Translate

Rabu, 29 April 2015

Lego Turun-Temurun



Lego yang sedang dimainkan oleh anak ini adalah lego milik adik saya saat ia berusia satu tahun. Kini adek saya sudah berusia 17 tahun. Jadi, lego ini setidaknya sudah 16 tahun menghuni rumah kami. Walaupun jumlahnya sudah menyusut karena sudah banyak yang tercecer dan hilang, kondisi lego ini masih cukup baik dan bisa dimainkan.

Sampai hari ini, lego ini masih menjadi mainan favorit bagi anak-anak tetangga. Mereka yang memainkannya pun sudah berbeda generasi. Umumnya, mereka yang memainkan lego ini adalah anak-anak berusia di bawah enam tahun. Jika dihitung, entah sudah berapa puluh anak yang pernah berkreasi dengan mainan yang bisa menstimulus kreatifitas ini. 

"Awet dan bermanfaat", mungkin begitulah label yang bisa disematkan untuk mainan yang kala itu belum dijual di daerah kami, Klaten. Saya kemudian iseng mencari informasi di internet tentang harga mainan semacam ini sekarang, berharap bisa menambah koleksi yang sudah ada sehingga bisa dimainkan oleh anak-anak tetangga. Tapi, ternyata harganya... Duh, duh, duh...!

Arti Sebuah Panggilan



Halooo, perkenalkan, nama anak ini adalah Rafi. Ia sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Klaten bersama kakek neneknya dengan menumpang kereta api. Kebetulan, tempat duduk mereka berdekatan dengan tempat duduk saya di gerbong 3.  

Rafi tergolong anak yang sulit untuk bergaul dengan orang baru. Lebih dari tiga jam saya mencoba mengajaknya bicara, namun sepatah jawaban pun tak keluar dari bibir mungilnya . Setiap kali saya melontarkan pertanyaan padanya, "Rafi, itu lho ditanya sama Mbak. Jawab sayang!", begitu berulang-ulang sang nenek meminta anak yang belum genap berumur empat tahun ini agar menjawab pertanyaan saya.

Saya tak patah arang. Akhirnya anak ini mau menunjukkan perhatiaannya setelah saya mengajarinya berhitung dengan bernyanyi,

"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan
siapa rajin ke sekolah cari ilmu sampai dapat
sungguh senang, amat senang
bangun pagi-pagi sungguh senang"

Entah berapa kali saya mengulang lagu itu hingga akhirnya Rafi mau menggerakkan bibir menyanyikan lagu itu bersama saya. Kami juga menghitung tempat duduk yang ada di gerbong yang membawa kami ke Klaten ini. Lama-lama saya lelah dan mulai mengantuk. Tiba-tiba, Rafi memanggil-manggil saya, "Tante, tante, ayo nyanyi lagi!" Seketika itu saya senang karena usaha saya berjam-jam mengambil hati Rafi, berbuah juga. Tapi, tunggu dulu! Ada sesuatu yang aneh. Rafi memanggil saya dengan sebutan apa? Tante? Hey, bukankah tadi neneknya mengajarinya untuk memanggil saya dengan sebutan "Mbak"? Tapi kenapa Rafi memanggil saya "Tante"?

What does it mean?


Kamis, 23 April 2015

Suatu Petang di Jalan Galuh

Beberapa hari ini negara kita sedang menggelar hajatan besar, Konferensi Asia-Afrika. Puluhan kepala negara, kepala pemerintahan dan menteri hadir dalam acara yang dulu digagas oleh founding father kita, mantan Presiden Soekarno. Untuk memperlancar akses mobilitas para tamu negara itu, beberapa ruas jalan di Jakarta dan Bandung disterilkan dari kendaraan pribadi dan umum pada jam-jam tertentu. Imbasnya adalah, terjadi kemacetan yang luar biasa di jalan-jalan sekitar jalan yang disetrilkan karena adanya penumpukan kendaraan.

Rabu, 22 April kemarin, saya mempunyai kegiatan di kantor Indonesia Mengajar (IM) di Jalan Galuh II, Kebayoran Baru. Menjelang maghrib, metromini yang saya tumpangi terjebak kemacetan di Jalan Kyai Maja, dekat Kejaksaan Agung. Rencanaya, dari blok M saya akan naik Trans Jakarta dan turun di halte Bunderan Senayan. Namun, saya mendapat kabar bahwa jalur Busway koridor 1 (Blok M - Kota) masih ditutup dan baru akan dibuka jam 18.30. Tanpa pikir panjang, saya yang masih terjebak macet segera turun dari metromini kemudian berjalan kaki ke kantor Indonesia Mengajar. Saya nyalakan GPS dan Googlemaps untuk mencari jalan alternatif terdekat menuju kantor IM.  

