Translate

Jumat, 31 Oktober 2014

Hari Jumat

Dulu, ketika saya masih kecil, saya dikenal sebagai anak yang penakut. Jika malam tiba, saya benar-benar tidak berani keluar rumah sendirian. Di rumah pun, saya tidak berani pergi ke toilet sendirian pada malam hari. Kenapa saya menjadi sebegitu penakutnya?

Saya tidak ingat pasti sejak usia berapa tertanam dalam otak saya pemahaman bahwa pada malam hari itu banyak hantu bergentayangan. Hantu-hantu itu ada yang berwujud orang-orang yang sudah meninggal. Konon, orang-orang yang sudah meninggal itu ruhnya akan pulang ke rumah setiap malam Jumat. Jadilah malam Jumat adalah malam yang paling menakutkan bagi saya.

Seiring dengan bertambahnya usia, saya mendapat pemahaman-pemahaman baru bahwa orang yang sudah meninggal dunia itu tidak akan menjadi hantu. Mereka sudah menempati alam lain yaitu alam barzah. Lalu, apa yang selama ini disebut sebagai hantu sebenarnya adalah jin jahat yang sengaja menampakkan diri atau suara untuk mengganggu manusia. Sejak itu, sedikit demi sedikit sifat penakut saya mulai berkurang walapun belum sepenuhnya hilang.

Pemahaman saya tentang malam Jumat pun sudah berubah. Saya tau bahwa Hari Jumat adalah sebaik-baiknya hari.  Bahwa waktu setelah Ashar di Hari Jumat adalah waktu ijabah doa-doa. Bahwa bersedekah di Hari Jumat itu lebih baik jika dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Bahwa Hari Jumat adalah hari raya di antara hari-hari dalam sepekan.Bahwa membaca surat Al-Kahfi di Hari Jumat itu memiliki banyak keutamaan yang salah satunya adalah dipancarkan cahaya pada dirinya di hari kiamat kelak. Bahwa meninggal di Hari Jumat adalah tanda-tanda khusnul khotimah.

Alhamdulillah, dengan memahami hal-hal di atas, saya menjadi sangat  suka dan selalu menunggu-nunggu kedatangan Hari Jumat. :-)


Senin, 27 Oktober 2014

Perjalanan

Ini Senin menjelang tengah malah. Hujan terdengar begitu keras jatuh di atap kereta yang ku tumpangi. Sudah 20 menit aku duduk manis di kursiku namun kereta baru mulai  berjalan beberapa detik lalu. Ku pejamkan mataku, ku bisikkan doa-doa.
Aku selalu suka perjalanan. Katanya, orang yang sedang dalam perjalanan itu doanya mustajab. Itulah, salah satu alasan kenapa aku suka perjalanan. Apalagi, ketika aku mengadakan perjalanan sendirian menuju tempat-tempat yang jauh, rasanya itu cocok sekali untuk menggumamkan doa sebanyak-banyaknya. Alasan lain, aku suka perjalanan karena aku punya kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru, menikmati aroma tempat-tempat baru. Itu semua mengalirkan motivasi dan inspirasi baru.

Dulu ketika di Bima, murid-muridku sering bertanya, 
"Apa cita-cita Ibu?"
Aku menjawab, "Ingin berkeliling dunia"
"Kenapa ingin berkeliling dunia?"
"Karena Ibu mau mencari kebijaksanaan"


Ah, entah mereka mengerti perkataanku atau tidak. Tapi, lambat laun mereka pasti akan mengerti karena mereka adalah anak-anak yang cerdas.

Siang tadi aku mendapat kiriman surat dari Fani, salah satu siswaku di Bima. Fani mengungkapkan bahwa perkataanku yang paling dia ingat adalah "Orang sukses itu kalau berjalan cepat". Jujur, aku sangat terharu ia masih mengingat kata-kataku itu. Semoga ia tidak sekedar ingat deretan kata-katanya, tetapi juga mengerti maknanya.

"Perjalanan" dan "berjalan" adalah dua kata yang memiliki kata dasar yang sama yaitu "jalan". Bagi anak-anak seperti Fani, kata "berjalan" secara leksikal mungkin dapat dengan mudah ia pahami. Berjalan, sebuah aksi yang dilakukan dengan cara melangkahkan kaki untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Menurutku, ketika Fani sudah mengerti kata-kata "Orang sukse s itu berjalannya cepat", dan kemudian melakukan ikhtiar dengan cara membiasakan diri untuk berjalan cepat untuk mencapai kesuksesan, itu sungguh sesuatu yang luar biasa.

Pada masanya nanti, Fani akan belajar tentang "perjalanan", sebuah kata yang menurutku sedikit lebih sulit. Dalam hal ini, perjalanan berarti bukan sekedar perjalanan Fani dari rumah ke sekolah atau dari rumah ke dermaga. Nanti, ketika usianya bertambah, skala jangkauanya dalam berjalan pun akan bertambah. Dari desa kecilnya, Karumbu, ke Kota Bima, kemudian ke Dompu atau Mataram, atau Jakarta atau entah sudut bumi yang manakah. Perjalanan yang tidak hanya dia tempuh dengan melangkahkan kaki tetapi juga dengan menumpang oto, kapal atau alat transportasi temuan Wright bersaudara. Dan dari perjalanan itu, insyaAllah dia akan menemukan kebijaksanaan. Teruslah berjalan Zulfani Ramadhini, Ibu berdoa untuk kebaikanmu.

Jumat, 24 Oktober 2014

KL -Part 2-

Selasar luas dan berkarpet, nyaman untuk melepas kantuk
Akhirnya baru punya niat untuk melanjutkan tulisan KL-Part 1-. Baiklah, kita mulai saja yuk! Tanggal 30 Agustus 2014 jam 23.50 pesawat kami mendarat di bandara KLIA 2. Seperti rencana awal, kami menginap di bandara. Setelah melewati pintu keluar terminal kedatangan internasional, kami melihat ada selasar yang cukup luas dimana orang-orang dengan berbagai warna kulit tidur. Wow, kita bisa istirahat di sana! Kami pun segera menuju tempat yang sepertinya nyaman untuk sebentar melepas kantuk kami itu.

