Translate

Kamis, 29 Januari 2015

Ketika Bunuh Diri Dianggap Sebagai Pilihan Terbaik

Kemarin saat saya mengajar Bahasa Indonesia pada seorang staf Jepang di kantor saya, tiba-tiba berbeloklah obrolan kami pada fenomena bunuh diri yang terjadi di Jepang beberapa tahun terakhir ini. "Sudah biasa ya. Orang Jepang jisatsu (bunuh diri). Orang tidak ada uang, orang pusing, orang ada masalah, mereka pilih mati", staf Jepang tersebut menjelaskan dengan mimik muka datar, seolah memang semua itu adalah hal yang lumrah dan dimaklumi.

Saya memang sudah cukup sering mendengar tentang fenomena bunuh diri di Jepang. Bagaimana bisa negara semaju Jepang mempunyai kasus bunuh diri yang demikian tinggi? Tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah yang berusaha mengupas fenomena jisatsu. Tulisan ini hanyalah uneg-uneg yang bersifat sangat subyektif.

Sejak berkuliah di Jurusan Sastra Jepang, saya menjadi sering bertemu dan berkomunikasi dengan Orang Jepang. Dari obrolan kami, saya tau bahwa gambaran "kehidupan setelah mati" tidak ada dalam benak Orang Jepang pada umumnya. Ajaran tentang "kehidupan setelah mati" yang notabene bersumber dari ajaran "agama Tuhan" sepertinya cukup sulit masuk dalam pikiran mereka. Ini karena secara umum Orang Jepang menjadikan agama sebagai gaya hidup (lifestyle) saja, bukan pedoman hidup. Mereka lahir sebagai Shinto, menikah di Gereja dan mati sebagai Buddha. Mereka mengenal konsep surga (tengoku) dan neraka (jigoku). Menurut pengetahuan mereka, orang yang baik akan masuk surga sedangkan orang jahat akan masuk neraka setelah meninggal. Lalu, bagaimana kalau meninggal dengan cara jisatsu? arwahnya akan kemana? 

Karena agama hanya dipakai sebagai lifestyle, orang Jepang tidak terlalu memikirkan kehidupan setelah mati. Ada yang percaya tentang surga dan neraka, ada yang percaya reinkarnasi, ada pula yang percaya bahwa mati adalah akhir dari segalanya (tidak akan terjadi apa-apa lagi setelah mati). Namun, kesemuanya itu umumnya tidak diimani sepenuhnya dalam hati, hanya sekedar percaya. Apa sebabnya bisa demikian? Ini mungkin karena pendidikan agama tidak diajarkan di sekolah-sekolah formal di Jepang. 

Saya tidak hendak memperlebar pembahasan tentang sebab kenapa sekolah-sekolah formal di Jepang tidak mengajarkan pendidikan agama. Saya hanya ingin mengaitkan fenomena bunuh diri dengan kepercayaan orang Jepang. Mungkin, (sekali lagi saya menggunakan kata "mungkin" karena analisis ini sangat subyektif) bunuh diri akhirnya menjadi pilihan yang dianggap terbaik karena pengetahuan tentang "agama Tuhan" tidak sampai kepada mereka. Atau mungkin juga sebenarnya mereka tau, namun mereka tidak mau menjadikan agama sebagai pedoman hidup karena agama bagi mayoritas mereka sudah kadung dianggap sebagai gaya hidup saja.

Tetiba saya merasa sangat bersyukur karena saya dilahirkan di negara yang masyarakatnya sebagian besar beragama. Menurut hemat saya, ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa tingkat bunuh diri di Indonesia tidak setinggi di Jepang. 

                                                                                                        ***
Kita tidak tahu hidup kita akan berakhir seperti apa dan dengan cara bagaimana. Semoga, Allah SWT mematikan kita, keluarga kita, sahabat-sahabat dekat kita dalam keadaan khusnul khotimah dan kelak mengumpulkan kita dalam syurga firdaus-Nya. Aamiin Yaa Rabbal 'alamiin.

Kamis, 22 Januari 2015

Terima Kasih Ibuk

Kemarin pagi saya mengunjungi rumah sakit. Demam semalaman membuat saya harus absen dari kantor pada pagi harinya. Daripada semakin parah, sebaiknya saya segera berobat, itu pikir saya.

Saya baru menyadari bahwa terakhir kali pergi ke rumah sakit untuk berobat adalah pada bulan April tahun lalu. Ini berarti sudah 9 bulan saya tidak sakit, Alhamdulillah. Ini benar-benar patut disyukuri.

Ketika saya datang, dokter di bagian Poli Umum, poli tempat saya akan berobat, belum datang. Masih jam 09.00 pagi, belum banyak pasien yang datang. Setengah jam menunggu, dokter belum juga datang dan saya menjadi gusar. Di ruang tunggu itu pun sudah penuh dengan pasien yang mengantri. Kebetulan di samping Poli Umum ada Poli Anak sehingga ruang tunggu itu didominasi oleh para ibu yang membawa balita mereka yang akan diperiksakan. Sesekali terdengar suara tangis balita dari kamar periksa. Sesekali saya mengintip dari pintu kamar periksa yang tak sepenuhnya tertutup. Ada perasaan kasihan, iba, sedih, pada bayi-bayi itu. Juga, pada ibu mereka yang tampak berusaha tegar walaupun mungkin sebenarnya mereka tidak tenang.

Saya seolah melihat wajah Ibu saya. Seperti itukah dulu raut wajah Ibu saat saya sakit? 

Dulu Ibu sering bercerita, saya punya dokter langganan namanya dr Harsono. Jika saya sakit, sambil mengayuh sepeda, Ibu menggendong saya yang masih balita. "Kalau sudah dibawa ke Pak Harsono, pasti sembuh", kata Ibu sambil membanggakan dokter yang tempat praktikknya berjarak 2 km dari rumah kami itu. Ah Ibu, beliau selalu dengan semangat dan bahagia berkisah tentang masa kecil saya. Tak pernah secuilpun terselip cerita duka. Padahal, dulu ketika menjalaninya mungkin rasanya tidaklah mudah. Saat saya sakit misalnya, mungkin perasaaan dan raut wajah Ibu tak ada bedannya dengan ibu-ibu yang kemarin pagi saya temui di rumah sakit.

Pulang dari rumah sakit, saya memutuskan tidak akan memberi kabar pada Ibu bahwa saya sedang sakit. Saya tidak ingin membuatnya bersedih. Malam hari, ibu mengirim sms, "Lagi apa, Nduk? Udah tidur apa belum?" Lalu saya jawab, "Belum buk, lagi baca buku. Ibuk lagi apa?" Ibu menjawab lagi, "Ibuk lagi nonton kompas tv, Nduk."

Saya lalu tidak menjawab lagi. Saya bersiap untuk tidur, namun tidak bisa karena saya masih demam, hidung mampet dan mulai batuk-batuk. Sedih sekali rasanya. Mungkin, saya bisa tidur setelah ibu mendoakan saya, pikir saya tiba-tiba. Saya pun kembali mengetik pesan singkat pada Ibu, "Ibuk, aku lagi pilek. Doakan cepet sembuh ya, buk." Saya sengaja tidak dengan detail memberi tahu sakit saya agar Ibu tidak terlalu sedih. Datang lagi satu pesan dari Ibu. "Iya, ibuk doakan. Minum obat biar cepet sembuh." Akhirnya, saya segera terlelap.

