Translate

Minggu, 30 Agustus 2015

Situs Megalithikum Gunung Padang

"Kapan kita jalan-jalan lagi, Dit?"

Pertanyaan macam itu sering teman-teman alamatkan pada saya akhir-akhir ini. Pertanyaan yang saya sendiri tak tau jawabannya. Yang ada saya justru balik bertanya, "Duh, kapan ya?" sambil meratapi nasib saya yang belum punya hak cuti sampai setahun -atau mungkin lebih- ke depan.

Tapi ternyata, bagi saya, jalan-jalan sudah menjadi candu tersendiri. Naik kendaraan umum ala kadarnya, membeli makanan di pinggir jalan, menginap di rumah warga, melihat keunikan sebuah daerah, itu yang selalu saya rindukan. Dan ya, keinginan itu rasanya sudah di ubun-ubun seminggu yang lalu. Maka, sebuah ide muncul. Ide yang sebenarnya sejak berbulan-bulan yang lalu ada tapi belum juga terwujud karena kesibukan kami di jagad perkantoran ibu kota. Ya, kami akan ke Gunung Padang akhir minggu itu juga!

Itinerary dibuat. Teman-teman dihubungi, kalau-kalau ada yang bisa ikut. Sampai dua hari sebelum keberangkatan, hanya tiga orang yang bisa ikut: saya, Vivi dan Mbak Evi (senior saya di kantor). Tak masalah, rencana tetap harus dijalankan. Kamis sore menjelang maghrib, masih di ruang kerja, saya dan Mbak Evi mulai membuka laman pemesanan tiket kereta api jurusan Bogor-Cianjur. Menurut rencana, kami akan berangkat Sabtu pagi menggunakan kereta pertama, jam 07.55. Namun ternyata, tiket untuk pagi itu sudah ludes! 


Kami sempat akan mengubah rencana dengan naik bus. Tapi, setelah dipikir-pikir, terlalu banyak risiko kalau kami pergi naik bus. Pertama, kami tidak tau pasti bus jurusan Jakarta-Cianjur berangkat setiap berapa jam sekali. Kedua, tiap akhir pekan hampir dapat dipastikan jalur Puncak Pass macet parah. Daripada terjebak dalam ketidakpastian, maka kami memilih yang pasti-pasti saja deh, seperti memilih pasangan hidup ;-p

Setelah berkoordinasi dengan Vivi lewat WhatsApp, oke, akhirnya kami sepakat mengubah itinerary yang sudah kami siapkan. Kami tetap naik kereta, hanya saja kereta Pangrango yang berangkat dari Stasiun Bogor Paledang jam 13.30. Tiket masih tersedia banyak. Tapi tunggu, kenapa tidak tersedia booking icon-nya? Akhirnya, kami membeli tiket pulang dulu, Lampegan-Bogor. Alhamdulillah terbeli. Kembali ke layar pemesanan tiket berangkat, tetap tak bisa dibeli. Saya berniat menelpon ke 121, namun ternyata saya tak punya pulsa. Untungnya, Mbak Evi dengan suka rela meminjamkan HPnya -dan tentu saja menghibahkan pulsanya juga- untuk reservasi tiket KAI via telepon. Tak sampai lima menit, urusan pesan-memesan ini pun beres. Meluncurlah kami ke gerai ATM terdekat sekalian pulang dengan hati senang.

Jadwal Kereta Cianjur (CJ)-Bogor (BOO) dan sebaliknya. 
Hari yang dinantikan pun tiba. Sabtu jam 11.30 saya dan Mbak Evi ketemuan di Stasiun Manggarai lalu berangkat bersama naik Commuter Line (CL) ke Bogor. Vivi, yang tinggal di daerah Karet, naik CL dari Stasiun Sudirman. Ketika saya dan Mbak Evi sudah naik CL, masukkan pesan WA dari Vivi, "Dita, maaf aku ini baru berangkat, tadi sakit perut. Kalau jam setengah 2 aku belum nyampe, ditinggal aja gak papa." Dunia seakan runtuh, tangan saya lemas, tak kuasa menyokong ponsel Samsung kuno yang tak seberapa beratnya ini. 

Beberapa detik berlalu, kesadaran saya terkumbul kembali. Saya mencoba tenang. Saya menelpon Vivi dan berkata, "Gak telat kok Vi, pasti sampai sebelum jam setengah 2. Kalau masih sakit perut, gak usah buru-buru",padahal dalam hati, saya resah. Apa jadinya kalau Vivi tidak jadi ikut? 