Benar saja, tempat itu memang nyaman karena beralaskan karpen yang cukup tebal dan jika ingin memasuki area berkarpet itu orang-orang harus melepas sepatu/sandal mereka. Dengan begitu, kami bisa menggelempar di sana tanpa takut terkena kotoran/najis.Karena pada dasarnya saya adalah orang yang bisa tidur di mana saja, saya pun langsung terbang ke alam mimpi padahal Tami dan Tika masih membereskan barang.Hehe.. Senang sekali bisa menemukan tempat seperti ini, tempat yang tidak saya temukan di Indonesia. Sungguh manusiawi bandara negara tetangga ini. Nasib para traveler yang mini budget seperti ini ternyata difikirkan dengan cara menyediakan tempat menginap yang cukup layak.



Saat waktu subuh tiba, terdengar pengumuman dari petugas bandara bahwa waktu sholat subuh untuk wilayah Kuala Lumpur sudah tiba. Kami lalu membersihkan diri dan berwudhu. Selesai sholat, kami langsung mencari bus yang akan membawa kami ke KL-Sentral. Kami pun dengan mudah menemukan dimana bus itu berada. Sebanyak 10 Ringgit kami bayar untuk bus yang kurang lebih selama 1 jam membawa kami menuju KL-Sentral itu. Pagi itu, kami berencana untuk pergi ke Batu Cave sebagai tujuan pertama karena letaknya yang cukup jauh. Sebelum naik monorail ke Batu Cave, di dekat KL-Sentral kami mampir makan nasi lemak dengan seharga RM 2.5. Ternyata, penjual nasi lemak itu adalah pasutri dari Indonesia. Si suami adalah orang Madura, sedangkan Istrinya orang Palembang. Mereka sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Kuala Lumpur sehingga anak-anaknya pun sudah menjadi warga negara Malaysia. Kami pun mengobrol dengan antusias. Si Bapak memberi tahu kami bahwa hari itu, tanggal 31 adalah hari ulang tahun kemerdekaan Malaysia. Di Merdeka Square akan ada pawai besar-besaran yang hanya ada ketika hari merdeka saja. Maka, kami pun mengubah rencana. Hari pertama itu kami habiskan untuk mengunjungi Merdeka Square dan daerah sekitarnya. Esok harinya baru kami ke tempat yang jauh.

Si Bapak mengatakan bahwa dari KL-Sentral ke Merdeka Square jaraknya dekat saja, tidak perlu naik angkutan umum, cukup jalan kaki. Oke, kami menuruti saran beliau. Ternyata oh ternyata, sudah berjalan hingga peluh bercucuran dan bertanya ke beberapa orang yang tidak semuanya menjawab dengan ramah, kami belum juga menemukan tempat yang dituju. Karena saking lelahnya, kami malah berbelok dulu ke National Mosque dan Islamic Art Museum Malaysia. Oleh karena itu, kami baru sampai di Merdeka Square saat acara pawai baru saja selesai. Untungnya, orang-orang masih ramai memenuhi jalanan Merdeka Square. Musik-musik masih diperdengarkan. Betapa terkejudnya saat kami menyadari bahwa lagu yang sedang dinyanyikan pada saat itu adalah lagu berjudul "kehilangan" yang dipopulerkan oleh Firman Idol beberapa tahun yang lalu.
National Mosque

Berfoto dengan keluarga setempat

Berkunjung ke Malaysia pada saat HUT Kemerdekaannya adalah hal yang mengesankan bagi kami. Apalagi, itu adalah hal kebetulan yang sebelumnya tidak kami ketahui. Beginilah serunya jalan-jalan. Selalu saja ada kejutan yang mengesankan entah itu hal yang menyenangkan atau sedikit menyebalkan. 

Di sepanjang jalan menuju Meredeka Square itu kami melewati bangunan-bangunan eksotis peninggalan Inggris. Bangunan-bangunan tersebut difungsikan untuk perkantoran dan museum.Semua terjaga dan terawat rapih.
Gedung KTM, salah satu perusahaan kereta api Malaysia


Museum Tekstil Negara


Lupa apa nama gedung ini hehe






Nuzulul Hidayat

Foto diambil saat Dayat baru naik ke kelas V
"Ibu, Dayat tidak mandi sore", lapor Mita kepada saya malam itu saat les di rumah Ibu Kepala Sekolah. Begitulah kebiasaan warga di kampung ini tak tercuali anak-anak, mereka hanya mandi sehari sekali pada waktu pagi saja. Pada awal-awal saya datang ke sini, saya heran kenapa saat les malam anak-anak masih memakai baju yang sama dengan yang mereka pakai saat sore harinya. Apa mereka tidak mandi? Atau sebenarnya mereka mandi tetapi tidak berganti baju? Selain masih mengenakan baju yang sama, saat les malam kadang saya mencium bau keringat anak-anak. Wah wah, sepertinya mereka memang tidak mandi.

Akhirnya saya menanyai mereka dan jawabannya memang seperti dugaan saya, mereka tidak mandi. Hmmm.. ini tidak bisa dibiarkan. Saya harus berbuat sesuatu!

Saya akhirnya membuat peraturan bahwa anak-anak yang tidak mandi sore tidak boleh datang les malam. Kira-kira, apakah mereka mau mengikuti peraturan saya atau malah tidak mau datang les lagi? Untungnya, mereka adalah anak-anak yang selalu semangat belajar. Mereka pun menyanggupi peraturan yang saat buat. Sejak saat itu, anak-anak selalu datang les malam dalam keadaan baju rapih dan rambut klimis oleh air.

