Translate

Sabtu, 29 November 2014

Dita Jalan-Jalan #1

Duh, sebenarnya nggak enak mau nulis ini di blog. Nanti dikira pamer, walaupun sebenarnya sedikit terblesit pamer juga sih. Tapi nggak apa-apa lah ya? Hehe.. Cuma mau merekam tempat-tempat keceh yang pernah saya kunjungi. 

Nah, kita mulai dari yang domestik dulu ya! Ternyata negara kita Indonesia tercinta ini sungguh cantik alam dan budayanya. Sebelum kalian berkeliling dunia, saya sarankan kalian khatamkan Indonesia dulu deh. Kalau udah bisa nabung buat jalan-jalan, jangan buru-buru mikir buat pergi ke luar negeri. Kalau udah atleast beberapa tempat keceh domestik yang kita kunjungi, nanti kalau kita punya kesempatan buat mbolang ke negeri orang, kita bakal makin bersyukur dan cinta sama negara kita. Itu menurut saya. Hehe. Baiklah, saya mulai tulis tempat-tempat keren yang pernah saya kunjungi ya! Oh ya, ini yang saya tulis adalah yang saya kunjungi mulai waktu kuliah. Jadi, tempat-tempat piknik keluarga yang saya kunjungi saat saya kecil sampai SMA, nggak usah ditulis ya! Hehe.

1. LOMBOK


Pada pertengahan tahun 2010 saya mengikuti KKN di lereng Gunung Rinjani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sumpah, tempat ini cuantik banget. Mau cari pantai yang pasirnya paling putih? Ada. Mau snorkeling dan diving? Bisa. Mau cari perkebunan strawberry? Ada. Mau makan berbagai jenis ikan? Melimpah. Mau mandi di bawah air terjun? Bisa banget. Mau lihat Segara Anakan di puncak Rinjani? Dipersilahkan.



Gili Kondo (Gili berarti pulau)
Sayang banget waktu itu saya masih cupu (padahal sekarang masih, hehe). Namanya KKN ya KKN, nggak usah neko-neko. Selain itu, Ibu saya juga melarang saya untuk main ke tempat yang jauh dari lokasi KKN. Jadi, saya dan beberapa teman hanya bisa jalan-jalan waktu hari Minggu saja dan itu hanya di sekitar Lombok Timur. Beberapa teman yang punya nyali lebih besar, nekat naik ke puncak Rinjani, diving ke Gili Trawangan dan wisata budaya ke Desa Sade. Yah, nggak apa-apa. Saya sudah cukup puas mengunjungi beberapa pulau, pantai dan air terjun di wilayah Lombok Timur.

2. BROMO


Tempat yang satu ini konon dinobatkan sebagai gunung tercantik di Pulau Jawa. Berada di Perbatasan Kabupaten Probolinggo, Malang, Pasuruan dan Lumajang memungkinkan gunung yang terkenal dengan lautan pasirnya ini bisa diakses dari beberapa arah. Saking cintanya sama tempat ini, sejak Maret 2011 sampai sekarang (Akhir tahun 2014) saya sudah 4 kali berkunjung ke sana. Ini karena di Desa Ngadirejo, salah satu desa di Lereng Bromo, saya mempunyai kenalan beberapa warga yang sudah saya anggap sebagai keluarga saya. Jadi, ketika berkunjung ke Bromo, saya dan teman-teman saya bisa menginap di rumah mereka.

Untuk bisa mencapai Bromo, saya lebih suka naik bus dari Jogja. Berangkat jam 22.00 dari Jogja, tiba di terminal Bungurasih, Surabaya pas Subuh. Cari mushola untuk sholat, lalu sarapan dan lanjut naik bus ke arah Probolinggo kurang lebih 3 jam. Sesampainya tiba terminal probolinggo, bisa naik mobil elf yang ongkosnya Rp 50.000 (tahun 2013). Tapi, karena mobil ini sehari hanya ada beberapa saja, saya biasanya menelpon kenalan saya yang ada di Desa Ngadirejo untuk menjemput saya dengan motor. Jadi saya tinggal kasih uang bensin yang kira-kira sama dengan ongkos elf. Ini lebih enak dan bisa memberi penghasilan tambahan untuk warga Ngadirejo.


Keluarga di Ngadirejo
Di Ngadirejo saya menginap layaknya di homestay. Jadi, nanti saat saya mau pulang, saya kasih uang pengganti biaya makanan yang meraka berikan untuk saya. Nggak banyak, tapi nggak dikit-dikit banget lah. Dikira-kira saja biar ada bagian uang lelah juga untuk mereka walaupun mereka sebanarnya nggak mau menerima uang itu karena sudah menganggap saya sebagai keluarga mereka. Tapi saya harus paksa berikan uang  itu.

Kalau mau jalan-jalan ke Gunung Bromo, saya juga bisa meminta tukang ojek warga setempat untuk mengantar saya. Tahun 2013 saya ke sana, tarifnya Rp 150.000 untuk 1 paket wisata penuh, dari jam 03.00 dini hari untuk melihat sunrise di Penanjakan, naik ke puncak Bromo, foto-foto di Pura, pasir berbisik (lautan pasir), savana dan bukit Teletubbies. Kira-kira jam 12 siang, baru kembali ke Ngadirejo. Murah kan? Kalau kalian mau ke Bromo, menginap saja di Ngadirejo. Itung-itung bisa membantu mereka buat nambah penghasilah. FYI, Ngadirejo ini nggak seperti Ngadisari yang merupakan jalur wisata. Jadi, Ngadirejo itu perekonomian warganya agak kurang baik jika dibandingkan dengan Ngadisari. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagi petani dan buruh di perkebunan jamur. Karena bukan merupakan jalur wisata, suasana perkampungan di Ngadirejo sangat tenang sehingga cocok banget untuk kontemplasi.


Salah satu bukit untuk memandang Bromo dari Kejauhan

Suasana Desa Ngadirejo


3. TANA TORAJA DAN PULAU SAMALONA


Dari Jawa, kita loncat ke Pulau Celebes yuk! Kita jelajahi Tana Toraja yang kondang itu. Saya berkunjung ke tempat itu pada Mei 2011. Ternyata tempatnya jauh banget dari Makassar oey! Dari Ibukota propinsi Sulawesi Selatan itu, saya dan teman-teman harus menyewa mobil untuk menuju Toraja yang waktu itu kami tempuh sekitar 9 jam. Perjalanan 9 jam itu ternyata sama-sekali tidak membosankan karena bisa melihat pemandangan perbukitan, persawahan dan perkampungan yang berbeda dengan yang saya lihat di Jawa.

Waktu itu kami kesana berdelapan. Salah satu dari kami ibunya sedang bertugas di Kota Pollopo sehingga kami singgah semalam di kota kecil nan damai itu untuk pesta durian dan kapurung (sejenis sagu). Kalau kalian sempat singgah di Pallopo dan kebetulan sedang musim durian, harus mencicipi durian asli sana. Juga, perlu dicoba makan kapurung dengan kuah masakan ikan yang rasanya agak pedas. Enak banget deh.
Pesta Durian

Sudah semalam menginap di Pallopo, esok harinya kami bersiap-siap menuju Toraja. Ada banyak tempat yang kami kunjungi di sana. Saya lupa nama-namanya, hehe. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah goa dimana tengkorak orang-orang yang sudah meninggal dibiarkan begitu saja tergelatak di dasar gua. Baru sampai di pintu goa saja bulu kudu saya sudah bergidik. Ngeri sekali rasanya. Lebih ngeri saat kami masuk ke dalam guanya yang hanya dengan penerangan senter dari pemandu kami. Hawa mistis semakin terasa. Karena sangat penasaran ingin melihat isi goa itu, saya paksakan untuk ikut masuk.

Tempat selanjutnya yang kami kunjungi adalah kuburan leluhur yang ada di bukit batu. Beberapa peti mati tertanam di bukit-bukit itu sehingga hanya satu sisi sampingnya yang terlihat. Di samping peti itu terpasang patung berwajah orang yang meninggal itu. Selain dua tempat tadi, ketika berkunjung ke Tator, sebutan singkat untuk Tana Toraja, mata kita akan disuguhi rumah adat khas Tator yang menjulang tinggi dan berhiaskan tanduk kepala kerbau. Semakin kaya seseorang, semakin besar pula ukuran rumahnya dan semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang menghiasinya. Tanduk-tanduk kerbau itu diperoleh saat ada anggota keluarga yang meninggal. Menurut tradisi Tator, ketika ada warga yang meninggal, kerbau harus disembelih saat upacara pemakamannya. Semakin kaya seseorang, semakin banyak kerbau yang disembelih.

Puas menjelajahi sisi Tator, kami bertolak kembali ke Makassar. Di perjalanan, kami mampir makan ikan Pare-Pare, tempat kelahiran Pak Habibie. Tiba-tiba saya teringat Beliau yang sangat saya kagumi itu, hehe.

Sebelum kembali terbang ke Jogja, kami mampir berwisata bahari di Pulau Samalona yang berjarak kurang lebih 50 menit naik perahu motor dari pelabuhan Makassar. Peraian di pulau ini airnya sangat jernih, pasirnya putih bersih dan banyak keong laut yang bentuknya lucu-lucu. Kalau kalian berkunjung ke Makassar, mampirlah ke Pulau Samalona untuk sedikit merasakan damainya pantai.