Terima kasih Ibuk! 



Senin, 19 Januari 2015

Tabula Rasa: Masakan dan Perjalanan

Minggu, 17 Januari lalu, saya dan dua orang teman saya (Vivi dan Teh Nani) melihat penayangan langsung Film "Tabula Rasa" di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia. Saya menonton film ini karena sebelumnya teman saya (Kak Shally) membuat ulasan di blog-nya tentang film ini. Sebagai seorang yang sejak lama menaruh minat yang tinggi tentang budaya Minang, saya begitu tertarik dengan Film yang tema materialnya adalah masakan Padang ini. Agar kesan yang saya tangkap dari film ini tidak lekas menguap, maka saya yang masih bodoh tentang dunia film, mencoba membuat meresensi film ini.

Serui, sebuah daerah pesisir di Papua tempat seorang pemuda bernama Hans (Jimmy Kobogau) tumbuh dan menemukan mimpinya sebagai pesepak bola. Suatu ketika, datanglah seseorang dari Jakarta yang menjanjikan karir sepak bola yang cemerlang untuk Hans. Berangkatlah Hans ke Ibukota untuk mewujudkan mimpinya.

Malangnya, di Jakarta Hans mengalami patah tulang kaki dan klub sepak bola tempat ia bernaung tidak mau bertanggung jawab sehingga Hans harus menggelandang di jalanan. Suatu hari, bertemulah putra Papua ini dengan Mak (Dewi Irawan) yang kemudian menawarinya untuk bekerja di warung masakan Padang milik Mak. Dari kebaikan Mak inilah Hans menemukan makna perjalanan hidupnya selama ini.

Film yang disutradarai oleh Adriyanto Dewo ini sepintas terkesan sangat sederhana. Lokasi pengambilan gambarnya dominan di dapur, pasar dan jalanan antara warung Mak menuju pasar. Adegannya juga hanya seputar masak-memasak. Sangat biasa, tidak ada suatu yang sangat "wah". 

Namun, dari yang biasa ini penonton diajak untuk mengambil makna. Kebaikan yang sepele, seperti yang diberikan Mak pada Hans ternyata bisa mengubah hidup si anak Papua ini.

Sesuai tema utama film ini yaitu tentang makanan dan masakan, Sheilla Timothy sebagai produser ingin menyampaikan pesan bahwa masakan bisa menjadi media untuk menyatukan orang dari suku yang berlainan. Masakan juga bisa dijadikan sarana oleh seseorang untuk melanjutkan kehidupan. Ini jelas sekali tergambar dari latar belakang Mak yang memutuskan merantau ke Jawa untuk membuat usaha warung masakan Padang setelah rumahnya luluh lantah dan anak lelaki serta suaminya meninggal akibat gempa besar di Padang tahun 2009. 

Judul "Tabula Rasa" sebenarnya tidak ada hubungannya dengan makanan atau masakan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, frasa ini mengandung makna: teori yang menyatakan bahwa setiap individu dilahirkan dengan jiwa yang putih bersih dan suci (yang akan menjadikan anak itu baik atau buruk adalah lingkungannya). Sedangkan lingkungan niscaya akan terus berubah seiring dengan perjalanan waktu. Jadi, frasa "tabula rasa" inilah yang menghubungkan antara masakan dengan perjalanan hidup. Melalui masakan, Hans bisa menemukan makna perjalanan hidupnya. Melaui masakan pula, Mak melanjutkan hidup dan berdamai dengan duka masa lalunya.

Menurut pendapat saya secara subjektif, film ini sepertinya tidak dibuat hanya untuk tujuan bisnis dan memenuhi selera pasar semata. "Pesan" yang ingin disampaikan terlihat sangat kuat. Walaupun ini merupakan film yang mengajak penontonnya untuk "berfikir", ini tidak lantas membuat penonton harus terus-menerus mengernyitkan dahi tanda sedang berfikir keras. Selipan dialog dan adegan humor yang muncul beberapa kali membuat penonton terhibur. 

Terakhir, saya berpesan bagi yang belum menonton film ini, jangan lupa pastikan perut Anda dalam keadaan kenyang sesaat sebelum menonton film ini. Jika tidak, saya tidak tau apa yang akan terjadi nanti. :-D


sumber gambar : http://www.jawapos.com/baca/artikel/5977/Tabula-Rasa-Kisah-Filosofi-Makanan




Tiga Titik Macet

Lagi-lagi saya menulis tentang hal yang biasa. Ya, karena saya memang orang biasa yang memiliki kehidupan biasa-biasa saja. Namun, dari yang biasa itu saya menemukan makna.

Setahun terakhir ini saya tinggal di daerah Ciledug. Mendengar nama daerah ini disebut, para outsider mungkin sudah membayangkan beberapa atribut yang kerap mereka tempelkan pada daerah ini seperti banjir dan kemacetan. Baiklah, Ciledug memang cukup sering Banjir, tapi tidak semua titik terendam banjir, hanya sebagian daerah yang berdekatan dengan sungai. Ciledug memang macet, tapi itu hanya di jalan yang menjadi akses utama langsung menuju Jakarta seperti Jalan Ciledug Raya (menghubungkan Ciledug dengan Kebayoran Baru) dan Jalan Raden Saleh (menghubungkan Ciledug dengan Kembangan, Jakarta Barat) yang mengalami kemacetan parah setiap jam sibuk (rush our).

Untungnya, saya tidak sepenuhnya melintasi kedua jalan tersebut ketika pulang dan pergi bekerja saban hari. Saya justru sering terjebak kemacetan ketika sudah memasuki wilayah Jakarta. Lima menit berkendara dari tempat tinggal, saya sudah memasuki daerah Joglo, Jakarta Barat. Ini titik macet pertama yang harus saya lewati. Bukan jalan besar, hanya jalan sempit di tengah perumahan penduduk. Saking sempitnya, jika ada 2 mobil berpapasan, kedua supir harus memperlambat mobilnya. Jika sudah demikian, kedaraan yang ada di belakangnya harus kalembo ade (Bahasa Bima, artinya: berluas hati). Jadi, bisa dibayangkan jika sedang ada banyak mobil yang melintasi jalan ini dari 2 arang yang berseberangan?

Di titik macet pertama ini saya biasanya masih bisa kalembo ade. Bebas dari titik ini, saya melanjutkan perjalanan hingga tibalah saya di Jalan Raya Kembangan Selatan. Di siniliah ujian kesabaran dilanjutkan. Jalan ini mulai padat merayap sekitar jam 07.15 pagi. Berderet-deret kuda besi (mobil) biasanya hanya bisa merayap di sini, bahkan sering mengalami stagnasi. Saat seperti ini, para pengendara motor mulai menunjukkan kebolehan mereka selip sana selip sini. Sedangkan saya? Sebagai pengendara motor pemula di Ibukota, saya mencari titik aman dengan cara berada di samping kiri mobil. Jika ada celah untuk mendahului dari kiri, saya melakukan itu walaupun secara hukum lalu lintas itu sepertinya diharamkan. :-)

Di kedua titik yang saya lalui tersebut, alasan kemacetannya sangat jelas, titik pertama karena ukuran jalan yang sempit sedangkan pada titik kedua karena volume kendaraan yang memang selalu banyak.