Usut punya usut, setelah beberapa waktu berlalu, saya tahu bahwa ada beberapa dari mereka hanya membasahi rambut ketika datang ke rumah ibu kepala. Mengubah kebiasan orang ternyata memang tidak mudah. Sekali diingatkan, "Iya Ibu, besok mandi", sambil menyeringai. Besoknya memang mandi, tapi hari berikutnya tidak mandi lagi. Mandi, tidak mandi, mandi, mandi, tidak mandi lagi. Begitu seterusnya.

Salah satu anak yang paling sulit untuk istiqomah mandi adalah Nuzulul Hidayat yang akrab dipanggil Dayat. Dibalik kemalasannya untuk mandi itu, ia adalah anak yang mempunyai kecerdasan matematis yang setingkat lebih maju jika dibandingkan dengan kawan-kawannya. Setiap saya beri dia soal matematika, matanya tampak menyala sambil bergegas menyelesaikan soal itu. Maka, dialah yang selalu paling cepat menyelesaikan soal-soal itu. Di mata pelajaran lain Dayat juga cukup menonjol namun yang paling terlihat menonjol adalah Matematika.

Karena kecerdasannya inilah, Dayat berhasil lolos serangkaian ujian seleksi beasiswa SMART EKSELENSIA, DOMPET DHUAFA untuk bersekolah di SMP-SMA Percepatan SMART EKSELENSIA sejak bulan Juli lalu. Semoga Allah memudahkan langkahmu dalam menuntut ilmu, Dayat. Barakallah.

Jika Suami Saya Selingkuh

Sejak Februari lalu saya bekerja di sebuah perusahaan asing yang mana memungkinkan saya bekerja secara langsung dengan para ekspatriat. Pada umumnya, para ekspatriat itu datang ke Indonesia sebagai tenaga ahli atau penasihat (adviser). Tentu saja, secara kapasitas kemampuan kerja, mereka sudah tidak diragukan lagi. Jujur, disiplin, pekerja keras (hard worker), detail, kreatif, itulah kesan tentang mereka yang saya tangkap sejauh ini.

Para ekpatriat itu biasanya ditugaskan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, antara 2 sampai 5 tahun. Karena sifatnya yang temporary ini, mereka yang rata-rata berusia 30-50 tahun ini datang ke Indonesia tanpa membawa serta istri dan anak-anak mereka. Mereka pulang ke negaranya setiap beberapa bulan sekali. Walaupun demikian, secara ekonomi,mereka setiap bulan selalu mengirim uang untuk istri dan anak-anaknya. Salah satu teman saya yang juga bekerja di perusahaan asing pernah mendapat cerita langsung dari ekspatriat bahwa ia, ekspatriat tadi, mengirim semua gajinya ke rekening istrinya. Baru kemudian si istri membagi-bagi uang tersebut; untuk keperluan rumah, sekolah anak-anak dan uang saku si suami. Jatah uang saku si suami kemudian dikirim ulang ke rekening suaminya.

Dibalik semua hal-hal mengagumkan dari para ekspatriat ini, ada satu hal yang cukup menggelitik di telinga saya, yaitu perselingkuhan. Bagi sebagain orang, mungkin hal itu dianggap wajar dan bisa ditolerir. Para ekspat ini hidup sendirian di kota yang asing, jadi wajar jika mereka kemudian bermain perempuan. Mereka lelaki,adalah hal yang biasa jika mereka berselingkuh untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka. Begitu pendapat sebagian orang.

Setelah saya berdiskusi dengan teman-teman saya yang juga bekerja di perusahaan asing, kami menyimpulkan ada 3 jenis perselingkuhan yang dilakukan oleh para ekpatriat (sumpah, ini kurang kerjaan banget haha). Pertama, mereka yang "jajan" sesekali saja, ketika sedang ingin memenuhi kebutuhan biologis mereka.Peremuan yang melayaninya pun berbeda-beda setiap kunjungan. Tempat favorit mereka adalah kawasan Melawai, Blok M. Kabarnya,ada tempat-tempat khusus seperti bar dan karaoke yang sengaja dibuat untuk menjamu para lelaki asing. Oleh karena itu, fasilitas dan SDM yang disediakan pun dibuat sekelas internasional. Mbak-mbak cantiknya pun mahir berbahasa Inggris dan lainnya (Bahasa Jepang, China, Korea dll).

Tipe ke-2, mereka yang setia pada satu perempuan. Jika mereka butuh si perempuan itu, mereka bisa langsung menghubungi, bisa bertemu di apartemen si ekspat atau tempat lain. Jika sudah nyaman dengan satu perempuan, mereka akan terus memakai jasanya sampai beberapa waktu lamanya.Lalu, tipe ke-3 adalah mereka yang mengambil 1 perempuan untuk dijadikan istri simpanan tanpa dinikahi secara syah. Perempuan ini biasanya ikut tinggal bersama si ekspatriat dan melayani semua kebutuhannya lanyaknya seorang istri.

Dulu, ketika saya masih SMA dan kuliah, beberapa teman pernah bercerita tentang pacar mereka yang berselingkuh. Pada waktu itu, selingkuh hanya sekedar berpalingnya hati si pacar kepada perempuan lain. Mungkin, itulah yang disebut selingkuh hati (dalam Bahasa Jepang: kokoro no uwaki). Namun, setelah saya memasuki dunia kerja, saya menjadi tahu satu lagi pengertian selingkuh, yaitu selingkuh badan (dalam bahasa Jepang: karada no uwaki). Konon, untuk ukuran para ekspatriat, selingkuh yang mereka lakukan adalah karada no uwaki. Sebagian dari mereka berdalih bahwa tidak apa-apa melalukan karada no uwaki karena itu hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis. Asalkan, hati tetap diberikan untuk istrinya.

