Translate

Sabtu, 20 Februari 2016

Para Penjaga Iman

"Kata kakak aku yang di Medan mbak, dia iri lihat kita bisa pergi ngaji kemana-mana. Ustadnya bagus-bagus lagi. Dia pengen banget hadir langsung di kajian ustad Syafiq Reza Basalamah aja gak pernah ada kesempatan", kata mbak Arta sembari menunggu ayam goreng pesanannya siang itu.

"Iya ya Mbak, kita beruntung tinggal di Jakarta. Banyak majelis ilmu bisa kita datangi", saya menimpali. 

"E, tunggu dulu, tergantung siapa dulu temannya. Aku ngerasa beruntung lho punya teman kayak mbak ini yang suka ngajakin pergi ngaji", lanjut Mbak Arta.

"Ah, aku yang justru beruntung bisa punya teman-teman kantor kayak kalian yang semangat banget diajak pergi ngaji. Coba aku pergi sendiri terus, mungkin tidak akan se-istiqamah ini. Saking ngerasa beruntungnya ya, aku udah mau nulis tentang kalian di blog lho. Tapi belum ada waktu, hehe". Percakapan siang itu memaksa memori saya berlesatan pada masa-masa kebersamaan kami hampir setahun berlakangan ini. 

Sejak berkantor di Salemba saya bertekad untuk lebih sering datang ke majelis ilmu. Awalnya saya tidak pernah mengajak teman-teman kantor saya. Saya pergi bersama Rida, dan teman-teman alumni Indonesia Mengajar; Teh Nani, Vivi dan Kak Mutia. Lalu, pada suatu hari,  Mbak Arta, teman kantor saya bertanya, "Kenapa sih Mbak Dita kalau weekend gak pernah main ke mall bareng kita-kita?" 

"Walah mbak, coba mbak Arta sebutin nama-nama mall besar di Jakarta. Kemungkinan besar udah pernah aku jelajahi tu", saya tertawa getir membayangkan  masa-masa itu. "Dulu, awal-awal di Jakarta, aku juga kayak Mbak Arta. Sering banget ke mall, entah emang beneran belanja atau sekedar lihat-lihat. Tapi lama-lama bosen Mbak. Gitu-gitu aja dan cuma menghabiskan uang."

Lama-lama saya menyadari ada yang kurang dengan kehiduapan saya. Saya rindu masa-masa seperti dulu saat di Jogja: pergi mengaji ke berbagai masjid. Maka, sejak mulai berkantor di Salemba saya bertekad untuk kembali rajin pergi mengaji.

"Jadi, mbak kalau weekend ngapain?", lanjut Mbak Arta.

"Aku biasanya pergi ngaji sama teman-temanku, Mbak."

"Ngaji kemana Mbak? Boleh ikut?" 

Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti itu respon Mbak Arta. Kebetulan beberapa hari setelah itu, tanggal 2 Juni 2015 di Masjid Istiqlal ada kajian bertema "Kokohkan Keluarga dengan Al-Quran". Pembicara utamanya adalah Ustad Bachtiar Natsir dan Oki Setiana Dewi. Saya mengajak Mbak Arta dan gayung pun bersambut. 


"Kalau akhir pekan aku ngaji ganti-ganti Mbak. Kadang ke Istiqlal, Al- Azhar, AQL atau Masjid BI. Tergantung event yang ada. Tapi kalau Rabu malam insyaAllah aku ngajinya rutin ke Al-Azhar, Kajian Lepas Kerja The Rabbanians", kata saya pada Mbak Arta suatu hari. "Ya udah aku ikut juga ya Mbak!", seru Mbak Arta.

Saya masih ingat betul kami berdua pergi ke Al-Azhar setelah jam kerja. Dari halte Matraman kami menumpang Bus Trans-Jakarta jurusan Dukuh Atas II. Dari sana kami berjalan kaki melewati jembatan penyeberangan yang lumayan panjang dan menanjak ke halte Dukuh Atas I untuk berganti bus jurusan Blok M. Kalian tau kawan, Mbak Arta ini Allah anugerahi tangan dan kaki kanan yang ototnya mengalami pelemasan sehingga tidak bisa bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Bagi orang sehat seperti saya saja, menyeberang jembatan Dukuh Atas ini sudah cukup melelahkan. Bagaimana dengan Mbak Arta? Tapi apa nyatanya? Mbak Arta tak pernah mengeluh! Pun saat harus bergelantungan di dalam bus dengan hanya bertumpu pada satu tangan dan satu kaki, dia sama sekali tak pernah mengeluh! Jika Mbak Arta saja selalu semangat pergi mengaji dalam kondisi fisik semacam itu, tidak malukah saya jika saya bermalas-malasan?