Tibalah saya di titik kemacetan yang ke-3, Jalan Kamal Muara. Untuk menuju kantor saya, saya hanya melewati jalan ini sepanjang kira-kira 1,5 km. Namun,  titik inilah yang paling membuat saya khawatir karena kemacetan di jalan ini sering datang tanpa terduga. Sebagai kawasan industri, daerah Kapuk Kamal ini dilewati oleh kendaraaan yang yang lebih variatif. Dari motor yang kebanyakan dikendarai oleh karyawan pabrik, angkot, bus besar, mobil jemputan karyawan, mobil pribadi, mobil box ukuran kecil, tanggung hingga kontainer. Variasi kendaraan ini menjadi salah satu pemicu kemacetan di sini. Selain itu, ada-ada saja alasanya. Entah angkot yang tiba-tiba mendahuli mobil di depannya kemudian mendadak tidak bisa bergerak karena adanya mobil atau kendaraan besar dari arah seberangnya, entah tiba-tiba truk kontainer kesulitan berbelok, entah kecelakaan lalu lintas antar pengendara motor dengan kendaraan roda empat, entah banjir. Jika lolos dari kemacetan ini, tibalah saya di kantor tepat waktu.

Selama kurang-lebih setahun saya mengalami rutinitas pagi yang semacam itu, tak jarang saya bosan dan stress. Tapi, ini membuat saya berfikir tentang satu hal. Tidakkah ini sama dengan perjalanan kita dalam menjaga niat? Saya pernah mendengar bahwa niat seseorang dalam beramal itu akan diuji di awal, di tengah dan di akhir.

Saat mau bersedekah misalnya. Pada awalnya sudah berniat untuk bersedekah. Namun, kadang di tengah jalan ada bisikan-bisikan semacam, "Ah, kalau segitu, kebanyakan", atau "Hmm.. gak usah sekarang sedekahnya, besok-besok aja", atau "Tapi kebutuhan minggu ini lagi banyak-banyaknya, gak usah sedekah dulu apa ya?", dan sebagainya. Kalaupun mampu menangkis bisikan-bisikan itu, nanti akan ada ujian lagi. Misalnya, si orang yang kita beri sedekah itu ternyata tidak mengucapkan terima kasih. Maka muncullah bisakan lagi seperti, "Orang kok tidak tau terima kasih!". Sekali lagi, kalau bisikan itu bisa dihindari, nanti lain hari akan muncul ujian lagi. Muncullah lagi, bisikan semacam "Dulu sering kita bantu, eh sekarang udah sukses, gak ingat sama kita!"

Selain tulisan ini, saya pernah beberapa kali menulis tentang betapa sulitnya menjaga niat. Bagi saya, dengan menuliskannya seperti ini, setidaknya ini bisa menjadi media bagi saya untuk meluruskan niat yang tak jarang bengkok di sana- sini.

Jumat, 16 Januari 2015

Mbak Nova dan 1,5 Tahun

Indramayu, hampir tengah malam. "Dita, bangun!", mbak Nova membangunkan saya. Saya terkejut, "kenapa mbak?" Dengan mimik wajah sedikit cemas mbak Nova menjawab, "Pendarahanku makin banyak, Dit. Mirip darah haid." Spontan saya respon, "Terus gimana mbak?" Saya perlu beberapa detik untuk bisa menyadari apa yang sedang terjadi. "Aku panggil Dimas dulu ya mbak."

Itu adalah minggu ke-2 kami berada di Indramayu. Di kota mangga itu, kami menjadi asisten penelitian kualitatif yang diselenggarakan oleh sebuah pusat studi di kampus kami, UGM. Tim kami beranggotakan 3 orang, Mbak Nova sebagai ketua tim lalu saya dan Dimas sebagai anggotanya. Karena merupakan penelitian kualitatif, metode yang kami pakai adalah semi etnografi yang mana mengharuskan kami tinggal langsung di rumah warga.

Tepat sehari sebelum pemberangkatan kami ke Indramayu, Mbak Nova baru mengetahui bahwa ia sedang hamil. Menurut dokter, usia kehamilan Mbak Nova sudah 7 minggu. Mbak Nova sempat akan mengundurkan diri dari penelitian ini karena khawatir akan kehamilannya itu. Namun, segala persiapan kami sudah matang dan jika ada salah satu yang mundur, maka akan menghambat proses penelitian ini. Akhirnya, kami tetap berangkat bertiga di hari yang sudah ditentukan.

Tidak ada yang menyangka jika kemudian Mbak Nova mengalami pendarahan hebat itu. Kami cukup panik. Itu tengah malam, hanya rumah sakit di kota kabupatenlah yang buka 24 jam. Ditambah lagi, keluarga tempat kami menginap saat itu tidak memiliki kendaraan bermotor. Dengan apa kami bisa pergi ke rumah sakit? Saya kemudian menelpon Pak Kepala Desa, menjelaskan perkara yang sedang kami alami. Alhamdulillah, tak sampai 30 menit, beliau datang dengan motor.

Beliau menyarankan kami agar menemui bidan desa tersebih dahulu, mungkin ada tindakan medis yang bisa dilakukan. Lalu diboncengkanlan kami berdua (saya dan mbak Nova) ke rumah bidan desa. Alhamdulillah-nya lagi, ibu bidan berusia setengah baya ini belum tidur. Mbak Nova cepat-cepat diminta masuk ke ruang praktiknya. Setelah diperiksa, pendarahan memang sudah sangat parah. "Sepertinya harus dibawa ke rumah sakit mbak. Biar di-USG apakah janinnya masih bisa diselamatkan atau tidak", kata ibu bidan dengan sabar.

Ibu Bidan kemudian menelpon supir ambulans puskesmas kecamatan. Ambulans pun datang dan segera membawa kami ke rumah sakit kota. Singkat cerita, janin yang dikandung Mbak Nova tidak bisa diselamatkan dan harus dikuret. Saya yakin, pastilah berat perasaan Mbak Nova. Namun, ia sama sekali tak menangis. Malahan ia berkali-kali menghawatirkan saya, "Dita pasti capek, maaf banget ya. Jadi repot gini".

Esok harinya, sekitar jam 09.00 pagi, suami dan saudara Mbak Nova datang dari Cianjur. Pecahlah tangis Mbak Nova saat sang suami masuk ke ruangan dimana ia dirawat. "Sudah, sudah", kata sang suami berkali-kali sambil mengusap-usap tangan senior saya ini. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Mbak Nova, hanya isak lirih. Saya tak sanggup melihat semua itu, berat sekali rasanya. Saya pun minta izin keluar. Mungkin mereka butuh waktu untuk berbicara berdua saja.

Pagi ini, 1,5 tahun setelah peristiwa itu terjadi, saya mendapat sebuah pesan singkat dari Mbak Nova. "Ass. Alhamdulillah telah lahir putra pertama dan kedua kami, pada tgl 13 Jan 2015 pkl 16.10 dan pkl 16.20 di klinik citra harapan bunda Cianjur. Semoga menjadi anak sholeh dan berbakti, amin (Nova& Roni)."