Sebagai perempuan, saya tetap tidak bisa menerima dengan yang namanya perselingkuhan. Saya tidak bisa memahami jalan pikir para perempuan yang mau dijadikan selingkuhan. Pasti mereka punya alasan sendiri kenapa kemudian mereka bersedia menjadi selingkuhan. Tapi, tetap saya tidak bisa menerimanya.

Kasus para ekspatriat tersebut hanya contoh kecil tentang perselingkuhan. Masih banyak kasus lain yang mungkin lebih rumit. Ya Allah, semoga nanti ketika saya berkeluarga, Engkau jaga suami hamba dari semua hal yang tidak baik, termasuk perselingkuhan. Aamiiin.

Kamis, 23 Oktober 2014

Mereka Memanggil Saya "Ibu"

SDN Soro Afu adalah satu di antara 36 Sekolah Dasar yang ada di Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sekolah yang tepat berada di teluk Waworada inilah saya pernah bertugas menjadi guru selama setahun (Juni 2012-Juni2013). Bagi saya yang bukan berlatar belakang pendidikan keguruan ini, menjadi guru di daerah terpencil seperti itu memberi tantangan tersendiri. Namun, karena saya pada dasarnya menyukai anak-anak dan kegiatan belajar mengajar,saya bisa dengan cukup mudah menyesuaikan diri.

Kecintaan saya pada anak-anak dan dunia ajar-mengajar mulai saya rasakan sejak saya menjadi guru les privat anak-anak SD selama saya kuliah di Jogja.Lalu, pada pertengahan 2010 saya dan teman-teman membuat komunitas BOOK FOR MOUNTAIN yang ternyata membuat saya semakin cinta mengajar.Cinta itu rasanya semakin tumbuh subur hingga akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar sebagai Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar yang dicetuskan oleh Pak Anies Baswedan. Saat itu saya betul-betul mantap. Tak ada keraguan sedikitpun.



Setelah melalui serangkaian tes yang panjang, saya bersyukur karena saya akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari Pengajar Muda angkatan IV.Sebelum berangkat, kami 72 CPM (Calon Pengajar Muda) diberi pelatihan intensif selama 2 bulan di Purwakarta, Jawa Barat. Pada saat itu, Ibu Nia, Kepala Sekolah di camp pelatihan kami pernah mengatakan, "Melihat Dita itu ya melihat guru. Karena jiwa guru itu ada pada Dita". Saya terharu sekaligus terkejut. Terkejut karena kata-kata Ibu Nia itu seperti pengingat bahwa sebentar lagi saya akan dipanggil "ibu guru" oleh 151 siswa di SDN Soro Afu. Ibu guru? Ya, ibu guru, sebuah panggilan yang membawa konsekuensi tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang bukan hanya dituntut ketika di dunia melainkan juga di akhirat.

Dan ternyata tanggung jawab sebagai guru itu memang besar. Efeknya, saya menjadi sangat berhati-hati dalam banyak hal.Dalam berbicara misalnya, saya harus berhati-hati memilih diksi yang baik saat berbicara dengan orang lain terutama dengan anak-anak. "Dita, hati-hati kalau bicara. Kamu itu guru!", begitu bisikan hati kecil saya. Perasaan akan tanggung jawab itu secara tidak langsung telah menjadi pagar bagi saya agar berjalan pada jalur yang benar.Awalnya memang berat. Misalnya, ketika saya marah, sebisa mungkin saya harus menahannya dan tidak menunjukkannya di depan anak-anak.Berlatih bersabar, itulah salah satu pelajaran paling berharga yang saya peroleh setelah menerima panggilan "ibu guru" dari anak-anak. Terima kasih sayang, selama setahun menjadi guru kalian, sesungguhnya ibulah yang banyak belajar.


***

Saat ini saya sudah tidak lagi berprofesi sebagai guru tetapi sebagai penerjemah di sebuah perusaahan asing di Jakarta. Kemarin sore, sepulang kerja saya membawa motor saya ke tempat cuci motor. Sembari menunggu motor dicuci, saya mengobrol dengan seorang perempuan muda yang juga pelanggan jasa cuci motor itu.

Si mbak : Habis pulang kuliah mbak?

Saya    : Enggak mbak, kerja.
Si mbak : Guru ya?
Saya    : Hah? emangnya saya keliatan kayak guru ya mbak?
Si mbak : iya, kayak guru.

Si mbak tadi adalah orang ke sekian kalinya yang mengira saya adalah guru. Di kantor, di angkot, di warung, di tempat cuci motor, hampir semua orang baru yang saya temui di Jakarta mengira saya adalah guru.Tetiba perasaan rindu untuk mengajar, kembali muncul. Ya, saya ingin kembali mengajar, suatu saat nanti. Saya akan menyiapkannya baik-baik karena bagi saya, mengajar itu bukan pekerjaan main-main. Bukan pula pekerjaan yang terakhir dipilih jika tidak bisa meraih pekerjaan lainnya. Mengajar harus dilakukan sepenuh hati. Mengajar harus menjadi pilihan pertama.






Selasa, 21 Oktober 2014

Saya dan Luqman

Adalah sudah ketentuan Allah, saya tumbuh tanpa mengenal siapa ayah saya. Apakah ini berarti Allah menyia-nyiakan saya? Dulu, ketika baru memasuki usia remaja, saya berfikir begitu. Namun, lambat laun fikiran semacam itu pudar walau kadang masih sekilas datang dalam bentuk bayang-bayang.

Saya memang tidak mengenal siapa ayah biologis saya. Tapi, Allah mengirim para ayah ideologis untuk mengiringi langkah saya. Adalah Pak Jangkung Suwargono, guru idola saya sewaktu SMP yang pertama kali saya anggap sebagai ayah ideologis. Adalah Pak Aris Yunanta, guru SMA menyusul kemudian. Juga, Pak Parimin Seno Raharja yang kehadirannya sangat berarti bagi kehidupan saya semasa menjadi mahasiswa. Belum lagi, Pak Taje Palna, ayah angkat saya di Bima yang tampak tulus menyayangi saya yang berlainan suku dan latar belakang ini."Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar-Rahman: 13)

Ada satu hal lagi yang menurut saya lebih penting dari kehadiran para ayah ideologis itu. Dialah Luqman, sosok ayah yang secara langsung Allah ceritakan lewat Al-Quran. Entah kenapa, tiap kali membaca surat Luqman ini saya hampir selalu tak bisa menahan tangis.