Samalona Island
Samalona Island

4. PULAU SEBESI DAN GUNUNG KRAKATAU


Perjalanan dari Dermaga Canti menuju Pulau Sebesi
Hayo, ada yang tahu Gunung Krakatau ada dimana? Haha, pasti sudah pada tau ya! Gunung yang letusannya pernah mengguncangkan dunia dengan efek tsunami yang ditimbulkannya itu, kini sudah beranak. Serius, beranak? Iya, si gunung aslinya sudah habis waktu letusan dahsyat pada tahun 1883 itu. Nah, yang ada sekarang adalah anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan, hehe.

Dari Jogja, saya dan rombongan naik kereta ekonomi Progo yang saat itu harganya masih Rp 30.000 (Juli 2011). Turun di stasiun Pasar Senen dan lanjut naik KRL ke Stasiun Tanah Abang. Dari Tanah Abang, kami naik kereta ekonomi tujuan Merak seharga Rp 5000. Ini adalah kereta yang benar-benar ekonomi karena pintunya tidak bisa dititup sepanjang perjalanan 4 jam itu. Penumpang penuh berjubel dan hampir semuanya berdiri karena tidak kebagian kursi. Aneka macam pedagang keliling dan pengamen hilir mudik di antara penumpang yang berdesakan itu. Sepanjang hidup saya, itu adalah pengalaman naik kendaraan umum terburuk yang pernah saya alami.

Tiba di Merak, kami naik kapal ferry melintasi Selat Sunda selama lebih kurang 2 jam menuju pelabuhan Bakauheni. Karena sudah menjelang malam, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Pulau Sebesi karena dalam sehari hanya ada 2 perahu menuju pulau itu yaitu pada siang hari saja. Kami singgah semalam di rumah salah seorang kenalan kami di Lampung Selatan. Esok harinya, kami baru menuju dermaga Canti, tempat dimana kami akan menyeberang ke Pulau Sebesi dengan perahu motor selama 2 atau 3 jam tergantung dari kondisi ombak laut.





Pulau Sebesi adalah tempat yang biasanya dijadikan tempat transit bagi wisatawan yang akan pergi ke Gunung Krakatau. Karena di Sebesi kami sedang mengerjakan project perpustakaan, kami tidak sempat mampir ke Krakatau. Walaupun begitu, kami cukup puas menjelajahi pulau Sebesi dari bibir pantainya, hutan bakau, perkebunan kelapa, perkampungan warga dan melihat nelayan turun dari melaut membawa berbagai ikan hasil tangkapan. Kami juga sudah cukup puas memandangi Krakatau dari salah satu sisi pantai di Sebesi. Ah, nanti kalau ada waktu dan rezeki lagi, ingin sekali saya menginjakkan kaki di Krakatau.



5. SEMERU
Bagi orang yang hobi mendaki gunung, Semeru adalah salah satu gunung yang ingin ditakhlukkan. Betapa tidak, gunung yang terkanal dengan sebutan "atapnya Pulau Jawa" itu adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Adakah diantara kalian yang sudah pernah mencapai puncak Mahameru-nya?

Oktober 2011 saya dan teman-teman komunitas BOOK FOR MOUNTAIN kembali membuat project perpustakaan di SDN Ranu Pane, lereng Semeru. Secara administratif, Ranu Pane masuk dalam wilayah Labupaten Lumajang. Mengawali perjalanan dari Jogja tercinta, kami menumpang kereta api Sri Tanjung menuju Stasiun Semut, Surabaya. Dari sana, kami naik kereta lagi menuju Stasiun Malang yang kemudian sambung naik angkot menuju Pasar Tumpang. Dari sana, hanya ada 2 pilihan untuk menuju ke Ranu Pane (Desa tertinggi di Semeru) yaitu dengan naik Jeep atau menumpang truk sayur. Hampir semua pendaki gunung yang akan mendaki ke Semeru, harus melewati Ranu Pane itu. Karena kondisi keuangan kami yang pas-pasan, kami memutuskan untuk menumpang truk sayur yang mana kami cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 25.000 saja. Truk-truk sayur ini biasanya mulai jalan dari Pasar Tumpang pada siang hari dalam keadaan kosong muatan. Jadi, kami bisa menumpang sampai di Ranu Pane. Dua jam waktu yang kami butuhkan untuk menuju desa yang mayoritas penduduknya merupakan petani sayur seberti kubis, daun bawang dan wortel itu. Ternyata seru sekali melihat pemandangan sepanjang perjalanan di atas truk itu.

Awalnya kami berencana akan muncak ke Mahameru setelah project kami selesai. Namun, karena setelah seminggu berada di sana sebagian besar dari kami sakit, maka kami urungkan niat itu. Walaupun tidak sampai ke puncak, kami cukup senang karena bisa menjelajah ranu-ranu (ranu berarti rawa) seperti Ranu Pane dan Ranu Regula. Ketika kami datang ke sana, kebetulan sedang ada perayaan hari raya Karo sehingga kami bisa mengikuti rangkaian acaranya. Bagi saya, yang paling berkesan adalah pertunjukkan Reog Singo Barong karena itu adalah pertama kalinya saya melihat orang kesurupan lalu memakan kemenyan dan kelapa tanpa dipecah. So Amazing.

Pertunjukan Reog Saat Hari Raya Karo


Bunga di Tepi Jalan

Pura di Ranu Pane



Kami juga senang karena selama kami di sana, kami bertemu dengan relawan mahasiswa dari Universitas Brawijaya yang aktif membersihkan Ranu Pane dari gulma pengganggu yang menghambat kehidupan ekosistem rawa. Juga, ada sepasang bule dari Perancis yang sedang mengadakan penelitian Landscap Ranu Pane. Sepuluh hari yang menarik. Oh ya, selama 10 hari di sana, saya hanya mandi 2 kali karena udara yang sangat amat dingin. Hehe.


Capek juga ngetik sebanyak ini. Lima tempat dulu ya, insyaAllah saya lanjut nanti.

Jumat, 28 November 2014

Ini Namanya Jodoh

Bengkei. Itu adalah kata dalam Bahasa Bima yang mewakili sifat seorang anak yang nakal, susah diatur dan suka memancing keributan. Pertama kali mendengar kata "bengkei" itu, fungsi save dalam otak saya sepertinya secara otomatis menyimpannya. Memang begitulah keunikan bahasa. Kata-kata yang berarti negatif atau kasar cenderung mudah diingat. Seperti teman-teman saya penyuka anime atau drama Jepang, kata yang paling mudah diingat oleh mereka adalah yang semacam baka, baka yaro, teme, dll yang semuanya itu bernada negatif. Demikian juga dalam Bahasa Inggris. Kata-kata seperti, maaf, fuck atau bitch, cenderung lebih mudah tersangkut di otak. Hmmm... mungkin karena otak kita saja yang agak kotor? Bisa jadi, tapi entahlah. :-D

Walaupun kata-kata seperti itu sangat mudah saya ingat, saya selalu berusaha tidak menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari lho. Sungguh! Hehe.. Apalagi, selama di Bima, saya kan posisinya sebagai pendidik. Jadi, alangkah tidak baiknya jika saya menggunakan kosakata yang semacam itu.

Di sekolah, saya sering mendengar anak-anak mengucapkan kata-kata yang tidak baik itu, misalnya bengkei, lako (anjing) dan setan saat bertengkar dengan teman-temannya. Selain mengeluarkan kata-kata kasar, mereka (terutama anak laki-laki) ketika bersitegang dengan teman-temannya tak jarang berujung hingga perkelahian. Di setiap kelas (terutama kelas tinggi seperti kelas IV, V dan VI) pasti ada satu atau dua orang anak yang menjadi sumber keributan. Anak-anak inilah yang dilabeli sebagai anak "benkei". Saya prihatin mendengar itu. Bukankah di dunia ini sebenarnya tidak ada yang namanya anak nakal? Tapi kenapa di sini orang senang sekali melabeli seorang anak sebagai anak nakal? Apakah mereka tau dampak psikologis yang timbul pada anak yang mendapat label nakal itu?

Awalanya saya begitu idealis. Materi pedagogis dan psikologi pendidikan yang saya dapatkan dari Pelatihan Intensif Pengajar Muda dan buku-buku yang saya baca masih hangat-hangatnya di kepala saya. Apalagi, menjadi Pengajar Muda di Bima adalah pengalaman pertama saya untuk mengajar secara penuh di sekolah. Maka, saat itu saya sudah sangat gemas untuk segera mengaplikasikan segala ilmu yang saya peroleh pada anak didik saya.

Ternyata oh ternyata, menjadi pendidik itu benar-benar tidak mudah. Ilmu tentang pengelolaan kelas hanya mempan pada sebulan pertama. Selanjutnya? Sungguh setengah mati membuat kelas yang minimal berisi 25 anak itu menjadi kondisif. Ditambah lagi, kadang saya harus mengajar di 2 kelas sekaligus karena tidak adanya guru.Tak jarang ketika sedang mengajar, saya harus menarik nafas panjang untuk menahan kegeraman saya pada anak-anak yang hiperaktif. Ingin sekali berteriak, "Kalian nakal sekali!" atau , "Diam!" atau "Jangan ribut!". Namun, selalu saya tahan sekuat tenaga. Kau tau kawan, bagaimana susahnya menahan itu?


