Translate

Selasa, 30 Desember 2014

Roman Sejarah

Saya termasuk orang yang menyukai sejarah. Sejak masih belajar di sekolah dasar, saya sudah menyukai pelajaran sejarah. Saya selalu takjub ketika mendengar cerita tentang kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Sebutlah Samudra Pasai, kerajaan yang mengusai perdagangan di Indonesia bagian Barat. Kemudian, Sriwijaya, kerajaan yang konon pernah menjadi tempat pendidikan agama Budha terbesar di Asia Tenggara. Mendengar cerita-cerita semacam itu, otak saya selalu berimajinasi seolah-olah kembali ke masa lampau, menyaksikan langsung keadaan yang peristiwa yang terjadi pada masa lampau itu. Inilah yang kemudian membuat saya selalu bersemangat ketika pelajaran sejarah.

Namun, itu ternyata tidak berbanding lurus dengan nilai-nilai yang saya peroleh dari setiap ulangan harian. Nyatanya, saya tetap kesulitan menjawab soal-soal yang guru berikan dalam ulangan harian. Misalnya ada soal seperti ini:

Pada masa penjajahan Belanda, Soekarno pernah dibuang ke.......
 a. Digul
b. Nusa Kambangan
c. Pulau Buru
d. Ende

Nah, kalau sudah berhadapan dengan soal semacam ini, saya angkat tangan sudah. Informasi sejarah yang sudah terkoleksi dalam memori saya tiba-tiba seperti meloncat-loncat, menjadi sangat tidak teratur sehingga menghasilkan kebingungan yang memusingkan. "Hmm.. Digul itu pembuangan Soekarno apa bukan ya? Kalau Ende? Hatta? Lalu Sutan Syahrir dibuang kemana?" Akhirnya, menyerahlah saya. Soal-soal berupa rentetan tahun dan peristiwa juga tak kalah membuat otak saya berputar-putar,

Dalam sistem pendidikan kita (aduh, berat topiknya :-p), apa sih sebenarnya tujuan pelajaran sejarah? Hanya sebatas hafalan tanggal, tokoh, tempat dan semacamnya itu? Wah, kalau begitu, tidak perlu saya belajar sejarah saja deh! (ngambek, hehe). Kalau sekedar hafalan, mungkin para siswa akan bisa hafal, tetapi sebulan atau dua bulan setelahnya bisa jadi sudah akan menguap tanpa bekas. Bukankah itu sia-sia? Kasihan sekali para siswa sudah lelah-lelah menghafal! Seharusnya, hal yang seperti ini disadari oleh para pendidik.

Pelajaran Sejarah idealnya menjadi media yang apik untuk menanamkan "nilai-nilai" yang baik bagi siswa. Dari peristiwa pembuangan Soekarno misalnya, siswa bisa belajar apa? Dari Gadjah Mada misalnya, siswa bisa mengambil "nilai" apa? "Nilai" inilah yang seharusnya menjadi esensi yang idealnya ditangkap oleh siswa dari mata pelajar Sejarah. Bukankah begitu?

Sejak memasuki bangku kuliah, saya sudah terbebas dari mata pelajaran sejarah yang memusingkan kepala itu (horeeee!!).  Sejak itu pula, saya bebas menikmati sejarah dengan cara saya sendiri. Saya mulai membaca roman-roman yang mempunyai setting sejarah. Saya membaca tetralogi Bumi Manusia karya Pramudaya Anantator, novel Jepang seperti Musashi dan Taiko, novel Perancis seperti Les Miserables, dll. Selain bisa mendapatkan gambaran utuh tentang masa lalu yang menjadi setting novel-novel tersebut, saya juga bisa mengambil "pelajaran" berharga dari sana. Misalnya, dari tokoh Jean Val Jean dalam Les Miserables, saya belajar bahwa manusia sejahat apapun ada kalanya ia akan berfikir untuk bertobat dan menjalani hidup sebagai orang baik. Begitulah, banyak sekali pelajaran penting sudah saya ambil dari novel-novel itu.

Sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, saya menjadi jarang membaca roman sejarah. Waktu luang saya lebih banyak saya pakai untuk hangaout bersama teman-teman. Maklumlah, sebagai pekerja di Ibukota, tingkat stress saya menjadi sedikit lebih tinggi daripada dulu semasa masih kuliah, hehe. Namun, beberapa bulan terakhir ini, saya mulai bosan dengan tempat-tempat hangout yang itu-itu saja. Maka, saya pun kembali memilih "jalur ketenangan" untuk meredam stress yaitu dengan kembali membaca roman-roman sejarah.

Salah satu roman yang baru saja selesai saya baca adalah "Soekarno, Kuantar ke Gerbang" Karya Ramadhan K.H. Nanti lah, In Sha Allah saya me-review buku itu ya! Sekarang waktunya Sholat Subuh dulu, :-D










Senin, 29 Desember 2014

Nguri-uri Basa Jawi

www.sil.org
"Iki peta kahanan basa-basa daerah sing ana ing Indonesia. Saya mangetan, saya okeh titik abange. Titik abang iku nggambarake kahanan basa sing wis ngancik muspra. Tahun 2009 basa daerah ing Indonesia cacahe ana 719. Ananging, setahun kepungkur, salah sawijining Antropolinguistik nglaporake menawa basa daerah ing Indonesia mung kari 550", kandane Wiwit Fitriana, kancaku sing saiki lagi kuliah master Linguistik.

Krungu ukarane kancaku kui mau, aku kang orang pati ngerti babagan ilmu Linguistik banjur takon marang Wiwit. "Opo wae penyebab ilange basa daerah?" Wiwit banjur nerangake, "Sebab utamane amarga penuture ora nduwe rasa "kesetiaan bahasa", ing Linguistik iku kasebut "language loyalty". Artime, para penutur basa kui mau wis pada isin nganggo basa daerahe dhewe-dhewe lan seneng nganggo basa liyane sing dianggep luwih keren. Sing ping pindho, amarga penuture basa daerah mung kari simbah-simbah sing wis sepuh lan ora ana keturunanne sing gelem nguri-uri basa daerahe".

Dumadakan atiku dadi rada kuatir, piye menawa suwe-suwe basa daerah sing ana ing negarane dhewe iki muspra sawiji-sawiji? Opo ya awake dhewe trima menawa kui kedadean? Ora to? Mulane, ayo monggo diuri-uri basa daerahe. Ora perlu isin ngomong lan nulis nganggo basa daerah.

Aku saka lahir ceprot nganti lulus kuliah manggon ing tlatah Jawa. Saben ndina luwih asring migunaake Bahasa Jawa tinimbang basa liyane. Nanging, Basa Jawa sing tak gunaake kui mung Basa Jawa pasaran (ngoko), dudu Basa Jawa sing alus (krama). Menawa lagi matur karo piayayi sing luwih sepuh, kadang-kadang aku nganti gelagepan amarga kangelan matur nganggo Basa Krama. Menawa okeh bocah enom sing ora teteh migunaake Basa Krama kaya aku iki, Basa Krama kui mau mbok menawa bakal luwih cepet muspra.

Pramila, mangga sareng-sareng kita nguri-uri Basa Jawi supados basa kita punika saged langgeng dumugi wedal ingkang dangu. Rencang-rencang saking daerah liyanipun mangga panjenengan ugi nguri-uri basa panjenengan. Ukara kula punika mboten ateges nolak Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tetep kita gunaaken wonten ing pergaulan nasional.


* Angel tenan nggawe tulisan nganggo Basa Jawa. Luwih gampang nganggo Basa Indonesia. Mulane, bubar iki aku kudu luwih mempeng sinau nulis nanggo Basa Jawa. Menawa dudu awake dhewe sing nguri-uri Basa Jawa, terus arep sapa?

