Translate

Senin, 12 September 2016

Cerita Sebelum 3 Juli

Tanggal 3 Juli lalu saya menikah dengan seorang lelaki yang insyaAllah baik agamanya. Melalui proses ta'aruf sekitar empat bulan, akhirnya kalimat akad terucap dari bibir lelaki yang kini menjadi imam saya ini. 

Banyak orang di sekitar saya bertanya-tanya tentang pernikahan kami yang terkesan mendadak ini. Mereka semakin terkaget-kaget setelah tahu bahwa sebelum menikah, saya dan (calon) suami hanya bertemu tiga kali saja. "Bagaimana bisa?", tanya mereka dengan mata berdenyar-denyar penuh heran. "Lha ini buktinya bisa, hehe." Saya hanya bisa menjawab sembari bercanda.

Proses perkenalan kami dimulai Bulan Februari dengan pertukaran biodata yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh beberapa pihak sebagai perantara. Oleh karenanya, antara saya dan masnya tidak ada komunikasi secara langsung.

Setelah membaca biodata dan sholat istikhoroh, kami sepakat untuk melanjutkan proses ini ke tahap berikutnya yaitu pertemuan. Karena saya bekerja di Jakarta dan masnya bekerja di Kalimantan, maka kami sepakat untuk bertemu di Jogja. Tentu, kami tidak bertemu berdua saja. Kami ditemani oleh guru ngaji dan saudara. Di hari pertemuan itu, kami saling mengkonfirmasi apa-apa yang belum jelas dari biodata kami. Pertanyaan lain yang relevan pun boleh ditanyakan di sana.

Usai pertemuan tersebut, kami diberi waktu seminggu untuk kembali istikhoroh dan mempertimbangkan masak-masak keputusan yang akan kami ambil. Bagaimanapun, bagi kami, menikah tidak hanya untuk kebersamaan dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Jadi, semua pertimbangan yang ada sebisa mungkin kami muarakan hanya pada dan untuk Allah.

Singkat cerita, kami memutuskan untuk melangkah ke tahap selanjutnya: silaturahim keluarga. Sejak keputusan lanjut itu, guru ngaji saya kemudian membuatkan grup WhatsApp yang beranggotakan beliau sendiri, suaminya, saya dan masnya. Grup ini dibuat sebagai fasilitas komunikasi antara saya dengan masnya.

Karena kami sama-sama bekerja di instansi pemerintahan, kami tidak bisa sering-sering izin untuk pulang ke kampung halaman. Akhirnya, silaturahim keluarga baru bisa kami lakukan di awal Mei yang kebetulan saat itu ada tanggal merah dua hari berturut-turut. Hari pertama masnya silaturahim ke rumah orang tua saya, di Klaten, ditemani oleh kakak iparnya. Selanjutnya, hari kedua giliran saya silaturahim ke Kebumen, ke rumah orang tua masnya.

Sampai di tahap ini alhamdulillah tidak ada keraguan. Restu orang tua pun telah diberikan. Maka, kami sepakat menyelesaikan proses ini secara happy ending. Dua minggu setelah silaturahim, keluarga masnya datang ke rumah orang tua saya untuk khitbah, lamaran. Di hari itu pula ditentukan tanggal akad nikahnya. Pada tanggal 3 Juli yang bertepatan dengan 28 Ramadhan 1437 H, kami resmi menjadi pasangan suami istri. Tidak ada pesta besar, hanya tasyakuran sederhana yang dihadiri tetangga, kerabat dan teman dekat.

Kini, di hadapan kami terentang jalan panjang yang mesti kami tapaki bersama. Semoga, Allah Yang Maha Baik senantiasa memberkahi kami dengan kesyukuran dan kesabaran dalam perjalanan ini.

sumber foto: koleksi pribadi

Rabu, 18 Mei 2016

Waktu yang Tepat

Kamu sedang menghadapi situasi yang sulit. Seperti hari-hari biasanya, kamu membaca Quran. Lalu, sampailah kamu pada ayat ini, "Dan jika Allah menimpakan sesuatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang"(QS.Yunus:107). Bagaimana perasaanmu?