Aki saat acara perpisahan dengan Ibu Mutia
Tersebutlah salah satu anak yang bernama Aki. Saat saya tiba di SDN Soro Afu itu, Aki baru saja lulus SD dan akan masuk ke SMPN 1 Langgudu yang tepat berada di samping rumah keluarga angkat saya. Kak Mutia, Pengajar Muda yang bertugas di tahun pertama di SDN Soro Afu berpesan kepada saya agar megajak Aki untuk mengikuti kegiatan yang positif. Sebagai penerus tugas Kak Mutia, saya menyanggupinya. Kak Mutia bercerita bahwa dulu Aki terkenal sebagai anak yang bengkei. Namun Kak Mutia melihat sebenarnya Aki adalah anak yang cerdas. Maka dari itu, pelan-pelan Kak Mutia membuat Aki agar mau menurut dan tidak membuat keributan di kelas. Kak Mutia berhasil. Di akhir masa tugas Kak Mutia, Aki banyak berubah. Apapun yang dikatakan oleh Kak Mutia selalu diturutinya.

Setelah Kak Mutia kembali ke Jawa, saya mencoba untuk mendekati Aki. Namun, entah kenapa saya merasa sulit sekali masuk ke dunianya. Selain itu, sepertinya ia juga memasang sekat dengan saya. Saya sering memanggilnya untuk datang ke rumah saya tetapi ia hanya beberapa kali datang. Karena saya tidak mengajar di SMP, otomatis pertemuan saya dengan Aki tidak bisa seintensif dengan anak-anak SD yang saya ajar. Semakin lama bahkan kami nyaris tidak pernah bertemu karena kegiatan saya semakin banyak.

Selain Aki, ada satu lagi anak laki-laki yang terkenal dengan sebutan "benkei". Ia adalah Raihan, adik kelas Aki. Saat saya tiba di Bima, Raihan duduk di kelas VI. Dulu, Kak Mutia juga mengajar Raihan saat anak ini di kelas V. Kabarnya, Aki dan Raihan itu sama-sama bengkei. Aki adalah yang paling bengkei di kelas VI, sedangkan Raihan di kelas V. Kak Mutia bisa menakhlukkan hati Aki tetapi itu tidak berlaku untuk Raihan. Ini yang menjadi PR saya selanjutnya.


Saya dan Raihan saat jalan-jalan setelah Final OSK 2013
Tidak seperti saat berkomunikasi dengan Aki, saya cukup mudah untuk berkomunikasi dengan Raihan. Lelucon yang saya dan Raihan sukai pun sama. Dengan saya, Raihan juga tak malu-malu bercerita banyak hal. Ia pun selalu semangat mengikuti berbagai kegiatan yang saya adakan. Dari sana saya melihat potensi Raihan dalam bidang Sains. Oleh karena itu, saya akhirnya mendaftarkan Raihan ke dalam Olimpiade Sains Kuark (OSK). Tiga bulan penuh kami mengadakan latihan untuk menghadapi babak penyisihan. Alhamdulillah, ia lolos. Dua bulan berikutnya adalah persiapan untuk tahap semifinal dan alhamdulillah ia kembali lolos sehingga berhak menjadi bagian dari 100 finalis tingkat Nasional di Jakarta. Mendengar kabar itu, ia semakin bersemangat agar bisa meraih medali nanti di final. Akhirnya, di Jakarta Raihan mendapat peringkat 16 Nasional dari 100 peserta itu. Walaupun tidak mendapat medali, itu sudah merupakan pencapaian yang luar biasa.

Sebagai anak dari kepala sekolah di salah satu SMP di kecamatan kami, Raihan termasuk anak yang dimanjakan terutama dalam bidang materi. Selain itu, ia adalah anak lelaki satu-satunya karena dua kakaknya  adalah perempuan yang semuanya sudah berkuliah di luar daerah. Itu membuat Raihan sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Di rumah, ia memiliki Play Station yang mana itu tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya di desa kami. Ketika sedang asyik bermain PS, ia sama sekali tidak bisa diganggu. Jangankan disuruh belajar, disuruh mandi pun ia tak mau bergerak. Setelah saya memasukkannya sebagai peserta olimpiade, ia selalu mau mengakhiri permainan PS jika jam sudah menunjukkan pukul 16.00 yang berarti waktu les olimpiade dimulai. Ini yang membuat mamanya heran. "Kok anak ini mau ya nurut sama Ibu Dita?" tanyanya suatu ketika.

Hmmm.. Barangkali ini yang dinamakan jodoh. Kak Mutia berjodoh dengan Aki. Sudah sekuat tenaga saya mencoba mendapatkan hati Aki, ternyata saya tidak bisa. Ya, sepertinya saya tidak berjodoh dengan Aki. Ternyata, jodoh saya adalah Raihan.

Setelah masa tugas saya selesai, Diah meneruskan tugas saya. Kalau dulu saya mendapat PR dari Kak Mutia, saya pun memberi PR pada Diah. Hehe.. PR untuk Diah adalah Jamaludin, anak yang naik ke kelas VI saat Diah datang. Ternyata, Jamal yang tak berjodoh dengan saya itu, menjadi jodohnya Diah. Suatu hari saat saya sudah di Jakarta, saya tanyakan kabar Jamal pada Diah. Hampir saya tidak percaya ketika Diah bilang bahwa ia tidak punya masalah untuk menakhlukkan hati Jamal. Lagi-lagi, inikah yang namanya jodoh? Jadi, tidak perlu khawatir. Kalau berjodoh, pasti akan ada campur tangan Tuhan untuk menghasilkan cerita yang sangat menarik. :-)
Jamal, yang berkaos warna oranye


Kamis, 27 November 2014

Erika Ayuningsih


Namanya Erika Ayuningsih. Saat itu ia kelas IV, kelas dimana saya mengajar Matematika, Bahasa Inggris dan SBK. Tidak butuh waktu lama untuk saya mengakrabinya. Entah kenapa saya merasa melihat masa kecil saya pada diri gadis Bima ini. Iya berkulit coklat tua (untuk tidak mengatakannya hitam), persis dengan kulit saya. Sangat cerewet ketika berada di kelas, sama seperti saya. Selalu cepat-cepat mengacungkan jari saat guru memberi pertanyaan, ini pun mirip dengan saya.  Mudah tersulut emosinya jika ada anak laki-laki yang ribut di kelas, ini juga hampir sama dengan saya. Selalu ingin mengikuti setiap kompetisi, lagi-lagi ini persis seperti saya.

Ada banyak potensi yang bisa saya kembangkan darinya. Itu yang saya pikirkan saat awal mengenalnya. Ternyata memang benar. Di semester gasal itu, saya coba memberikan berbagai pelatihan padanya dan semua anak-anak kelas IV tentunya. Saya biasakan mereka untuk menulis surat agar mereka belajar menuangkan ide mereka dalam bentuk bahasa tulisan. Dibantu beberapa guru lainnya,  kami membuat ekstra kurikuler kesenian agar anak-anak belajar bermain drama, menari, menyanyi dan memainkan pianika. Kami juga membuat les Matematika, IPA dan IPS untuk persiapan jika sewaktu-waktu ada perlombaan baik di tingkat gugus, kecamatan maupun kabupaten

Sebenarnya perlombaan untuk anak kelas IV belum terlalu banyak ada. Sebagian besar perlombaan yang ada biasanya diperuntukkan bagi anak-anak kelas V dan VI. Namun, kami tetap membuat persiapan untuk anak-anak kelas IV agar nanti ketika mereka sudah duduk di kelas V dan VI mereka sudah mempunyai jam terbang latihan yang cukup.

Selain demi mengikuti kompetisi, berbagai kegiatan yang kami buat itu bertujuan untuk menggali bakat anak-anak dan memunculkan rasa percaya diri. Selama ini anak-anak SDN Soro Afu cukup terkenal dengan sebutan "jago kandang". Maka dari itu, kami, guru-guru, berusaha menghilangkan sebutan itu dengan cara melatih anak-anak agar mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan berani tampil di luar lingkungan sekolah. Ketika ada kompetisi di tingkat gugus atau yang lebih tinggi, motivasi yang kami berikan adalah bahwa mengikuti perlombaan itu bukan semata-mata karena kita mengingikan juara. Tujuan utamanya adalah untuk belajar dan menguji kemampuan diri sendiri.

Maka, usaha kami pun membuahkan hasil. Pada semester ke-2 ada perlombaan mendongeng cerita rakyat Bima. Kegiatan ini seharusnya didahului dengan seleksi di tingkat kecamatan agar diperloleh 3 anak sebagai perwakilan untuk maju ke tingkat kabupaten. Akan tetapi, setelah dikonfirmasi ke pihak UPT Dikpora Kecamatan Langgudu, ternyata tidak ada seleksi karena berbagai kendala. Beliau sudah menunjuk 3 anak dari 3 sekolah terbaik di kecamatan yang mana sekolah saya tidak masuk ke dalam salah satunya. Saya protes agar diadakan seleksi. Namun Beliau tetap tidak mau mengadakan. Waktu itu pelaksanaan lomba di Kabupatem tinggal 10 hari lagi. Maka, saya kemudian meminta agar siswa dari sekolah saya diberi kesempatan untuk ikut mewakili Kecamatan Langgudu tanpa meminta mundur 3 perwakilan lainnya. Dengan demikian, kecamatan kami mengirim 4 anak. "Apakah ini diizinkan oleh panitia?" tanya Kepala UPT. "Saya akan mencoba melobi pihak PERPUSDA sebagai panitia, Pak" jawab saya terlalu percaya diri.