Setelah berjalan kurang lebih 1,5 km, sampailah saya di tempat tujuan dengan nafas ngos-ngosan. Cepat-cepat saya mengambil wudhu untuk sholat maghrib karena itu hampir jam 18.30. Selesai sholat, saya mengobrol dengan Teh Nani dan Vivi yang datang beberapa saat setelah saya. Kemudian masuklah mas Icus, manajer divisi Pengelolaan Pengajar Muda dan Daerah (PPMD). Sudah hampir 2 tahun saya tidak bertemu dengan ayah satu anak ini. Terakhir kali bertemu adalah dua tahun yang lalu saat orientasi pasca penugasan Pengajar Muda (PM) angkatan IV. 

"Halo Mas Icus!", saya menyapanya. "Haloo", jawabnya singkat. Karena dulu semasa menjadi PM saya hanya remah-remah rempeyek di antara ratusan PM yang super keceh, saya beranggapan bahwa saya pasti kurang dikenal oleh punggawa IM. Makanya saya kemudian bertanya, "Pasti mas Icus gak ingat saya kan?" dengan muka yang sedikit merengut karena membayangkan jawaban yang akan keluar dari bibir mas Icus. 

Saat itu saya lelah karena sepulang kerja langsung meluncur ke kantor IM. Saya juga lapar karena saat itu adalah jam makan malam sedangkan saya belum sempat makan. Rasa lelah dan lapar ditambah bayangan akan jawaban mas Icus membuat suasana hati saya mengerut. Jika Mas Icus memang tidak ingat saya, lengkap sudah persayaratan yang bisa membuat saya bermuram durja (halah! opo to iki?)

"Ingatlah", jawab mas Icus tiba-tiba. Mata saya rasanya seperti mendapat tambahan daya setelah mendengar jawaban itu. "Hayo siapa nama saya?", saya belum percaya sepenuhnya. "Metias Kurnia Dita!", disebutkannya nama lengkap saya. "Huaaaaa.... Mas Icus ingat nama saya!", saya bersorak kegirangan. Bukan main senangnya hati saya karena saya "diingat". Lalu, Kak Shally yang ada di ruangan itu menimbrung, "Mas Icus mah ingat semua PM dan para pendaftar PM yang ribuan itu bahkan!" Saya yang masih larut dalam kebahagiaan, tak mengindahkan kata-kata Kak Shally. 

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya memang wajar Mas Icus mengingat saya karena beliau adalah manajer PPMD. Urusan per-PM-an tentu sudah nglothok di luar kepala. Namun, saya tetap bahagia. Bukan karena saya merasa "istimewa" sehingga layak untuk diingat, melainkan karena respos positif yang Mas Icus berikan. Apa jadinya jika kala itu beliau merespon, "Duh, maaf saya lupa. PM angkatan berapa ya?" Tentu saya akan benar-benar bermuram durja!

Lumrah juga sebenarnya jika kita melupakan orang yang sudah lama tidak kita temui, terutama mereka yang sebelumnya hanya sekali dua kali bertemu dan berkomunikasi langsung dengan kita. Namun ternyata, jika orang tersebut masih mengingat kita, itu menghangatkan perasaan kita. Maka, sejak malam itu, saya berniat untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan mas manajer PPMD ini. Walaupun ini mungkin sulit, karena harus melibatkan hati dan fikiran, saya akan mencoba. Yosh!


Foto saya comot dari website Indonesia Mengajar :-)

Rabu, 22 April 2015

Hadiah Terbaik

Pada suatu ketika, saya dan seorang teman saya menghadap Ibu Dekan untuk membicarakan kegiatan mahasiswa fakultas kami. Di tengah pembicaraan, sekretaris beliau tiba-tiba masuk ruangan dan mohon diri untuk menyampaikan sebuah pertanyaan pada orang nomor satu di fakultas kami ini. Mas sekretaris itu bertanya tentang hadiah apa yang akan diberikan untuk "tamu fakultas" yang keesokan harinya akan datang. Ibu Dekan pun menjawab, "Buku saja". 

Setelah selesai berbicara dengan sekretarisnya, Ibu Dekan menjelaskan kepada kami bahwa hadiah terbaik adalah buku. Saya tidak ingat redaksi lengkap kata-kata beliau saat itu. Yang saya ingat adalah point-nya yaitu, "hadiah terbaik" dan "buku". Sejak saat itu, saya mengikuti jejak beliau untuk memberikan hadiah berupa buku pada teman atau kenalan saat momen bahagia mereka. 