(Lukman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Luas, Maha Teliti. Wahai anakku! Laksanakan salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS: Al-Luqman: 16-19)"


Saya merasa kata-kata Luqman itu ditujukan untuk saya. Maka, selalu saja hati saya bergetar membacanya. Saya takzim, saya tunduk, saya tidak bisa berkata "tidak". Sami'na wa ato'na. Saya mendengar, maka saya ta'at.Terima kasih Ya Allah. Ini lebih dari cukup.

Senin, 20 Oktober 2014

Berkarya

Beberapa hari lalu saya menonton video TEDx Tokyo episode Naomi Kawase, seorang sutradara film dan penulis novel ternama di Jepang. Di dalam video yang saya download dari situs Youtube tersebut Naomi berbercerita tentang perjalanan hidupnya dari lahir hingga menjadi sutradara terkenal seperti saat ini. 

Di pedesaan di daerah Nara ia tumbuh dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Sejak kecil Naomi tidak pernah mengetahui siapa orang tuanya yang sesungguhnya. Dalam perjalanannya memasuki usia remaja, ia kemudian dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupannya. "Untuk apa saya lahir? Apakah sebaiknya saya tidak perlu ada di dunia ini? Saya ini sebenarnya siapa? Pertanyaan semacam itu terus menggelayut di fikiran mudanya.

Namun, lambat laun pemberontakan yang terjadi di dalam jiwanya itu teredamkan oleh kasih sayang yang begitu besar dari orang tua angkatnya. Ia sadar bahwa momen-momen kebersamaannya dengan orang tua angkatnya itu sangat berharga. "Yang seperti itu tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya, kan?"pikir Naomi suatu ketika. Saat itulah ia kemudian mulai membuat film dokumenter. Ia berharap melalui film ia bisa mengenang kembali peristiwa yang sudah terlewati. Rasa, nilai atau makna yang dulu ada dapat dihadirkan kembali saat ia melihat film dokumenternya. Awalnya memang sesimpel itu alasan Naomi membuat film.

Semakin lama Naomi menemukan bahwa sebagai karya seni, film adalah salah satu karya yang bisa dipakai oleh si pembuatnya untuk menyampaikan pesan tertentu. Maka, bagi Naomi, film tidak ada bedanya dengan alat komunikasi. Dengan kata lain, film adalah alat yang ia pakai untuk menuangkan ide dan perasaannya agar bisa ditangkap oleh orang umum. Kedalaman pesan yang ada di hampir semua film gubahannya inilah yang kemudian membuat Naomi beberapa kali menang di Festival Film Cannes, Perancis.

Jika Naomi membuat film untuk menyampaikan pesannya, maka Pramudya Ananta Toer menyampaikan pesannya dengan menulis novel. Penulis tetralogi Bumi Manusia itu pernah menulis, "Jika umurmu tak sepanjang dunia, maka sambunglah dengan tulisan...". Ya, merekalah seniman yang berkarya karena ada nilai dan pesan yang ingin mereka sampaikan. Maka, karya-karya mereka tidak lain adalah "pengingat" bagi para penikmat karya.

Lalu, bagaimana dengan kita? Sudah siap untuk berkarya atau masih merasa cukup menjadi penikmat karya?


Sabtu, 18 Oktober 2014

Asas Manfaat

Salah satu kecerian dari masa kecilku yang masih tersimpan rapih di memoriku hingga saat ini adalah keceriaan lebaran. Di desaku setiap lebaran tiba ada tradisi "bancakan" yaitu dibagikannya makanan (nasi+urap+telur) dan uang (semacam angpao) kepada anak-anak. Selesai bancakan di satu rumah, segera saja bergegas ke rumah lainnya, begitu seterusnya. "Habis dari sini, nanti tempat mbak Umini ya", demikian pemberitahuannya. Selesai di tempat mbak Umini, disusul pemberirahuan selanjutnya, "Ke tempat bude Tri ya." Saking semangatnya, kami kadang-kadang sampai harus berlarian. Kalau sudah kesusahan membawa nasi bancakan, kami membawa pulang dulu nasi itu lalu buru-buru meluncur ke tempat bancakan berikutnya. Di sela-sela itu, kami biasanya menghitung perolehan uang dan saling membandingkan satu sama lain. Dan anak yang memperoleh uang terbanyak biasanya akan merasa jumawa. 

Biasanya nasi bancakan yang kami peroleh itu tidak kami makan. Bisa dibayangkan harus memakan semua nasi itu? Dilihat dari jumlah nasi yang diperoleh, sudah bisa dipastikan kami tidak mungkin bisa menghabiskannya. Nasi-nasi itu pada akhirnya hanya menjadi makanan untuk ayam peliharaan. Ya, begitulah kenyataannya. Anak-anak seperti aku, obsesi tunggal mengikuti bancakan adalah untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Pada suatu lebaran, entah waktu aku kelas 5 atau 6 SD, ada seorang kerabatku yang melakukan terobosan baru dalam bancakan. Namanya mas Sriyono Aji, seorang insinyur pembangunan yang tengah merintis karir cemerlang di ibukota. Begitulah orang-orang di desa kami sering menyebutnya. Pada waktu itu, ia meminta ibunya untuk tidak perlu membagi-bagikan nasi bancakan dan uang untuk anak-anak karena ia sudah menyiapkan alat tulis lengkap (buku, pensil, pulpen, penghapus, penggaris dan wadah pensil). Setiap anak diberi satu set alat tulis lengkap itu. Aku dan teman-temanku sangat senang menerima itu. Dan ternyata alat tulis jelas bermanfaat untuk kami daripada uang yang kadang hanya kami gunakan untuk membeli jajan atau mainan.