Sesampainya di stasiun Bogor, saya dan Mbak Evi langsung bertanya ke petugas dari manakah jalur keberangkatan kereta jurusan Cianjur. Dan ternyata, Stasiun Bogor Paledang itu bukan stasiun Bogor tempat kita naik-turun CL itu, saudara-saudara! Letak stasiun Bogor Paledang itu di belakang Taman Topi Square yang mana bisa kita jangkau dengan jalan kaki lewat jembatan penyeberangan yang lumayan jauh letaknya. Saya pikir stasiun Bogor Paledang itu sama dengan stasiun tempat CL mangkal karena beberapa hari sebelumnya saya sudah mengkonfirmasi ini pada teman saya orang Bogor tentang ini. Tapi ya sudahlah.

Sepuluh menit sebelum kereta Pangrango berangkat, Vivi belum juga kelihatan ujung jilbabnya. Saya mulai resah. Saya dan Mbak Evi kemudian bagi-bagi tugas, Mbak Evi masuk ke kereta terlebih dahulu. Saya menunggu Vivi di depan pintu pemeriksaan tiket. Untungnya, Stasiun Bogor Paledang ini kecil mungil sehingga ketika peluit panjang kereta mulai dibunyikan, saya bisa cepat-cepat lari dan melompat masuk ke dalam gerbong kereta. 

Saya mondar-mandir dari pos pemeriksaan tiket ke tengah jalan, mencari-cari Vivi. Satu pesan WA saya kirimkan, "Lari Viiiiii!" Berkali-kali saya minta kepada petugas agar kereta jangan dulu diberangkatkan. "Itu Pak, masih banyak kok yang telat", saya berdalih sambil menunjuk-nunjuk para calon penumpang yang berlarian karena datang terlambat dari arah jalan raya maupun Stasiun Bogor. 

Dari kejauhan mata saya menangkap Vivi yang berlari pontang-panting. "Paaaak, teman saya sudah datang, Tolong tunggu satu menit lagi. Tolong Paaaaak", saya mengiba. Vivi datang dengan KTP yang sudah siap di tangan. Setelah pemeriksaan secepat kilat, melompatlah kami ke dalam kereta. Bebarapa detik kemudian, kereta perlahan melaju. Selesailah drama pengejaran kereta di Sabtu siang yang terik itu. 

Kata orang, serunya jalan-jalan itu ya ada pada hal-hal yang tak terduga semacam itu. Dari sanalah kita belajar tentang banyak hal, tentang kesabaran, berbagi, pengambilan keputusan, dsb. Dan ya, bagi saya pribadi, yang saya cari adalah yang semacam itu, bukan semata-mata kebanggaan mengunjungi tempat-tempat baru.

Duh, tidak terasa ceritanya sudah sepanjang ini ya, padahal tentang Gunung Padangnya belum sama sekali, hehe.. Baiklah, kita mulai ya. Siapa tau bermanfaat untuk teman-teman yang mau main ke situs megalithikum tertua di nusantara ini.

Dari Stasiun Bogor kami naik Kereta Pangrango tujuan akhir Cianjur. Tiket yang perlu kami bayar seharga Rp 27.500 (kelas ekonomi). Setelah lebih kurang tiga jam perjalanan, kereta yang kami tumpangi ini tiba di stasiun Lampegan(LP) jam 16.30. Para tukang ojek mengerubungi kami bak ikan ketemu mangsanya. Mereka menawarkan Rp 50.000 untuk 1 ojek ke Gunung Padang. Kami tidak mau karena beberapa orang yang pernah pergi ke sana menuliskan ongkos ojeknya antara Rp 25.000 sampai Rp 30.000. Karena kami tidak mau lama tawar menawar, kami menyetujui harga Rp 35.000. 

Jalanan dari Stasuin Lampegan ke Gunung Padang berkelok-kelok dan dominan menanjak. Jalanannya sudah beraspal, hanya saja ada beberapa titik yang sudah amblas. Sedikit ngeri melintasi jalanan seperti itu. Tapi kengerian itu teralihkan oleh pemandanagan perbukitan yang disulap menjadi perkebunan teh. Sejauh mata maemandang, yang tampak hanya hijau membentang, layaknya permadani yang terhampar luas. Udara pun cukup sejuk, sama sekali kontras dengan udara Jakarta yang beberapa jam sebelumnya saya hirup. 