Sabtu, 27 Desember 2014

10 Tempat Paling Keceh di Bima

Pertengahan tahun 2008 desa saya kedatangan mahasiswa KKN dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Selama 1 bulan berada di desa kami, mereka membuat banyak kegiatan yang melibatkan semua warga dari anak-anak hingga orang tua. Saya yang saat itu masih berkuliah semester 2 dan kebetulan sedang libur semester, ikut serta dalam beberapa kegiatan yang mas dan mbak KKN itu adakan. Lama-lama saya menjadi akrab dengan mereka. Kebanyakan dari mereka berasal dari pulau yang sama dengan saya yaitu Jawa. Ada satu mahasiswa yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Si mas dari Bima itu bercerita bahwa untuk menuju ke Bima dari Yogyakarta, ia biasanya naik bus selama 3 hari 3 malam. "Wow, jauhnyooooo!", saya takjub. 

Tanpa saya duga sebelumnya, 4 tahun berselang setelah saya mendengar tentang Bima, saya mendapat tugas untuk setahun mengajar di daerah itu. Saya girang bukan kepalang. Dalam hati saya berkata, "Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di sebuah tempat yang dahulu rasanya teramat jauh bagi saya." Maka, setahun itu tidak saya lewatkan dengan sia-sia. Di sela-sela tugas, saya menyempatkan untuk mengunjungi tempat-tempat  menarik di Bima. Dari 10 tempat yang saya tulis ini, sayangnya ada 2 tempat yang belum sempat saya kunjungi yaitu Pulau Ular dan Desa Sambori. Saya tetap menuliskannya di sini setelah mendengar cerita tentang kedua tempat itu dari teman-teman saya yang pernah berkunjung ke sana.

1. Pantai Pasir Putih


Secara administratif, Bima dibagi menjadi 2 pemerintahan yaitu Kota Bima dan Kabupaten Bima. Daerah ini tepat berada di ujung timur Pulau Sumbawa. Sebelah timurnya adalah Pulau Flores yang masuk dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 

Bima memiliki garis pantai yang cukup panjang. Jenis pantainya pun beragam, ada pantai pasir putih, pantai pasir coklat, pantai berbatu terjal, pantai bebatuan berselimut lumut, dll. Salah satu pantai yang paling bagus adalah "Pantai Pasir Putih" di Kecamatan Sape. Untuk menuju ke pantai itu, kita bisa menyewa boat dari Pelabuhan Sape. Tidak sampai 15 menit menumpang boat, kita sudah bisa menikmati keindahan Pantai Pasir Putih. Di sana kita bisa bermain-main dengan bintang laut, teripang dan landak laut yang ada di bibir pantai. Airnya yang super jernih juga sangat nyaman untuk snorkelling. Keelokan pantai yang satu ini tidak kalah jika dibandingkan dengan gili-gili yang ada di Lombok.

2. Pantai Batu Berselimut Lumut


Saya sudah mengunjungi beberapa pantai di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sulawesi, namun belum pernah saya menjumpai pantai batu berselimut lumut seperti di Bima ini. Pantai yang satu ini benar-benar masih perawan. Ini tersebab oleh akses menuju tempat ini yang sangat amat sulit. Jika memakai jalur darat, dari Ibukota Kecamatan Lambu kita perlu menyewa ojek. Lebih kurang 1, 5 jam waktu yang ditempuh untuk bisa sampai ke pantai yang ada di Dusun Baku, Desa Sumi ini. Jalanan yang ditempuh pun cukup berbahaya karena masih berupa bebatuan. Kanan kirinya pun masih hutan belantara sehingga kita harus ekstra hati-hati jika sewaktu-waktu ada babi hutan melintas. Namun, kengerian sepanjang jalan itu bisa tertebus dengan keindahan pantai lumut ini.

3. Pantai Amahami


Jika 2 pantai yang saya sebutkan di atas adalah pantai-pantai yang nuansa alaminya masih kental, maka pantai Amahami adalah kebalikannya. Karena berada dekat dengan kota, pantai ini menjadi salah satu tempat nongkrong favorit para muda-mudi. Setiap malam, banyak orang berjualan makanan dan minuman ringan seperti kopi, susu, mie instan dll. Duduk-duduk di atas tikar sambil menikmati deburan ombak dan segelas kopi atau teh hangat di Pantai Amahami ternyata cukup mengasyikkan. 


4. Museum Asi Mbojo

Bagi kamu yang suka berwisata sejarah, museum yang satu ini adalah tempat yang cocok. Berada tepat di pusat kota membuat tempat ini sangat mudah dijangkau. Di sekitar tempat ini juga terdapat banyak hotel sehingga sebelum plesiran ke tempat yang agak jauh, mampirlah sebentar di museum yang menyimpan jejak-jejak sejarah Kesultanan Bima ini. 


5. Dana Traha

Pemandangan Kota Bima dari Dana Traha



Tempat yang satu ini adalah komplek pekuburan sultan-sultan Bima. Letaknya di sebuah bukit yang cukup tinggi sehingga selain berwisata religi, kita juga bisa menikmati lanskap kota Bima dari atas. Garis pantai sepanjang Teluk Bima juga terlihat sangat cantik dari titik ini.






6. Gunung Tambora


Kaldera Tambora

 April 2015 adalah puncak peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora. Konon, letusan yang maha dahsyat itu sempat membuat Eropa mengalami musim dingin yang berkepanjangan karena angkasanya tertutup oleh debu vulkanik. Letusan itu juga mengakibatkan 3 kerajaan di sekitar Tambora luluh lantah. Kini, 200 tahun pasca erupsi, kehidupan di Tambora sudah kembali normal. Penduduk di sekitar gunung ini sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani kopi, jambu mede, kacang tanah dan padi. 


Karena sejarah letusannya itu, Tambora mempunyai daya tarik tersendiri bagi para pendaki gunung. Pendaki tidak hanya berasal dari lokal NTB tetapi dari daerah lain juga. Saat saya mendaki bersama teman-teman saya pada Mei 2013, kami berjumpa dengan sejumlah pendaki dari Jakarta. Saat itu, kami memulai pendakian dari Dusun Tambora, Kabupaten Bima sedangkan rombongan dari Jakarta itu memulainya dari Dusun Pancasila, Kabupaten Dompu. (Saat ini Gunung Tambora sebagian masuk dalam wilayah Dompu dan sebagian lainnya masuk dalam wilayah Bima).


7. Pulau Satonda


Dari Desa Kenanga, Kecamatan Tambora, kita bisa menyewa perahu nelayan untuk sampai di Pulau Satonda. Tidak lama, hanya 20 menit waktu yang kita butuhkan untuk menuju pulau yang di tengah-tengahnya ada danau berair asin ini. Tanpa saya duga, pulau ini ternyata menjadi destinasi yang cukup sering dikunjungi oleh turis manca negara. Saat saya berpesiar ke pulau ini, ada berpuluh-puluh turis asing sedang menikmati keindahan pantai di sekitar Satonda dan ada sebagian yang lain tengah berenang-renang di danau air asin itu.

Para wisatawan asing itu biasanya memakai jasa biro perjalanan yang menawarkan berbagai paket wisata. Umumnya mereka berangkat dari Bali atau Lombok, mengunjungi pulau-pulau kecil di sekitar Lombok seperti Gili Trawangan, Gili Air, dll. Kemudian, berlanjut ke arah timur menuju Pulau Moyo dan Satonda, singgah di pantai-pantai di sekitar Pulau Sumbawa dan berlanjut hingga Flores dan gugusan pulau yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Pulau Komodo (Komoda National Park).


8. Pulau Ular

Pulau yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Wera ini adalah salah satu pulau kebanggaan warga Bima. Jika di NTT ada Pulau Komodo, maka di NTB ada Pulau Ular. Di Pulau yang tidak cukup luas ini hiduplah sekawanan ular yang tidak ditemukan di pulau lain selain di Pulau Ular. Kita tidak bisa menuju pulau ini jika tidak didampingi oleh pawang. Para pawang itulah yang membatu kita menemukan ular-ular di pulau tersebut dan tentu saja para pawang itu juga melindungi kita dari serangan ular-ular itu.

