Translate

Minggu, 02 April 2017

Setelah Sembilan Minggu di Kelas Matrikulasi

Bulan Maret tahun lalu, saat saya menjalani proses ta'aruf dengan (calon) suami saya, lelaki yang kini telah menjadi suami saya itu memberikan kesempatan kepada saya untuk menguraikan rencana masa depan saya, termasuk keinginan saya hendak menjadi istri dan ibu seperti apa. Saat itu, di depan beliau dan 3 orang yang membersamai kami, saya dengan lancar menjelaskan bahwa dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya ingin menjadi full time mother, yaitu posisi dimana saya bisa mendidik anak-anak saya secara langsung. 

Selain fokus pada keluarga, saya ingin tetap berkarya dari rumah dengan modal kemampuan mengajar dan menulis saya agar tetap menjadi ibu rumah tangga yang produktif. Saat itu, (calon) suami saya tersebut merespon dengan jawaban bahwa beliau pada dasarnya memberi kebebasan kepada istrinya apakah akan bekerja di ranah publik atau dari rumah dengan catatan keluarga tetap harus yang utama.

Kami pun akhirnya menikah 4 bulan setelah pertemuan tersebut. Kami yang sama-sama berprofesi sebagai PNS, sepakat bahwa untuk sementara kami akan berjauhan dulu mengingat suami bertugas di Kalimantan Selatan, sedangkan saya di Jakarta. Dalam posisi berjauhan tersebut kami terus berusaha mencari informasi dan jalan agar saya bisa mutasi tugas ke Kalimantan Selatan.

Ternyata, menjalani LDM (Long Distance Marriage) tidak semudah yang kami bayangkan. Apalagi saat saya dinyatakan hamil. Kemamilan tentu merupakan kabar bahagia bagi kami. Namun, kehamilan trimester pertama ternyata cukup tidak mudah jika dijalani seorang diri, jauh dari suami. Di tanah seberang pun suami sering merasa khawatir dengan keadaan saya dan janin yang saya kandung.

Qadarullah, proses mutasi kami pun terhambat oleh berbagai kendala yang sangat birokratis. Maka, pertimbangan-pertimbangan lain pun satu persatu bermunculan, salah satunya adalah pilihan untuk saya megundurkan diri dari PNS kemudian hijrah ke tanah Borneo mengikuti suami. Kami beristikhoroh, meminta petunjuk dari Yang Maha Pemberi Petunjuk sembari menganalisis berbagai langkah yang kemungkinan akan kami tempuh.

Suatu hari, saya mendapat pesan terusan dari sebuah grup WA yang saya ikuti. Pesan tersebut ditulis oleh Pak Jamil Azzaini, berjudul "Mengapa Harus LDR?" Membaca judulnya, saya tertegun sejenak. Lalu, kata per kata saya baca baik-baik. Tibalah saya pada paragraf yang serta merta membuat saya ingin kembali membacanya.

"Ketahuilah, berkumpul dengan keluarga itu adalah kenikmatan besar, jauh lebih besar dibandingkan gaji Anda yang terbesar sekalipun. Apalagi saat anak-anak dalam masa pertumbuhan. Mereka memerlukan figur, teladan dan tempat bertanya. Tugas kita bukan hanya melahirkan mereka ke dunia tetapi juga mendidik, mengarahkan dan berusaha menjadi teladan. Mereka perlu sentuhan, mereka perlu pelukan, mereka perlu nasihat, mereka perlu didengarkan. Bahkan mereka perlu ditegur secara langsung saat mereka keliru. Dan itu tak mungkin bisa dilakukan apabila Anda tinggal berjauhan."

Saya meneruskan pesan tersebut ke suami saya dan beliau menjawab dengan satu kata, "Renungkanlah." Saya mematung beberapa detik, tak bisa berkata-kata. Hari-hari berikutnya kegalauan saya terus bertambah. Dalam hati saya berkata, "Ternyata menikah memang tidak mudah ya!" Lalu suara hati yang lain menimpali, "Kalau mudah, maka bobotnya tidak akan senilai dengan setengah agama, Dita!" Saya tersenyum mengamini.

Beberapa hari kemudian, seorang teman membagikan tautan di laman FBnya tentang pembukaan kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional. Saya segera meminta izin suami untuk mengikuti kelas yang akan berjalan selama 9 pekan tersebut. Saya sama sekali tidak tau pelajaran apa yang akan saya terima di kelas Matrikulasi. Bismilah, saya niatkan untuk mencari ilmu, begitu saja.

Menyelami satu persatu materi yang disampaikan dan tugas yang diberikan, saya seolah menemukan kompas yang pelan-pelan membimbing saya mencari jawaban atas kegalauan saya. Arah pertama yang ditunjukkan oleh kompas tersebut adalah tentang misi hidup. Saya dibimbing kembali untuk mengingat dan meluruskan misi hidup saya agar langkah saya ke depan on the track, berpijak pada misi hidup tersebut. 

Selanjutnya, kata-kata Ibu Septi, "Rezeki itu pasti, kemualiaan yang harus dicari", membawa satu titik terang dari kekhawatiran saya akan konsep rezeki. Kata-kata lain yang lebih berdampak bagi saya adalah, "Allah berjanji menjamin rezeki kita. Maka, melalaikan ketaatan pada-Nya, mengorbankan amanah-Nya, demi mengkhawatirkan apa yang sudah dijamin-Nya adalah kekeliruan besar."

Beberapa kekhawatirkan saya ini pun sempat saya utarakan sebagai pertanyaan di grup WA Kelas Matrikulasi. Alhamdulillah, para fasilitator memberikan jawaban yang mencerahkan bagi saya. Teman-teman yang pernah mengalami hal yang senada dengan yang saya alami pun ikut berbagi solusi dan pelajaran berharga. Ini membuat saya merasa sangat bersyukur bisa bergabung dengan komunitas ibu-ibu yang ingin terus berubah menjadi lebih baik ini. Sekali lagi, mengutip kata-kata Ibu Septi, "Mau berubah atau kalah?" Kami memilih untuk berubah! Kami ingin terus belajar.

Setelah 9 pekan membaca materi, merenung dan mengerjakan tugas di Kelas Matrikulasi, keputusan saya pun semakin mantap. Tinggal satu langkah lagi, menunggu takdir terbaik dari Yang Di Langit.