Sebagai seorang muslim, saling memberi hadiah adalah sesuatu yang disunnahkan. Hadiah yang akan diberikan pun sebaiknya benar-benar kita pilihkan barang yang terbaik. Bagi Ibu Dekan, yang terbaik itu adalah buku. Ini berarti bahwa Ibu Dekan menaruh penghargaan yang tinggi terhadap buku. "Sebegitu berharga kah buku?" pikir saat kala itu. Pasti ada something valuable di dalam buku sehingga Ibu Dekan sedemikian getolnya berpendapat bahwa book is the best gift.  Dari sana, penghargaan saya terhadap buku perlahan meningkat. 

Saya yang saat itu belum cukup gemar membaca buku non-textbook kuliah mulai termotivasi untuk melirik buku-buku umum. Saya mulai mengisi waktu luang saya untuk berkunjung ke perpustakaan dan membaca buku. Alih-alih menonton film, saya lebih suka menghabiskan waktu luang saya untuk membaca buku. Bisa leyeh-leyeh di atas kasur sambil melahap lembar-demi lembar buku adalah kesempatan yang paling menyenangkan. Saya menemukan pleasure tersendiri bersama buku. 

FYI, pekan lalu saya ulang tahun. Tapi kok gak ada yang menghadiahi saya buku ya? :-p




Sabtu, 18 April 2015

Judul yang Klise: Bahagia Itu Sederhana

Sari, teman sekantor saya suatu ketika pernah berkata, "Gajian tuh kayak menstruasi ya Dit!". "Hah? Maksudnya?", saya mengernyitkan dahi karena mendengar perumpamaan yang anti-maistream itu. "Iya, maksudnya, seminggu udah habis!", jelas Sari. "Haha, bener juga sih kalau dipikir-pikir ya!"

Sebagai buruh kantoran yang sudah beranjak dewasa (baca:tua :-p), kebutuhan kami rasa-rasanya sudah semakin meningkat. Ada pos-pos kebutuhan di luar kebutuhan pribadi yang mesti dipenuhi. Dan tentu saja, ini menuntut diri untuk semakin panjang akal mengatur neraca keuangan agar tidak besar pasak daripada tiang. Tentang atur-mengatur uang ini, Tami, sahabat saya pernah berkata, "Aku lho Dit, duit ki nganti tak jereng-jereng siji-sji". (Aku lho Dit, uang sampai aku bentangkan satu persatu). 
Ilustrasi njereng-njereng duit.
Sumber gambar : http://marketeers.com/img/uploads/Media/FicfBQ_RUPIAH.jpg
Awalnya saya tidak paham dengan istilah yang Tami pakai itu dan malah berkomentar seperti ini, "Waaaah, uangmu banyak berarti ya Tam?" Lalu Tami menimpali, "Bukan gitu Dit! Maksudnya, setiap lembar uangku tuh udah ada pos yang menunggu buat diisi. Jadi, istilahnya sampai harus ku bentangkan satu per satu gitu!", jawab Tami dengan nada gemas. "Haha, berarti nasib kita masih sama Tam!", respos saya dengan nada bangga karena punya teman senasib sepenanggungan.

Walaupun masih berpenghasilan pas-pasan --dan sampai njereng-njereng duit--, saya tetap bersyukur karena selalu cukup, tidak sampai kekurangan.  Saya jadi teringat kata-kata Ust Sholihun ketika mengisi KRPH (Kajian Rutin Pagi Hari) di masjid Mardlyah Kampus UGM, "Kita sebaiknya selalu berdoa agar rezeki kita cukup. Cukup untuk naik haji, untuk berkurban, beli rumah, beli mobil dsb". Doa yang sangat bagus, kan? Mari kita ikuti doa seperti itu! :-)

Sekali lagi, walaupun saat ini masih demikian adanya, saya bersyukur karena dianugerahi niat dan kesempatan untuk bersedekah. Niat ini mulai terbit di hati saya karena pengaruh sahabat-sahabat saya yang sangat "gila" bersedekah. Mereka tak pernah menyuruh saya bersedekah. Saya melihat langsung dan kadang mendengar kegiatan sedekah mereka. Ini membuat hati saya terdorong untuk ikut bersedekah. Ternyata, dengan bersedekah --walaupun dengan nominal yang tidak seberapa--, entah kenapa saya menjadi merasa kaya. Selain itu, dengan bersedekah, saya sering mengalami keajaiban yang tidak terduga. (Cerita tentang keajaiban ini saya dan teman-teman saya tulis dalam blog tersendiri yang akan segera kami launch).

Saya tau betul manfaat sedekah. Akan tetapi, saya terkadang masih berat hati melakukannya. Setelah mendengar cerita tentang sedekah seorang teman misalnya, saya biasanya langsung terlecut untuk bersedekah, "Oke, besok pagi saya mau kasih uang sarapan pada petugas penyapu jalan!" Keesokan harinya, ketika perjalanan menuju tempat kerja dan bertemu petugas penyapu jalan, tiba-tiba niat sedekah mengendur, "Ah, nanti-nanti aja deh." Untungnya, beserta bisikan negatif itu, datang bisikan lain, "Kalau gak sekarang, nanti malah gak jadi lho! Kita gak tau apa nanti-nanti masih punya kesempatan buat sedekah!". Kalau sudah begini, saya cepat-cepat mengerem motor yang saya kendarai dan berhenti di dekat sasaran sedekah saya. Setelah itu, yang tersisa dalam hati saya hanya perasaan bahagia. Bahagia itu memang sederhana ya!