Saya pun menelpon panitia. Alhamdulillah, panitia mengizinkan karena ada kecamatan lain yang hanya mengirim 2 perwakilan sehingga masih ada kursi peserta yang kosong. Mendengar itu, saya dan Ibu Nero, guru Bahasa Indonesia segera membuat persiapan. Awalnya kami melatih 5 anak untuk mendongeng. Dari kelima anak itu kami ambil 1 yang terbaik tanpa mengecilkan semangat 4 anak lainnya. Anak yang kami pilih itu ialah Erika Ayuningsih.

Erika betul-betul tidak mengecewakan. Setiap hari ia bersemangat berlatih. Di latihan terakhir, Ibu kepala sekolah menguji Erika untuk tampil di depan semua siswa dan guru SDN Soro Afu. Setelah sesi latihan ini, kami meyakinkan bahwa tujuan Erika mengikuti lomba adalah untuk belajar. Jadi, ketika besok tidak mendapat juara, itu bukan masalah. Esok harinya, gadis bermata lebar ini tampil dengan percaya diri dan berhasil merebut juara Harapan II mengalahkan puluhan peserta lainnya termasuk dari kecamatan kami sendiri. Ini adalah pertama kalinya perwakilan Kecamatan Langgudu bisa menyambet juara di kegiatan tahunan itu. Biasanya, juara dilahab habis oleh anak-anak dari kecamatan yang lebih maju dan dekat dengan kota kabupaten.

Di bulan-bulan berikutnya, Erika terlihat semakin percaya diri tampil di berbagai acara diantaranya, lomba PILDACIL tingkat kecamatan dan kabupaten, pentas seni tingkat kecamatan, bahkan ia berani tampil di depan Bupati yang waktu itu sedang berkunjung ke kecamatan kami. Sekarang, saat saya sudah lebih dari setahun meninggalkan tanah Bima, hanya doa yang bisa saya berikan untuk Erika. Semoga Allah selalu mengumpulkannya dengan guru-guru dan teman-teman yang selalu memotivasinya untuk maju.









Rabu, 26 November 2014

Leles

"Cah kok senengane leles. Kaya ra nduwe pangan wae nang ngomah." Iku sing mbiyen kerep Ibukku ngendika marang aku. Sanajan saben dina wis dikandhani, aku sak kanca tetep wae ngeyel. Opo maneh cilikanku ki dasare bocah sing rada ngglidhik lan ra isoh meneng. Saben mulih saka sekolah, maem, banjur nggeblas dolan nganti surup hehe. Dolan nang kali golek iwak, turut kebon golek jambu, blimbing wuluh, linjo, asem, jamur, kacang, telo, jagung lan sak panunggalane. Menawa lagi mangsane jambu, yo golek jambu. Menawa mangsane kacang, yo golek kacang. Ing Bahasa Indonesia, iku arane "Sesuai situasi dan kondisi". Hehe...

Yen kelingan jaman semana ki yo marai ngguyu kemekelen. Lha wong pangan opo-opo wae ki wis cumepak nang ngomah. Sakdurunge dolan ki weteng yo wis isi. Eee lha menawa dolan ki kok yo isih leles woh-wohan. Kajaba kui, pangan sing dileles ki ora marai wareg babar pisan. Blimbing wuluh contone. Ndelok wujude wae wis marai kemecer ilate. Kok yo dipangan? Gek mangane kudu nganggo uyah ditutul-tutulke. Nanging mbiyen ki rasane seneng eram. Lha mergane mangane karo kanca bareng-bareng. Paling iku sing marai seneng.

Kajaba blimbing wuluh, pangan sing sakjane ora masuk akal dileles yaiku asem. Nang ndesaku, sing nduwe wit asem ki mung nggone mbah Rus. Menawa wis rada tuwa, asem-asem iku pada riglok. Nah, riglokan iku sing dileles karo cah cilik-cilik. Ana sing dipangan wutuhan, dipangan ditutul gula utawa digawe wedang asem. Menawa aku, paling seneng tak gawe wedang asem nganggo banyu panas campur gula pasir utawa gula batu. Enak banget sore-sore ngombe wedang asem anget-anget. Opo meneh nalika hawane adhem. Mak nyus tenan!

Sing orang kalah nyenengake yaiku leles kacang. Soale iku ora isoh kerep-kerep. Ana ing ndesaku, kacang mung isoh ditandur setahun ping pisan, pas mangsa ketiga. Nah, menawa ana sawah sing lagi bedhol (panen) kacang, bocah-bocah cilik kaya aku ki langsung grudugan mara nang sawah iku. Wit kacang sing wis dibedhol biasane wohe ana siji loro sing orang katut kebedhol. Aku sak kanca nggawa emes utawa cuthik kayu kanggo ngongkel-ongkel kacang sing isih kependhem. Menawa gelem telaten nglelesi setengah pathok sawah ki sak bocah isoh entuk setengah tompo. Kacang-kacang iku terus digodhog lan dipangan sak kanca. Enak tenan rasane.

Sing paling ngangeni nganti saiki yaiku leles jambu amarga nang ndesaku ki ana pirang-pirang warna jambu. Ana jambu isi abang, jambu isi putih, jambu kluthuk, jambu air, jambu krikil, lan sakpanunggalane. Jambu-jambu iku witte sumebar nang pirang-pirang panggonan saka panggonan sing gampang dituju nganti sing paling angel kayata, njero omah suwung sing wis ra ana gendhenge, kuburan, tegalan tebu lan perengan kali. Menawa golek jambu nang papan sing rada singup kaya ngono kui, rasane kaya uji nyali. Jane ki yo wedi, tapi diwanek-wanekke. Terus, sakdurunge menek wit jambune, adate aku sak kanca njaluk ijin dhisik karo penunggu papan kui. (Mbiyen aku percaya yen papan kaya mengkono kui dijaga lelembut sing wujude simbah-simbah). "Kula nuwun, Mbah. Nyuwun jambune nggih, Mbah", iku sing diocapake. Bareng wis entuk jambu okeh, langsung cepet-cepet lunga saka papan kui amarga keweden. Sanajan keweden, sesuk-sesuk yo isih dibaleni.

Saya gedhe, aku suwe-suwe mikir, leles ngono kui jane dosa opo ora to? Lha woh-wohan sing tak leles iku kan dudu kanggonanku utawa wong tuwaku. Menawa kaya mengkono, artine aku ra nduwe hak njupuk to? Nanging, woh-wohan iku mau kan wis tiba. Contone asem utawa pelem. Lha nek wis tiba ngono piye iku? Hak-e sopo? Wah wah, nek dipikirke tenanan jane yowis ngerti wangsulane. Bareng saya gedhe, aku dadi mudheng lan luwih ngati-ngati marang pangan sing kaya mengkono. Mugi-mugi gusti Allah paring pangapura aku sing mbiyen gaweane leles kui.




Senin, 24 November 2014

Entuk Paketan

Telung taun kepungkur ana salah sawijining kedadean sing gawe geger wong sak ndesaku. Sakjane aku ora ngalami dhewe kedadeane, namung krungu crita saka Ibukku. Lha soale wektu iku aku isih kuliah nang Jogja lan pas ora prei. Dadine yo pas ana kedadean iku, aku pas ora ana nang ngomah. Critane tak wiwiti saiki yo?

Wektu kui sore-sore, kira-kira jam papat. Ibukku ndelalahe kedayohan sedulur saka Solo sing wis setahun luwih ora mara nang ngomahku. Ibukku kaget soale sedulurku kui mara karo nggendong bayi. "Bayine sopo?" batine Ibukku. Oiya, sedulurku sing mara iku pernahe nak ndulur karo ibukku. Dadi, miturut awune, Ibukku iku luwih tuwo. Yowis tak sebut sedulurku kui Lik A ngono yo! Lik A ki teka nang ngomahku karo bojone numpak Honda.

Ngerti ana sing teka, Ibukku gage-gage mbukake lawang lan ngakon mlebu. Bareng lungguh, dumadakan Lik A iku mau malah nangis. Lha, Ibuku opo ra tambah bingung? Gek ono opo iki?

"Mbakyu, sing gede pangapuramu yo", ujare Lik A karo nangis kesesegan.
"Lah, ono opo to?" pitakon Ibukku.
"Iki aku nggowo putuku sing nomor telu, lagi lahir terus tinggal."
"Walah!" Ibukku kaget setengah mati.
"Aku arep njaluk tulung, iki putuku dikubur nang kene. Soale nek nang Solo ki mbayare larang."
"Ya Allah, lha kowe ki mara-mara kok nggowo bayi mati? Lha kowe ngerti nang kene ra ono wong lanang. Gek Dita yo lagi ora mulih. Aku kon njaluk tulung sopo?"
"Sepurane, mbakyu. Aku yo bingung iki. Nang Solo keadaanku lagi orang apik. Mulane aku njaluk tulung sampeyan." Lik A mbacutake.