Tiba-tiba rasa haru menyeruak dari hati saya. Duhai Allah, dulu Engkau mengambil 1, sekarang menggantinya, bukan diganti dengan 1 namun 2 sekaligus. Sungguh Engkaulah sebaik-baik perencana, yaa Rabb. Ajarkan kami untuk selalu bisa mengambil hikmah dari setiap duka yang kami alami. Ilhamkan kepada kami untuk selalu ingat akan firman-Mu, "fa-inna ma'a al'usri yusraan" --Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan-- (QS. Alam Nasyrah: 5).

Kamis, 15 Januari 2015

Halalkah Roti Ini?

Beberapa klien atasan saya cukup sering datang ke kantor kami dengan membawa buah tangan berupa makanan. Karena jumlahnya yang cukup banyak, atasan saya biasanya membagi-bagikan makanan tersebut pada para karyawan. Seperti hari ini, seorang klien datang dengan membawa roti merek Breadlife. Sewaktu ditawari untuk mengambil, saya langsung mengambil satu. "Dita wa danjiki darou?"(Dita puasa kan ya?), tanya atasan saya dengan nada bercanda. "Iya, akan saya makan nanti malam", begitu jawab saya sambil tertawa. Roti itu kemudian saya taruh di meja saya dan saya pun kembali pada pekerjaan.

Tiba-tiba terblesit dalam pikiran saya, "roti ini halal gak ya?" Sekitar 2 bulan lalu, si klien pembawa roti Breadlife tadi pernah datang ke kantor kami dan membawa roti yang sama. Waktu itu saya memilih tidak ikut makan karena belum jelas kehalalannya.

Saya kemudian mencari-cari logo halal di kemasan roti tersebut namun saya tidak menemukannya. Menyadari itu, tangan saya sigap mengeklik tetikus komputer untuk berselancar di internet mencari informasi tentang kehalalan roti itu. Sudah beberapa laman saya buka, tapi informasi yang saya dapatkan belum sahih. Lalu bertanyalah saya kepada teman saya melalui pesan singkat.

Saya : Mariiii.. Roti Breadlife itu halal gak sih?
Mari : Setahuku belum, say! Kenapa?
Saya : Ini di kantor klien suka bawa. Aku belum pernah makan sih. Tapi pengin, hehe
Mari : Tahanlan :-D
Saya : Haha.. iyoo

Saya masih penasaran dengan status kehalalan zat roti yang nampak enak itu. Saya pun melanjutkan pencarian di Internet. Alhamdulillah, saya mendapatkan informasi yang penting dari laman twitter @halalindonesia. Di salah satu tweetnya disebutkan, "Cek produk halal makin mudah dengan sms, ketik Halal (spasi) merk, kirim ke 98555." Malam ketika saya menulis artikel ini di blog, saya buka lagi laman @halalindonesia melalui ponsel, kemudian saya melakukan screen-capture yang hasilnya seperti ini,




Saya lakukan sesuai instruksi laman tersebut dan seperti inilah hasilnya:



Ah, syukurlah saya belum jadi memakan roti tersebut. Maka kemudian saya berfikir untuk membagikan informasi ini melalui blog saya. Mungkin di luar sana banyak teman yang kadang masih bingung (seperti saya) tentang kehalalan suatu produk.

Saya tidak bermaksud menjatuhkan nama baik merek produk tertentu melalui tulisan ini. Saya sekedar ingin tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi saya pribadi dan saudara-saudara saya sesama muslim agar lebih berhati-hati dengan makanannya. Allah sudah mengingatkan kita melalui Al-Quran tentang hal ini,

"Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya" (Al-Maidah:88)

"Wahai manusia!  Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (Al-Baqarah: 168) 


Rasulullah pun pernah menerangkan tentang kehati-hatian dalam makanan.

"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barang siapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat. Dan barang siapa mengerjakan sedikitpun dari padanya hampir-hampir ia akan jatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan." (Riwayat Bukhari, Muslim danTirmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tirmizi). 

Sekali lagi, ini sekedar pengingat untuk saya pribadi dan mudah-mudahan juga bisa untuk saudara-saudara sesama muslim. Semoga Allah selalu memberi kita petunjuk untuk membedakan mana yang baik dan tidak baik, mana yang halal dan haram. Aamiiin.


Rabu, 14 Januari 2015

Pak Maman

Tiga hari ini Jakarta diguyur hujan pada pagi hari. Sekitar Bulan November lalu saya pernah sekali terjatuh dari motor saat hujan turun. Saat itu saya sedang melintasi jalan Ciledug Raya yang terkenal kemacetannya itu. Kejadiannya begitu cepat. Motor yang saya kendarai tiba-tiba tergelicir. Mungkin ada lapisan lumpur di jalan yang saya lewati itu. Waktu itu saya akan berbelok ke kanan, tetiba motor saya tergelincir ke sebelah kiri dan saya pun jatuh tepat di tengah jalan. Waktu itu saya membocengkan Diah, teman saya. Saya takut setengah mati. Bagaimana kalau dari arah belakang sedang ada banyak kendaraan? Bagaimana jika kemudian kedaraan tersebut menabrak kami?

Alhamdulillah, di belakang kami hanya ada beberapa motor dan mobil yang jaraknya cukup berjauhan. Beberapa pengendara motor langsung berhenti ke tepian jalan, memarkir motor mereka dan langsung menolong kami. Syukurlah kami bisa segera berdiri. Saya raba tangan dan kaki saya, alhamdulillah tidak ada yang terluka. Diah pun juga tidak terluka. Dengan kaki yang masih sedikit gemetar, saya kembali menaiki motor dan pelan-pelan memacunya menuju tempat tinggal saya. 

Sungguh ini seperti keajaiban. Saya selamat dari maut! Tidak ada luka pada tubuh saya. Hanya memar di beberapa bagian tangan dan kaki. Sejak kejadian itu, saya menjadi lebih berhati-hati berkendara saat hujan. Pun 3 kali pagi ini. Masih ada khawatir sepanjang perjalanan saya menuju kantor. Tak henti-hentinya saya menggumamkan doa dan dzikir, meminta keselamatan kepada Yang di Atas. 

Saya sempat berfikir, mungkin saya tidak akan sekhawatir ini jika ada yang mengantar saya kemana-mana. Kalau sudah punya suami, kan tidak perlu naik motor sendiri, bisa dibonceng, hehe.. (Mau nyari suami apa tukang ojek, Dita?)

Bicara tentang tukang ojek, dulu ketika saya masih di Bima, saya mempunyai tukang ojek langganan yang paling baik sedunia. Dialah Pak Maman. Ayah dari 3 orang anak ini sehari-hari memang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung kami. Ia melayani jarak dekat maupun  jarak jauh. Bahkan, ia suatu ketika pernah berujar pada saya, "Nanti kalau Ibu Dita mau ke Tambora, bisa saya antar!" Padahal jarak kecamatan kami, Langgudu, ke Kecamatan Tambora jika ditempuh dengan motor mungkin memakan waktu 8 atau 9 jam!

Saya biasanya memakai jasa ojek Pak Maman ketika ada kegiatan di Kota Bima atau kecamatan lain. Dari tempat tinggal saya menuju Kota Bima bisa Pak Maman tempuh dalam waktu 1,5 jam. Jika naik bus, biasanya mencapai 3 jam karena bus akan berjalan melambat ketika melewati jalan pegunungan yang menanjak. 