9. Masjid Kamina

Masjid Kamina

Menurut penuturan warga setempat, masjid Kamina adalah masjid pertama di Bima. Masjid ini terletak di sebuah perbukitan di desa Kalodu, Kecamatan Langgudu. Dari Desa Karumbu, Ibukota Kecamatan Langgudu, kita bisa pergi ke Kalodu dengan naik motor atau mobil offroad selama 30 menit. Karena berada di atas bukit, jalanan menuju Desa Kalodu berkelok-kelok dan banyak tanjakan yang curam. Selain itu, kontur jalanannya juga masih berupa bebatuan. Ini mengharuskan semua pengendara yang melewati jalan ini untuk selalu berhati-hati secara penuh.

Lanskap Teluk Warorada dilihat dari Kalodu

Sesampainya di Kalodu, kita bisa mengunjungi masjid yang bentuk bangunannya masih dijaga keasliannya ini. Selain menikmati sisi sejarah dan religiusitas masjid Kamina, kita juga bisa menikmati kesejukan udara Kalodu dan menikmati pemandangan Teluk Waworada dan Tanjung Langgudu dari atas bukit. 


10. Desa Sambori

Bima tidak hanya menyuguhkan keindahan alam tetapi juga budaya. Ada sebuah desa yang cukup tersohor tersebab oleh keunikan budayanya, yaitu Desa Sambori, Kecamatan Lambitu. Penduduk di desa ini memiliki Bahasa daerah yang berbeda dengan orang Bima pada umumnya. Rumah adat mereka pun berbeda. Penduduk di Desa Sambori ini dipercaya sebagai penduduk asli Bima sebelum kehadiran para pendatang dari berbagai daerah seperti dari Sulawesi Selatan. 

Awas! Banjir!

Ini adalah musim hujan ke-2 saya berada di Ibukota. Musim hujan kali ini datang agak terkambat. Kalau saya tidak salah ingat, Jakarta baru diguyur hujan sekitar awal November. Hingga pertengahan Desember kemarin, intensitas hujannya pun belum cukup sering. Juga, belum ada hujan yang begitu lebat dan lama. Baru kemarin siang (26 Desember) hujan turun cukup lama. Di daerah kantor saya di Kapuk, Jakarta Utara, hujan mulai turun siang hari dan terus berlangsung sampai sore ketika jam kantor pungkas. Alhasil, sepanjang perjalanan pulang saya ditemani oleh rintik hujan. Untungnya, tidak banjir.

Sampai di kos, hujan berhenti. Namun, tengah malam hujan kembali turun. Tidak tanggung-tanggung, hujan turun sampai pagi walaupun tidak deras. "Semoga tidak banjir, semoga tidak banjir", gumam saya dalam hati. Saya kemudian ingat doa yang diajarkan oleh Rasulullah ketika sedang turun hujan, "Semoga hujan ini bermanfaat". Sepanjang perjalanan, doa itu terus saya gumamkan.

Memasuki daerah Joglo, hujan bertambah besar. Saya tetap memacu motor saya walaupun tidak secepat biasanya karena hujan membuat jarak pandang menjadi berkurang. Saat membelok dari arah Puri Kembangan, para pengendara mortor dan sebagian mobil berputar arah. "Wah, jangan-jangan banjir nih?", pikir saya. Ternyata memang benar, banjir sudah mencapai setinggi lutut orang dewasa. Saya kemudian menepi di depan sebuah ruko bersama para pengendara lainnya. Saya tengok ke langit, tak ada biru terlihat, semua tertutup oleh awan mendung. Saya tunggu sekitar 30 menit tetapi hujan belum ada tanda-tanda akan segera reda. Saya pun menghubungi atasan saya dan minta izin untuk kembali ke kos. Alhamdulillah, beliau mengizinkan.

Ya, beginilah Jakarta. Titik banjir ada dimana-mana. Ketika hujan turun, tak sedikit orang yang tiba-tiba merasa was-was, mengeluh, atau  mengungkapkan perasaan negatif semacamnya. Saya pun kadang merasakan itu. Padahal, dulu ketika masih di Klaten atau di Jogja, saya begitu mencintai hujan. Mungkin karena di kedua tempat itu saya tidak pernah sekalipun berhadapan langsung dengan yang namanya banjir. Bagi kami warga Klaten, terlebih dari kalangan petani, hujan benar-benar dirasa sebagai rahmat. Turunnya hujan pertama kali di musim penghujan adalah pertanda padi bisa segera ditanam. Juga, bukit-bukit akan kembali menghijau setelah semusim terpapar panas matahari.

Sekarang, saya tidak lagi tinggal di Klaten tetapi di Jakarta. Jadi, saya harus mengakarabi hujan dan banjir. Bagaimanapun, hujan tetaplah rahmat. Semoga hujan selalu memberikan kemanfaatan. Semoga tidak terjadi banjir besar yang membawa banyak kerusakan.

                                                             ***
Teruntuk warga korban banjir di Bandung dan Aceh, semoga banjir segera reda sehingga warga bisa kembali beraktifitas seperti semula.

Rabu, 24 Desember 2014

Layang Semangat

Iki critane arep melu-melu "aktivis dunia maya" sing lagi hobi nggawe layang terbuka, istilah sing lagi trend yaiku "surat terbuka". Hihii.. Ing wektu iki aku sengaja nulis layang semangat iki kanggo adi-adiku ing SMA Karanganom khususe lan lare-lare SMA nang ngendi wae umume.

Ora krasa wis pitung taun aku lulus saka SMA-ku tercinta, yaiku SMA Karanganom, Klaten. #aseek! Dumadakan aku kelingan jaman kelas telu SMA, jaman nalika aku ngalami kebingungan yang luar biasa terkait masa depanku. Mau kemanakah aku setelah ini? (Sorry yo, bahasane campur bawur. Lha menawa nulis nganggo Basa Jawa terus ki kok yo angel je. Hehe). Oke, tak bacutake tulisanku yo! Ngene critane, mbiyen ki aku wis nduwe kepinginan arep kuliah. Tapi, bareng tak pikir-pikir, kuliah ki lak yo gedhe ragade to? Mbayar mlebune lan SPP-ne wae larang, durung maneh mikir kos-kosan lan mangan sak mbendinane. Wah, wah, kayane Ibuku ora bakal sanggup nguliahke aku. (Oiya, FYI, wiwit cilik bapak lan ibukku ki pisah, dadine aku urip karo Ibukku). Aku mikir, menawa aku kuliah, lak yo mesakake ibukku to? Hmmm... opo lulus SMA aku tak kerjo wae nang pabrik nang Solo utawa Boyolali yo? Aku sempet mikir mangkono.

Kanca-kancaku rata-rata wis podo nduwe gambaran arep nglanjutake kuliah nang ngendi. Wiwit munggah kelas 3 dheweke wis podo melu les nang ngendi-ngedi, jarene dinggo persiapan ngadepi Ujian Nasional, SPMB lan ujian mlebu universitas liyane. Lha aku? Sakjane aku yo kepingin melu les-les kaya mengkono, tapi aku ora tega njaluk duit ibukku. Ngerti dhewe to, biaya les-lesan iku pancen larang banget. Jaman semana wae angkane wis ngancik berjuta-juta. Rak yo aku mung isoh mringis to? Haha.. Ah, yowis rapopo. Disyukuri wae opo sing ana. Wektu kui, niat kepingin kuliah ki isih ana ing njero atiku. Mulane saben dino aku sinau mempeng. Aku njaluk tulung simbah kakungku tak kon nggugah aku saben jam 3 esuk, ben aku isoh sinau kanthi tenang. Terus, aku mempeng poso Senin-Kemis lan sholat dhuha pas jam istirahat pertama nang sekolahan. Iki ora pamer yo, iki jenenge ikhtiar. Hehe.