Ibukku dumadakan bingung. Gek iki piye? Krungu ana dayoh nang ngomahku, Lik Dal lan Lik Muji, tanggaku, mlebu omahku, mestekke sopo sing lagi teka. Bareng ngerti kedadeane, Lik Dal terus ngomong, "Yowis tak nyeluk Bu Lurah wae ben diputuske piye penakke." (Oiya, lurah nang ndesaku ki pancen estri. Dadi yo ra ana Pak Lurahe.)

Let pirang menit kui, Bu Lurah teka. Ibukku terus njelasake perkarane. Terus Bu Lurah takon, "Lha iki ana layang kematiane opo ora?" Lik A njawab, "Mboten wonten Bu!".

"Yo wis saiki ngene wae. Bocah iki tetep dikubur nang kene. Ngko uba rampene ben diurus wong kene. Saiki salah siji bali nang rumah sakit, njaluk layang kematian. Ngono yo!"

Kabar menawa ana bayi mati iku langsung gethok tular sumebar nang uwong-uwong sak ndesa. Tangga teparo langsung pada mara ewang-ewang nang ngomahku. Ana sing nyiapake kain kafan, uba rampe sing digowo nang sarean lan ana sing cancut tali wanda ndhudhuk kuburan. Mergane wektu kui wis sore lan arep maghrib, kabeh disiapke sak cepete. Pas adzan maghrib, si bayi kui mau wis rampung dipetak.

Iso mbayangke perasaane Ibukku? Ra ono udan, ra ono gludhug dumadakan kok entuk paketan bayi mati. Opo yo ibukku ora isin karo tangga-tanggaku? Untunge, Bu Lurah lan tangga teparoku ki pada enthengan kabeh. Nek ora enthengan, opo yo ora tambah mumet Ibukku? Bubar kadadean kui, pirang-pirang minggu tangga-tangga isih pada ngomongke paketan bayi mati kui. Kondang-kaloka sak ndesa Nglumbang-Besaran.

Sakjane Ibukku ki yo anyel. Wis suwe Lik A ki ora mara nang omahku. Lha iki, mara-mara kok malah gawe wirang lan repot. Wektu kui, ibukku wirang banget mergane dadi ngrepoti tangga-tangga. Tapi, yo alhandulillah akhire tangga-tangga ndadeake kedadean kui mung kanggo guyonan.

Telung taun bubar kedadean kui, Lik A blas babar pisan ra tau mara nang omahku maneh. Anake yo ngono'o. Si B (sebut wae ngono yo!). Lha kok yo tega tenan si B iki kok ra niliki kuburane anake. Untunge Ibukku ki wonge enthengan. Nek lagi nyekar simbah, kuburane anake si B yo melu diresiki karo Ibuku. Ibukku jane yo isih mangkel, tapi meh piye jal?

Ndelalah, dina Riyaya wingi si B teka nang omahku. Ibukku kan kaget. Meh nesu mencak-mencak ki yo ra patut. Lha wong wis tuwa kok nesu-nesu. Nek disawang uwong kan yo ra ilok. Yo wis ibukku mingkem wae. Ternyata, si B kui mara njaluk ngapura babagan kedadean telung taun kepungkur iku. Sujakna, Ibukku ki jembar atine. Moso' wong njaluk ngapura ora diwenehi ngapura?

"Yo wis ora opo-opo. Nanging kowe ki mbok yo sing ngerti unggah-ungguh. Wis ditulungi kok malah njut nggeblas ra ono kabar. Aku ora njaluk piwalesanmu. Mung, ngetok-a, mara. Diparani wae aku wis seneng." Iku pituture Ibukku.

Pas arep bali, Ibukku nggawani panganan, beras, endhog, mie lan gula. Ora ana bedane karo mbiyen-mbiyen menawa si B mara, mesthi baline digawani sembarang kalir. Anakke si B sing tengah yo malah diwenehi duit ben dinggo sangu sekolah. Pancen kaya ngono kui Ibukku. Yen ana sedulur sing mara, mesti opo wae pangan sing ana nang ngomah digawakne. Wis digawe wirang yo tetep wae gampang menehi ngapura lan isih tetep lumrah. Iki lho sing kudune tak tuladhani saka Ibukku. Seneng tenan aku nduwe Ibuk kaya ngene. Alhamdulillah.







Sabtu, 22 November 2014

Hubungan yang Rumit

Adalah Oi Marai, sebuah sekolah sederhana tempat ia bertugas selama setahun (Juni 2012-Juni 2013). Kau tau kawan, bagaimana menuju ke tempat ini? Dari Kota Bima, kita harus menumpang bus menuju Kadindi (masuk wilayah Dompu) selama 7 jam. Dari sana, lanjut naik ojek selama 30 menit menuju Kenanga, Ibukota Kecamatan Tambora. Kemudian lanjut lagi naik ojek selama 1,5 jam melewati jalanan yang 90% rusak parah. Bahkan, di titik tertentu, jalanan sudah amblas terkena abrasi air laut. Kondisi akan semakin parah jika musim Barat (hujan dan angin) datang. Jalanan sebagian berubah menjadi lumpur yang licin sehingga sangat sulit untuk dilewati. Oleh karena itu, tak banyak tukang ojek yang bersedia mengantarnya hingga ke Oi Marai.

Jangan bayangkan jalanan Kenanga-Oi Marai itu adalah jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Tidak! Dalam sehari, mungkin hanya hitungan jari orang yang melewatinya. Selain karena kondisinya yang parah itu, jalanan yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan Laut Flores dan sebelah timurnya dengan lereng Tambora itu adalah tempat bermain yang mengasyikkan bagi babi hutan. Jadi, selain harus berhati-hati terhadap kondisi jalannya, harus juga waspada sewaktu-waktu babi hutan melintas.

Selama setahun bertugas di Bima, baru 2 kali aku mengunjunginya. Pertama, saat bulan Ramadhan dan yang ke-dua sekitar 3 bulan sebelum kami purna tugas. Saat kunjungan pertama itu, aku tertegun, "Oh, begini ya hidup di sebuah tempat yang sama sekali tak ada aliran listrik." Itu berbeda sekali dengan desa penempatanku yang sudah mendapat aliran listrik PLN walaupun kenyataannya dalam sehari bisa mati-nyala beberapa kali karena kondisi jaringan listrik yang belum stabil.

Di Oi Marai, malam hari benar-benar gelap. Tak satupun terlihat ada nyala lampu listrik. Sebenarnya, desa ini mempunyai PLTA yang memanfaatkan derasnya aliran sungai Oi Marai sebagai penggerak turbinnya. Namun, PLTA tersebut rusak saat musim Barat tahun lalu dan belum ada pihak yang mau memperbaiki.

Lalu, bagaimana dengan sinyal telepon? Di tempat ini hanya ada sebuah tempat dimana 1 atau 2 bar sinyal telepon mau mampir yaitu di tebing sinyal. Jika ingin berkomunikasi dengan keluarga atau teman se-tim, ia harus berjalan kurang lebih 2 km untuk menuju tebing sinyal itu. Untungya, selalu ada saja anak didiknya yang mau menemaninya berburu sinyal. Setiap kali pergi ke tebing sinyal, ia tidak hanya menghubungi keluarga tetapi juga teman-teman termasuk aku. Aku pun selalu menantikan teleponnya yang hanya bisa ia lalukan seminggu sekali atau 2 kali. Entah kenapa, aku selalu merasa nyaman bercakap dengannya.

Pembicaraan yang belum tuntas dibahas melalui telopon biasanya akan kami lanjutkan saat bertemu di kota yang biasanya hanya sebulan sekali. Namun anehnya, ketika waktunya bertemu, kadang-kadang terjadi pertengkaran kecil di antara kami. Padahal, ketika tidak bertemu, kami selalu merindukan dan berharap cepat-cepat ingin bertemu. Aku ingat betul suatu sore saat kami PM Bima bersembilan sedang melakukan persiapan acara Festival Seni Anak Bima. Tiba-tiba aku melihat ia baru saja diberi oleh-oleh Faisal dari Toraja. Tiba-tiba hatiku rasanya seperti terbakar. Kok aku gak dikasih? Aku protes, tapi Faisal bilang sudah habis. Aku langsung berbalik arah dan cepat-cepat pergi ke masjid Sholahudin, berdalih bahwa waktu maghrib telah tiba padahal sebenarnya aku sedang marah besar. Kalau mengingat itu, rasanya lucu sekali. Aku kan sudah pernah pergi ke Toraja setahun sebelumnya dan juga sudah punya barang yang Faisal berikan padanya tadi. Buat apa aku marah, coba? Haha, kekanak-kanankan sekali. Jujur, aku adalah tipe orang yang sangat possesive. Bagiku, kami bersembilan (Pengajar Muda Bima) adalah satu keluarga. Jika satu orang diberi oleh-oleh, maka yang lain juga hari diberi. Itu yang ada di pikiranku. Belakangan aku baru tahu bahwa yang Faisal beri oleh-oleh hanya teman-teman Kecamatan Tambora sedangkan yang lainnya tidak. Ah, semakin diingat, semakin ingin ketawa saja rasanya.