Teringatlah saya ketika pertama kali memakai jasa ojek Pak Maman saat akan pergi ke Kota Bima. Sepanjang perjalanan ia bercerita segala macam tentang desa dan kecamatan kami. Persis seperti pemandu wisata. Saat melewati bukit tertinggi, Pak Maman meminta saya turun dari honda (sebutan untuk sepeda motor di daerah Bima) , "Coba Ibu Dita berdiri di sana dan mengambil foto Teluk Waworada. Bagus sekali pemandangannya". Tanpa menunggu lama, saya menuruti perkataannya dan iya, memang benar. Lanskap Teluk Waworada nampak begitu indah. Air laut yang tenang, garis pantai yang mengular, bentangan tambak udang yang berpetak-petak menyerupai net voli, dan perumahan penduduk adalah perpaduan yang mempesona. Selain sebagai tukang ojek, Pak Maman sepertinya berbakat menjadi pemandu wisata, pikir saya ketika itu.

"Saya ini bisa dipanggil 24 jam, Ibu Dita", begitu kata Pak Maman. Ternyata memang benar. Pak Maman tak pernah menyalahi apa yang pernah ia katakan. Suatu sore, saya meminta bapak berusia 40-an tahun ini untuk mengantar saya ke Kecamatan Sape. Kami berjanji akan berangkat jam 05.00 sore. Namun, karena padatnya kegiatan saya pada hari itu, saya baru siap berangkat setelah maghrib. "Pak Maman tidak apa-apa malam-malam begini?" Ia pun menjawab, "Ayo berangkat sudah! Tidak apa-apa."  Kebetulan saat itu Koko, Pengajar Muda yang bertugas di Desa Laju sedang berada di desa penempatan saya dan ia juga akan pergi ke Kecamatan Sape bersama saya. Maka kami pun berangkat dengan 2 ojek (Pak Maman dan temannya) malam itu. 

Itu adalah pertama kalinya saya pergi ke Sape pada malam hari. Ternyata cukup mengerikan suasananya. Kami melewati perkampungan yang tak dialiri listrik, hutan yang gelap dan tebing-tebing yang bersisian langsung dengan bibir pantai. Kondisi jalannya juga cukup mengenaskan. Batuan terjal ada di sana-sini, siap menggelincirkan roda motor. Lubang-lubang juga seolah menjadi ranjau darat yang bercerceran. Dua jam perjalanan yang cukup menguras adrenalin. Atas pertolongan Allah lewat kepiawaian Pak Maman menyetir motor, saya tiba di Sape dengan selamat. 

Lain hari, saya dan teman-teman se-tim sedang mengadakan kegiatan di Kecamatan Lambu. Sekitar jam 02.00 siang kegiatan baru selesai. Kami bersiap kembali ke Kota Bima. Karena saya baru teringat kalau esok saya harus mengerjakan sesuatu di sekolah, saya berniat tidak kembali ke kota tetapi langsung ke desa. Lalu saya menelpon Pak Maman apakah bisa menjemput saya siang itu di Lambu. Seperti biasanya, Pak Maman selalu siap. 

Lain hari lagi, suatu sore, sedang turun hujan cukup lebat di kampung kami. Lagi-lagi, Pak Maman tak keberatan mengantar saya ke Kota.

Begitulah Pak Maman, krediblitasnya sebagai tukang ojek memang tak bisa diragukan lagi. "Maman itu orangnya jujur dan baik. Jadi saya tidak khawatir Dita kemana-mana diantar sama Maman", begitu pandangan bapak asuh saya tentang tukang ojek langganan saya itu.

Ah, Pak Maman. Sehat-sehatlah selalu. Semoga rizki yang berkah selalu mengalir pada bapak sehingga bisa menyekolahkan anak-anak bapak sampai setinggi-tingginya. 

Senin, 12 Januari 2015

Pulang

Liburan tahun baru lalu saya pulang ke kampung halaman saya. Sebagai perantau di Ibukota, saya tergolong yang sering pulang kampung. Dua bulan atau tiga bulan sekali saya menyempatkan diri untuk pulang. Namun, kepulangan saya kali ini rasanya agak berbeda. Ada sedikit rasa kikuk saat saya bersosialisasi dengan orang-orang di kampung saya.

Saya mulai meninggalkan kampung halaman saya sejak berkuliah di UGM. Karena jarak kampung halaman saya (Klaten) tidak terlalu jauh dari Jogja, setiap dua pekan sekali saya pulang ke rumah. Saya biasanya pulang pada Jumat sore dan kembali lagi ke Jogja pada Senin pagi. Praktis saya menghabiskan akhir pekan di rumah. Jika ada tetangga yang mengadakan hajatan, saya biasanya membantu bersama teman-teman perempuan seusia saya. Saat ada rapat muda-mudi atau gotong royong di desa, saya pun biasanya ikut serta. Saya juga mengajar TPA di masjid dekat rumah saya.

Setelah lulus kuliah, saya berkesempatan menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang ditugaskan selama setahun di Pulau Sumbawa, NTB. Sebagai Pengajar Muda (PM), salah satu tugas saya adalah mengadakan pembelajaran masyarakat. Ini menuntut saya untuk membina hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat dari yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal, hingga yang sudah bergelar master.  Dari perangkat desa, hingga pejabat tingkat propinsi. Dari BALITA, hingga LANSIA. Selain karena tuntutan peran saya sebagai PM, saya menyukai aktivitas ini karena pada dasarnya saya tergolong orang yang mudah bergaul dengan bermacam jenis orang dan saya pun sudah terbiasa aktif dalam kegiatan sosial.

Selesai masa tugas saya sebagai PM, saya merantau ke Jakarta. Saya kemudian menjadi bagian dari sekian juta pendudduk Jakarta yang bekerja dari pagi hingga petang. Pada akhir pekan biasanya saya bertemu dengan teman-teman saya: pergi ke toko buku, lari pagi bersama, berbelanja, makan, karaoke, juga nonton film. Jika ada kegiatan semacam sukarelawan, saya kadang masih menyempatkan untuk ikut. Pergaulan saya semakin meluas, pengalaman saya pun semakin bertambah.

Selama setahun lebih saya berada di Jakarta, sudah 5 kali saya pulang. Setiap kali pulang, saya biasanya hanya bisa di rumah 2 atau 3 malam. Maklum, buruh perusahaan seperti saya ini tidak bisa mengambil cuti sesuka hati. Saat pulang inilah saya biasanya lebih banyak berada di rumah untuk beristirahat. Ada semacam kelembaman yang membuat saya hanya bertahan di dalam rumah. Saya nyaris tidak bersosialisasi dengan para tetangga.

Pada libur tahun baru lalu, saya mendapat jatah libur agak lama. Selama 5 hari saya berada di rumah. Saya sempat mengobrol dengan tetangga saya, seorang ibu sepantaran ibu saya. Dulu saya sering kali mengobrol dengan beliau. Namun, entah kenapa hari itu saya merasa obrolan kami tidak bisa senyaman dulu. Esok paginya, hal yang sama terulang lagi. Saat saya sedang menyapu halaman, lewatlah seorang nenek yang baru saja pulang dari sawah. Melihat keberadaan saya, beliau mampir. Kami bersalaman dan saling menanyakan kabar. Tiba-tiba, saya kesulitan mencari tema pembicaraan, kosakata saya buyar. Kenapa saya menjadi seasing ini?    