Ndelalahe, sekitar sasi Desember taun 2006 ana sak rombongan mahasiswa UGM sosialisasi babagan cara ndaftar UGM, beasiswa sing ana, lan sak panunggalane. Saka kono aku ngerti menawa UGM ki nyediaake beasiswa pirang-pirang sing salah sijine yaiku Beasiswa Penelusuran Bibit Unggul (PBU). Bocah sing lolos beasiswa kui bakal isoh kuliah nang UGM wolung semester gratis tis. Tapi, sak sekolahan mung isoh ndaftarke cah loro yaiku IPA siji lan IPS siji. "Info lebih lanjut, buka aja di website UGM", mangkono ukarane mas-mas UGM sing lagi sosialisasi mau. Dumadakan otakku rasane kaya murup. Aha! Kesempatan ki! Dino kui uga, mulih sekolah aku langsung mampir nang warnet ngarep gedung barat, jenenge Green Net, hehe.. (Mboh saiki isih ana opo ora). Wektu kui kabeh informasi lan persyaratan kanggo ngajoake beasiswa PBU iku tak catet. Sesuke, aku matur guru BK nyuwun supoyo aku diajukke beasiswa PBU iku minangka wakil IPS. Sakjane jurusanku Bahasa, tapi nang pendaftaran kui aku klebu IPS. Gandheng rata-rata biji rapotku sing wingi-wingi ki paling apik tinimbang kanca-kanca liyane, alhamdulillah aku etuk rekomendasi Kepala Sekolah kanggo ndaftar beasiswa PBU. Aku banjur nglumpuake persyaratan sing seabreg-abreg. Crita cendhakke, alhamdulillah aku ketampa jurusan Sastra Jepang UGM kanthi biaya Rp 0 nganti semester wolu. Rasane bungah tenan atiku.

Tekan kene, adek-adek mudeng to opo sing meh tak utarakke? Menawa awake dhewe nduwe kepinginan dan gelem usaha, Gusti Allah mesti paring dalan kok. Jangan takut bermimpi! "Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu" (Andrea Hirata). Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia akan berhasil (Pepatah Arab).

Critaku tak bacutake yo! Bareng mlebu nang UGM, aku lagi ngerti menawa kuliah ki angel. Tugase okeh tenan. Beda banget karo pas jaman SMA. Abot tenan rasane wektu kui. Mikir kuliah wae wis abot, aku isih kudu mikir golek gawean part time kanggo nyokong uripku. Alhamdulillah, ora let suwe aku entuk gawean ngelesi mata pelajaran bocah-bocah SD lan SMP. Dadine, esok tekan sore aku nang kampus: kuliah lan melu organisasi mahasiswa. (Aku melu BEM, Keluarga Muslim Fakultas Ilmu Budaya lan unit keilmuan jenenge HUMANIKA). Sore jam papat nganti bengi jam setengah sepuluh aku ngelesi privat. Mulih ngelesi, tekan kos isih kudu nggarap tugas kuliah. Saben dina ngono kui terus. Kesel banget rasane, tapi atiku lumayan seneng soale isoh berkegiatan macem-macem, ketemu wong pirang-pirang lan uga isoh tambah pengalaman. Soyo suwe kegiatanku tambah akeh. Aku dadi Tutor kanggo mahasiswa asing sing lagi sinau Bahasa Indonesia nang UGM. Aku uga melu pirang-pirang lomba sing diselenggaraake kampus lan njaban kampus.

Masa-masa petang taun kuliah ki yo abot tenan. Masalah dan ujian datang silih berganti. Tapi alhamdulillah Allah memberiku teman-teman yang baik dan selalu mendukung dalam kebaikan. Karena itu, menurutku sangatlah penting bagi kita untuk bisa memilih teman-teman yang benar-benar baik. Untunge, mbiyen ki aku sak kontrakan karo muslimah-muslimah sing pinter-pinter tur sholihah. Iki penting banget soale lingkungan itu akan membentuk kepribadian kita.

Patang taun kuliah ki yo ora saben dino abot kok, tenang wae. Hehe.. Ada masa-masa kita bisa tertawa lepas menikmati setiap pencapaian kita. Untukku pribadi, aku merasa Allah memberiku lebih dari apa yang aku usahakan. Aku bersyukur banget saat semester 6 aku menjadi juara 1 Nasional lomba pidato Bahasa Jepang pada PIMNAS XXIII di Denpasar. Aku juga bersyukur karena dengan komunitas yang ku rintis bersama teman-temanku bernama komunitas BOOK FOR MOUNTAIN, kami bisa berkeliling ke daerah-daerah terpencil dari Sumatra Utara sampai Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat untuk membuat taman bacaan di sekolah terpencil di sana.

Akhirnya, November 2011 aku lulus. Oh ternyata, itu bukan akhir melainkan baru permulaan dari kehidupan yang sesungguhnya. Ternyata, jalan kehidupan ini memang tak selamanya lurus dan mulus. Ada saja kerikil tajam dan lubang-lubang yang menghalang. Tapi percayalah, semua itu akan bisa kita lalui asal kita mau berusaha dan percaya sepenuhnya pada pertolongan Allah. Ya, yang penting hadapi saja! Ah, untuk hal seperti ini bukankah kalian sudah paham kan ya?

Aku hanya bisa berdoa mudah-mudahan Allah Yang Maha Kuasa senantiasa menjaga mimpi-mimpi kalian! Jadi, terus bermimpi dan melangkahlah. Tidak perlu takut ya!


Dari almumni SMA N 1 Karanganom tahun 2007
Metias Kurnia Dita



Selasa, 23 Desember 2014

Happy Mother's Day

It's December 22, Mother Day! Let me sing this song, ya! :-)

"My first, my last, my everything
And the answer to all my dream
You're my sun, my moon, my guiding star
My kind of wonderfull, that's what you are".

Bagi saya, itu adalah salah satu lagu terbaik untuk menggambarkan tentang ibu saya. Beliau adalah segalanya bagi saya. Hmm, sulit sekali melanjutkan tulisan ini. Hati saya tiba-tiba terasa penuh, susah sekali menguaraikannya. Tapi, baiklah. Saya coba perlahan.

Ibu saya adalah anak ke-6 dari 9 bersaudara. Namanya cukup aneh, Tri Saktini. Semua orang mengira bahwa Ibu saya adalah anak ke-3. Tapi Ibu selalu menerangkan bahwa memang benar Beliau anak ke-3, tepatnya ke-3 dari bawah. :-)

Menurut cerita dari kakek saya, Ibu lahir tepat 10 hari setelah peristiwa G30 S PKI. Waktu itu suasana kampung kami masih mencekam. Bahkan, kakak tertua Ibu yang saat itu berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar ikut ditangkap oleh pemerintah karena diduga tersangkut dengan LEKRA. Tepat tanggal 10 Oktober diadakanlah sebuah pertunjukan ketoprak di daerah kami oleh orang-orang pendukung Ideologi Pancasila. Ketoprak itu diberi judul "Tri Sakti". Di hari itulah ibu lahir. Maka, kakek memberi nama Ibu dengan nama "Tri Saktini". Akhiran -ni ditambahkan untuk menegaskan bahwa anaknya yang baru lahir itu berjenis kelamin perempuan. (Di masyarakat Jawa, anak perempuan lazimnya diberi-nama dengan akhiran bunyi -ni, misalnya Partini, Sutrisni, Pujiyani, dll).

Ibu mempunyai hari kelahiran yang sama dengan kakek, yaitu Sabtu Kliwon. Sejak saat itu, kakek berfirasat bahwa kelak Ibulah yang akan merawat kakek sampai kakek wafat. Benar saja, Ibu tumbuh menjadi orang yang pandai mengemong sesepuh. Sejak usia sekolah dasar Ibu sudah merawat kakek dan neneknya dari pihak ayah (berarti kakek dan nenek buyut saya). Ibu sayalah yang dengan sabar membersamai sampai beliau berdua tutup usia. Bahkan, menurut cerita Ibu, neneknya (berarti nenek buyut saya) meninggal saat Ibu tidur di sampingnya. Saat itu Ibu sudah masuk SMA. Saat bangun pagi-pagi, neneknya tidak bisa dibangukan. Ibu kemudian memanggil ayahnya dan setelah itu baru tahu bahwa neneknya sudah meninggal kemungkinan sejak dini hari.