Ojek menurunkan kami tepat di depan tempat penjualan tiket masuk Gunung Padang. Kami istirahat sebentar sembari menunggu Mbak Evi sholat Asar. Seorang Ibu muda datang menghampiri kami, "Yang mau nginep di rumah Abah Dadi ya Mbak? Mari ikut saya, sudah disiapin tempatnya." Kami pun langsung mengutil di belakang Ibu Muda tadi.

homestay kami
Beberapa hari sebelumnya kami memang sudah menghubungi Abah Dadi untuk memesan homestay di sekitar Gunung Padang. No HP Abah Dadi, 081385901950 saya peroleh dari blog seseorang yang sebelumnya sudah pernah menginap di homestay Abah Dadi. Semalam menginap di rumah Abah Dadi kami mendapat dua kali makan yaitu makan malam dan sarapan di keesokan harinya. Semua itu dihargai dengan angka Rp 80.000 per orang. Menurut kami itu sangat murah karena Abah Dari dan keluarganya memberikan pelayanan yang sangat baik. Rumah dan kamar mandinya cukup bersih sehingga membuat kami nyaman.

Sore itu, setelah menyimpan ransel di rumah Abah Dadi, kami mencoba naik ke Gunung Padang. Harga tiketnya Rp 4000. Ada dua pilihan trek yang bisa kita ambil. Trek sebelah kiri lebih curam dan terjal namun pendek. Sedangkan yang sebelah kanan lebih landai dan rapi sususan tangganya namun lebih panjang. Sore itu kami memilih trek yang sebelah kiri. Dan rasanya, byuh-byuh, cukup lumayan membuat keringat bercucuran dan nafas ngos-ngosan. Kata petugas penjual tiket, kedua trek tersebut bisa dilalui sekitar 10-15 menit. Tapi tidak bagi kami, Kami butuh lebih dari itu!

dua trek
Karena senja sudah hampir tiba, kami tidak berlama-lama di atas. Besok paginya akan kami puaskan sembari melihat matahari terbit dari titik tertinggi Gunung Padang. 

Setelah makan malam, Abah Dadi tiba-tiba memberi tahu kami bahwa sedang ada mahasiswa KKN yang malam itu akan menggelar layar tancap di halaman sebuah SD. Abah mengajak kami menonton, kami pun setuju. Setibanya di SD, kami menjumpai pemuda-pemuda yang Abah bilang sebagai mahasiswa KKN itu. Ternyata mereka adalah volunteer dari komunitas Teaching and Traveling. Siang tadinya mereka mengadakan kegiatan mengajar di SD dan esok paginya mereka akan berwisata ke Gunung Padang. Senang sekali bisa ketemu dengan anak-anak muda yang penuh semangat untuk memperbaiki negeri seperti mereka. 

Kami hanya mengobrol sebentar lalu kembali pulang ke Rumah Abah. Kami tidur cepat karena besok kami akan melihat sunrise dari atas Gunung Padang. Ternyata, semakin malam udara semakin terasa dingin. Dan parahnya, saya lupa membawa jaket! Jadilah semalaman saya meringkuk dalam dingin. Brrrrr...

Sunrise Time!!! Kami bangun jam 05.00 pagi. Kami keukeuh mandi terlebih dahulu karena kami takut nanti turun dari Gunung Padang kami tak sempat mandi. Kami harus mengejar kereta jam 09.00. Gantian mandi bertiga ternyata membutuhkan waktu hampir satu jam. Pintu rumah kami buka, langit pun ternyata sudah terang, saudara-saudara! Tapi tak apalah, yang penting sampai atas, hehe..

Satu jam penuh kami menyusuri reruntuhan situs kuno itu. Mengamati rupa-rupa bentuk dan susunan batuan, menikmati udara pagi yang segar, memanjakan mata dengan dengan pemandangan perbukitan yang asri dan damai. Ah, puas sekali rasanya.

Maka, tibalah saatnya kami turun dan pulang. Ummi, istri Abah Dadi menyiapkan masing-masing sepiring nasi goreng dan telur ceplok untuk sarapan kami. Ummi pun sudah menyiapkan tukang ojek yang akan mengantar kami kembali ke Stasiun Lampegan. Ongkos ojek dari atas sini ternyata lebih murah, hanya Rp 30.000. Beruntungnya kami bertemu dengan Abah, Ummi dan warga Gunung Padang yang baik ini. Alhamdulillahirabbil'alamin.   

Beginilah hasil jalan-jalan ke Gunung Padang. Next trip mau kemana lagi ya? :-D




Kamis, 27 Agustus 2015

Kisah Seorang Petani Jeruk

Syahdan, di sebuah pedesaan di kaki gunung yang permai nan damai, hiduplah seorang petani jeruk yang sangat bersahaja. Di ladangnya yang tak seberapa luas, dengan sepenuh hati ia rawat tanaman jeruknya sehingga menghasilkan buah jeruk yang ketika masa panen tiba, memanjakan setiap pasang mata orang yang melintas di jalanan dekat ladang jeruk itu. 