Saya kemudian teringat penggalan puisi Rendra yang pernah diunggah oleh teman saya di grup jejaring sosial kami,

Apakah gunanya pendidikan 
bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota,
menjadi sekrup-sekrup di Schlumberger, Freeport dan sebagainya,
kikuk pulang ke daerahnya?

Apakah gunanya seseorang belajar  teknik, kedokteran, filsafat, sastra atau apa saja

ketika pulang ke rumahnya, lalu berkata : 
"Di sini aku merasa asing dan sepi!!"

Penggalan puisi tersebut seolah diteriakkan tepat di depan saya. Saya lemas seketika. 


Ya, ada yang perlu dibenahi segera. Saya tidak mau menjadi "layang-layang" dan "sekrup-sekrup itu" !

Minggu, 11 Januari 2015

Mengelola Ekspektasi

Saat memasuki bulan ke-2 pelatihan intensif Pengajar Muda, pernah kami mendapat sebuah sesi dimana fasilitator meminta kami untuk mengungkapkan kesan kami terhadap pelatihan yang sudah sebulan berjalan itu. Setiap peserta diminta untuk membuat masing-masing satu kalimat berisi kesan. Syaratnya, kalimat itu harus diawali dengan kata "ternyata".

Maka meluncurlah rentetan kalimat berawal dengan kata "ternyata" itu. "Ternyata, sangat melelahkan ya, setiap pagi harus bangun sebelum subuh dan tidur menjelang tengah malam. Ternyata, tugas-tugas yang diberikan terlalu banyak ya! Ternyata ini, ternyata itu, bernyata begini, begitu, dst."

Fasilitator merangkum jawaban kami dengan cara menuliskan kisi-kisi penting dalam potongan karton warna-warni yang kemudian ditempel di papan tulis. Dari semua jawaban yang kami ungkapkan, sebagian besar bernada keluhan. Hanya beberapa saja yang bernada pujian. Fasilitator kemudian bertanya kepada kami mengapa sebagian besar dari kami membuat kalimat yang menyiratkan keluhan. Jawaban pun mengalir dari lisan kami. Kesimpulannya, kami memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi ketika awal mulai pelatihan ini. Ekspektasi tersebut berbenturan dengan kenyataan-kenyataan. Kami pun sepertinya larut dalam benturan itu. Akibatnya, respon yang muncul adalah keluhan. Ini berarti kami belum pandai bagaimana caranya mengelola ekspektasi. Atau bisa jadi ini terjadi karena ekspektasi yang kami bangun di awal tidak sejalan dengan "niat baik". 

Di sinilah kemudian "niat baik" menjadi esensi dari segala tindakan yang akan dilakukan. Dalam perjalanan waktu, itu kadang akan sempat terlupakan. Oleh karenanya, perlu sesekali rehat sejenak untuk mengingat kembali "niat baik" itu. Melaui sesi yang dipandu oleh fasilitator tersebut, kami sebenarnya sedang diarahkan untuk mengingat kembali "niat baik" kami. Jika "niat baik" terjaga, maka benturan antara kenyataan dengan ekspektasi pun bisa diambil sisi positifnya. 

Saya menjadi teringat sesuatu yang saya lakukan saat saya SMA. Waktu itu saya membuat catatan khusus tentang kekalahan saya dalam berbagai perlombaan. Catatan itu saya namai "catatan kegagalan". Sejak SD saya memang sudah senang mengikuti berbagai perlombaan. Ini berlanjut ketika SMP dan SMA. Setiap ada lomba, saya selalu ingin berpartisipasi, dari lomba membaca puisi, menulis esai, menulis surat, karya ilmilah, pramuka, olimpiade SAINS, pidato hingga debat. Saya mengalami kekalahan pada sebagian besar lomba yang saya ikuti itu. Kekalahan-kekalahan itulah yang kemudian saya tuangkan dalam "catatan kegagalan". 

Belakangan saya baru tahu bahwa menuliskan sesuatu yang negatif seperti "kegagalan" akan berdampak kurang baik secara psikologis. Sepertinya memang benar. Dulu, setiap kali membuka "catatan kegagalan" itu rasanya berat sekali. Apalagi ketika isi catatan itu sudah menjadi semakin banyak. "Yah, kok gagal lagi sih!", keluh saya. Namun, dibalik itu, setidaknya saya memiliki rekam jejak usaha saya. "Tuh Dita, kamu sudah berusaha keras kok! Yang penting usahanya, bukan hasilnya", kata saya pada diri sendiri. 

Proses tersebut tanpa saya sadari telah mengajari saya tentang satu hal besar yaitu menjaga niat. Bukankah niat saya untuk mengikuti berbagai lomba adalah untuk menaikkan kapasitas diri? Bahasa sederhananya bagi saya yang dulu masih belia adalah, menambah pengalaman dan teman. Pak Jangkung Suwargana, guru saya sewaktu SMP selalu mengingatkan kepada saya tiap kali akan mengikuti lomba, "Menang kalah iku biasa. Sing penting maju lomba kanthi percaya diri." (Menang kalah itu biasa. Yang penting ikut lomba dengan percaya diri.)

Ternyata saya sudah melalui perjalanan panjang tentang menjaga niat dan mengelola ekspektasi. Namun, hingga detik ini saya belum juga mahir menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Baiklah, saya akan terus belajar!

sumber gambar: http://www.vanseodesign.com/web-design/framing-expectation-exposure-effect/



Sabtu, 10 Januari 2015

Quarter Life Crisis

"Wong urip ki mung sawang sinawang" adalah bunyi pepatah Jawa yang belakang ini cukup sering saya dengar. Secara  leksikal, pepatah tersebut mengandung arti bahwa "orang hidup itu hanya saling memandang". Maksudnya, kita sering melihat orang lain nampak lebih bahagia, lebih sukses, lebih punya segalanya daripada kita sendiri. Pun sebaliknya, bisa jadi orang lain melihat kita lebih bahagia daripada mereka. "Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau", mungkin ini ungkapan dalam Bahasa Indonesia yang artinya mendekati ungkapan dalam Bahasa Jawa tersebut.

Memasuki usia 25 tahun, saya menjadi cukup sering berdiskusi dengan teman-teman seusia saya tentang kehidupan, baik kehidupan kami maupun kehidupan orang lain. "Si A sekarang anaknya sudah 2 ya? Si B kerja di maskapai premier tanah air lho! Si C lagi S2 di Jepang. Si D udah nyicil rumah. Si E, F, G dst". Tema semacam ini sering tiba-tiba terselip dalam pembicaraan kami.

Maka, secara tak sadar kami kemudian membandingkan kondisi kami dengan orang-orang lain. Jika kami sedang bisa berfikir positif, membicarakan "hijaunya rumput tetangga" itu bisa menjadi motivasi positif. Namun, jika sedang negatif, maka yang terjadi adalah hati menjadi risau. Bahkan, bisa sampai berkecil hati atau depresi karena menyadari masih banyak mimpi yang belum sempat dicapai. Meminjam istilah dalam Ilmu Psikologi, keadaan ini disebut quarter life crisis.  