Semakin lama, teman-teman kantor tau kalau kami sering pergi mengaji. Septa dan Oci ikut bergabung. Beberapa bulan terakhir ini Mbak Desy terkadang juga ikut bergabung. Kehadiran meraka membuat kami semakin bersemangat pergi mengaji. Satu lagi yang lebih penting adalah ketika kami harus pulang malam dari suatu kajian, kami tidak perlu lagi naik bus umum. Kami bisa naik taksi atau grab car dengan ongkos patungan. :-)

Betapa beruntungnya saya diberikan teman-teman seperti mereka. Bagi saya, ini adalah nikmat yang tak mungkin terbeli dengan uang. Saya jadi teringat dengan salah seorang teman saya yang bahkan harus sembunyi-sembunyi ketika akan pergi mengaji karena tidak ingin dianggap aneh oleh teman-temannya yang sangat gaul. Saya juga teringat dengan dua teman saya yang akhirnya tidak lagi pergi mengaji karena kesibukan setelah menikah. Satu doa saya adalah, ketika saya menikah nanti, semoga Allah tetap dekatkan saya dengan para penjaga iman seperti yang saya miliki selama ini. Atau justru semoga ada semakin banyak penjaga iman di sekitar saya. 


sumber gambar: aquila-style.com

Sabtu, 13 Februari 2016

Pengakuan

Teman   : Aku ngerasa nggak menonjol di kantor.
Saya       : Pingin menonjol?
Teman   : At least gak dilupakan.
Saya       : Untuk apa?
Teman   : Ngerasa pengen diakui aja.
Saya       : Untuk apa diakui?
Teman   : Dita, aku minta dikasih tausiyah.
                  Supaya tidak berharap pengakuan manusia, tapi Allah saja.
Saya       : Kata Rasulullah kalau gak salah, "Jadikan maut sebagai sebaik-baik nasihat". 
                  Semua yang ada di dunia ini hanya sementara. 
                  Yang kekal hanya kehidupan setelah mati.

Barangkali, semua orang (termasuk saya) pada dasarnya butuh pengakuan atas keberadaan kita. Dalam bahasa lainnya, ini disebut sebagai kebutuhan akan eksistensi.

Dulu, saya pernah berada dalam posisi sangat ingin diakui. Selalu ada rasa bangga ketika orang memuji apa yang saya lakukan. Selalu ada senyum pongah ketika posisi saya berada setingkat lebih unggul dibandingkan orang-orang lain. Tapi, semakin lama saya justru tidak mendapatkan kepuasan hidup yang sesungguhnya. Saya terlalu sibuk membangun citra, mengumpulkan tepuk tangan dari orang-orang sekitar. Lama-lama saya lelah.

Adalah sesuatu yang perlu saya syukuri karena seiring dengan berjalannya waktu Allah membisikkan pemahaman bahwa semua yang saya kejar itu hanyalah tujuan yang semu. Untuk apa semua pengakuan itu jika Allah tidak mengakuinya? Untuk apa pujian dari manusia jika Allah hanya akan menghinakan kita di akhirat nanti? Untuk apa semua orang mengingat kita jika Allah sama sekali melupakan kita?

Nasihat yang saya berikan untuk teman saya itu sesungguhnya juga saya tujukan untuk diri saya sendiri. Meski saya sudah paham betul bahwa yang perlu saya kejar hanya pengakuan Allah, sesekali saya masih ingin mendapat pengakuan dari manusia. Saya terkadang masih ingin bersaing dengan orang lain dalam urusan duniawi. 

Mungkin itulah gunanya teman. Semoga Allah selalu melingkupi kita dengan teman-teman yang mau meluruskan ketika jalan kita mulai bengkok.


sumber gambar : ciputraentrepreneurship.com

Jumat, 05 Februari 2016

Beginilah si O

Pada suatu hari di ruang keuangan.

"Mbak Sarah, ini Rencana Penarikan Kas terbaru", kata saya sambil menunjukkan dokumen yang dimaksud. Lalu jawab Mbak Sarah, "Oh ya udah, kasih Bu Siti aja ya!" Cepat-cepat saya menjawab, "Ok!", kemudian ngeloyor ke meja yang ada di ujung ruangan.