Buah-buah yang telah ranum pun satu per satu dipanen untuk kemudian dijual ke pasar terdekat yang jika ditempuh dengan sepeda motor memakan waktu setidaknya satu jam perjalanan. Bronjong, semacam keranjang bambu yang cukup kuat, dikaitkan di bagian belakang motornya, barulah jeruk-jeruk siap jual itu dimuat ke dalam bronjong. Kemudian berangkatlah petani itu mengendarai motor ber-bronjong yang sarat muatan itu ke pasar, menyusuri jalanan pengunungan yang berkelok-kelok. 

Selain berkelok-kelok, satu-satunya jalan yang mesti dilewati petani itu rupanya cukup terjal juga. Sebenarnya, jalanan itu dulu pernah sekali diaspal. Ya, dulu sekali, sampai-sampai si petani itu lupa tahun berapa tepatnya. Hingga kini, ketika jalanan itu kembali wujud seperti dulu sebelum diaspal, warga tak pernah tau kapan satu-satunya akses mereka menuju kota kecamatan itu akan kembali diaspal. Warga sudah mengusulkan kepada Kepala Desa. Kepala Desa sudah megusulkan kepada Pak Camat. Konon, katanya pula, Pak Camat sudah mengusulkan ke pejabat di atasnya. Demikian pula seterusnya entah sampai tingkat apa. Namun, apa nyatanya? Tak ada jawaban, apalagi pembangunan sebagaimana yang diharapkan oleh warga. 

Sederhana saja, warga menghendaki jalan itu diperbaiki semata-mata hanya agar mereka bisa lebih mudah mengangkut hasil pertanian mereka ke pasar kecamatan. Dengan jalanan yang tidak lagi terjal, harapannya hasil pertanian mereka terutama buah-buahan tidak mengalami banyak kerusakan saat diangkut ke pasar. Beberapa tahun terakhir ini, dengan kondisi jalan yang rusak parah, petani sering merugi karena setibanya di pasar, buah-buahan yang mereka angkut rupanya banyak yang rusak setelah mengalami ratusan atau bahkan ribuan goncangan yang kuat selama perjalanan. Dan petani jeruk nan bersahaja itu pun tak luput dari kerugian semacam ini.

Andai saja jeruk-jeruk itu tidak rusak, tentu keuntungan si petani itu akan lebih banyak. Bila keuntungan bisa lebih banyak, tentu ia bisa hidup lebih layak, anak-anaknya pun bisa ia sekolahkan sampai ke bangku kuliah. Cita-cita semacam itu nyatanya hanya fantasi semata. Kenyataanya ia masih saja harus menelan pil pahit bernama kerugian. Kerugian yang menyeret mereka dalam belenggu kemiskinan. Kerugian yang muasalnya dari kondisi jalan yang tak kunjung diperbaiki itu.

Pada suatu hari, seorang warga mencuri dengar pembicaraan orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kondisi jalan yang demikian mengenaskan itu. Kabarnya, sebenarnya sejak lama sudah ada anggaran yang disiapkan untuk memperbaiki jalanan dari kota kabupaten hingga pelosok-pelosk desa. Namun, ternyata anggaran tersebut disunat oleh oknum-oknum tertentu sehingga realisasi pembangunan tidak mencapai pelosok-pelosok desa.  

Warga diam, tidak tau apa yang mesti mereka lakukan. Namun, setidaknya selubung musabab kemiskinan mereka selama ini terungkap sudah. Satu musabab yang efeknya gandheng-renteng, mengular panjang, bercabang-cabang, yang akhirnya perlahan akan membunuh cabang-cabang itu dari ujung yang paling jauh. 


sumber ilustrasi: www.sunpride.co.id

*Kisah ini pernah dituturkan secara lisan oleh Pak Anies Baswedan lalu diimprovisasi oleh penulis. 

Senin, 17 Agustus 2015

The Extraordinary Vivi

Salah satu ciri sahabat yang baik adalah ia mau mengingatkan kesalahan/kekurangan kita agar kita bisa terus bertumbuh menjadi seseorang yang semakin baik. Ia memilih mengingatkan daripada mempergunjingkan kekurangan kita di depan orang lain. Ia bukan hendak memvonis kita sebagai terdakwa, melainkan ingin merengkuh kita, memilihkan jalan yang lebih tepat untuk kita lalui.