Salah seorang teman dari Jurusan Psikologi pernah membahas tentang a quarter life crisis ini. Katanya, fase ini dialami oleh hampir semua orang yang memasuki usia seperempat abad. Ini sesuatu yang normal. Istilah lainnya, fase ini adalah jembatan yang mengantarkan seseorang pada posisi matangnya. 

Salah seorang teman lainnya pernah bertanya pada saya belum lama ini, "Dita, apakah kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?" Saya perlu berfikir beberapa waktu untuk menjawab pertanyaan ini. Saya pun kemudian bertanya pada diri saya sendiri, apa saya benar-benar bahagia? Apa sebenarnya parameter kebahagiaan itu? Saya berfikir lama.

Saya lalu flash back pada apa yang terjadi pada hidup saya beberapa tahun ini. Ternyata, lebih mudah menghitung apa yang saya tidak punya daripada apa yang saya punya. Anehnya, itu tidak berlaku saat saya melihat kondisi teman-teman saya. Rasanya mudah sekali saya menghitung apa yang mereka punya daripada apa yang saya punya. Saya pun berkesimpulan, ternyata masih banyak yang saya belum bisa dan punya. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa saya belum menjadi seorang yang sukses? Ini berarti saya menjadi tidak bahagia?

Sepertinya selamanya saya tidak akan pernah merasa bahagia jika saya masih berfokus pada apa yang tidak saya bisa dan punya. Tiba-tiba saya teringat sebait kata dalam lirik OST Drama Jepang berjudul Around 40 yang dibintangi oleh Amami Yuki, 

“Count what you have now
Don’t count what you don’t have.
Find that you have so much"

Ah iya! Saya sepakat dengan kalimat itu. Kita sebaiknya menghitung apa yang kita punya daripada apa yang tidak kita punya. Yang kita punya tentu saja bukan hanya sesuatu yang bersifat materi melainkan lebih luas dari itu seperti persahabatan, pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dst. Jika kita berfokus dengan apa yang kita punya, bukan apa yang tidak kita punya, maka sebenarnya kita sedang belajar tentang bersyukur. Dengan pandai bersyukur, insyaAllah kita akan mudah bahagia. 

Berfokusnya kita pada apa yang kita punya bukan berarti kita lantas tidak mengusahakan terwujudnya keinginan yang lain. Target-target dan mimpi-mimpi besar harus tetap digenggam.  



Jumat, 09 Januari 2015

Dita Jalan-Jalan #2


1. Sumatra Utara Trip (Danau Toba, Pulau Samosir, Air Terjun Sipiso-Piso, Istana Maimoon)

Februari 2012. Dari Yogyakarta saya dan teman-teman menumpang kereta ekonomi favorit kami, Progo, menuju Ibukota Jakarta. Dari sana baru kami terbang dengan maskapai LCC yang populer di kalangan para traveler yaitu Lion Air (Ini bukan iklan ya, hehe). Tibalah kami di Medan, Ibu Kota propinsi Sumatra Utara. Waktu itu bandara Kuala Namu belum selesai dibangun. Jadilah kami mendarat di Polonia.

Sebelum menuju Danau Toba, kami singgah semalam di Pematang Siantar, rumah salah satu teman kami. Kebetulan waktu itu sedang musim durian. Kami pun puas menikmati durian dengan harga murah meriah. Harga 1 durian besar jika sedang musim seperti itu bisa mencapai Rp 10.000. 


Kebun Teh
Di perjalanan Pematang Siantar hingga Danau Toba kami disuguhi pemandangan perkebunan kelapa sawit yang rasa-rasanya tak terhingga luasnya. Dari Siantar hingga Parapat, saat kontur tanah sudah agak meninggi, pemandangan berganti dengan perkebunan teh yang menyejukkan mata.








Tepian Danau Toba
Akhirnya kami tiba di pinggir danau terbesar di Indonesia itu. Dari ketinggian, itu terlihat lebih cocok disebut laut daripada danau. Kami ber-14 lalu menyewa boat. Masing-masing kami membayar Rp 50.000. Pengemudi boat membawa kami melihat Batu Gantung sebelum menuju Pulau Samosir. 





Rumah Adat Batak Toba
Setibanya di Pulau Samosir, kami berkeliling dengan jalan kaki. Banyak bangunan kuno kami kunjungi antara lain kubur batu Raja Sidabutar, Patung Sigale-Gale dan rumah adat Suku Batak Toba. Di sekitar tempat itu banyak kios warga yang berjualan cidera mata khas Danau Toba. Juga, banyak penginapan yang menghadap langsung ke Danau Toba. Seandainya bisa menginap di sana, bersantai dan menikmati pemandangan lebih lama, pasti lebih menyenangkan. Hehe..

Puas menikmati Danau Toba dan Pulau Samosir, kami melanjutkan perjalan ke Air Terjun Sipiso-Piso, air terjun yang dinobatkan sebagai yang tertinggi di Asian Tenggara. Memang benar-benar tinggi air terjun ini sehingga membuat kami ngos-ngosan saat menaiki tangga setelah menikmati Sipiso-Piso.


Istana Maimoon
Malamnya kami langsung menuju Medan sembari mampir sebentar membeli jeruk di Brastagi. Esok harinya baru kami berkeliling kota Medan, mengunjungi masjid Raya Medan, menikmati es durian di dekat kampus USU dan melihat kemegahan Istana Maimoon. Kebetulan saat itu di Istana Maimoon sedang dimainkan live music irama Melayu. Kami pun menari-nari mengikuti alunan musik itu. 


2. Dataran Tinggi Dieng


Dari Jogja kami berkonvoi sepeda motor menuju Dieng, dataran tinggi yang masuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara. Waktu yang kami butuhkan saat itu sekitar 5 jam. Memasuki dataran tinggi Dieng, hawa sudah menjadi lebih dingin daripada Jogja. Pemandangan pun berganti dengan hamparan tanaman sayur mayur. Waktu itu saya dan rombongan hanya sempat mengunjungi kawah Si Kidang dan Candi Dieng karena hujan turun. Sayang sebenarnya, namun kami sudah cukup puas.







3. Taman Nasional Pulau Komodo

Perairan Komodo
Saat itu saya berangkat dari Pelabuhan Sape, Bima, dengan kapal selama 7 jam menuju Labuhan Bajo, Flores. Karena kami berangkat malam hari, lepas subuh kami sudah tiba di Labuhan Bajo. Kami langsung mencari biro wisata yang masih menyediakan perjalanan ke Kepulauan Komodo pada hari itu. Di luar dugaan saya, Labuhan Bajo ternyata cukup ramai. Banyak agen wisata, penginapan, toko oleh-oleh dan restoran dari yang paling sederhana hingga yang paling terlihat mahal. Orang asing juga berseliweran di jalan-jalan. Seperti miniatur Legian, Bali, pikir saya.


Kami masuk ke dalam salah satu agen wisata dan untungnya masih ada paket yang kosong untuk hari itu. Setelah masing-masing membayar Rp 350.000, kami pun berhak mengikuti paket perjalanan 2 hari 1 malam menjelajahi area Taman Nasional Pulau Komodo. Di Pulau Komodo dan Pulau Rinca kami harus membayar untuk pawang yang mengantarkan kami mencari keberadaan komodo di alam bebas. Tanpa pawang, pengunjung tidak diizinkan menjelajahi kedua pulau ini karena alasan keamanan. Ya, komodo tergolong sebagai hewan carnivora yang bisa juga memangsa manusia. Kabarnya, beberapa tahun silam pernah ada wisatawan yang tewas dimangsa komodo.