Sebulan setelah acara Festival Seni anak Bima itu, kami mengadakan Olimpiade Sains untuk anak-anak SD Se-Kabupaten Bima yang kami selenggarakan di Kecamatan Bolo. Sehari sebelum hari H, kami bertujuh (minus Morin dan Budi karena mereka menangani Olimpiade yang di wilayah Tambora) sudah berkumpul di tempat pelaksanaan acara untuk menyiapkan segala sesuatunya. Saat itu, ia tiba-tiba seharian penuh tidak bersemangat. Hanya sibuk dengan HP dan membantu persiapan acara sekenanya. Aku sebagai koordinator Olimpiade ini menjadi dongkol. Panitia lainnya sedang sangat sibuk, eh dia malah ogah-ogahan. Ya sudah, mungkin dia sedang butuh waktu untuk sendiri.

Tidak hanya dua kejadian tadi tetapi masih banyak kejadian lain yang kadang membuat kami mengarah ke adu mulut atau saling diam. Untungnya, kami ternyata tidak bisa berlama-lama dalam situasi semacam itu. Tidak sampai 24 jam pasti diantara kami ada yang meminta maaf lebih dulu. Satu yang paling ku ingat adalah saat kami berjalan dari Kos Bu Nur untuk mencari ojek, tiba-tiba kami berpelukan dan saling minta maaf. Sampai-sampai si Kokoh yang berjalan di belakang kami berkata, "Kalian ini seneng banget menyakiti diri sendiri." Kami pun tertawa karena menyadari kekonyolan kami itu.

Kata orang, hati manusia itu terdiri dari ruangan-ruangan imajiner yang mana bisa diisi oleh siapapun yang dicintai oleh si pemilik hati itu. Begitulah ia. Satu ruang di hatiku sudah ku berikan untuknya. Spesial, tak tergantikan. Semoga, ia pun juga meluangkan satu ruangan di hatinya untuk aku isi.

                                                                                                     ***

"Dia" adalah Nani Nurhasanah. Seperti namanya, kehadirannya selalu menjadi cahaya, setidaknya itu menurutku. Dua bulan lagi (terhitung sejak tulisan ini diunggah) ia akan menikah. Barakallah teteh, Barakallah. Doakan aku segera menyusul ya teh! Hehe.















Jumat, 14 November 2014

Max Havelaar

Saya pertama kali mendengar tentang Max Havelaar saat saya SMP. Saat itu roman karangan Douwes Dekker alias Multatuli ini diperkenalkan sepintas lalu saja oleh guru mata pelajaran Sejarah. Disebutkan bahwa roman tersebut berhasil mendorong para tokoh nasionalis untuk melanjutkan perjuangan meraih kemerdekaan. Saya yang saat itu belum menaruh minat pada dunia sastra, sama sekali tak punya keinginan untuk membacanya. Saat SMA, saya kembali belajar tentang sejarah VOC dan hal-hal yang terkait dengannya, termasuk tentang Max Havelaar. Bahkan, di pelajaran Sastra Indonesia (Saya masuk jurusan Bahasa saat kelas XI dan XII) pernah dibahas cerita Saidah dan Adinda yang merupakan bagian dari novel yang terbit pertama kali di Belanda ini. Lagi-lagi, saya kurang berminat membacanya. (Duh, betapa malasnya saya ini.)

Beberapa hari lalu, saya baru punya keinginan untuk membacanya karena Rida, teman saya, meminjamkan buku itu pada saya. Membaca lembar demi lembar Max Havelaar ini, hati saya betul-betul geram. Ya, geram terhadap kesewenangan para pejabat pribumi pada rakyatnya sendiri. Para pejabat, dari tingkat kepala desa sampai bupati menjadi pemungut hasil pertanian dari sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Karena semua hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah, rakyat menjadi kekurangan bahan pangan. Belum lagi, pemerintah tidak memperbolehkan petani menanam padi tetapi harus menggantinya dengan tanaman tebu. Ini memperparah kondisi paceklik. Terjadi kelaparan dimana-mana.

Jadi, ternyata pada saat itu yang memeras rakyat bukan hanya para penjajah melainkan para pejabat pribumi pula. Mereka mendapat bagian dalam jumlah tertentu dari hasil pertanian yang mereka pungut dari rakyatnya. Tak heran jika pejabat pada saat itu bisa hidup bermewah-mewah padahal rakyatnya sengsara. Dalam hati saya geram, "kenapa rakyat ini mau-maunya menyerahkan semua hasil pertaniannya pada pemerintah?" Hal ini karena rakyat mempunyai kepatuhan yang tinggi terhadap pejabat yang merupakan keturunan bangsawan. Ini yang baru saya pahami setelah membaca buku yang pernah menggegerkan kerajaan Belanda saat pertama kali diterbitkan ini. Tidak zaman dulu, tidak pula zaman sekarang. Sama saja! Banyak pejabat yang sewenang-wenang dan tidak amanah.

Belum lagi, praktik korupsi yang mereka lakukan dalam pembangunan gedung-gedung. Seringkali, gedung dibangun dengan anggaran yang tidak sama dengan yang tertulis karena pengerjaan banyak memanfaatkan tenaga rakyat tanpa bayaran. Ini juga hampir sama dengan yang terjadi saat ini. Misalnya, anggaran yang tertulis di laporan adalah Rp 5. Namun, yang sebenarnya dipakai hanya Rp 3. Kemana yang Rp 2 ? Kemana lagi kalau tidak masuk kantong para pejabat pelaksanannya. Ini sudah menjadi rahasia umum saat ini. Miris.

Melalui roman ini, Multatuli ingin mengungkapkan kondisi yang sesungguhnya dari Hindia Belanda terutama Jawa pada saat itu. Penduduk Belanda yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah Jawa sama sekali tidak mengerti penderitaan orang Jawa karena berita yang sampai di negeri Belanda hanya yang baik-baik saja. Maka, dengan kemunculan karya ini, terjadilah pro dan kontra.

Tentang karyanya ini, Multatuli menuliskan,

"Ruwet, terbengkalai, mencari sensasi, gayanya jelek, pengarangnya tidak cakap, tidak punya metode. Baik, Baiklah. Tapi orang Jawa dianianya."

Kemuadian ia menambahkan,

"Aku mau dibaca! Ya, Aku mau dibaca! Aku mau dibaca oleh negarawan-negarawan yang berkewajiban memperhatikan pada tanda-tanda zaman. Oleh sastrawan-sastrawan yang harus membaca buku itu yang begitu banyak dijelek-jelekkan orang."

Menurut saya, buku ini berhasil menyampaikan kritik sosial dengan sangat gamblang. Walupun menuai banyak kritik, keberadaan karya ini berhasil membawa dampak yang besar diantaranya adalah dicetuskannya Politik Etis (Balas Budi) oleh ratu Belanda.


Saya kemudian teringat dengan bunyi sebuah Hadist berikut ini,

Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam  bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”

(Hadist Riwayat Muslim)

Dowes Dekker yang entah apa agamanya secara tidak langsung telah mengamalkan isi Hadist di atas. Ia tidak bisa menggunakan tangannya untuk mengatasi kemungkaran yang terjadi di Jawa saat itu. Maka ia menulis. Ya, menulis! Kata-kata yang ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Dalam konsep masyarakat kekinian, menulis adalah salah satu cara cerdas untuk menuangkan apapun buah pikir seseorang. Selain itu, tulisan juga memungkinkan untuk menyebarkan ide secara luas dan dalam waktu singkat. Tidakkah seperti itu?



Kamis, 13 November 2014

Kak Shally

"Iwant to achieve many things but I'm too afraid to try and fail,"She said.
"To err is human. But being afraid won't take you anywhere," He said. 

Itu tulisan dalam profile picture akun WhatsApp milik kak Shally, Pengajar Muda angkatan II Kabupaten Bima. Pikiran spontanku, "Apa yang sedang kak Shally takutkan?" Ah, memangnya kak Shally sama seperti aku yang menulis status atau mengunggah foto yang bertentangan dengan kondisi batinku? Misalnya, jika aku sedang tidak semangat, maka aku menulis status berupa kata-kata yang yang membangkitkan semangat. Apakah kak Shally juga begitu? Aku tak tau pasti.


Di mataku, perempuan muda berdarah minang yang satu ini adalah perempuan yang prestatif, selalu semangat, berjiwa petualang, pandai memainkan pena dan pembelajar yang baik. Kapan hari itu aku mendengar dia memenangkan kompetisi blog yang hadiahnya adalah menemani para peneliti untuk mengeksplorasi masyarakat dan kebudayaan di Pulau Sumba, NTT. Kapan hari lainnya, tersiar berita bahwa ia  baru saja berpetualang ke negerinya Shah Rukh Khan. Ah kak Shally, kakak sungguh keren! Tepuk salut buat kak Shally. Hehee.