Kebermanfaatan. Mungkin itulah pesan yang ingin mas Aji sampaikan untuk kami warga desa. Bertambah bilangan tahun, karir mas Aji semakin bersinar. Bahkan ia berhasil membuat perusahaan kontraktor sendiri dan merekrut pemuda desa kami untuk bekerja di perusahaannya itu. Sekali lagi, apa yang ia kerjakan adalah berlandaskan asas manfaat. Bahwa segala sesuatunya harus membawa manfaat untuk banyak orang.
Mengingat fragmen masa kecilku ini, membuatku spontan mengingat fragmen lainnya. Lebih dari setahun yang lalu, Pak Anies Baswedan pernah berpesan sesuatu pada kami Pengajar Muda angkatan IV yang baru saja purna tugas. Beliau mengatakan bahwa pekerjaan yang baik itu, memiliki 3 ciri. Pertama, secara sosial ia bermanfaat besar untuk orang banyak (socially impactfull). Kedua, secara ekonomi ia membuat kita mapan (financially strong). Ketiga, secara intelektual ia memacu kita untuk semakin cerdas (Intelectually growing).
Apakah ciri-ciri di atas sudah ada pada pekerjaanku sekarang? Hmm.... sepertinya belum. Baiklah, memang harus segera menulis ulang mimpi-mimpiku dan bersungguh-sungguh meraihnya. Bismillah.

Jumat, 17 Oktober 2014

Jaringan Kebaikan

Jumat itu, sama seperti Jumat-Jumat sebelumnya di semester gasal tahun ajaran 2004/2005. Tepat jam 11.00 siang berbunyilah bel tanda pulang sekolah. Bagi kami, bunyi bel yang hanya sepersekian menit itu adalah kemerdekaan. Ya, kemerdekaan dari soal-soal yang membuat kepala penat, kemerdekaan dari seharian duduk berjubel 40 siswa dalam sekelas, juga kemerdekaan dari guru yang killer.

Jumat itu, seperti biasa, Mariana, cepat-cepat bergegas mecegatku dan teman-teman putri lainnya yang menjadi anggota ROHIS. Untuk apa? Di sekolah kami, setiap Jumat sepulang sekolah selalu ada kajian kemuslimahan. Pesertanya adalah semua siswi yang menjadi anggota ROHIS. Sebagai anak kelas X, Mariana tergolong yang paling rajin hadir dalam kajian itu dan bahkan sangat bersemangat mengajak teman-teman lainnya. Seperti Jumat itu, ia sengaja datang ke kelasku dan berkata, "Jangan pulang dulu Dit. Ikut kajian dulu ya!"
Kok ada ya, orang yang sesemangat itu ikut kajian? Ikut kajian kan bikin ngantuk?, pikirku. Aku pribadi, tidak cukup antusias ikut kajian rutin tiap hari Jumat itu. Jadilah beberapa kali aku bolos dari kajian yang dipandu oleh alumni itu. Hehee.

Sejak kecil ibuku memang getol mendidikku untuk sholat 5 waktu dan puasa wajib. Akan tetapi, untuk hal-hal semacam mengikuti pengajian atau memakai jilbab, ibuku tidak terlalu fokus. Sejak masuk SMA aku memang sudah mulai memakai jilbab saat di sekolah. Tapi, itu bukan atas saran ibuku melainkan saran guru SMP-ku.

Semua pemahaman agama yang yang aku peroleh hingga hari ini adalah peran dari ibuku dan orang-orang di sekitarku, tak terkecuali Mariana. Ia, Mariana, punya peran besar dalam pembentukan karakterku sampai saat ini. Sejak kelas X ia tak pernah lelah membujukku ikut kajian. Pada semester 2, ia mengajakku mengikuti kegiatan Bina Remaja Muslim (BRM) di UNS Solo. Kegiatan itu diinisiasi oleh lembaga dakwah kampus UNS (JN UKHMI) yang bermarkas di masjid Nurul Huda. Di kegiatan yang hanya berlangsung 3 hari 2 malam itu aku mendapatkan banyak ilmu baru. Di sana, untuk pertama kalinya aku melihat video kondisi Palestina yang sesungguhnya. Aku sangat tersentuh, benar-benar tidak terlupakan sampai saat ini. Di sana pula, aku belajar tentang nikmatnya sholat tahajud. Juga, aku mulai paham tentang ukhuwah Islam. Bahwa umat Islam itu seperti satu tubuh. Jika ada satu bagian yang sakit, maka bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit juga. Saat itulah aku untuk pertama kalinya merasa sangat bangga menjadi muslim dan mencintai teman-temanku karena mereka muslim.

Saat kelas XI, aku dan Mariana sama-sama belajar di kelas Bahasa. Kami menjadi semakin akrab. Pada suatu hari, ia mengajakku untuk mendaftar sebagai penyiar radio di 106.7 Islamic Center Ibnu Abbas, Klaten. Alhamdulillah kami diterima. Disanalah aku punya kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang Islam. Lewat ajakan Mariana pulalah aku menjadi anggota FARISKA (Forum Rohani Islam Klaten) walaupun tidak terlalu aktif. Begitulah Mariana, ia selalu punya jaringan kebaikan dan selalu punya cara untuk menggandakan jaringan kebaikan itu.