"Bu, ini rencana penarikan kas yang terbaru. Kemarin sudah saya kirim ke ke Pak Sekretaris tapi mungkin sekarang belum masuk ke Bagian Keuangan kan ya Bu? Jadi ini saya copy-kan dari arsip yang ada di kami dulu biar segera bisa diolah oleh Bagian Keuangan", saya menjelaskan dengan penuh semangat sedangkan si ibu lawan bicara saya itu manggut-manggut sambil beberapa kali mengiyakan. 

Lalu, Mbak Sarah tiba-tiba memanggil nama saya, "Dita!" Saya pun segera menoleh, "Ya?" sembari memperlihatkan senyum terbaik saya.  "Dokumennya kasih ke Bu Siti, bukan ke Bu Tina, sayang!", seru Mbak Sarah. Saya menarik kepala saya kembali pada Ibu yang ada di depan saya. Dan ternyata, yang di depan saya memang Bu Tina! Kenyataan itu bak sambaran petir di siang bolong nan cerah ceria. Kalian tau kawan, betapa malunya saya? Rasa-rasanya saya segera ingin berlari sambil manangkupkan telapak tangan ke wajah. Tapi saya hanya bisa nyengir dan menggigit bibir sementara seluruh ruangan terbahak-bahak melihat kekonyolan saya.

"Maafkan saya, Bu Tina! Bukannya saya lupa nama Ibu. Tapi entah kenapa ketika tadi Mbak Sarah menyebut nama Bu Siti, wajah Bu Tinalah yang muncul di kepala saya. Mungkin saya kurang minum aqua, Ibu. Hehe." Saya menjelaskan itu pada Bu Tina dengan ekspresi wajah antara ketawa dan hampir nangis karena saking malunya. 

Di hari lainnya, di Direktorat Anak.

Pada seorang bapak saya bertanya, "Maaf Pak, bisa bertemu dengan Mbak Lusi?" Lalu jawab Si Bapak, "O, Mbak Lusi sedang cuti". Saya mengedarkan mata ke ruangan yang tersekat-sekat secara cubicle itu, mencari sosok lain yang ingin saya temui. "Hmm.. kalau Mbak Lea, Pak?" Si Bapak berjalan ke arah cubicle sambil berseru, "Lea mana Lea?" Ekor mata saya mengikuti pergerakan Si Bapak lalu tertangkaplah sosok yang saya maksud. 

Karena siang itu saya sedang terburu-buru, saya berjalan cepat ke arah perempuan muda berkerudung warna coklat itu. Dan apa yang terjadi? Saya tersandung pipa jalur kabel! Saking kerasnya, sandungan itu menghasilkan suara yang dipastikan terdengar oleh seisi ruangan. Saya nyaris jatuh. Seisi ruangan melongokkan kepala ke arah saya sambil berkata, "Hati-hati Mbak!" Saking malunya, saya tak berani mengangkat muka ke arah mereka. Saya menelan ludah, bingung akan menunjukkan ekspresi seperti apa.

Masih terdengar suara orang-orang berbicara tentang saya. Saya bergegas, tidak mau lama-lama di sana karena tak kuasa menanggung malu. "Mbak, ini perolehan infaq hari ini," kata saya pada perempuan di depan saya. "Oh iya, makasih ya udah dikoordinir," jawab Si Mbaknya. Saya buru-buru pamit. Terdengar suara Si Bapak yang pertama kali menerima saya tadi. Karena masih didera oleh rasa malu yang luar biasa (lebay :-p) telinga saya sampai-sampai tidak bisa terfokus pada perkataan Si Bapak. Seolah dikomando oleh alam bawah sadar, kaki saya terus melangkah ke luar ruang.

Kembali ke ruang kerja, saya duduk sejenak, minum air putih dan menormalkan nafas yang tersengal. Dalam suasana hati yang lebih tenang, terlintas kejadian yang baru saya alami. Saya baru sadar bahwa yang saya serahi infaq tadi bukan Mbak Lea, tapi Mbak Rahma! Pikiran saya kemudian terlempar pada kata-kata Si Bapak tadi. Kata-kata yang tak terdengar jelas di telinga saya. Bisa jadi, Si Bapak tadi menjelaskan bahwa yang saya ajak bicara tadi Mbak Rahma, bukan Mbak Lea. *tepok jidat!