"Kak Shally yang sehebat itu, punya rasa takut apa tidak ya?" pikirku suatu ketika. Hmm... kalau membaca tulisan berbahasa Inggris di atas, nampaknya kakak yang pernah berprofesi sebagai wartawan salah satu media nasional ternama ini tetap punya rasa takut. Ya, itu manusiawi. Semua prestasi dan pencapain yang ia peroleh sampai detik ini bisa jadi adalah karena kemenangannya melawan berbagai ketakukan. Bisa jadi, berbagai cara telah dia usahakan dan apa yang disebut sebagai kegagalan pun pernah ia alami. Hasilnya, kita para penonton tinggal melihat puncak-puncaknya yang berkilauan. Ibarat Gunung Fuji, yang selalu tampak dari kejauhan adalah keindahan puncak bersaljunya. Namun, di bawah puncak itu ada bebatuan terjal, jurang yang curam dan hutan yang gelap yang tak bisa dilihat dari kejauhan.

Sepertinya, hukumnya selalu sama untuk semua jenis kesuksesan. Selalu ada langkah-langkah yang orang lain tak bisa lihat. Selalu ada ketakutan dibalik senyum yang tampak optimis. Tapi, kalau kita terus berlarut dalam ketakutan, kapan kita akan bergerak maju?

Allah, semoga Kau kuatkan langkahku dan orang-orang di sekitarku menuju pencapaian yang semakin lebih baik serta lebih dekat dengan ridho-Mu.





Selasa, 11 November 2014

Cerita tentang Said

Baru saja ngubek-ngubek file rekaman lama dan nemu rekaman ini, obrolan PM 4 Bima bersama Pak Munif Chatib (Penulis Buku Sekolahnya Manusia, Gurunya Manusia dan Guardian Angel) saat makan malam di sebuah restoran seafood di Pantai Amahami, Bima. Seru lho! Simak yuk! Hehe..

Saya kan bersaudara itu 3 orang. Laki, perempuan, terus saya. Nah, mungkin karena sudah jadi kebiasaan keluarga, menikah itu nanti di ujung. Ibarat sebuah bangunan, menikah itu adalah lantai paling atas. Harus melalui sekolah, kerja, punya rumah, cukup semua, mobil, baru setelah itu ujungnya menikah. Kakak saya yang laki-laki menikah pas usia 35 tahun karena ngikuti alur itu. Dan saya yang termasuk juga karena aturan keluarga. Pada saat kuliah, saya sudah pacaranlah. Saya pacaran 21 kali mulai dari SMA. Tapi, begitu sama yang terakhir (Ibu Diah), saya ditantang untuk serius. Tapi, pacaran saya itu pacaran yang baik lho ya. Jangan punya bayangan yang tidak baik. Cuma nganter-nganter lah. Tukang ojek. Selesai kuliah, saya lulus. Jadi lawyer saya, setahun tapi gagal. Semua teman-teman nglanjutin S2. Saya ke Jakarta, kerja. Nglamar ke sana- sini. Saya dapat di perusahaan asing, gajinya gedhe. Zaman dulu itu Rp 3.000.000 (awal tahun 90-an).


Yang sekarang jadi istri saya ini punya 2 saudara perempuan. Yang paling besar, nyonya saya. Adiknya yang nomor 2 sudah menikah. Suatu saat adiknya yang nomor 3 mau menikah, dilamar orang. Ibunya gak tega sama nyonya saya karena bila "iya", berarti dilangkahin 2 kali. Terus saya ditanya sama ibunya nyonya saya. Jam 6 sore waktu itu, saya masih kerja di kantor, ditelpon nyonya saya katanya ibunya mau bicara serius. Ternyata ditanya, "Munif ini serius atau tidak? Dua hari lalu datang orang nglamar adeknya Diah. Kalau Munif serius, gimana kalau Munif dulu? Baru nanti beberapa bulan, adiknya. Saya jawab apa? Dengan sombongnya, "Maaf, di Jakarta itu sulit. Harus punya mobil. Harus punya rumah. Harus punya tabungan." Nanti paling ujung, baru menikah. Jadi biarkan adiknya menikah dulu ndak usah nunggu saya. Ibunya nangis waktu itu.


Saya keluar dari kerjaan karena gak kuat. Waktu banyak tersita. Pas berhenti, saya diminta mimpin kursusan kecil karena yayasannya gak punya duit. Saya jadi direkturnya. Akhirnya, uang saya habis untuk itu. Nombokin, nombokin. Di situlah ada hikmahnya. Saya ketemu satu orang hebat. Namanya Said. Teman-teman pasti gak kenal. Dia dari Singapore. Datang ke kursusan saya. Waktu itu dia habis mbangun masjid di Jakarta. Lalu dia tanya ke kami-kami, "Diantara kalian, siapa yang belum menikah?" Waktu itu kami bersembilan laki-laki semua dan belum menikah. Semua angkat tangan. Dia tanya, "Usia berapa?" Kami jawab masing-masing. Lalu dia bicara, "Sayang ya, kalian jadi korban. " Kami tanya, "Kenapa?" Dia menjelaskan. "Mungkin payung atmosfer orang tua anda itu ndak sama dengan payung atmosfer orang tua saya." Kami jadi tertarik.


Dia lanjut bercerita. "Saya menikah kelas 2 SMA. SMA di Jakarta. Istri saya teman sekelas saya. Jadi, waktu saya pacaran, saya sudah ajak pacar saya ini nonton bioskop, pake motor berdua. Bioskop itu gelap. Abah saya ngelihat itu, saya kalau malam Minggu keluar. Kemudian saya didudukkan."


Abah    : Said, duduk! Abah mau tanya. Apa betul Said punya pacar?

Said    : Enggak Bah.
Abah    : Ah masa'? Abah dulu SMP sudah pacaran. Sudahlah, jujur! Abah ini dulu jagonya.
(Akhirnya Said terbuka)
Said    : Iya, Bah.
Abah    : Siapa pacarmu?
Said    : Teman sekelas.
Abah    : Ngapain aja kalau pacaran? Kalau Abah dulu sering ngajak nonton. Said gimana?
Said    : (Sambil tersenyum malu-malu) Nonton juga, Bah.
Abah    : Apa yang kamu lakukan saat nonton itu? Ayo jujur sama Abah. Kita ini bukan Abah sama anak, tapi friend.
Said    : (Tersipu-sipu) Raba-rabaan tangan....
Abah    : Sudah selesai? (Abah tiba-tiba nangis)
Said    : (Kaget) Kenapa Bah? Kita habis guyon-guyon gini kok nangis?
Abah    : Said, yok besok kita ke rumah pacarmu. Kita lamar yok. Dosa, Abah ini. Kamu sudah seperti ini, Abah dosa. Abah tanggung jawab, Said. Ayok besok kita datang, kita lamar.
Said    : (Makin kaget) Abah serius?
Abah    : Iya.
Said    : Tapi Abah, Said kan masih SMA kelas 2.
Abah    : Said, dengar ya! Gak ada hubungannya sekolah dengan menikah. Itu seperti 2 bangunan yang berdiri masing-masing. Itu 2 bangunan yang berbeda. Kamu, ya terus sekolah. Sampai di liang lahat kok nuntut ilmu itu. Menikah! Abah sudah mendengar alarm biologismu berdering kencang. Maka, kalau gak Abah bantu dengan memberikan kebutuhan biologimu, Abah dosa. Kamu nanti akan mati tapi matinya mati ruhani. Kamu ini sekarang lapar, maka makan adalah memenuhi kebutuhan jasmani. Kalau seminggu gak makan, maka jasmanimu akan mati. Nah sekarang alarm biologismu sudah berdering. Kalau tidak dipenuhi, maka lambat laun ruhanimu akan mati. Said, gak ada hubungannya antara nuntut ilmu dengan menikah. Sekarang waktunya menikah. Sekolah ya sekolah. Menikah ya menikah.
Said    : Bah, Said ini kan masih anak-anak, belum dewasa. (Ngotot). Nanti kalau menikah, gampang ribut, cerai. Pernikahan dini.
Abah    : Said, dengar ya! Yang namanya kedewasaan itu adalah hasil dari sebuah proses. Kamu harus nyemplung ke prosesnya, menikah! Baru kamu dewasa. Gak mungkin belum menikah itu dewasa.
Said    : Lha kalau kami berantem?
Abah    : Kamu itu tidak hidup di hutan. Ada Abah yang bisa bantu nyelesaikan masalah. Kedewasaan itu adalah hasil dari proses. Go! Besok kita lamar pacarmu
Said    : (Gemetar) Abah, menikah itu kan harus memberi nafkah. Said masih sekolah kelas 2 SMA. Mana mungkin bisa ngasih nafkah?
Abah    : Mencari nafkah sama menikah itu tergantung dari kondisi. Abah tau, waktumu sekarang belajar, bukan kerja. Ndak papa, yang kerja Abah. Nanti kamu tak kasih uang jajan, nanti kamu kasih istrimu. Selesai. Kuat kok Abah. Kamu kan cuma punya 1 adik. Ada 2 kamar di rumah. Satu untuk adikmu, satu untuk kamu dan istrimu. Abah merasa punya satu anak lagi. Selesai. Konsepnya seperti konsep mengangkat meja. Kalau kamu menikah, kamu, Abahmu, Umimu, adik ngangkat itu meja lalu istrimu duduk di atas meja? Tidak! Istrimu ikut ngangkat. Jadi Abah ikut ringan dengan adanya istrimu.