Setelah menikah dan melahirkan saya, Ibu tetap tinggal di kampung halamannya, membesarkan saya sembari merawat ayah dan ibunya. Sampai akhirnya, ayah dan ibunya pun berpulang dalam perawatan Ibu.

Sekarang, saat ayah dan ibunya sudah tiada, Ibu masih selalu baik dengan adik-adik dan saudara ayah-ibunya. Sesekali Ibu mendatangi mereka yang sudah lanjut usia itu dan memberikan makanan. Jika di rumah kami sedang masak yang agak istimewa, Ibu selalu tidak lupa mengantar sebagian masakan itu untuk mereka. Begitulah ibu, sifat dermawan dan kasih sayangnya kepada sesepuh memang tiada duanya.

Sampai di sini, saya kembali bingung mau menulis apalagi tentang Ibu. Bukan karena tak ada cerita yang bisa ditulis, melainkan terlalu banyak sehingga saya kebingunan  untuk menulis yang mana terlebih dahulu.

(Berhenti sejenak).

Oh baiklah, saya lanjutkan. Ibu saya juga tergolong orang yang sangat kuat. Seorang diri Beliau membesarkan saya setelah perceraian dengan ayah saya. Seumur-umur saya baru 2 kali melihat Ibu menangis karena sedih. Di depan saya, Ibu selalu tampak tegar dan selalu berusaha membuat lelocon yang kadang tidak saya pahami. Saya pun sering tertawa bukan karena lelucon Ibu yang lucu melainkan tertawa menertawakan ketidakpahaman saya.

Sesekali kami kadang berselisih pendapat dan kadang membuat kami marah. Ibu yang memiliki watak yang sedikit keras kepala kadang tidak mau menerima apa yang saya katakan. Begitu pun saya, sifat keras kepala saya kadang membuat saya merasa yang paling benar dan tidak bisa ditentang. Untungnya, keributan-keributan semacam ini semakin lama sudah semakin berkurang. Duh Gusti Allah, mugi-mugi Panjenengan paring manah ingkang wiyar dumateng kula kaliyan Ibu. Aamiiin.

Itu sedikit cerita tentang Ibu saya. Mungkin ibu saya adalah ibu yang tidak sempurna, banyak kekurangan di sana-sini. Akan tetapi, bukankah saya juga adalah seoarang anak yang memiliki kekurangan yang tak kalah banyaknya?







Jumat, 19 Desember 2014

Smart Ekselensia Indonesia

Dialah Kak Shally. Kakak berdarah Padang-Melayu ini adalah Pengajar Muda angkatan pertama yang bertugas di Kabupaten Bima bersama delapan Pengajar Muda Lainnya. Semasa kuliah, Kak Shally mendapat beasiswa penuh (beaya kuliah, uang saku dan fasilitas asrama) dari Dompet Dhuafa. Nama beasiswa ini adalah beasiswa Etos. Sepertinya sudah banyak orang yang familiar dengan beasiswa yang satu ini. Pengalaman sebagai Etoser (sebutan untuk penerima beasiswa Etos) membuat Kak Shally berjejaring dengan orang-orang di Dompet Dhuafa.

Nah, kesempatan itulah yang kemudian Kak Shally manfaatkan untuk melobi pihak Dompet Dhuafa agar melakukan seleksi beasiswa Smart Ekselensia di wilayah Bima (NTB). Kak Shally melihat bahwa di daerah pedesaan di NTB banyak sekali anak-anak cerdas namun tidak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi dan lebih baik karena keterbatasan ekonomi dan fasilitas penunjang. Maka dari itu, kakak berkacamata ini meyakinkan Dompet Dhuafa agar membuka seleksi di daerah dimana selama setahun ia bertugas sebagai Pengajar Muda. Ide itu pun akhirnya diterima oleh Dompet Dhufa sebagai pihak pemberi beasiswa.


Sedikit cerita, sebagai organisasi pengelolah zakat, infaq dan shodaqoh, Dompet Dhuafa memiliki berbagai program terkait pendidikan diantaranya adalah Beastudi Etos dan Beasiswa Smart Ekselensia Indonesia (SEI). Jika Etos menyasar mahasiswa, maka Smart Ekselensia Indonesia menyasar siswa SMP dan SMA. Siswa-siswa (putra) lulusan SD yang memiliki potensi akademik yang bagus dan berasal dari keluarga tidak mampu berhak mendaftar beasiswa SEI ini. 


Ada beberapa tahapan seleksi beasiswa SEI . Pertama, seleksi berkas yaitu berupa foto copy raport dari kelas IV sampai kelas VI, surat keterangan pendapatan orang tua, rekening listrik, dll (Info lengkapnya ada di website www.smartekselensia.net). Tahap selanjutnya adalah tes tertulis untuk mengukur potensi belajar calon penerima beasiswa. Tes ini berupa tes Bahasa Indonesia, Matematika, mengarang, Agama Islam, dll (Mohon maaf saya lupa detailnya). Jika lolos dalam tes ini, peserta akan masuk dalam psikotes dan wawancara. Terakhir, survei langsung dari perwakilan Dompet Dhuafa untuk melihat kondisi rumah dan keluarga calon penerima beasiswa.


Bagi anak-anak yang lolos serangkaian tes itu berhak mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di SMP-SMA Smart Ekselensia Dompet Dhuafa yang ada di Bogor, Jawa Barat. SMP-SMA akan mereka tempuh dengan sistem percepatan  yakni selama 5 tahun. Semua lulusan sekolah ini diproyeksikan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri di Indonesia.


Melalui usaha Kak Shally, pada tahun 2012 mulailah anak-anak di Bima bisa mengikuti seleksi beasiswa ini. Kak Shally dan teman-teman sesama Pengajar Muda Bima menyosialisasikan beasiswa ini ke sekolah dimana mereka bertugas dan sekolah-sekolah lainnya. Setelah melalui proses sosialisasi dan rekrutmen yang panjang, didapatkanlah satu nama siswa yang berhak bersekolah di Bogor dengan beasiswa penuh. Dialah Abdullah, seorang anak dari SDN 2 Rupe, sebuah sekolah yang berada di Kecamatan Langgudu, kecamtan dimana Pengajar Muda Mutia Amsuri Nasution dan Gatot Suarman bertugas. (Cerita tentang Abdullah ini pernah saya tulis juga beberapa waktu yang lalu).


Setelah melihat Abdullah yang bisa lolos dalam tahapan seleksi yang cukup melelahkan itu, pada tahun 2013 semakin banyak kepala sekolah SD yang mendaftakan siswa-siswanya dalam beasiswa ini. Sebagai Pengajar Muda yang bertugas di Langgudu saat itu, saya tidak kesulitas melakukan sosialisasi karena para kepala sekolah sudah banyak yang paham tentang beasiswa ini. Lagi,-lagi, satu anak Langgudu lolos dalam seleksi ini. Dia adalah Awaluddin, siswa SDN Karumbu. Jadilah 2 tahun berturut-turut NTB diwakili siswa dari Kecamatan Langgudu. Selanjutnya, pada tahun 2014 sistem seleksi sedikit diubah. Pada tahun sebelumnya, setiap propinsi hanya berhak mengirimkan 1 wakil. Namun, pada tahun 2014 sistem kuota ini diubah menjadi sistem urutan nilai seleksi tertinggi. Anak-anak yang nilai seleksinya berada pada urutan teratas, berhak mendapatkan beasiswa ini tanpa melihat asal propinsinya.