Ciri itulah yang saya temukan dari Vivi, sahabat yang saya kenal sejak tiga tahun yang lalu, saat kami sama-sama terpilih sebagai Pengajar Muda angkatan IV.  Beberapa bulan terakhir ini kami sering pergi mengaji bersama, ke Masjid Al-Azhar, Bank Indonesia dan Istiqlal. Dari situlah saya belajar banyak dari salah satu staf di Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan ini. 

Wajah Vivi selalu memancarkan ekspresi yang tulus, apa adanya. Ia juga seorang yang sangat terbuka terhadap teman-teman dan lingkungan baru. Logat Bahasa Jawanya yang khas ditambah senyumnya yang begitu sering terkembang membuat ia pantas menyandang gelar lovable. Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar orang yang mengenalnya pasti senang akan keberadaannya.  

Seperti prolog tulisan ini, seperti itu pulalah Vivi. Bagi saya, Vivi tidak hanya sebagai inspirasi, tetapi juga sahabat yang selalu tulus mengkoreksi. Seperti Minggu lalu, saat saya menginap di kosnya, Ia mengkoreksi salah satu sifat buruk saya. "Dita ini judging ya orangnya", begitu katanya. Saya kaget, lalu terdiam entah dua atau tiga detik untuk mencerna kata-kata Vivi. Jujur, saya cukup tersinggung karena Vivi mengatakan itu tanpa tedeng aling-aling. Namun, saya kemudian berusaha menguasai diri dan mengakui kekurangan itu. Vivi bisa berpendapat seperti itu pasti karena sudah menelisik sikap saya selama ini. 

"Hmm, iya sih, Vi. Tapi kenapa Vivi bisa berkesimpulan gitu?" Vivi lalu menceritakan beberapa kejadian yang menunjukkan sifat judging saya yang begitu kentara. Saya mendengarkannya baik-baik sambil memutar ulang memori kejadian-kejadian yang Vivi ceritakan.

Dulu, saat pelatihan intensif Pengajar Muda (PM), kami 71 PM mengikuti satu sesi tes MBTI. Hasil tes itu menunjukkan bahwa saya tergolong seseorang yang judging. Melihat hasil itu saya kemudian berusaha memperbaiki diri agar saya bisa lebih mudah menerima dan diterima oleh rekan-rekan kerja saya dan semua pemangku kepentingan di daerah dimana saya akan ditempatkan. 

Waktu terus berjalan. Upaya perbaikan itu ternyata menguap begitu saja. Kini, setelah tiga tahun setelah itu, saya masih menjadi pribadi yang sama, pribadi yang memasang batas bagi seseorang/situasi yang saya rasa tidak sejalan dengan pemikiran saya. Ketika saya tidak menyukai seseorang/situasi tersebut, selain memasang batas imajiner, saya selalu tak kuasa menyembunyikan ekspresi ketidaksukaan itu. Maka, jika sudah seperti itu, ekspresi wajah saya langsung berubah menjadi datar, tak ada senyuman, tak ada kata-kata. Jika kadar ketidaksukaan saya terus meningkat, saya kadang tersulut untuk mendebat setiap kata/tindakan orang-orang yang tidak sepemikiran dengan saya itu. Astaghfirullahal 'adzim

Vivi jujur. Analisisnya paralel dengan hasil MBTI yang saya ikuti tiga tahun silam itu. Padahal, boleh jadi Vivi tidak ingat dengan hasil MBTI saya. Tapi, sebagai sahabat, ia melihat perilaku sahabatnya ini sungguh-sungguh, lalu mengkoreksi. Ini tidak lain tidak bukan adalah agar sahabatnya ini terus tumbuh menjadi sesorang yang semakin lebih baik. Ah, begitu beruntungnya saya diberi kesempatan Allah untuk bersahabat dengan Vivi yang seluar biasa ini. 

Saya dan Vivi

*Judul tulisan ini diambil dari nama blog pribadi Vivi, http://extraordinaryvivi.blogspot.com


Minggu, 16 Agustus 2015

Kebanggaan Semu

"Aku gak jadi ke Purwokerto Dit, paklekku meninggal", begitu pesan yang saya terima dari Tami Jumat malam lalu. "Dia masih muda Dit, 45 tahun usianya. Sebelum-sebelumnya nggak pernah sakit. Tiba-tiba pembuluh darah otaknya pecah, lalu koma di ICU. Beberapa jam kemudian meninggal."