Walhasil, si Said mentok. Oke, Bismillah. Dua hari kemudian, datang ke rumah calonnya. Begitu datang, Said dan Abahnya dihadapi oleh Ayah si perempuan. Langsung ditolak. Kata Ayah pacar Said, "Anda ini gak mikir ya? Mereka ini belum apa-apa, masih kecil. Maaf, kami ndak mau merima lamaran ini." Maka pulanglah Said dan Abahnya.

Said    : Tuh kan Bah.
Abah    : Ndak papa,dua hari lagi kita datang lagi.

Maka, mereka benar-benar datang lagi dan ditolak lagi. Kata Abah, "ndak papa, ada kesempatan ke-tiga." Begitu mereka datang untuk ke-tiga kalinya, tetap ditolak. Lalu Abah bicara, "Maaf, boleh saya ketemu sama puteri anda?". Jawab si Ayah, "Untuk apa?" Kata Abah, "Gak papa, mereka kan teman sekelas." Maka keluarkan pacar Said itu. Abah tanya, "Kamu suka kan sama anak saya?"

Lalu Abah lanjut berbicara pada Ayah si perempuan. "Kalau malam Minggu mereka jalan, nonton, pegangan tangan, raba-raba, pipinya diciumi. Mereka melakukan dosa yang menurut saya besar. Saya gara-gara itu datang ke sini. Ibarat dosa itu satu titik jerawat, muka kita berdua sudah hitam karena sudah dipenuhi dengan jerawat yang banyak. Ayolah, kalau anak kita menikah, aman di hadapan Allah. Percayalah, tidak akan mati kelaparan putri anda. Saya orang kerja kok. (Abah si Said ini bekerja jual-beli timah, elco dan reparasi TV, radio. Sangat sederhana. Tapi dengan beraninya dia bilang, "Anak Anda tidak akan kelaparan sama saya.") Pikirkan, wajah kita sudah hitam. Kita bertanggung jawab. Jangan pura-pura tidak tahu. Sekarang, saya sekali lagi, saya minta dengan baik-baik." Si Ayah berfikir. Berapa minggu kemudian, dia terimalah lamaran itu. Akhirnya Said dan pacarnya menikah.

Tapi masalah belum selesai. Kata Said "Anda tahu, saat saya kelas 2 SMA menikah, hidup ini seperti surga. Bayangkan, dulu mau ketemu sulit, sekarang berangkat bareng, pulang bareng. Nanti di rumah, ada makanan di rumah, makan bareng. Tidur sebentar, sore bangun sudah ada bubur kacang ijo. Istri yang mbuatin. Makan lagi. Belajar, bercanda sama istri. Itu kayak surga. Anda tau, saya langsung rangking 1." Sama Abahnya, Said dikasih uang tiap bulan. Nanti disuruh ngasih istrinya. Kayak pacaran SMA tapi syah.

Begitu selesai SMA, Said pengen masuk Elektro UI. Waktu dia mau daftar kuliah, dia bilang ke Abahnya. "Sudah Abah, Said gak usah kuliah aja. Malu, ngrepoti Abah terus. Sudah 2 tahun minta uang saku terus. Said kerja saja." Kata Abah, "Jangan!" Akhirnya Said tetap kuliah sambil kerja jadi karyawan di gudang Abahnya. Kata Abah, "Tapi keuntungannya nanti kita bagi." Deal!. Said kuliah dan lulus Summa Cumlaude. Waktu wisuda, Abahnya meninggal. Begitu selesai jadi sarjana, Said kerja di PT Sony Indonesia (Waktu itu belum bangkrut). Dulu adalah perusahaan hebat. 3 bulan kerja, Said ditraining di Singapore. Di sana ia disuruh mempresentasikan tentang pekerjaanya. Ada warga Singapore keturunan India melihat presentasi Said itu."Wah, hebat anak ini", pikir si orang India itu. Lalu, orang itu langsung nyamperin Said dan minta nomor kamar hotelnya. Malamnya, Ia menemui Said di kamrnya. "You keluar dari Sony dan ikut saya. Saya langsung kasih saham ke anda. Saya punya obsesi besar untuk company saya. Keluar dari Sony, saya akan mintakan anda jadi warga negara sini. Anda dan keluarga anda, bawa ke sini. Anda pikir ini." Maka Said mengambil kesempatan itu. Istrinya ikut. Keluarga-keluarga istrinya yang dulu nolak, ikut. Mereka jadi orang kaya. Masih muda padahal.

Said melanjutkan ceritanya. "Sekarang saya punya dua anak. Yang satu laki-laki SMA kelas 1, yang satu perempuan kelas  SMP. Begitu naik kelas 2 SMA, anak saya akan langsung saya nikahkan. Cuman gak sulit diterima kayak saya. Langsung diterima sama calon mertuanya. Lha wong anak saya sekolah bawa mobil sport Ford." Lalu Said bilang kepada kami bersembilan, "Maaf, anda mungkin tidak seenak saya. Anda mungkin jadi korban dari background keluarga. Tapi tolong, kalau anda saat ini sulit menikah dengan berbagai macam penyebabnya, tolong cut off di anda saja. Tolong jangan sampai itu terjadi di anak-anak anda. Saya payung atmosfernya adalah Abah saya. Maka untuk anak saya, saya buka payung yang sama. Jadi kalau saya melihat anda sudah sarjana, bunjangan, saya kasihan melihat anda. Maka, hentikan itu di anda saja. Saya doakan anda segera menikah. Maka, ketika nanti anda punya anak, cut off! Anda harus membuka payung atmosfer yang baru. Ingat 3 hal. Pertama, menikah tidak ada hubungannya sama kuliah. Kedua, menikah itu tidak ada hubungannya dengan mencari nafkah. Itu kondisional. Ketiga, menikah tidak ada hubungannya dengan kedewasaan. Karena kedewasaan adalah proses."

Saya dari bersembilan itu yang pertama menikah. Dua bulan setelah ketemu Said itu, saya menikah. Bayangkan, pada waktu itu saya dalam kondisi gak punya uang. Dulu waktu kerja di perusahaan asing yang gajinya besar, saya takut menikah. Tapi setelah di-brain wash sama Said ini, saya menikah. Setelah itu baru teman-teman bersembilan satu per satu. Saya menikah dalam kondisi nul puthul, ndak punya apa-apa. Saya mau membuktikan kata-kata Said dan janji Allah bahwa dengan menikah, Allah akan membuka pintu-pintu rezeki. Saya bilang ke orang tua saya. Beliau tidak setuju, "Kakakmu itu menikah usia 35 tahun. Kamu itu kerja apa? Sudah menghasilkan apa? Belum apa-apa! Sudah enak-enak kerja malah keluar. Sekarang nongkrongin kursusan komputer dan Bahasa Inggris."

Saya tetep minta, tapi ayah saya tetap tidak mengizinkan. Saya lalu ingat kata-kata Said, "Tolong, jadilah air yang menetes di karang yang keras, nanti tetap akan berlubang itu karang." Dulu saya orangnya keras. Kalau orang tua marah, saya ikut marah. Hari itu kok tidak. Saya rayu Abah saya. "Sudahlah, anaknya Abah ini sudah sarjana. Bisa kok handling masalah." Tapi Abah masih marah. Saya bilang, "Besok saya rencana meminang. Ayo Abah ikut. Biar tidak sendiri." Meminang, belum tentu diterima. Tapi minimal saya menunjukkan ini lho tanggung jawab. Tetap Abah saya ndak mau. Bismillah, saya sendirian meminang. Hari Kamis, 30 Desember 1994. Yang membuat lancar adalah kakaknya istri saya. Kakaknya itu Sahabat saya di kuliah. Akhirnya, karena kami satu visi, saya meminang, diterima. Senangnya saya diterima. Kami dulu sahabat bertiga, tiga M : Munir, Munif dan Mustofa Kamal (kakak istri saya yang bantu saya). Munir dan Mustofa sekarang sudah almarhum.

Terus saya minta "Kalau boleh, saya dinikahkan besok ya." Saya sudah siapkan mahar cincin. Cincinnya utang sama teman saya ini. Nikah akad saja. Kalau tidak segera, saya takut terjadi fitnah. Sekali lagi, almarhum ini yang luar biasa membantu saya. Bundanya masih agak berat. Besoknya, hari Jumat saya menikah.Orang tua ndak mau nganter. Saya telpon teman-teman saya di LBH Surabaya. Saya mau nikah, mau nganterin? Semua bilang mau. Saya telepon teman-teman yang di Jakarta, "Saya mau menikah besok." Malam langsung naik pesawat semua. Kami ngumpul di rumah salah satu teman saya. Yang ngiring-ngiringi adalah teman-teman saya dari Malang, dari LBH Surabaya dan dari Jakarta. Menikahlah saya. 31 Desember 1994.

Teman-teman, betul, karang itu akhirnya berlubang. Enam bulan kemudian, Abah saya setuju. Langsung saya disuruh nikah lagi tapi ramai-ramai semua keluarga. Dan benar Allah itu mbuka rezeki yang ndak disangka-sangka. Kerjaan saya makin jaya.

Penutup. Begitu istri saya hamil, saya berdoa sama Allah Ta'ala. Mudah-mudahan anak pertamaku perempuan supaya aku nanti pegang kartu untuk jodoh anakku nanti.


Pak Munif Chatib bersama Kepala Dinas DIKPORA Bima dan Pengajar Muda Angkatan IV Kab. Bima