Melihat peluang itu, Pengajar Muda Diah Septyadari, Pengajar Muda penerus Kak Mutia dan Saya, lebih giat membuat persiapan untuk menghadapi seleksi. Beberapa minggu lamanya Diah dan guru-guru lokal melatih anak-anak untuk mengerjakan soal-soal mata pelajaran dan psikotest. Alhamdulillah, lagi-lagi ada anak Langgudu yang lolos. Kali ini, tidak tanggung-tanggung, 6 anak yang lolos melenggang ke Bogor.


Saat ini, Abdullah sudah kelas 3, Awaludidin kelas 2 dan keenam anak lainnya kelas 1. Perjalanan mereka masih sangat panjang. Tentu saja, akan ada rintangan-rintangan dalam mereka mencari ilmu. Mudah-mudahan Allah selalu memudahkan langkah mereka dalam tholabul 'ilmi ini.


                                                                                              ***

Jika ini disebut sebagai suatu pencapaian positif, maka sejatinya ini adalah hasil kerja sama yang apik dari berbagai pihak, Dompet Dhuafa sebagai pemberi beasiswa, Pengajar Muda sebagai penyampai informasi, Kepala Sekolah sebagai pemberi fasilitas anak-anak agar bisa mengikuti seleksi, guru-guru lokal yang tak pernah lelah membuat persiapan terbaik untuk anak-anak didik, juga orang tua murid yang sepenuhnya memberikan dukungan dan semangat kepada putra mereka.  Kerjasama yang sungguh manis :-)


Anak-Anak Kelas I


Anak-Anak Kelas I


Asrama Anak-Anak

*Ketiga foto tersebut diambil oleh Ustad Khodam, Wali Asrama Kelas I

Rabu, 17 Desember 2014

Lagu Tanpa Judul

Ini malam hari, hampir jam 10.00. Kasur dan bantal sudah memanggil-manggilku. Hap, segera saja aku melompat ke atas kasur dan memeluk guling. Beberapa saat kemudian, aku nyaris terlelap. Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu. Malam ini sepi sekali, hanya ada suara kipas angin berdesing-desing. Ah, biasanya jam segini tetangga kosku masih ramai mengobrol. Kenapa kali ini sepi sekali ya? Rasa kantukku pun tiba-tiba menghilang.

Aku membolak-balikkan badan mencari posisi ternyaman untuk kembali mendapatkan rasa kantukku. Tetap saja tidak bisa. Padahal tidak biasanya ini terjadi. Sejak dulu kala aku terkenal sebagai "putri tidur" yang mudah sekali mengantuk dan segera terlelap dimanapun dan kapanpun.

Ingatanku sejenak melayang ke masa kecilku. Dulu, sebelum aku tidur, ibuku selalu membelai-belai rambutku sambil menyanyikan lagi-lagu Jawa yang bernada lambat sehingga sangat cocok sebagai pengantarku ke alam mimpi. Ada satu lagu yang menjadi favoritku. Aku tidak tau apa judulnya karena ibuku tidak pernah memberi tahu padaku semua judul lagu yang beliau nyanyikan untukku. (Parahnya, aku pun tidak pernah tanya tentang ini, hehe..)

Ketika tetiba lagu ini terlintas di kepala, segera saja ku buka laptopku dan berniat menuliskan lagu itu di blog pribadiku. Menurutku, ini lagu yang sangat bagus dan kaya makna. Jadi, sayang sekali kalau tidak diikat dalam bentuk tulisan. Begini lagunya,

(Tanpa Judul)

Gusti Allah iku siji
ora ana kang madani
tanpa putra lan pinutra
tanpa garwa, tanpa kanca

paring udan migunani
kanggo nukulake bumi
langit bumi sak isine
kaya mbulan lan srengenge

Artinya:

Allah itu satu (Esa)
tidak ada yang menyamai
tidak beranak dan tidak diperanakkan
tidak punya istri/suami, tidak punya teman

Memberi hujan yang berguna
untuk menumbuhkan bumi
langit, bumi dan isinya
seperti bulan dan matahari

Tanpa ku sadari, lagu sederhana ini telah mengajariku tentang konsep ketuhanan. Bagi anak kecil sepertiku (mungkin juga anak-anak yang lain), memahami eksistensi Tuhan bukanlah perkara yang mudah. "Allah itu satu ya? Tidak ada temannya? Allah itu laki-laki atau perempuan? Allah itu punya anak atau tidak? Jadi, yang menurunkan hujan itu Allah ya?" pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus memenuhi otakku. Sesekali ku tanyakan pada ibuku. Namun jawaban-jawaban ibu hanya bisa memuaskanku sesaat. Besok atau lusa atau lain hari ketika aku menemukan hal-hal baru yang berhubungan dengan Tuhan, aku pun kembali bertanya pada Ibuku.

Untungnya, ibu tidak pernah tidak menjawab pertanyaanku walaupun terkadang beliau harus menjawab dengan nada sedikit kesal, hehe. Lagu itu juga terus-menerus ibu nyanyikan hampir setiap malam menjelang aku tidur. Lama-lama, pemahanan terntang Allah pun terkonstruksi dalam otakku. Allah itu Esa, Dita! Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan, Dita! Allah itu berkuasa atas segala sesuatu, Dita!

Alhamdulillah, aku paham. Ashadualla illaha illallah wa ashaduanna muhammadurrasulullah. Semoga, aku bisa tetap berada di jalan Iman dan Islam ini sampai maut datang menghadang. Aamiin ya Rabb!

Kamis, 11 Desember 2014

Menikah!

Pembicaraan dengan ibu angkatku beberapa hari lalu melalui telepon.
Ibu     : Jadi kapan Dita datang ke Bima lagi?
Aku    : Semoga tahun depan ya, Ibu. Mohon doanya.
Ibu     : Iya ni, Ibu doakan semoga Dita segera bisa ke sini lagi.
Aku    : Hmm... Doakan nanti Dita ke Bima sudah bisa bawa suami ya Ibu, hehe..
Ibu     : Pasti Ibu doakan, Nak. Tidak boleh anak perempuan berpergian jauh-jauh dari Jawa ke Bima sendirian. Harus datang ke Bima bersama suami.
Aku    : Makanya Dita minta doa ke Ibu biar cepat menikah, hehe..
Ibu     : Tapi Nak, menikah itu sebaiknya jangan buru-buru. Kalau mau menikah dengan sembarang lelaki, kan bisa saja. Tapi bukan seperti itu kan yang kita mau? Yang utama itu pilih yang baik agamanya. Lalu, baik keluarga dan pekerjaannya. Pengertian sama Dita dan orang tua Dita juga.
Aku    : (sejenak takzim mendengarkan) Iya Ibu, semoga Dita bisa segera ketemu yang seperti itu ya, Ibu.

Pembicaraan tentang pernikahan tidak berlangsung lama. Kami segera berganti ke topik lain. Mungkin, sebenarnya Ibu merasa tidak enak jika tema pernikahan ini diperpanjang karena beliau ingin menjaga perasaanku. Teman-teman di sekitarku sudah cukup banyak yang menikah dan ibu tahu betul tentang hal itu. Mungkin Ibu tidak mau membuatku merasa tertekan.

Tema pernikahan sepertinya adalah tema yang cukup sensitif untuk perempuan berusia 25 tahun seperti aku ini. Aku mengakui itu. Makanya, aku sangat bersyukur karena baik ibu kandungku maupun ibu angkatku tidak pernah memberiku pertanyaan seperti, "Mau menikah kapan?" atau "Mana kok belum bawa calonnya?"Semoga, mereka paham bahwa anaknya ini sedang memperjuangkan sesuatu. Anaknya ini sedang terus memperbaiki diri. Anaknya ini sedang mencari kebijaksanaan. #aseek  :-D

Mengutip kata-kata Teh Nani, salah satu temanku, "Menikah itu bukan lomba lari, Dit. Bukan siapa mendahului siapa. Juga bukan siapa mengalahkan siapa. Tidak perlu khawatir. Yakin saja sama Allah. Satu hal yang paling jelas, giliran Dita sudah semakin dekat." Oh, begitu ya teh? Hehe..
                                                                                                                                                                 
                                                                           ***
Tulisan ini dibuat karena akhir-akhir ini banyak menerima undangn nikah. Sedikit melo jadinya, tapi lupakan-lupakan! Ingat kerjaan yang masih numpuk, Dita. Tiba-tiba setumpuk dokumen yang harus segera diterjemahkan, essay anak-anak yang harus dikoreksi, laporan bulanan yang belum diedit, mereka tersenyum manis di ruang imajinerku. Haha... kerja, kerja, Dita!