Kata Selvi, teman kerja saya, orang bergolongan darah O memang terkadang kurang kontrol seperti ini. Jadi, kalau kalian punya teman yang semacam saya ini, coba tanyakan mungkin golongan darahnya O. :-D 


sumber gambar : renungankopi.wordpress.com

Rabu, 03 Februari 2016

Mas Gagah: antara Imajinasi dan Visualisasi

Sekian tahun lamanya sosok Mas Gagah rekaan Helvy Tiana Rosa mengambil tempat di ruang imajinasi saya. Apa iya, sosok seperti ini benar adanya? Begitu pikir saya kala itu. Dalam keraguan tentang sosok Mas Gagah yang terlalu sempurna itu,  nyatanya Mas Gagah benar-benar hidup dalam imajinasi saya dan ya, saya akui kala itu saya mengidolakannya.

Pada akhirnya Ketika Mas Gagah Pergi difilmkan, adalah sesuatu yang saya tunggu-tunggu. Rupanya penantian itu bukan penantian yang singkat. Mbak Helvy, creator tokoh Mas Gagah, memiliki cara sendiri untuk mengantarkan karyanya ke layar lebar. Dana film dikumpulkan dengan cara patungan dari ribuan pembaca Ketika Mas Gagah Pergi. Tahap ini saja sudah menyita waktu yang cukup lama, yang tentu saja membuat saya semakin gusar menanti versi filmnya.

Lalu casting. Lagi-lagi ini tak singkat, juga tak mudah. Mbak Helvy amat jeli menyeleksi aktor yang paling tepat mewakili tokoh Mas Gagah. Dan akhirnya, diperolehnya Hamas Syahid Izzudin yang dirasa paling pas menjadi visualisasi tokoh Mas Gagah. Hamas adalah mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya yang juga seorang penguhasa muda berparas tampan. Selain itu, Hamas juga seorang penghafal Quran. Latar belakang inilah yang sepertinya membuat Mbak Helvy memilih Hamas sebagai Mas Gagah.

Karena diproduksi secara indie, film ini perlu proses khusus hingga akhirnya bisa tayang di bioskop. Tidak semua bioskop mau memutarnya. Namun, bagi saya ini justru menarik karena berbeda dengan film pada umumnya. Jauh-jauh hari saya harus meluangkan waktu khusus untuk melihat jadwal dan lokasi penayangan film ini. Dengan begini, penantian saya justru menjadi lebih berwarna walaupun di sisi lain saya semakin resah oleh rasa penasaran.

Beberapa tiket juga dijual secara early bird dengan harga lebih mahal dari biasanya. Keuntungan dari margin harga ini didonasikan sebagai dana kemanusiaan bagi rakyat Palestina dan dana pendidikan untuk anak-anak di Indonesia timur. Ini semakin menegaskan bahwa Mbak Helvy dan orang-orang di balik film ini memang punya misi yang tak sekedar mencari untung semata. Ada nilai kemanusiaan, pendidikan dan tentu saja syiar Islam yang mereka sematkan dalam karya mereka ini.

Akhirnya, Mas Gagah dan adik manisnya, Gita tervisualisasikan. Dan menurut saya, mereka tervisualisasikan dengan sangat ciamik. Karakter mereka terbangun dengan sangat kuat. Walaupun Hamas dan Aquino Umar (pemeran Gita) masih pendatang baru di perfilman tanah air, kemampuan acting mereka perlu kita apresiasi. Acting mereka yang didukung oleh para aktor profesional sebagai figuran semakin membuat film ini terkemas dan tersaji dengan sangat apik.

Lalu, pertanyaannya adalah apakah tujuan film ini sebagai media syiar Islam sudah terpenuhi? Bagi saya pribadi, iya. Film ini tidak hanya sekedar membuat penontonnya tau tentang sesuatu yang baru, tapi juga mampu menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Dari adegan mas Gagah ber-muroja'ah Surat Ar-Rahman misalnya, saya menjadi tidak sekedar tau bahwa waktu-waktu luang (seperti saat sedang berkendara) perlu diisi dengan hal-hal baik seperti mengulang hafalan Quran, tapi saya juga tergerak untuk memperbaiki dan menambah hafalan saya setelah menyaksikan adegan Mas Gagah itu.

Jadi, apakah kamu sudah nonton film ini dan merasakan manfaatnya?

sumber gambar : movie.co.id