Dan yang tidak bisa kulupakan dari masa SMA kami adalah, kenekatan kami untuk tetap mengenakan jilbab saat foto ijazah. Waktu itu, kepala sekolah melarang siswa-siswa untuk memakai jilbab untuk foto ijazah. Bagi yang tetap mau mengenakan jilbab, harus membuat pernyataan bahwa ia akan menanggung segala resiko yang timbul dari foto ijazah dengan jilbab. Karena Mariana keukeh dengan jilbabnya, aku pun mengikutinya. Pada saat itu, aku adalah anak yang selalu cukup berani mengambil resiko, pun untuk menandatangi surat itu. Aku tidak masalah. Tapi, mungkin aku tidak akan menandatangi surat itu dan justru mau melepas jilbab jika aku tidak tahu tentang esensi jilbab. Sekali lagi, lewat Mariana lah aku paham tentang jilbab dan esensinya. Masa SMA yang ditutup dengan pemahaman baru.
Mungkin, kita tidak menyadari bahwa ada tindakan kita di masa lalu yang membuat orang lain berproses menjadi lebih baik. Karenanya, aku menulis ini untuk sahabatku Mariana Suci Swastika yang sudah menjadi jalan bagiku untuk mengantongi pemahaman demi pemahaman. Terima kasih sahabat, semoga Allah selalu meringankan langkamu untuk menebarkan kemaslahatan untuk sebanyak-banyak orang sehingga jaringan kebaikanmu selalu berlipat ganda. Barakallah, sahabat.


Kamis, 16 Oktober 2014

Tami oh Tami

Dia dipanggil Tami. Nama panjangnya Uli Tri Utami. Aku pertama kali mengenalnya sekitar 12 tahun yang lalu, saat kami duduk di kelas yang sama yaitu kelas 2B SMPN 1 Karanganom. Saat itu kami tidak terlalu akrab. Dia masuk dalam golongan "anak gaul", sedangkan aku "anak rajin". Di sekolah kami, 2 golongan ini bak air dan minyak, tidak bisa bersatu.

Aku tidak punya kenangan khusus tentang Tami pada masa SMP kecuali saat kami seluruh anak kelas 2 mengikuti study tour di Bali. Waktu itu Tami memaksakan diri untuk tetap ikut pergi ke Bali padahal ia baru saja jatuh dari motor 2 hari sebelumnya. Jadilah selama study tour itu Tami berjalan terbata-bata karena masih ada luka di kakinya. Bahkan, saat naik-turun bus ia harus dibantu oleh teman-teman. Ya, itu saja yang ku ingat. Karena saat kelas 3 kami tak lagi duduk di kelas yang sama, praktis hampir tak ada komunikasi di antara kami.

Saat masuk SMA, tak disangka-sangka kami kembali menjadi teman sekelas. Lagi lagi kami tak terlalu akrab. Aku yang sedari kecil dilabeli sebagai "anak rajin dan prestatif" semakin ambisius saat SMA. Tiada hari tanpa belajar dan berorganisasi. Hampir tak pernah aku berfikir tentang main-main atau pacaran sebagaimana anak-anak gaul. Justru, saat itu satu label lagi melekat padaku yaitu "anak ROHIS".

Sebagai anak gaul, saat SMA ini Tami semakin menunjukkan eksistensinya. Dari cara berpenampilan misalnya, Tami me-rebonding rambutnya, memakai rok ketat dengan sabuk yang agak lebar, dan hem seragam dengan lengan sedikit pendek. Gaya seperti itu sangat populer di zaman itu.

Kami seolah hidup di dunia yang berbeda. Namun, siapa sangka setelah lulus SMA Tami berubah. Setelah lulus SMA, Tami berkuliah di UNY sedangkan aku di UGM. Pada suatu hari saat kami sudah semester 2 ia tiba-tiba menghubungiku dan betapa kagetnya aku saat akhirnya bertemu lagi dengannya. Ia sudah berjilbab rapih, lengkap dengan baju dan rok panjang nan longgar. Aku benar-benar sulit mempercayai perubahannya itu.

Tak berapa lama kemudian, kami bersepakat untuk mengontrak rumah bersama teman-teman muslimah lainnya. Kontrakan itu kami beri nama El-Zahra. Di tempat inilah kami bersama-sama belajar untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Rasa penasaranku terhadap perubahan Tami belum sepenuhnya terjawab hingga setahun kami di El-Zahra dan aku kembali dibuatnya tercengang saat ia memutuskan untuk nyantri di Ponpes mahasiswi Asma Amanina. Serius, Tam? Berkali-kali aku menanyakan tentang kesungguhannya.

Ternyata ia benar-benar mantap nyantri di bawah bimbingan Ustad Sholihun itu. Baiklah, aku mengapresiasi niatnya untuk menuntut ilmu. Semoga ia istiqomah, pikirku saat itu. Akan tetapi, tetap saja pertanyaan "kenapa" yang ada di benakku, belum tuntas terjawab.

Tanpa kami sadari, perlahan persahabatan kami berjalan samakin baik. Kami saling bercerita tentang apapun masalah kami. Kami menjadi pengingat satu sama lain. Kami tertawa dan menangis bersama. Akhirnya, benang merah proses hijrahnya Tami mulai sempurna terlihat. Ya, benang merah dari peristiwa batin yang amat panjang. Untungnya, rangkaian peristiwa batin itu mengantarkannya untuk mendekati Tuhannya. Semakin dekat dan terus mendekat.

Beberapa waktu yang lalu, Tami memintaku untuk menuliskan 3 hal baik yang ada pada dirinya yang sebaiknya dia lanjutkan. Maka, aku menulis tiga hal di bawah ini:
1. Tami selalu mendahulukan kepentingan sahabat daripada kepentingan pribadi
2. Tami selalu bersemangat mencari dan mendatangi majelis ilmu
3. Tami tidak pernah menyerah mengejar mimpi-mimpinya.

                                                                                            ***
Pada akhir Agustus lalu, Tami berhasil menjadi salah satu pemakalah di sebuah konferensi Internasional bidang pengajaran Bahasa Inggris di Kuching Malaysia. Sebelum itu, Tami sudah berkali-kali mencoba mengikuti kegiatan serupa namun belum berhasil. Konferensi di Kuching tersebut adalah debut pertamanya untuk go international. *Berasa seperti Agnez Mo, hehee*

Tami sahabatku, teruslah berproses menjadi seseorang yang semakin baik. Baik di mata Allah, juga baik di mata manusia.