Kematian itu sungguh tidak bisa diprediksi waktunya, gumam saya. Dia, kematian itu, pasti datang pada semua makhuk yang bernyawa. Hanya saja, kapan dan dimana kedatangannya itulah yang menjadi rahasia Allah. 

Karena kehidupan di dunia ini hanya sementara dan kematian pasti akan datang, Allah meminta hamba-Nya untuk banyak mengingat mati dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan setelah mati. Takziyah dan ziarah kubur adalah kegiatan yang Allah perintahkan pada kita dengan maksud agar kita sering mengingat bahwa nantinya kita akan sama seperti orang-orang yang kita takziyahi dan ziarahi itu. Kita akan sama-sama menghadapi sakaratul maut, lalu terbujur kaku tak bernyawa lagi. Kita akan dimandikan, dikafani, disholatkan, kemudian dikebumikan. Tidak ada yang kita bawa kecuali beberapa lembar kain kafan yang membalut jasad kita. Tak seorang pun jua akan menemani kita di dalam kubur.

Jika hanya kain kafan yang akan kita bawa ke dalam kubur, mengapa banyak dari kita yang begitu ngoyo menumpuk-numpuk harta bahkan dengan jalan yang tidak halal? Padahal, rumah megah, mobil mewah, tabungan melimpah dan segala bentuk kebanggaan dunia itu tak satu pun akan kita bawa ke dalam kubur. Jika semua itu diperoleh dengan jalan yang tidak halal, benar-benar tidak akan ada gunanya. Sama sekali tidak ada!

Demi semua kebanggaan semu itu orang rela mencuri uang rakyat, memakan hak orang melarat. Lalu bagaimana jika nanti di akhirat orang-orang yang terrenggut haknya itu menuntut pertanggungjawaban dari para koruptor itu? Tidakkah para koruptor itu berfikir hingga jauh ke sana?

Lalu, buat apa pula jika semua kemewahan itu tidak bisa dinikmati ketika macam-macam penyakit mulai menggerogoti tubuh mereka saat usia mereka memasuki 60 tahun? Buat apa uang melimpah namun nyatanya aneka makanan mahal yang bisa terbeli, tidak bisa dimakan lantaran dokter melarang keras? Buat apa semua harta itu jika kenikmatan hidup sudah dicabut oleh Allah? 

Ini pengingat, terutama untuk saya sendiri. Semua korupsi skala besar pasti dimulai dari korupsi yang kecil-kecil. Ketika yang kecil-kecil dibiasakan, skalanya akan terus meningkat hingga mungkin menjadi tak terkendali. Awalnya takut-takut dan ada rasa bersalah, lama-lama akan biasa-biasa saja dan akhirnya jadi kegemaran jika tak ada yang mengingatkan. 


Sumber ilustrasi : konstruksirumah.com

Rabu, 05 Agustus 2015

Milikku Adalah Milikmu Juga

"When we give everything, we have nothing to lose"

Saya mendapatkan quote tersebut dari salah satu novel Paulo Coelho, Adultery. Jika kita fikirkan lebih mendalam, kita bisa menginterpretasikannya ke dalam beragam makna. 

Jika semua sudah diberikan pada orang lain, kita mau kehilangan apalagi coba? Kan sudah tidak punya apa-apa. Ini interpretasi spontan saya. Tapi logis juga sih, hehe.

Lalu saya mencoba sedikit berfikir agar bisa menerjemahkan ke dalam arti yang lebih dalam. Hmm... begini, kata orang, jika seseorang suka memberi, maka yang terjadi adalah hartanya justru bertambah semakin banyak, bukan semakin berkurang. Jadi, walaupun secara kasat mata harta kita berkurang setelah diberikan kepada orang lain, dalam waktu bersamaan kita sedang dan akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar baik berupa kekayaan harta maupun kekayaan batin (seperti kebahagiaan, ketenangan, keselamatan, dsb). Ada yang merasa pernah mengalami ini? 

Bukannya mencari analisis yang lebih empiris lagi, ingatan saya malah melayang pada sebuah peristiwa yang pernah dialami oleh ibu saya ketika saya masih duduk di bangku SD. Saat itu sehari sebelum lebaran, saya diajak oleh ibu saya untuk pergi ke pasar naik angkot. Selesai berbelanja, dengan membawa beberapa tas belanjaan yang berisi penuh, kami kembali naik angkot. Saat kami masuk, sudah ada seorang pemuda. Setelah kami duduk dan masuklah beberapa penumpang lainnya, tiba-tiba pemuda itu turun. Beberapa menit kemudian, ibu baru sadar bahwa dompetnya sudah raib entah kemana. Pengambilnya kemungkinan besar adalah si pemuda tadi. Ibu tampak lemas karena di dalam dompet itu masih ada sisa uang sekitar Rp 30.000 (pada saat itu uang sejumlah itu masih tinggi nilainya). Tapi, ibu mengikhlaskannya.