Menurut saya, bisa memiliki niat dan kesempatan untuk bersedekah itu adalah nikmat yang luar biasa. Tidak semua orang bisa sering-sering memperoleh nikmat semacam itu. Semoga Allah Sang Penggenggam hati selalu mengaruniakan nikmat itu kepada kita. 


Selasa, 14 April 2015

Maemuki

Pagi ini, Tami, sahabat saya, pulang ke Klaten setelah dua malam menginap di kos saya. "Aku kok gak nyangka ya Dit, tiba-tiba udah di Jakarta dan ini udah mau pulang lagi. Hidup tuh memang cuma kumpulan perjalanan yo!", begitu kata Tami. Saya yang sedang sibuk bersiap-siap untuk pergi ke kantor kurang fokus pada pembicaraan Tami itu sehingga saya hanya menimpali ringkas. Namun, kata-kata Tami itu menempel di kepala saya sesiangan ini. 

Dan ya, hidup adalah perjalanan. Kita tidak tahu kemana takdir akan membawa kaki kita melangkah esok hari. Singgah ke tempat seperti apa, bertemu dengan orang-orang semacam apa, kita tidak tahu. Ketidaktahuan itu kadang membuat kita khawatir dan tidak tenang. Khawatir dengan lingkungan baru, pekerjaan, rezeki, masa depan dan mungkin jodoh. #eh! 

Karena merupakan perjalanan, hidup identik dengan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang baru. Bagi sebagian orang, tempat baru membawa harapan baru. New place, new hope, begitu katanya. Dan "harapan baru" itu tentu saja adalah harapan yang baik-baik. Akan tetapi, kenyataan yang akan datang itu bisa jadi melenceng dari harapan. Itulah kenapa setiap kita akan memasuki fase perjalanan yang baru, kita perlu memohon kepada Allah agar selalu ditempatkan di tempat yang diberkahi. Sebagaimana doa yang Allah ajarkan kepada Nabi Nuh sebelum menaiki bahteranya, Dan berdoalah, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.(QS. Al Mukminun: 29). 

Selain terus berdoa, hal terbaik yang bisa kita lakukan dalam perjalanan yang kita tidak tahu hingga kapan akan berujungnya ini, tidak lain adalah terus berjalan ke depan dengan semangat yang positif. Maemuki, begitu kata orang Jepang. Secara leksikal, maemuki berarti facing forward, positively. Secara konteks, frasa ini sering dipakai untuk menggambarkan seseorang yang punya semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh dalam menghadapi hidup. Ia melakukan segala sesuatunya (misalnya dalam karir dan studi) dengan usaha terbaik bahkan melebihkan usaha di atas rata-rata orang kebanyakan. 

Apakah kita terus-menerus bisa maemuki? Tentu tidak, karena hidup adalah sesuatu yang dinamis. Bisa jadi hari ini kita merasa sangat bersemangat dan bisa tertawa lebar, besok sudah menangis pilu (halah!:-p). Saya jadi teringat kata-kata tetangga saya saat saya pulang ke kampung halaman dua bulan lalu, "Kudu semangat yo mbak. Kalau bukan kita sendiri yang menyemangati diri kita, lalu siapa lagi?" Namun sayangnya, ada kalanya kita kesulitan membuat diri kita bersemangat. 

Saat ini saya sedang dalam kondisi batin yang cukup bersemangat. Makanya, saya membuat tulisan ini agar nanti bisa saya baca lagi ketika semangat maemuki mulai tergerus. Mudah-mudahan ini bisa bisa menjadi pemantik bagi saya untuk maemuki. Semoga.



Sumber gambar : http://plaza.rakuten.co.jp/himawari6017/

*Terima kasih untuk sahabat saya, Rida, yang sudah memberi tahu saya tentang maemuki ini. :-)

Jumat, 10 April 2015

Perhatian Sederhana

Telepon genggam saya bergetar, ada panggilan masuk. Saya ragu untuk mengangkat karena nomor asing yang nampak. Namun kemudian saya angkat. Baru sepatah kata "hallo" saya ucapkan, tiba-tiba di ujung sana menyahut, "Ibuuu... hayo tebak ini siapa?" Hmm.. ini pasti murid saya sewaktu tugas di Bima. Tapi, siapa ya? Suaranya terdengar besar seperti orang dewasa. Setelah mengingat-ingat gaya bicaranya, tahulah saya bahwa dia Rika, gadis kecil yang dulu saya ajar ketika ia duduk di kelas IV. Kini ia sudah hampir lulus dari kelas VI.

