Translate

Rabu, 31 Mei 2017

Hari yang Melelahkan - Komunikasi Produktif #1

Sesiangan ini, di kantor terjadi masalah yang cukup menyita pikiran saya. Menjelang sore, ingin sekali saya "curhat" pada suami tentang hal tersebut. Saya membuka aplikasi WA, terlihat sejak pagi suami saya tidak membuka WA. Bahkan, pesan saya belum dibacanya. Saya mengela nafas, keinginan untuk "curhat" itu tak seketika terwujud.

Saya mencoba berfikir positif. Hari ini suami saya memang sedang ada tugas di lapangan. Mungkin karena di lokasi tugas tidak terdapat sinyal seluler, dia tidak sempat menghubungi saya.

Selesai jam kantor, saya langsung memesan taksi online menuju klinik tempat saya memeriksakan kehamilan. Seperti biasa, Jakarta sore tak lepas dari kemacetan. Saya tiba di klinik setelah menembus kemacetan selama 40 menit. Padahal, jarak kantor ke klinik tak lebih dari 3 km.

Setibanya saya di klinik, dokter belum datang. Selama 40 menit lagi saya habiskan waktu, kali ini untuk menunggu dokter. Tiba-tiba, perawat menginformasikan bahwa dokter ada keperluan mendadak sehingga tidak bisa datang ke klinik sore itu. Jadwal sore itu akan diganti esok jam 07.00 malam. Saya hanya bisa mematung. Ini adalah kali ke-4 dokter di klinik tersebut membatalkan janji pemeriksaan selama 7 bulan kehamilan saya ini. Apakah semua dokter spesialis kandungan sesibuk itu?

Saya mengirim sms kepada suami saya tentang hal ini. Tak ada balasan. Hati saya semakin kecut. Segera saya memesan taksi online menuju pulang.

Jalanan jauh lebih penuh daripada saat berangkat tadi. Untuk melewati 1 traffic lights saja butuh waktu satu jam! Hal ini karena sedang ada pembangunan underpass di sana. Maghrib menjelang, kuda-kuda besi masih merayap. Respon sms dari suami saya pun tak kunjung datang. Saya semakin gelisah. Lengkap sudah kelelahan hari ini, lelah fisik sekaligus psikis.

Dalam situasi seperti ini, ingin sekali saya marah. Suami saya sesibuk apa sih? Tidakkah ia berempati pada istrinya yang sedang hamil besar ini?

Namun, saya kemudian teringat materi pertama di kelas Bunda Sayang yang harus saya terapkan mulai hari ini hingga 10 hari ke depan, materi tentang Komunikasi Produktif. Kaidah pertama Komunikasi Produktif yang saya ingin terapkan adalah: 7-38-55, yaitu keberhasilan sebuah komunikasi itu 7% dipengaruhi oleh pemilihan diksi, 38% oleh intonasi bicara dan 55% oleh gaya bahasa tubuh.

Ponsel saya berbunyi, ada balasan dari suami saya. "Iya sayang, sabar ya," begitu saja tulisnya. Begitu saja balasannya? Tidak adakah kata-kata yang lebih panjang dan menenangkan? Saya berekspektasi lebih.

Saya kembali menarik nafas panjang, "ingat kaidah 7-38-55!" Dalam situasi seperti itu, bisa saja saya membalas sms suami dengan diksi yang kurang positif dan bernada komplain. Tapi saya menahan diri. Saya pilih kata-kata yang tidak mengandung nada negatif.

Malam harinya pun, saat suami menelpon, saya berusaha berbicara dengan pilihan kata yang baik dan nada yang lembut, bahkan cenderung manja. (Selama ini suami saya sepertinya suka mendengar saya berbicara dengan nada manja. Betul gak, Mas? Hehe).

Akhirnya, hari ini pun kami menutup hari dengan hati bahagia. Tak ada jengkel, dongkol dan marah lagi. Kami masih butuh banyak latihan agar semakin baik komunikasi diantara kami. Semakin baik komunikasi, insyaAllah semakin sakinah keluarga kami.

#level1
#day1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Selasa, 23 Mei 2017

Melanjutkan Langkah, Kelas Bunda Sayang

Satu hal penting yang saya ingat dari perkuliahan Kelas Matrikulasi adalah bahwa segala profesi itu perlu ilmu, termasuk profesi sebagai ibu. Hal inilah yang memacu saya untuk terus belajar, memantas diri menjadi ibu yang berilmu.

Sembilan pekan mengikuti perkuliahan di Kelas Matrikulasi, jujur ini bukan perkara yang mudah bagi saya. Perlu komitmen kuat untuk mengikuti perkuliahan, diskusi dan tugas mingguan. Di atas semua itu, satu hal yang paling butuh komitmen adalah menerapkan materi ke dalam kehidupan nyata.

Awal Mei ini, saya memutuskan untuk melanjutkan langkah yang sudah saya mulai di Kelas Matrikulasi. Kelas Bunda sayang sudah siap menyapa di depan mata. Akan ada teman-teman baru, tantangan baru, juga aktivitas baru yang insyaAllah akan menambah kapasitas saya sebagai ibu yang (menuju) profesional.

Ada dua kekhawatiran ketika saya mulai memasuki Kelas Bunda Sayang ini. Pertama, grub WA yang cukup besar dengan peserta yang sangat aktif di kelas ini terkadang membuat saya tertinggal akan informasi-informasi penting. Kedua, karena jangka waktu pelaksanaan Kelas Bunda Sayang memakan waktu 1 tahun, saya khawatir tidak bisa istiqomah mengikuti perkuliahannya.

Namun, saya yakin fasilitator dan teman-teman akan membatu saya mengatasi kekhawatiran tersebut. Maka, bismillah saya melanjutkan langkah ke Kelas Bunda Sayang.