Kamu sedang memiliki masalah yang tidak bisa kamu selesaikan sendiri. Tiba-tiba Allah mengirim orang-orang di sekitarmu untuk membantumu walapun kamu tidak pernah memintanya. Apa yang kamu rasakan?

Kamu seorang yang memiliki suara pas-pasan. Tiba-tiba kamu terpilih sebagai anggota paduan suara di kantormu. Sudah jelas alasannya: bukan karena suaramu yang bagus, melainkan di kantormu memang sudah tidak ada orang lain lagi. Lalu, pada latihan yang ke sekian, kamu menghadapi masalah yang membuat hatimu sedih. Dalam waktu yang bersamaan, pelatih paduan suara mengajarkan lagu baru berjudul Esok Kan Bahagia dari D' Masiv. Lagunya seperti ini,


Kesedihan hari iniBisa saja jadi bahagia esok hariWalau kadang kenyataanTak selalu seperti apa yang diinginkan
Kan ku ikhlaskan segalanyaKeyakinkan ini membuatku bertahan
Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapiSemua yang terjadi pasti ada hikmahnya
Walau kadang kenyataanTak selalu seperti apa yang diinginkan
Kan ku serahkan semuanyaKeyakinan pada-Nya menjadikanku tenang
Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapiSemua yang terjadi pasti ada hikmahnya (pasti ada hikmahnya)Ku kan terus berjuang, ku kan terus bermimpiTuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah (lebih indah)
Harus yakin (harus yakin)Pasti bisa (pasti bisa)
Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapiSemua yang terjadi pasti ada hikmahnya (pasti ada hikmahnya)Ku kan terus berjuang, ku kan terus bermimpiTuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah (lebih indah)
Ku kan terus berjuang, ku kan terus bermimpiTuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indahTuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah(hidup yang lebih indah)
Kesedihan hari iniBisa saja jadi bahagia esok hari

Jadi, apakah kamu perlu tisu saat menyanyikan lagu itu?


Kamu demam semalaman. Pagi harinya kamu mau keluar untuk membeli sarapan pun rasanya berat. Tiba-tiba teman kosmu mengetuk pintu dan memberimu semangkuk bubur kacang hijau hangat tanpa dia tau kalau sebenarnya kamu sedang demam. Bagaimana rasanya hatimu?

Kamu pergi ke toko buku. Saat itu seorang shopkeeper memberi tahu bahwa kalau kamu mau berfoto dengan buku-buku yang sudah kamu beli lalu kamu mengunggahnya di Twitter, pihak toko buku akan memberimu hadiah. Kamu pun akhirnya mengikuti penjelasan tersebut. Selesai mengunggah foto, kamu menuju meja customer service. Akan tetapi, kamu tidak menemukan shopkeeper yang tadi memberimu penjelasan tentang hadiah tersebut. Setelah kamu jelaskan maksudmu, seorang shopkeeper lainnya memberimu dua buah buku anak-anak. Kamu membaca sekilas buku tersebut dan menyimpulkan bahwa buku tersebut kurang menarik sehingga kamu memutuskan untuk tidak mengambilnya. 

Kamu lalu bergegas untuk pulang. Saat kamu menuruni eskalator, ada yang memanggilmu dan berkata. "Mbak, ini hadiahnya!!" Ia ternyata adalah shopkeeper yang pertama tadi. Maka, ia kemudian mengejarmu menuruni eskalator. Sampai di lantai dasar,  kamu menerima hadiah itu. Hadiahnya berupa komik sains anak, buku cerita anak dan buku catatan mungil yang manis ber-cover Le Marriage, Happily Ever After. Sebagai perempuan dewasa yang siap menikah, bagaimana perasaanmu saat menerima buku catatan itu? 



