waktu ya?", tanya hampir semua mahasiswa yang pernah saya ajar. Opini (atau malah memang fakta?) semacam itu berusaha saya patahkan dengan cara menjadi tutor yang tepat waktu. Banyak pula yang bertanya semacam ini, "Orang Indonesia itu lebih suka pada budaya asing daripada budayanya sendiri ya?" Itu saya bantah dengan cara menyisipkan cerita tentang budaya dan pariwisata Indonesia tiap kali tutorial. Atau, ada pula yang bertanya, "Banyak orang Islam yang menjadi teroris ya?" Maka, saya pun menjawabnya dengan memperlihatkan akhlak muslim yang baik.

Oh, ternyata sudah panjang tulisan ini. Sudah lewat jam 11.00 malam. Selamat tidur dan jangan lupa besok nonton Kelas Internasional ya! :-D














Selasa, 03 November 2015

Kado Untuk Ibuk

Tanggal 10 Oktober lalu Ibuk genap berusia setengah abad. Di keluarga kami, merayakan ulang tahun dan saling memberikan hadiah saat ulang tahun bukanlah hal yang dibudayakan. Ketika ada diantara kami yang berulang tahun, kami cukup memberikan selamat dan merapalkan doa-doa.

Ibuk memang tidak pernah memberikan kado saat saya berulang tahun. Tapi ini bukan berarti Ibuk tidak menyayangi saya. Ibuk barangkali punya cara tersendiri untuk mengungkapkan rasa sayang itu. Jangankan memberikan kado atau hadiah berupa barang, memberikan pujian saja rasanya tak pernah Ibu lakukan. 

Tentang prestasi belajar saya misalnya, seingat saya Ibuk tidak pernah sekalipun memuji saya secara langsung. "O, rangking I ya, alhamdulillah", respon Ibuk selalu sesederhana itu. Apapun prestasi saya, Ibu nyaris tak pernah memuji saya. Saya sempat berada pada titik dimana saya sangat butuh pengakuan dari Ibuk. 

Pada suatu waktu, secara tidak sengaja, saya mendengar Ibuk membanggakan prestasi saya di depan teman-temannya. Ibu menceritakan bagaimana usaha saya selama sekolah, kuliah hingga setelah lulus kuliah mendapat pekerjaan yang baik. Tentu saya senang mendengar semua itu. Tapi, kenapa selama ini Ibuk tidak pernah mengungkapkan semua itu pada saya? Saya ingin Ibu memuji saya. Saya ingin Ibuk memberikan reward (hadiah) atas prestasi saya. 

Dalam teori psikologi pendidikan ada yang namanya sistem reward (hadiah) dan punishment (hukuman). Reward diberikan kepada anak yang berhasil melakukan sesuatu untuk memotivasi anak agar mencapai keberhasilan lainnya. Sistem ini banyak diterapkan dan banyak membawa dampak positif bagi anak-anak. 

Lambat laun saya belajar mengambil pelajaran dari sikap Ibuk. Jika saya selalu dipuji dan diberi hadiah setiap saya berhasil meraih sesuatu, bisa jadi saya akan tumbuh menjadi seseorang yang hanya mau melakukan sesuatu jika mendapat reward tertentu. Saya mungkin juga akan menjadi seseorang yang selalu butuh pengakuan dan pujian dari banyak orang atas prestasi saya. 

Reward atas prestasi atau hadiah saat ulang tahun sepertinya memang sesekali perlu diberikan. Sesekali, bukan setiap kali. Setidaknya itu adalah wujud ungkapan rasa sayang kita pada orang-orang di sekitar kita. Sebagai kado ulang tahun Ibuk yang ke-50, saya membelikan sebuah HP baru. Semoga melalui hadiah yang sederhana ini Allah semakin menguatkan kasih sayang di antara kami.