Kamis, 02 Oktober 2014

Kondisi Akhir Terbaik

Tujuan besar Gerakan Indonesia Mengajar adalah untuk mengubah entitas perilaku masyarakat. Untuk itu, IM mengirim Pengajar Muda (PM) di sebuah daerah selama 5 tahun. Waktu 5 tahun itu sebenarnya mungkin belum cukup untuk mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. Namun, IM memiliki rencana gerak yang sistematis sehingga dalam waktu 5 tahun itu bisa dicapai kondisi akhir terbaik.

PM angkatan pertama di sebuah daerah mempunyai tugas ibarat pembabat lahan. Mereka memperkenalkan IM dan tugas IM kepada mitra langsung (siswa, guru, kepsek dan orang tua siswa) dan stakeholder di daerah, mulai dari tingkat sekolah, desa, kecamatan hingga kabupaten bahkan propinsi. Dalam tahap ini mereka seolah-olah sedang menunjukkan diri, "inilah kami" agar mitra langsung dan stakeholder berkenan menerima kehadiran mereka. Selesai setahun bertugas, PM angkatan pertama kemudian digantikan oleh PM angkatan ke-2. Pada tahan ini, PM bertugas menemukan local champion yang bisa diajak untuk bersama-sama membangun daerah mereka, terkhusus di bidang pendidikan. Pada PM angkatan ke-3, tugasnya masih hampir sama dengan angkatan ke-2. Sedikit perbedaannya, PM angkatan ke-3 lebih banyak menggali inisiatif local champion. Juga, mulai diwacanakan bahwa IM tidak akan selamanya mengirim PM ke daerah tersebut sehingga masyarakat harus menyiapkan diri ketika nanti PM sudah tidak ada. Selanjutnya, PM angkatan ke-4 mulai masif membuat program yang sustainable. Pada angkatan terakhir (ke-5), stakeholder sudah siap untuk berkembang secara mandiri sehingga apa yang kami sebut sebagai "kondisi akhir terbaik" dapat kita petik bersama.

Jika melihat rancangan terarah itu, sepertinya sangat ideal. Kami tentu saja ingin semua itu berjalan sebagaimana yang kami impikan. Akan tetapi, kondisi di lapangan yang tidak seragam dan sangat dinamis bisa saja membuat semua rencana itu tidak mengalir lancar. Meskipun demikian, kami percaya bahwa jika kami bekerja sungguh-sungguh pasti tetap akan ada hasilnya. Oleh sebab itu, setiap PM harus mengukur sejauh mana hasil kerja mereka di daerah. Capaian dambaan mana saja yang sudah bisa dilewati dan mana saja yang masih harus diteruskan oleh PM penggantinya. Borang-borang laporan pun diisi, berbagai indikasi kemajuan pun dianalisis sehingga pada tahap akhir dihasilkanlah the most significant change. Cerita-cerita perubahan itu terus dikumpulan agar kami bisa menilai apakah kondisi akhir terbaik yang kami cita-citakan itu sudah terwujud atau belum.

Ibarat anak tangga di sebuah gedung, kondisi akhir terbaik yang kami maksudkan itu kami posisikan di lantai 2. Sebagai titik awal adalah lantai satu dengan lima buah anak tangga menuju lantai 2. Setelah lantai 2, apakah masih ada lantai-lantai selanjutnya? Tentu! Di perjalanan menuju lantai-lantai yang lebih atas itulah para mitra langsung (siswa, guru, kepala sekolah, orang tua) dan stakeholder harus berjalan mandiri. Itulah yang kami mimpikan.

Setelah melewati pengalaman setahun menjadi PM angkatan ke-2 di Bima, saya mendapat banyak pelajaran berharga. Sebagai PM angkatan ke-2 saya di awal bertugas, membuat perencanaan kondisi akhir terbaik apa yang ingin saya capai. Jika rencana itu tidak terlaksana baik, maka dampaknya akan berpengaruh kurang baik terhadap beban kerja angkatan pengganti saya. Ya, hal ini karena pada dasarnya pekerjaan kami adalah pekerjaan estafet, sambung-menyambung dalam satu garis lurus. Maka, walaupun semangat, kreatifitas dan kondisi batin kadang tidak menentu, untungnya saya tetap bekerja sebaik yang saya bisa. Tentu saja, kekurangan masih tetap ada di sana sini yang kemudian disempurnakan oleh Diah, PM penerus saya. Masa tugas Diah pun sudah selesai dan saat ini Riri, PM angkatan ke-4 sedang sangat bersemangat bertugas. Semoga, Allah memberkahi usaha kami ini sehingga kondisi akhir terbaik bisa segera terwujud.
Ketika mengingat kembali tentang konsep "kondisi akhir terbaik ini", saya kemudian mengasosiasikannya pada kehidupan manusia secara utuh. Bahwa setiap anak tangga yang harus dilalui menuju kondisi akhir terbaik itu mewakili fase kehidupan yang harus dialami manusia. Seseorang yang belum mendapat pencapain terbaik di sebuah anak tangga, maka ia belum akan bisa naik ke tangga di atasnya. Atau dengan kata lain, jika belum mencapai kondisi akhir terbaik di anak tangga pertama, ia belum layak untuk naik ke anak tangga ke-2. Begitu seterusnya.

Sebagai contoh nyata, seorang perempuan muda dan single yang belum sampai pada kondisi akhir terbaiknya, maka ia belum layak untuk menikah. Jadi, untuk bisa menjadi layak menikah, si perempuan muda itu harus dengan segala daya upaya memperbaiki diri untuk mencapai kondisi akhir terbaiknya sebagai perempuan muda. Baru kemudian ia layak menikah.
*Eaaa, ujung-ujungnya ngomongin tentang nikah juga:-D