Mungkin sudah lebih dari enam bulan kami tidak berbicara melalui telepon. Jadilah kali ini kami saling tanya kabar dan bercerita tentang kondisi masing-masing untuk melepas rindu. Di tengah pembicaraan,  bertanyalah anak ini pada saya, "Ibu, siapa ya yang ulang tahun tanggal 17 April?" Dari nada bertanyanya, ia sedang mengajak saya bercanda. Maka, saya pun balas dengan bercanda juga, "Aduh, siapa ya? Ibu lupa ni. Coba Rika kasih tau ibu bagaimana ciri-ciri orang yang akan berulang tahun tanggal 17 April itu!" Kemudian diceritakanlah satu per satu ciri-ciri orang itu sesuai dengan kesan yang masih terekam dalam ingatannya.

Sayalah si orang yang ia sebutkan ciri-cirinya itu. Seketika itu perasaan hangat menembusi hati saya. Bagaimana mungkin anak yang sudah hampir 2 tahun tak bertemu dengan saya masih mengingat ulang tahun saya? Mengapa pula anak ini seolah sengaja menelpon saya , memberikan tebakan tentang tanggal 17 April itu?

Perhatian. Mungkin itulah yang ingin ditunjukkan Rika pada ibu gurunya ini. Dan ya, saya senang menerima itu. Tidak hanya saya, mungkin orang lain pun akan senang menerima perhatian semacam itu. Nampaknya sederhana, namun ternyata bagi si penerima perhatian, itu bisa mendatangkan kebahagiaan. Ah Rika, hari ini Rika sudah mengajari ibu tentang "memberikan perhatian pada orang-orang sekitar."

Ini pun kemudian mendorong saya untuk mengirim pesan singkat pada teman-teman yang sudah lama tak saya temui untuk sekedar bertanya kabar. Sebagaimana hati saya yang basah oleh perhatian Rika, semoga perhatian sederhana saya pada teman-teman saya membuat basah pula hati mereka. 


Rika dan Nifa


Selasa, 07 April 2015

Kami yang Berhutang pada Pendidikan

"Kebangkitan kelas bawah Indonesia itu tidak akan tercapai tanpa pendidikan",
 Iwan Setyawan (Penulis buku 9 Summers 10 Autums)

                                                                                                ***

Walaupun terletak di wilayah pedesaan, SMPN 1 Karanganom, tempat saya dulu bersekolah, termasuk sekolah favorit di kabupaten kami. Maka pantaslah jika siswanya tidak hanya berasal dari Kecamatan Karanganom, tetapi dari beberapa kecamatan sekitar juga.  

Saat pendaftaran siswa baru, awalnya saya sangat yakin bisa diterima karena NEM saya tertinggi di SD saya. Namun, nyali saya perlahan menciut setelah mengetahui NEM saingan-saingan saya. Walaupun sempat ketar-ketir tak akan lolos, alhamdulillah akhirnya saya lolos.

Saat pertama kali masuk kegiatan MOS, saya mengalami suatu keadaan yang mungkin bisa disebut sebagai cultural shock. Secara penampilan, teman-teman saya nampak seperti anak kota. Tas dan sepatu mereka bermerk. Demikian pula alat-alat tulisnya. Cara mereka bicara pun beberapa memakai Bahasa Indonesia, bahasa yang saat itu terasa sangat asing bagi lidah saya (karena saya terbiasa berbicara dalam Bahasa Jawa). Secara akademis, NEM mereka jauh di atas saya. Lalu, secara tinggi badan, betapa kagetnya saya setelah menyadari bahwa di antara anak perempuan di kelas kami, sayalah yang paling pendek. Ingat betul saya saat upacara pembukaan MOS, seorang teman mendorong saya dengan cukup keras agar saya berdiri di baris paling depan karena sayalah yang terpendek di antara yang lain. Pilu betul hati saya saat itu.

Belum lagi saat pelajaran di kelas. Perhatian guru-guru itu umumnya lebih condong kepada siswa-siswa yang secara penampilan (fisik) menarik. Terlebih pada mereka yang menarik secara fisik sekaligus berotak encer. Bahkan sering ketika saya berjalan bersama dengan teman-teman saya dan berpapasan dengan guru, kami pun menyapa guru tersebut. Betapa ngilunya perasaan saya ketika guru tersebut mengingat nama teman-teman saya sedangkan nama saya tidak. Dalam hati saya berkata, maukah saya terus menerus menjadi siswa yang tidak dilihat oleh orang-orang sekitar? Lalu, bagaimana bisa saya "sejajar" dengan mereka yang kaya, cantik/tampan sekaligus pintar itu?