Seingat saya, sejak saya kecil hingga sekarang, itu adalah satu-satunya peristiwa kehilangan harta yang pernah ibu saya alami. Saya pernah berfikir bahwa alasan kenapa ibu hampir tak pernah mengalami kehilangan mungkin karena ibu saya adalah seorang yang sangat suka memberi (tentang kebiasaan ibu yang suka memberi ini saya pernah menceritakannya di tulisan-tulisan sebelumnya). Wallahu'alam

Tiga tahun lalu, ibu hampir mengalami peristiwa kehilangan. Saat itu ibu sedang membantu memasak di rumah tetangga yang hajatan. Pada saat itu ibu sempat masuk toilet. Sebelum masuk, ibu menaruh HP beliau di sebuah rak kayu di dekat toilet. Saat keluar, ibu lupa mengambil HP-nya hingga dua jam kemudian baru ibu teringat. Kemudian ibu kembali ke rak kayu tersebut namun HP-nya sudah tak ada di sana. Ibu bertanya ke tuan rumah dan beberapa tetangga yang juga sedang ada di sana. Terjadilah kehebohan, semua orang ikut mencarikan namun tak ada yang menemukan. Ibu hanya bisa pasrah dan berusaha mengikhlaskan.

Malam hari, saat ibu akan pulang ke rumah, ibu penasaran dan kembali ke rak kayu dekat toilet itu. Betapa terkejutnya ibu saat menjumpai HP-nya tergeletak di atas rak kayu itu. Semua orang kembali heboh. Bedanya, kali ini mereka hebot menyaksikan keanehan ini. "Mungkin si pengambil HP ini kasihan pada ibu, jadi HP ibu dikembalikan", begitu cerita Ibu pada saya. 

Saya kemudian mengulik keanehan ini. Bisa jadi si pengambil HP itu awalnya tidak tau bahwa itu HP ibu saya. Setelah terjadi kehebohan dan tau bahwa ibulah pemilik HP tersebut, maka si pengambil kemudian merasa tidak tega dan akhirnya mengembalikan HP itu. Ia kasihan mungkin karena melihat kehidupan kami yang sangat sederhana. Saking sederhananya sehingga menerbitkan rasa kasihan. Atau bisa jadi, si pengambil merasa tidak enak hati pada ibu saya yang walaupun hidup pas-pasan, tetap suka memberi. Wallahu'alam.

Mungkin quote Paulo Coulho yang saya cantumkan di awal tulisan ini bisa mewakili apa yang terjadi pada Ibu saya itu. Ketika kita memberikan segalanya, maka kita tak akan pernah kehilangan sesuatu. Ya, karena segalanya yang kita miliki telah kita pupuskan menjadi milik orang lain juga. Milikku adalah milikmu juga, seperti itu. Ah seandainya saya sudah sampai pada perasaan seperti itu, alangkah bahagianya saya. 


sumber gambar : id.gofreedownload.net

Senin, 03 Agustus 2015

Energi yang Entah dari Mana Datangnya

Selama seminggu lalu, saya mengikuti kegiatan diklat Review RKA-KL di Ciawi, Bogor. Sungguh diklat yang mengikis kesabaran, juga kesehatan. Betapa tidak, 80 persen peserta mengalami sakit yang hampir sama: ada yang muntah-muntah, diare, ada yang kombinasi muntah dan diare sekaligus. Gejala sakitnya muncul pada hari yang berbeda-beda (sepertinya tergantung daya tahan tubuh masing-masing), ada yang hari ke-2, ke-3, ke-4, dan terakhir. Dan saya, gejala itu muncul pada hari ke-3. Karena saking banyaknya peserta yang terkena sakit serupa itu, sampai-sampai persediaan obat diare di koperasi balai diklat habis-bis. 

Semua orang pun mencari tau musahab penyakit aneh ini. 