Selasa, 12 April 2016

Tersenyum dalam Gelap

Rupanya, senyum memanglah bahasa universal yang bisa menghubungkan semua manusia, baik yang sudah saling mengenal maupun yang belum saling mengenal. Saya pernah sengaja melakukan percobaan sederhana selama beberapa hari tentang bahasa universal ini. Saat berada di elevator kantor misalnya, saya mencoba tersenyum pada orang-orang yang kebetulan ada di sana. Walaupun meraka tidak mengenal saya, ternyata mereka membalas senyuman saya. 

Percobaan selanjutnya saya lakukan saat saat naik kereta commuter line. Saat itu gerbong kereta sedang penuh sesak. Saya tidak mendapat besi pegangan tangan. Saya melihat ada sebuah pegangan yang kosong namun berada agak jauh dari posisi saya. Lalu, sembari tersenyum, saya meminta seorang wanita muda yang berdiri di dekat pegangan tersebut untuk menggeser tangannya. Wanita tersebut membalas senyum saya, kemudian mengalihkan tangannya ke besi pegangan yang kosong sehingga saya bisa berpegangan pada besi yang sebelumnya ia pakai. 

Di beberapa kesempatan lainnya, saya mencoba tersenyum ketika mengawali pembicaraan dengan orang lain, baik yang sudah saya kenal maupun yang belum saya kenal. Hampir semua orang tersebut ternyata membalas senyuman saya. Dari sini saya menyimpulkan bahwa ekspresi lawan bicara kita adalah sebagaimana ekspresi kita yang mengajak bicara. Saat kita berbicara sambil tersenyum, maka lawan bicara kita akan mengikutinya.

Karena merupakan ekspresi wajah, senyuman mungkin hanya bisa terindra oleh penglihatan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tuna netra? Ketika saya tersenyum pada mereka, apakah mereka bisa mengetahui bahwa saya sedang tersenyum pada mereka? Pertanyaan ini muncul seketika saat saya mengikuti Diklat pengangkatan pegawai di kantor dimana saya bekerja. Dari 30 peserta yang terdaftar, 3 diantaranya merupakan tuna netra. Mereka adalah Evi, Bang Zul dan Kang Asep.

"Haloo Evi, masih kenal aku gak?", saya menyapa Evi sambil menjabat tangannya. Evi tersenyum, "Aduh, mbak siapa ya? Maaf, Evi lupa Mbak!" Saya memaklumi karena kami baru saling mengenal setahun yang lalu, itupun hanya sepintas lalu karena kami harus segera berpisah untuk bertugas di satuan kerja masing-masing. Evi bertugas sebagai pembimbing psikologi di sebuah panti di Sukabumi, sedangkan saya sebagai auditor di kantor pusat, Jakarta.

Sore itu kami mengobrol beberapa menit. Kami bertukar cerita apa yang terjadi setahun terakhir ini. Saya memperhatikan wajah Evi baik-baik. Ada senyum manis di balik setiap kata yang keluar dari bibirnya. Senyuman yang mendamaikan hati siapa saja yang sore itu memandang lekat wajah Evi. Mulai hari itu dan 19 hari selanjutnya, selalu ada kedamaian setiap kali melihat bagaimana Evi tersenyum. 

Oleh karena itu, hampir semua dari kami (peserta diklat yang perempuan) selalu suka menggandeng tangan Evi entah ketika berjalan ke kelas, ke lapangan atau ke tempat makan. Secara bergantian kami juga responsif mengambilkan makanan untuk Evi. Kami pun akhirnya tau bagaimana SOP mengambilkan makanan untuk tuna netra. Pertama-tama, kami melihat menu makanan apa saja yang tersedia. Lalu kami memberitahukannya pada Evi agar ia memilih ingin diambilkan makananan yang mana dan seberapa banyak. Setelah makanan kami ambilkan, kami menerangkan tentang posisi makanan yang ada di atas piring. Cara menerangkannya adalah sesuai dengan arah jarum jam. Misalnya seperti ini: nasi ada di tengah dan sayur ada di angka 9. Lalu di angka 11 ada ayam goreng. Sebelah kanan ayam ada tahu balado dan disusul krupuk sampai angka 3. 