Maka saya kemudian bertekad untuk menjadi siswa yang berprestasi karena itulah satu-satunya cara agar saya bisa "sejajar" dengan mereka. Saya belajar seperti orang kesetanan. Di kelas, saya selalu berusaha berkonsentrasi penuh. Jika ada hal yang tidak saya pahami, saya tak malu bertanya pada guru. Sepulang sekolah, saya menyelesaikan semua PR dan mengulangi membaca catatan yang hari itu diberikan oleh guru. Malam harinya saya membaca materi pelajaran yang besok akan diajarkan. Bangun saat azan subuh berkumandang, lalu bergegas sholat subuh kemudian belajar lagi, membaca pelajaran yang nanti akan diajarkan. Begitu setiap hari. Di akhir minggu, saya ulangi membaca pelajaran yang seminggu kemarin. 

Usaha ini ternyata membuahkan hasil, saat catur wulan pertama, saya mendapat ranking 1 walaupun nilai saya hanya terpaut koma dengan teman saya yang rangking 2. Teman-teman sekelas tidak ada yang menyangka saya mendapat rangking 1. Begitu pun saya, hampir-hampir saya tak percaya melihat hasil ini. Sejak itu teman-teman mulai "melirik" saya. Guru-guru pun tidak lagi memandang saya sebelah mata. Sampai-sampai oleh guru Bahasa Indonesia saya mendapat julukan "kecil-kecil cabai rawit". Dari sanalah terbit rasa percaya diri pada saya.

Sampai lulus SMP, alhamdulillah saya selalu berada di rangking 3 besar di kelas. Saya juga beberapa kali mewakili sekolah untuk mengikuti perlombaan di tingkat kabupaten dan menyumbangkan piala untuk sekolah. Karena prestasi ini, selama tiga tahun penuh saya mendapat beasiswa prestasi dari pemerintah. Maka, saya pun semakin mantap bahwa pendidikan adalah adalah jalan bagi saya untuk "naik kelas", dari seorang anak desa yang nothing menjadi something

Pola perbaikan diri yang saya pelajari sejak bangku SMP ini terbawa hingga masa-masa selanjutnya. Ini pula yang mendorong saya untuk berani melangkah ke bangku kuliah hingga lulus dengan predikat Cummlaud dari kampus tertua di negeri ini. 

Saat ini mungkin saya belum menjadi siapa-siapa. Namun, untuk ukuran orang desa yang berasal dari kelas bawah seperti saya, pencapaian saya hingga detik ini adalah hal baik yang sangat perlu disyukuri. Apa jadinya jika dulu saya tidak bertekad untuk mengejar pendidikan hingga menjadi sarjana? Maka nyatalah apa yang dikatakan oleh Iwan Setyawan sebagaimana yang saya kutip di awal tulisan ini. 

Selain nikmat iman dan kesehatan, satu lagi nikmat yang selalu saya syukuri hingga kini adalah nikmat ilmu. Sekedar syukur dalam hati dan lisan tidaklah cukup. Inilah yang membuat saya tergerak untuk merintis komunitas BOOK FOR MOUNTAIN bersama teman-teman saya di UGM. Saya juga bergabung sebagai Pengajar Muda di Indonesia Mengajar karena dorongan ini pula. Saya ingin anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan senikmat yang saya kenyam selama ini. Hati saya selalu kelu ketika mendengar ada anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena keterbatasan biaya. Oleh karenanya, saya selalu berusaha berbagi semangat pada mereka agar mereka berani bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Ya Allah, luaskan ilmu dan rezekiku serta ringankan tanganku untuk terus berbuat sesuatu untuk anak-anak Indonesia!


Senin, 06 April 2015

Memilah Langkah

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah tulisan teman saya di blog pribadinya. Kali itu ia menulis dengan sangat dalam. Kata-katanya sangat menyentuh hati. Saat itu dia memang sedang menghadapi masalah yang cukup serius. Masalah itu kemudian ia tuangkan ke dalam tulisan yang sangat bernyawa. Saya kemudian mengirimkan pesan singkat padanya, "Orang kalau lagi tertekan emang bisa membuat karya yang keren ya! Hehe.." Lalu, teman saya itu pun menimpali, "Jadi, harus tertekan dulu ya?"

Saya kemudian teringat para tokoh-tokoh yang menghasilkan karya-karya hebat saat diri mereka berada dalam situasi sulit. Dari zaman penjajahan Belanda misalnya, kita mengenal sederet nama tokoh yang menorehkan karya-karya hebat dalam masa perjuangan melawan kolonialisme. Abdul Muis misalnya. Sebagai seorang wartawan, ia kerap kali menulis kritik yang tajam kepada pemeriatah Hindia Belanda melalui berbagai surat kabar masa itu. Ia juga berpidato ke daerah-daerah untuk mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Karena tindakan-tindakannya itu, Abdul Muis diasingkan ke daerah Garut, Jawa Barat. Dalam masa pengasingan tersebut ia justru bisa menghasilkan novel yang hingga saat ini masih diajarkan di bangku SMA yaitu Salah Asuhan.