Sebagai salah satu dari 7 keajaban dunia kategori alam (New 7 Wonders of Nature), komodo menjadi destinasi wisata yang cukup digandrungi oleh para wisatawan manca negara. Saat saya berkunjung ke sana, saya melihat bahwa jumlah wisatawan asing jauh lebih banyak daripada wisatawan lokal.

Selain "berburu" komodo, kami juga mengunjungi pink beach, ber-snorkeling ria di sana dan melihat ikan manta di sebuah perairan yang entah apa itu namanya. Benar-benar 2 hari 1 malam yang mengesankan.





Kami kembali ke Labuhan Bajo saat sore hari. Karena kapal yang akan membawa kami kembali ke Bima hanya ada pada waktu pagi, jadilah kami harus mencari penginapan di Labuhan Bajo. Setelah berkeliling ke beberapa penginapan, kami menemukan yang cukup murah. Satu kamar seharga Rp 175.000/ malam yang bisa diisi oleh 3 orang. Fasilitasnya adalah kasur, AC, dan kamar mandi dalam. Lumayanlah untuk melepas lelah setelah tracking di perbukitan Pulau Komodo.

Kamis, 08 Januari 2015

Inferior dan Superior

Siang tadi saya ngobrol lumayan panjang dengan atasan saya. Obrolan tiba-tiba mengarah ke perekonomian Jepang baru-baru ini. Sejak berada di Indonesia, atasan saya sering kali diperlakukan istimewa oleh orang-orang Indonesia. Belakangan, atasan saya baru menyadari bahwa orang Indonesia sering kali melihat orang asing, terutama yang berkulit kuning dan putih, berada di strata sosial yang lebih tinggi dari orang lokal (baca:Indonesia). Orang asing sering dipandang sebagai yang lebih pintar, lebih kaya, lebih bisa kerja bagus. Bangsa Indonesia adalah inferior sedangkan bangsa kulit kuning dan putih adalah superior, mungkin seperti itulah istilah yang bisa disematkan. Apakah kenyataannya memang demikian?

"Sore wa zettai machigai yo!" (Itu salah besar ya!), demikian bantahan atasan saya. Ia melanjutkan, "Orang Jepang pun banyak yang miskin, sulit mencari pekerjaan, homeless semakin bertambah", begitu lanjut atasan saya.

Saya kemudian teringat sebuah serial drama yang berjudul "Papadoru". Tokoh utama drama tersebut adalah ibu muda, single parent, bernama Haruka. Setelah bercerai dengan suaminya, Haruka harus mati-matian menghidupi ketiga anaknya. "Kalau siang malam tidak bekerja, kami bisa makan apa?", begitu kata Haruka di salah satu episodenya. Diceritakan bahwa Haruka harus bekerja di 2 tempat dalam sehari, pagi sampai malam.

Serial drama lainnya yang menggambarkan sulitnya perekonomian Jepang adalah "Priceless". Takuya Kimura, pemeran utama di serial tersebut melakonkan tokoh seorang karyawan perusahaan yang baru saja mengalami pemecatan. Setelah dipecat, ia menjadi homeless karena tidak bisa menyewa tempat tinggal. Setting drama kemudian lebih banyak menggambarkan tentang kehidupan para homeless yang makan dari pemberian orang, tidur di pinggir jalan, berselimut kardus, kedinginan waktu musim dingin, dst. Masih di drama Takuya Kimura ini juga, sempat ada cerita tentang pemulung yang memunguti kaleng bekas minuman dari tempat sampah.

Cerita yang tergambar dalam 2 serial drama tersebut memang mewakili apa yang terjadi di Jepang saat ini. Di sebuah negara yang sudah masuk dalam kategori negara maju semacam Jepang pun masih ada yang namanya orang miskin, gembel, pemuda lontang-lantung bingung mencari kerja, dan sebagainya.

Jadi, apakah kita masih menganggap bangsa kita inferior?



Rabu, 07 Januari 2015

Tantangan 2

Kali ini tantangannya adalah membuat tulisan sepanjang 100-200 kata dengan memasukkan 10 kata ini : Setrika-kapur-purnama-makelar-larva-vanila-lawan-wanda-dalang-langka. Makin susah oey!! Tapi tidak apalah. Saya coba ya!!


                                                           ***

Adalah Jalatunda, sebuah desa yang berada di lereng bebukitan kapur di selatan Jawa. Desa ini memiliki tradisi yang tergolong langka yaitu diadakannya pagelaran wayang kulit setiap malam purnama Bulan Suro pada penanggalan Jawa. Menurut kepercayaan warga setempat, jika tradisi ini dilawan, maka satu-satunya mata air yang ada di desa tersebut akan mati. Alhasil, warga tidak pernah sekalipun meniadakan pagelaran wayang ini.

Semua orang tahu bahwa untuk mendatangkan dalang beserta rombongan itu tidaklah murah. Oleh karena itu, warga yang sebagian besar berprofesi sebagai makelar hewan ternak itu setiap bulan harus menyisihkan penghasilan mereka untuk disetor ke kepala desa.

Aku ingat betul dulu ketika aku masih kecil, pernah beberapa kali menyaksikan pagelaran wayang di Jalatunda. Bagi anak-anak kecil seperti aku ini, yang membuat kami tertarik bukanlah lakon atau wanda para tokoh pewayangannya, melainkan deretan penjual mainan dan jajanan. Salah satu jajanan favoritku adalah es lilin rasa vanila. Sedangkan bagi adik laki-lakiku yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi bak larva ngengat yang selalu menempel di daun ini, ia paling suka membeli stiker setrika yang nantinya ia tempel di kaosnya.

Tantangan 1

Critanya ini sedang ikut tantangan menulis di grup #PMSukaMenulis. Tantangan pertamanya adalah membuat tulisan dengan 3 kata yaitu gelas, kecambah dan presiden. Panjang tulisan tak boleh lebih dari 100 kata. Baiklah, saya terima tantangan pertama ini. Yoshhh!! (gulung lengan baju, hehe..)

                                                          ***
Bibit gabah yang mamak rendam sejak 3 hari lalu, kini sudah berkecambah. Segera saja dipisahkan airnya dan bibit itu pun siap disebar di tanah yang khusus disiapkan untuk menumbuhkan bibit-bibit itu.

Sejak lepas subuh bapak sudah berangkat ke sawah. Maka, setelah bibit ditaruh di sebuah tumbu (semacam periuk bambu), mamak siap menggendongnya menuju sawah. Aku pun menguntit di belakang mamak sambil menenteng gelas dan ceret berisi teh hangat manis untuk bapak. Di perjalanan mamak bercerita bahwa abang pertamaku minggu depan akan diundang ke kantor wakil presiden dalam upacara pelepasan Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar. Aku girang bukan kepalang. Akhirnya abangku bisa bertemu pak wakil presiden. Kalau begitu, aku nanti harus bisa bertemu presiden, ujarku dalam hati. 





Catatan : Tulisan-tulisan lainnya yang dibuat untuk menjawab tantangan berikutnya akan saya kumpulkan dalam label PM Suka Menulis.