"Jangan-jangan karena makanan yang terlalu pedas?", kata salah seorang dari kami.
"Enggak ah, gak terlalu pedas kok makanannya", sanggah yang lainnya. 
"Masuk angin kali?"
"Gak terlalu dingin kok udaranya."
"Atau stress ngadepin ujian di hari akhir nanti?"
"Bisa jadi sih, tapi stress bisa bikin mencret-mencret gitu?"
"Di sekitar sini kan banyak kucing, jangan-jangan bulu-bulu kucing yang bawa bakteri jahat?"
"Ah, masa' sih? Keknya belum pernah denger ada orang muntaber karena bulu kucing deh!"
"Hmm, apalagi ya? Ooo itu, air minum kita kan kayak agak keruh gitu, mungkin itu yang ada bakterinya?"

Lalu kami mulai memperhatikan minuman kami. Dan ya, memang benar air minum yang disediakan balai diklat kami tidak bening sempurna. Akhirnya kami berkesimpulan bulat, alasan terakhirlah yang paling shahih. Case close!

Jumat sore kami pun pulang dalam keadaan cukup payah. Ada yang diarenya masih cukup sering intensitasnya, ada pula yang sudah sembuh namun kondisi badannya lemas. Saya termasuk yang masih agak lemas. Untungnya, Jumat pagi dan siang saya sudah bisa makan lumayan banyak sehingga hari itu badan saya rasanya sudah mulai kembali segar. Saya pun bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan lancar selama 4 jam penuh walaupun hasil ujiannya hanya Allah yang tau :-) 

Saya tiba di kos sekitar jam setengah lima sore. Setelah beberes sebentar, saya leyeh-leyeh sambil ngotak-ngatik HP. Selonjoran melemaskan kaki sambil mengumpulkan mood untuk mandi. Maklum, kegiatan diklat selama seminggu itu membuat saya capek  dan ngantuk maksimal sore itu. Sehabis mandi dan sholat maghrib, rencananya saya hanya akan istirahat, tidak kemana-mana atau tidak pula mengerjakan sesuatu yang membutuhkan energi lebih.

Sekitar jam setengah enam sore, Kak Tian, teman kos saya datang dengan nampak terburu-buru. "Kok buru-buru banget gitu, Kak? Emang mau pergi lagi", tanya saya. "Iya ni, mau ke Al Azhar", jawabnya singkat. "Oh, kajian Ust Firanda ya, Kak?", otak saya langsung terkoneksi dengan broadcast yang saya terima dari beberapa grup WA beberapa hari sebelumnya. Seperti tersengat energi yang entah dari mana datangnya, spontan saya bilang, "Aku ikut, Kak!" Kak Tian pun menjawab, "Ya udah, buruan mandi dulu kalau gitu!", sambil melihat ke arah saya yang nampak kucel saat itu.

Singkat cerita, kami tiba di Al- Azhar dengan selamat saat sholat jamaah isya' sedang ditunaikan. Karena saat itu hujan, baju kami sedikit basah karena perlu jalan beberapa meter dari tempat kami turun dari taksi hingga masjid. Ndilalahnya, ustad datang sedikit terlambat sehingga kajian diundur mulainya. Hawa dingin setelah hujan cukup membuat saya mengantuk. Namun untungnya mata saya masih bisa menyala sampai kajian berjalan 80 %. Lalu, 20 % sisanya saya sudah beberapa kali hampir njlungup karena saking ngantuknya. 

Walapun tidak bisa 100% menyimak isi kajian, saya bersyukur karena Allah menggerakkan saya untuk mengikuti kajian malam itu dengan Kak Tian sebagai perantara. Rasa syukur itu pun semakin berlipat-lipat setelah menyadari betapa beruntungnya saya mendapat teman-teman kos yang saling mengajak dalam kebaikan, seperti Kak Tian dan ada satu lagi bernama Mbak Mimi. 

Saya jadi ingat pesan Rasulullah bahwa kita sebagai muslim hendaklah hidup secara berjamaah a.k.a bersama-sama. Banyak sekali manfaat yang bisa kita peroleh dengan berjamaah. Salah satu manfaat itu saya rasakan betul saat ini. Selain teman-teman kos yang selalu mengingatkan dalam kebaikan, di lingkaran pertemanan saya ada banyak kerumunan orang-orang yang tak kalah bersemangat dalam beramal. Kami saling mengajak, saling memotivsasi dan saling bersaing dalam kebaikan (fastabiqul khoirot). 

Dan pagi ini, rasa syukur itu semakin membuncah saat kami bertiga: saya, Kak Tian dan Mbak Mimi saling membangunkan ketika waktu sahur tiba. Kami pun berbagi lauk-pauk. Semua ini persis dengan suasana Ramadhan kemarin. Kalau begini, bagaimana saya tidak bersyukur?


sumber gambar : encinas-berzerk-deviantart.com