Di zaman selanjutnya, kita mengenal Pramoedya Anantatoer. Ia berhasil membuat novel tetralogi Bumi Manusia yang dahsyat saat ia 14 tahun dibuang di Pulau Buru. Tetralogi tersebut kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Karya-karyanya itu bahkan telah mengantarkannya sebagai satu-satunya warga negara Indonesia yang pernah masuk dalam daftar kandidat penerima nobel sastra.

Lalu, Asma Nadia, penulis puluhan novel Islami best seller. Siapa sangka jika ternyata ibu muda ini sejak usia remaja sudah sakit-sakitan hingga kini. Sakitnya pun bukan tergolong ringan. Gagar otak, lemah jantung dan tumor pernah dideritanya sehingga membuatnya keluar-masuk rumah sakit. Semua penyakit yang dideritanya itu memang melemahkan tubuhnya tapi tidak melemahkan pikiran dan jiwanya untuk terus berkarya. Selain menyandang gelar best seller, novel-novel kaya Asma Nadia sudah banyak yang diangkat ke layar lebar seperti Emak Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela dan Asslamu'alaikum Beijing.

Itu adalah contoh orang-orang yang menghadapi kesulitan hidup dengan sikap postitif. Mereka tak larut dalam kesedihan yang menciutkan hati, mematikan cita-cita. Mereka justru menjadikan perasaan sakit, kecewa, tertekan mereka sebagai bahan bakar untuk menghasilkan karya yang bermanfaat untuk banyak orang.

Setiap orang pasti mengalami kesulitan dalam hidup. Macam-macamlah jenisnya. Ada dua pilihan setelahnya: menyerah dengan keadaan atau bangkit untuk terus berkarya. Selalu mudah untuk menyerah. Sebaliknya, ada saja hal-hal yang membuat sulit untuk bangkit. Jadi, mau memilih yang mana kamu, Dita?



Jumat, 03 April 2015

Kami Perlu Tau

Saat ini masyarakat dunia tengah bertransformasi menuju paperless society (masyarakat tanpa kertas). Produk tulisan yang dicetak di atas kertas berangsur-angsur diubah menjadi halaman maya. Surat kabar misalnya. Hampir semua surat kabar cetak kini telah mempunyai versi mayanya yang bisa diakses melalui koneksi internet secara daring (online). Bahkan, ada pula yang hanya memiliki situs berita daringnya saja, tanpa memiliki versi cetaknya.

Sumber berita daring memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pendahulunya, berita cetak. Salah satu keunggulan tersebut adalah kemudahan dan kecepatan aksesnya. Berita yang baru saja selesai ditulis, bisa segera diunggah ke situs daringnya kemudian dalam hitungan menit langsung bisa dinikmati oleh khalayak. Inilah yang kemudian membuat sebagian masyarakat memilih situs berita daring ketimbang media cetak.

Sumber grafik dapat dilihat di sini
Seperti yang terbaca dari hasil survei atas kerja sama BPS (Badan Pusat Statistik) dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) akhir tahun 2013 ini. Survei dilakukan dengan sasaran pelaku industri dan rumah tangga/konsumen perorangan. Hasil survei menunjukkan bahwa penggunaan internet terbasar (95%) yaitu untuk mengirim atau menerima e-mail. Satu peringkat dibawahnya adalah penggunaan internet untuk mencari informasi berita (78%). Hal ini menunjukkan bahwa berita daring cukup diminati oleh masyarakat.

Ada ribuan (atau mungkin bahkan jutaan) situs berita daring di negara kita. Pengelola situsnya pun ada yang jelas, ada pula yang anonim. Maka, dalam hal ini konsumen berita daring harus ekstra hati-hati dalam menyaring isi sebuah berita, terutama berita yang dikeluarkan oleh situs daring yang tidak jelas siapa penulis dan redaktur beritanya.

Sebenarnya, batasan konten situs daring sudah diatur dalam UU ITE (Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Apa saja konten yang dilarang pun sudah tertulis di Bab VII UU tersebut. Walaupun begitu, tetap saja ada situs-situs tertentu yang dengan terang-terangan ataupun tersirat memasukkan sebagian hal yang dilarang. Maka, untuk menanggulanginya, UU ITE menyantumkan Bab X yaitu tentang Penyidikan. Tujuannya adalah untuk mengadakan penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU tersebut. Atau dengan kata lain, semua hal yang dikategorikan sebagai tindak kejahatan (sebagaimana yang tertera di Bab VII) seharusnya diproses secara hukum (sebagaimana yang tertulis di Bab X).