Kami selalu suka melakukan semua itu untuk Evi. Wajah Evi yang hampir tak pernah lepas dari ekspresi senyuman itu semakin membuat kami dengan senang hati membantu Evi. 

Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa tanpa bisa melihat ekspresi wajah kami pun Evi selalu menjawab kata-kata kami dengan senyuman? Entah saya tersenyum ataupun tidak saat memulai pembicaraan dengan Evi, selalu saja wajah Evi menunjukkan ekspresi senyum manisnya. Dengan melihat senyum Evi, tanpa saya sadari saya pun itu tersenyum. 

Mengenal Evi membuat saya belajar banyak hal. Jika dalam gelap saja Evi menebar senyuman untuk orang-orang sekitar, bagaimana dengan kita yang hidup dalam terang-benderang?


Mbak Arta (berkaca mata) dan Evi

Sabtu, 26 Maret 2016

Kami Bersaudara

Kata Mas Gun, "Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan." Seperti dalam pertemanan dan jodoh misalnya. Kita akan selalu dipertemukan dengan orang-orang yang punya tujuan sama. Hati kita hanya akan benar-benar sakinah jika kita dekat dengan orang-orang yang punya banyak kesamaan dengan kita, terutama kesamaan tujuan hidup.

Pun kami, Pengajar Muda Karumbu Ceria Sholehah. Aih, maafkan kami menyematkan frasa yang demikian panjang sebagai panggilan kami berempat, Kak Mutia, saya, Diah dan Riri. Iya, karena kami sadar betul bahwa nama adalah doa. Semoga kami sungguh menjadi wanita yang sholehah dan selalu ceria. Aamiin.

Gerakan Indonesia Mengajar adalah jalan yang mempertemukan kami berempat. Seperti kata Mas Gun tadi, kami bertemu karena tujuan kami sama, memberikan setahun waktu kami untuk anak-anak Indonesia. Itulah mengapa, meskipun kami berasal dari 4 generasi penugasan, kami tetap memiliki kedekatan jiwa.

Jalan yang kami tempuh seumpama jalan panjang yang tak melulu lurus. Tapi, tujuan kami satu. Kak Mutia, generasi pertama adalah ibarat pembabat hutan. Ia memainkan perannya selama setahun. Lalu, perjalanan itu saya lanjutkan hingga setahun berikutnya. Datanglah Diah, yang mengisi rangkaian estafet ini selama setahun berikutnya. Setelah Diah menyelesaikan tugasnya, Riri menggenapinya sebagai pelari ke-4, masih dalam garis estafet yang sama. Maka, praktis kami tidak pernah berlari dalam waktu bersamaan. Namun tetap, tujuan yang sama adalah pengikat jiwa-jiwa kami. Ikatan yang membuat kami merasa bersaudara satu sama lain.

Kini, ketika perjalanan 4 tahun itu sudah selesai, ternyata ikatan kesejiwaan kami tidak lantas pudar sampai di sana. Yang ada justru sebaliknya. Ada ruang khusus yang kami siapkan di hati kami untuk ikatan ini.  Meski masing-masing kami memiliki kesibukan yang berlainan, jika janji pertemuan sudah disepakati, maka ia akan menjadi prioritas.

Minggu lalu, Pak Yusuf, salah satu penggerak pendidikan di desa dulu kami ditugaskan, datang ke Jakarta memenuhi undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah pengaturan jadwal yang tak mudah, kami berempat sepakat akan bertemu untuk menyambut kedatangan Pak Yusuf. Kami akan bertemu di salah satu tempat makan di kawasan Jalan Margonda Depok, Sabtu petang.