Sabtu, 29 November 2014

Dita Jalan-Jalan #1

Duh, sebenarnya nggak enak mau nulis ini di blog. Nanti dikira pamer, walaupun sebenarnya sedikit terblesit pamer juga sih. Tapi nggak apa-apa lah ya? Hehe.. Cuma mau merekam tempat-tempat keceh yang pernah saya kunjungi. 

Nah, kita mulai dari yang domestik dulu ya! Ternyata negara kita Indonesia tercinta ini sungguh cantik alam dan budayanya. Sebelum kalian berkeliling dunia, saya sarankan kalian khatamkan Indonesia dulu deh. Kalau udah bisa nabung buat jalan-jalan, jangan buru-buru mikir buat pergi ke luar negeri. Kalau udah atleast beberapa tempat keceh domestik yang kita kunjungi, nanti kalau kita punya kesempatan buat mbolang ke negeri orang, kita bakal makin bersyukur dan cinta sama negara kita. Itu menurut saya. Hehe. Baiklah, saya mulai tulis tempat-tempat keren yang pernah saya kunjungi ya! Oh ya, ini yang saya tulis adalah yang saya kunjungi mulai waktu kuliah. Jadi, tempat-tempat piknik keluarga yang saya kunjungi saat saya kecil sampai SMA, nggak usah ditulis ya! Hehe.

1. LOMBOK


Pada pertengahan tahun 2010 saya mengikuti KKN di lereng Gunung Rinjani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sumpah, tempat ini cuantik banget. Mau cari pantai yang pasirnya paling putih? Ada. Mau snorkeling dan diving? Bisa. Mau cari perkebunan strawberry? Ada. Mau makan berbagai jenis ikan? Melimpah. Mau mandi di bawah air terjun? Bisa banget. Mau lihat Segara Anakan di puncak Rinjani? Dipersilahkan.



Gili Kondo (Gili berarti pulau)
Sayang banget waktu itu saya masih cupu (padahal sekarang masih, hehe). Namanya KKN ya KKN, nggak usah neko-neko. Selain itu, Ibu saya juga melarang saya untuk main ke tempat yang jauh dari lokasi KKN. Jadi, saya dan beberapa teman hanya bisa jalan-jalan waktu hari Minggu saja dan itu hanya di sekitar Lombok Timur. Beberapa teman yang punya nyali lebih besar, nekat naik ke puncak Rinjani, diving ke Gili Trawangan dan wisata budaya ke Desa Sade. Yah, nggak apa-apa. Saya sudah cukup puas mengunjungi beberapa pulau, pantai dan air terjun di wilayah Lombok Timur.

2. BROMO


Tempat yang satu ini konon dinobatkan sebagai gunung tercantik di Pulau Jawa. Berada di Perbatasan Kabupaten Probolinggo, Malang, Pasuruan dan Lumajang memungkinkan gunung yang terkenal dengan lautan pasirnya ini bisa diakses dari beberapa arah. Saking cintanya sama tempat ini, sejak Maret 2011 sampai sekarang (Akhir tahun 2014) saya sudah 4 kali berkunjung ke sana. Ini karena di Desa Ngadirejo, salah satu desa di Lereng Bromo, saya mempunyai kenalan beberapa warga yang sudah saya anggap sebagai keluarga saya. Jadi, ketika berkunjung ke Bromo, saya dan teman-teman saya bisa menginap di rumah mereka.

Untuk bisa mencapai Bromo, saya lebih suka naik bus dari Jogja. Berangkat jam 22.00 dari Jogja, tiba di terminal Bungurasih, Surabaya pas Subuh. Cari mushola untuk sholat, lalu sarapan dan lanjut naik bus ke arah Probolinggo kurang lebih 3 jam. Sesampainya tiba terminal probolinggo, bisa naik mobil elf yang ongkosnya Rp 50.000 (tahun 2013). Tapi, karena mobil ini sehari hanya ada beberapa saja, saya biasanya menelpon kenalan saya yang ada di Desa Ngadirejo untuk menjemput saya dengan motor. Jadi saya tinggal kasih uang bensin yang kira-kira sama dengan ongkos elf. Ini lebih enak dan bisa memberi penghasilan tambahan untuk warga Ngadirejo.


Keluarga di Ngadirejo
Di Ngadirejo saya menginap layaknya di homestay. Jadi, nanti saat saya mau pulang, saya kasih uang pengganti biaya makanan yang meraka berikan untuk saya. Nggak banyak, tapi nggak dikit-dikit banget lah. Dikira-kira saja biar ada bagian uang lelah juga untuk mereka walaupun mereka sebanarnya nggak mau menerima uang itu karena sudah menganggap saya sebagai keluarga mereka. Tapi saya harus paksa berikan uang  itu.

Kalau mau jalan-jalan ke Gunung Bromo, saya juga bisa meminta tukang ojek warga setempat untuk mengantar saya. Tahun 2013 saya ke sana, tarifnya Rp 150.000 untuk 1 paket wisata penuh, dari jam 03.00 dini hari untuk melihat sunrise di Penanjakan, naik ke puncak Bromo, foto-foto di Pura, pasir berbisik (lautan pasir), savana dan bukit Teletubbies. Kira-kira jam 12 siang, baru kembali ke Ngadirejo. Murah kan? Kalau kalian mau ke Bromo, menginap saja di Ngadirejo. Itung-itung bisa membantu mereka buat nambah penghasilah. FYI, Ngadirejo ini nggak seperti Ngadisari yang merupakan jalur wisata. Jadi, Ngadirejo itu perekonomian warganya agak kurang baik jika dibandingkan dengan Ngadisari. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagi petani dan buruh di perkebunan jamur. Karena bukan merupakan jalur wisata, suasana perkampungan di Ngadirejo sangat tenang sehingga cocok banget untuk kontemplasi.


Salah satu bukit untuk memandang Bromo dari Kejauhan

Suasana Desa Ngadirejo


3. TANA TORAJA DAN PULAU SAMALONA


Dari Jawa, kita loncat ke Pulau Celebes yuk! Kita jelajahi Tana Toraja yang kondang itu. Saya berkunjung ke tempat itu pada Mei 2011. Ternyata tempatnya jauh banget dari Makassar oey! Dari Ibukota propinsi Sulawesi Selatan itu, saya dan teman-teman harus menyewa mobil untuk menuju Toraja yang waktu itu kami tempuh sekitar 9 jam. Perjalanan 9 jam itu ternyata sama-sekali tidak membosankan karena bisa melihat pemandangan perbukitan, persawahan dan perkampungan yang berbeda dengan yang saya lihat di Jawa.

Waktu itu kami kesana berdelapan. Salah satu dari kami ibunya sedang bertugas di Kota Pollopo sehingga kami singgah semalam di kota kecil nan damai itu untuk pesta durian dan kapurung (sejenis sagu). Kalau kalian sempat singgah di Pallopo dan kebetulan sedang musim durian, harus mencicipi durian asli sana. Juga, perlu dicoba makan kapurung dengan kuah masakan ikan yang rasanya agak pedas. Enak banget deh.
Pesta Durian

Sudah semalam menginap di Pallopo, esok harinya kami bersiap-siap menuju Toraja. Ada banyak tempat yang kami kunjungi di sana. Saya lupa nama-namanya, hehe. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah goa dimana tengkorak orang-orang yang sudah meninggal dibiarkan begitu saja tergelatak di dasar gua. Baru sampai di pintu goa saja bulu kudu saya sudah bergidik. Ngeri sekali rasanya. Lebih ngeri saat kami masuk ke dalam guanya yang hanya dengan penerangan senter dari pemandu kami. Hawa mistis semakin terasa. Karena sangat penasaran ingin melihat isi goa itu, saya paksakan untuk ikut masuk.