Baru-baru ini kita mendengar bahwa ada penghapusan belasan situs internet yang berhaluan Islam oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika. Alasan penghapusan situs-situs tersebut adalah karena situs-situs tersebut terindikasi terkait dengan radikalisme. Kalau memang benar terkait radikalisme, apa bukti keradikalannya? Bagian mana konten informasi/berita dalam belasan situs tersebut yang mengarah ke sana? Apakah penghapusan ini sudah melalui proses penyidikan dan proses hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UU ITE? Publik perlu tau tentang itu.

Era memang sudah berubah. Namun, satu hal yang sepertinya masih sama terjadi dari masa ke masa, yaitu pembredelan sumber berita. Dulu, pada masa Demokrasi Terpimpin, Majalah Panji Masyarakat yang dikomandoi Alm Buya Hamka dibredel karena memuat karangan mantan Wakil Presiden Moh Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita", pada Mei 1960. Lalu, pada masa Orde Baru, Majalah Tempo juga mengalami nasib yang sama, dibredel oleh rezim yang tengah berkuasa. Kini, ketika media daring menggeser media cetak, ternyata "pembredelan" pun masih dilakukan. Justru caranya jauh lebih gampang. Dengan hanya meminta ke ISP untuk menghapus situs tertentu, maka tamat sudah riwayat situs malang tersebut.

Kalau sudah begini, kadang saya merasa sedih.


*Kutipan UU ITE bisa dibaca di sini

Rabu, 01 April 2015

Musim Buah

Akhir-akhir ini para pedagang buah di pasar-pasar tradisional sedang kebanjiran buah lokal. Rambutan, duku, durian, manggis, alpukad, sawo, cempedak, nangka dijajakan dengan harga yang cukup murah. Sawo misalnya, beberapa hari lalu saya membeli dengan harga Rp 12.000/ kg. Jika dibandingkan dengan harga buah impor, tentu saja buah lokal jauh lebih murah. 

Tentang buah lokal ini, atasan saya (seorang warga negara Jepang) pernah memuji, "Di Indonesia ada banyak buah lokal ya! Enak-enak rasanya." Dalam hati saya mengamini. Keanekaragaman buah tropis yang kita miliki ini tentu wajib kita syukuri.

Beberapa hari lalu saya menonton tayangan program Satu Indonesia di NetTV yang mana saat itu narasumbernya adalah Mantan Presiden BJ Habibie. Salah satu makanan kesukaan beliau ternyata adalah apel malang. Karena rasanya yang sedikit kecut, beliau biasanya memakannya dengan cara diiris-iris lalu digoreng campur dengan tepung dan gula, mirip seperti pisang goreng. Kenapa beliau tidak memilih apel impor yang besar-besar ukurannya dan manis rasanya? Ternyata alasannya adalah karena beliau ingin membantu petani buah lokal sehingga produksinya terus berlanjut. 

Sebagian kita justru lebih memilih membeli buah impor daripada buah lokal. Alasannya bisa jadi karena buah impor dijajakan di supermarket-supermarket yang bersih dan ber-AC. Buahnya pun dikemas dengan sangat menarik. Sangat berkebalikan dengan buah lokal yang dijajakan di pasar tradisional dan di pinggir jalan yang semrawut. Jangankan dikemas menarik, cara menaruh buahnya pun biasanya asal-asalan. Ini mungkin yang membuat sebagian orang malas melirik buah lokal. 

Atau bisa jadi, orang yang memilih membeli buah impor itu sebenarnya sudah bosan dengan buah lokal. Kebiasaan sebagian manusia memang ingin menikmati yang "berbeda" dengan yang sudah ada. Seperti yang saya baca dalam buku The Naked Traveler yang ditulis oleh Trinity. Saat berlibur ke Pourto Rico, Trinity (orang Indonesia) satu bus dengan rombongan turis dari Amerika. Pemandu wisata mereka menjelaskan bahwa mereka sudah memasuki perkebunan pisang. Seketika itu, para turis Amerika langsung turun dari bus dan dengan penuh antusias berfoto di kebun pisang itu. Trinity hanya duduk di dalam bus. Ia pun kemudian ditanya oleh salah seorang turis lainnya kenapa ia tidak turun. Maka ia pun menjawab, "Aku memiliki kebun pisang di belakang rumahku!"

Jadi, bukankah kita sangat beruntung lahir dan dibesarkan di negeri yang kaya akan buah-buahan tropis? Ayo kita biasakan membeli buah lokal ya!


Sumber gambar : http://spirit.web.id/manfaat-buah-sawo-bagi-kesehatan