Translate

Selasa, 12 April 2016

Tersenyum dalam Gelap

Rupanya, senyum memanglah bahasa universal yang bisa menghubungkan semua manusia, baik yang sudah saling mengenal maupun yang belum saling mengenal. Saya pernah sengaja melakukan percobaan sederhana selama beberapa hari tentang bahasa universal ini. Saat berada di elevator kantor misalnya, saya mencoba tersenyum pada orang-orang yang kebetulan ada di sana. Walaupun meraka tidak mengenal saya, ternyata mereka membalas senyuman saya. 

Percobaan selanjutnya saya lakukan saat saat naik kereta commuter line. Saat itu gerbong kereta sedang penuh sesak. Saya tidak mendapat besi pegangan tangan. Saya melihat ada sebuah pegangan yang kosong namun berada agak jauh dari posisi saya. Lalu, sembari tersenyum, saya meminta seorang wanita muda yang berdiri di dekat pegangan tersebut untuk menggeser tangannya. Wanita tersebut membalas senyum saya, kemudian mengalihkan tangannya ke besi pegangan yang kosong sehingga saya bisa berpegangan pada besi yang sebelumnya ia pakai. 

Di beberapa kesempatan lainnya, saya mencoba tersenyum ketika mengawali pembicaraan dengan orang lain, baik yang sudah saya kenal maupun yang belum saya kenal. Hampir semua orang tersebut ternyata membalas senyuman saya. Dari sini saya menyimpulkan bahwa ekspresi lawan bicara kita adalah sebagaimana ekspresi kita yang mengajak bicara. Saat kita berbicara sambil tersenyum, maka lawan bicara kita akan mengikutinya.

Karena merupakan ekspresi wajah, senyuman mungkin hanya bisa terindra oleh penglihatan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tuna netra? Ketika saya tersenyum pada mereka, apakah mereka bisa mengetahui bahwa saya sedang tersenyum pada mereka? Pertanyaan ini muncul seketika saat saya mengikuti Diklat pengangkatan pegawai di kantor dimana saya bekerja. Dari 30 peserta yang terdaftar, 3 diantaranya merupakan tuna netra. Mereka adalah Evi, Bang Zul dan Kang Asep.

"Haloo Evi, masih kenal aku gak?", saya menyapa Evi sambil menjabat tangannya. Evi tersenyum, "Aduh, mbak siapa ya? Maaf, Evi lupa Mbak!" Saya memaklumi karena kami baru saling mengenal setahun yang lalu, itupun hanya sepintas lalu karena kami harus segera berpisah untuk bertugas di satuan kerja masing-masing. Evi bertugas sebagai pembimbing psikologi di sebuah panti di Sukabumi, sedangkan saya sebagai auditor di kantor pusat, Jakarta.

Sore itu kami mengobrol beberapa menit. Kami bertukar cerita apa yang terjadi setahun terakhir ini. Saya memperhatikan wajah Evi baik-baik. Ada senyum manis di balik setiap kata yang keluar dari bibirnya. Senyuman yang mendamaikan hati siapa saja yang sore itu memandang lekat wajah Evi. Mulai hari itu dan 19 hari selanjutnya, selalu ada kedamaian setiap kali melihat bagaimana Evi tersenyum. 

Oleh karena itu, hampir semua dari kami (peserta diklat yang perempuan) selalu suka menggandeng tangan Evi entah ketika berjalan ke kelas, ke lapangan atau ke tempat makan. Secara bergantian kami juga responsif mengambilkan makanan untuk Evi. Kami pun akhirnya tau bagaimana SOP mengambilkan makanan untuk tuna netra. Pertama-tama, kami melihat menu makanan apa saja yang tersedia. Lalu kami memberitahukannya pada Evi agar ia memilih ingin diambilkan makananan yang mana dan seberapa banyak. Setelah makanan kami ambilkan, kami menerangkan tentang posisi makanan yang ada di atas piring. Cara menerangkannya adalah sesuai dengan arah jarum jam. Misalnya seperti ini: nasi ada di tengah dan sayur ada di angka 9. Lalu di angka 11 ada ayam goreng. Sebelah kanan ayam ada tahu balado dan disusul krupuk sampai angka 3. 

Kami selalu suka melakukan semua itu untuk Evi. Wajah Evi yang hampir tak pernah lepas dari ekspresi senyuman itu semakin membuat kami dengan senang hati membantu Evi. 

Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa tanpa bisa melihat ekspresi wajah kami pun Evi selalu menjawab kata-kata kami dengan senyuman? Entah saya tersenyum ataupun tidak saat memulai pembicaraan dengan Evi, selalu saja wajah Evi menunjukkan ekspresi senyum manisnya. Dengan melihat senyum Evi, tanpa saya sadari saya pun itu tersenyum. 

Mengenal Evi membuat saya belajar banyak hal. Jika dalam gelap saja Evi menebar senyuman untuk orang-orang sekitar, bagaimana dengan kita yang hidup dalam terang-benderang?


Mbak Arta (berkaca mata) dan Evi