Tempat selanjutnya yang kami kunjungi adalah kuburan leluhur yang ada di bukit batu. Beberapa peti mati tertanam di bukit-bukit itu sehingga hanya satu sisi sampingnya yang terlihat. Di samping peti itu terpasang patung berwajah orang yang meninggal itu. Selain dua tempat tadi, ketika berkunjung ke Tator, sebutan singkat untuk Tana Toraja, mata kita akan disuguhi rumah adat khas Tator yang menjulang tinggi dan berhiaskan tanduk kepala kerbau. Semakin kaya seseorang, semakin besar pula ukuran rumahnya dan semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang menghiasinya. Tanduk-tanduk kerbau itu diperoleh saat ada anggota keluarga yang meninggal. Menurut tradisi Tator, ketika ada warga yang meninggal, kerbau harus disembelih saat upacara pemakamannya. Semakin kaya seseorang, semakin banyak kerbau yang disembelih.

Puas menjelajahi sisi Tator, kami bertolak kembali ke Makassar. Di perjalanan, kami mampir makan ikan Pare-Pare, tempat kelahiran Pak Habibie. Tiba-tiba saya teringat Beliau yang sangat saya kagumi itu, hehe.

Sebelum kembali terbang ke Jogja, kami mampir berwisata bahari di Pulau Samalona yang berjarak kurang lebih 50 menit naik perahu motor dari pelabuhan Makassar. Peraian di pulau ini airnya sangat jernih, pasirnya putih bersih dan banyak keong laut yang bentuknya lucu-lucu. Kalau kalian berkunjung ke Makassar, mampirlah ke Pulau Samalona untuk sedikit merasakan damainya pantai.







Samalona Island
Samalona Island

4. PULAU SEBESI DAN GUNUNG KRAKATAU


Perjalanan dari Dermaga Canti menuju Pulau Sebesi
Hayo, ada yang tahu Gunung Krakatau ada dimana? Haha, pasti sudah pada tau ya! Gunung yang letusannya pernah mengguncangkan dunia dengan efek tsunami yang ditimbulkannya itu, kini sudah beranak. Serius, beranak? Iya, si gunung aslinya sudah habis waktu letusan dahsyat pada tahun 1883 itu. Nah, yang ada sekarang adalah anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan, hehe.

Dari Jogja, saya dan rombongan naik kereta ekonomi Progo yang saat itu harganya masih Rp 30.000 (Juli 2011). Turun di stasiun Pasar Senen dan lanjut naik KRL ke Stasiun Tanah Abang. Dari Tanah Abang, kami naik kereta ekonomi tujuan Merak seharga Rp 5000. Ini adalah kereta yang benar-benar ekonomi karena pintunya tidak bisa dititup sepanjang perjalanan 4 jam itu. Penumpang penuh berjubel dan hampir semuanya berdiri karena tidak kebagian kursi. Aneka macam pedagang keliling dan pengamen hilir mudik di antara penumpang yang berdesakan itu. Sepanjang hidup saya, itu adalah pengalaman naik kendaraan umum terburuk yang pernah saya alami.

Tiba di Merak, kami naik kapal ferry melintasi Selat Sunda selama lebih kurang 2 jam menuju pelabuhan Bakauheni. Karena sudah menjelang malam, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Pulau Sebesi karena dalam sehari hanya ada 2 perahu menuju pulau itu yaitu pada siang hari saja. Kami singgah semalam di rumah salah seorang kenalan kami di Lampung Selatan. Esok harinya, kami baru menuju dermaga Canti, tempat dimana kami akan menyeberang ke Pulau Sebesi dengan perahu motor selama 2 atau 3 jam tergantung dari kondisi ombak laut.





Pulau Sebesi adalah tempat yang biasanya dijadikan tempat transit bagi wisatawan yang akan pergi ke Gunung Krakatau. Karena di Sebesi kami sedang mengerjakan project perpustakaan, kami tidak sempat mampir ke Krakatau. Walaupun begitu, kami cukup puas menjelajahi pulau Sebesi dari bibir pantainya, hutan bakau, perkebunan kelapa, perkampungan warga dan melihat nelayan turun dari melaut membawa berbagai ikan hasil tangkapan. Kami juga sudah cukup puas memandangi Krakatau dari salah satu sisi pantai di Sebesi. Ah, nanti kalau ada waktu dan rezeki lagi, ingin sekali saya menginjakkan kaki di Krakatau.



5. SEMERU
Bagi orang yang hobi mendaki gunung, Semeru adalah salah satu gunung yang ingin ditakhlukkan. Betapa tidak, gunung yang terkanal dengan sebutan "atapnya Pulau Jawa" itu adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Adakah diantara kalian yang sudah pernah mencapai puncak Mahameru-nya?

Oktober 2011 saya dan teman-teman komunitas BOOK FOR MOUNTAIN kembali membuat project perpustakaan di SDN Ranu Pane, lereng Semeru. Secara administratif, Ranu Pane masuk dalam wilayah Labupaten Lumajang. Mengawali perjalanan dari Jogja tercinta, kami menumpang kereta api Sri Tanjung menuju Stasiun Semut, Surabaya. Dari sana, kami naik kereta lagi menuju Stasiun Malang yang kemudian sambung naik angkot menuju Pasar Tumpang. Dari sana, hanya ada 2 pilihan untuk menuju ke Ranu Pane (Desa tertinggi di Semeru) yaitu dengan naik Jeep atau menumpang truk sayur. Hampir semua pendaki gunung yang akan mendaki ke Semeru, harus melewati Ranu Pane itu. Karena kondisi keuangan kami yang pas-pasan, kami memutuskan untuk menumpang truk sayur yang mana kami cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 25.000 saja. Truk-truk sayur ini biasanya mulai jalan dari Pasar Tumpang pada siang hari dalam keadaan kosong muatan. Jadi, kami bisa menumpang sampai di Ranu Pane. Dua jam waktu yang kami butuhkan untuk menuju desa yang mayoritas penduduknya merupakan petani sayur seberti kubis, daun bawang dan wortel itu. Ternyata seru sekali melihat pemandangan sepanjang perjalanan di atas truk itu.

Awalnya kami berencana akan muncak ke Mahameru setelah project kami selesai. Namun, karena setelah seminggu berada di sana sebagian besar dari kami sakit, maka kami urungkan niat itu. Walaupun tidak sampai ke puncak, kami cukup senang karena bisa menjelajah ranu-ranu (ranu berarti rawa) seperti Ranu Pane dan Ranu Regula. Ketika kami datang ke sana, kebetulan sedang ada perayaan hari raya Karo sehingga kami bisa mengikuti rangkaian acaranya. Bagi saya, yang paling berkesan adalah pertunjukkan Reog Singo Barong karena itu adalah pertama kalinya saya melihat orang kesurupan lalu memakan kemenyan dan kelapa tanpa dipecah. So Amazing.

Pertunjukan Reog Saat Hari Raya Karo


Bunga di Tepi Jalan

Pura di Ranu Pane



Kami juga senang karena selama kami di sana, kami bertemu dengan relawan mahasiswa dari Universitas Brawijaya yang aktif membersihkan Ranu Pane dari gulma pengganggu yang menghambat kehidupan ekosistem rawa. Juga, ada sepasang bule dari Perancis yang sedang mengadakan penelitian Landscap Ranu Pane. Sepuluh hari yang menarik. Oh ya, selama 10 hari di sana, saya hanya mandi 2 kali karena udara yang sangat amat dingin. Hehe.


Capek juga ngetik sebanyak ini. Lima tempat dulu ya, insyaAllah saya lanjut nanti.