Saya tiba di Stasiun UI tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Pak Yusuf sudah hampir sampai di UI. Riri masih terjebak hujan lebat di kawasan Sudirman, Kak Mutia masih berganti pakaian di kos karena baru pulang dari kondangan. Dan Diah, berkali-kali saya telepon tapi tidak ada jawaban. Cepat-cepat saya berjalan ke tempat pertemuan yang kami sepakati. Tiba di sana, saya memesan tempat lalu bergegas ke mushola, sholat maghrib.

Saat saya kembali dari mushola, Pak Yusuf dan seorang temannya, Pak Ajhar, sudah tiba di sana. Kami lalu memesan makanan dan bernostalgia tentang masa 3 tahun yang lalu, masa saat saya masih bertugas di Desa Karumbu. Satu jam kemudian Kak Mutia datang dan disusul Riri beberapa menit berikutnya. Suasana semakin ramai dan obrolan pun semakin seru.

Tapi, terasa ada yang kurang. Diah belum datang. Diah lalu menelpon kalau dia belum berangkat dari Bintaro karena suaminya ketiduran di masjid setelah sholat maghrib dan sekarang baru menjemput Diah di Klinik tempatnya bertugas. Karena Diah sangat ingin bertemu dengan Pak Yusuf dan juga kami, maka kami sepakat menunggu kedatangan Diah dan suaminya. Akhirnya, lewat jam 10 malam kami bisa kumpul dalam formasi lengkap. Alhamdulillah!

Bagi saya, bertemu dengan mereka adalah sama dengan memperbarui energi dan semangat. Terlebih, malam itu ada Pak Yusuf yang membawa banyak cerita perubahan dari Karumbu. Memori saya bertubi-tubi berlesatan ke desa yang berada di pesisir tenggara Pulau Sumbawa itu. Ada rindu yang menyeruak akan suasana desanya juga orang-orang yang pernah bekerja bersama saya di sana.


makan hampir tengah malam


Kamis, 24 Maret 2016

Asam dan Basa Makanan

Semua orang menginginkan badan yang sehat, bukan begitu? Saat badan kita sehat, aktivitas kita bisa lebih produktif daripada saat sakit. Dan yang paling penting, badan yang sehat akan membuat pikiran dan perasaan kita menjadi lebih tenang.  

Namun, sebagian kita terkadang baru menyadari pentingnya gaya hidup sehat saat penyakit datang menyerang. Nah, sebelum itu terjadi, ada baiknya kita menerapkan pola hidup sehat sedini mungkin. Dan pola hidup sehat ini bisa kita mulai dari mengatur asupan makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Banyak ahli sepakat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan kita adalah apa yang kita makan. 

Mulai awal tahun ini, saya bergabung dengan komunitas yang concern pada pola makan sehat. Komunitas ini dikomadoi oleh Bunda Andi Nurlaela Sultan, seorang konsultan pola makan sehat. Banyak ilmu telah beliau bagikan pada kami, anggota komunitas. Agar ilmu tersebut tidak hanya berhenti di kami, saya menuliskannya di blog ini. Semoga semakin banyak orang memetik manfaat. 

Pelajaran pertama yang saya peroleh dari Bunda Laela adalah tentang pengkategorian makanan dan minuman berdasarkan pH (Potensi Hidrogen). Ini penting kita ketahui karena nilai pH yang masuk dalam tubuh kita akan mempengaruhi kesehatan kita. Semakin tinggi pH suatu makanan/minuman, maka semakin baik juga untuk kesehatan.

Berdasarkan pH, makanan/minuman dibagi menjadi dua kelompok yaitu acid (asam) yaitu yang memiliki pH 0-6 dan makanan alkaline/alkali (basa) yaitu yang memiliki pH 7-14. Rinciaannya adalah sebagai berikut:

ACID (ASAM) : pH 0-6
  1. Semua jenis karbohidrat (nasi, roti, tepung, mie, singkong, dll) memiliki pH 5-6.
  2. Semua jenis lauk pauk (daging merah, daging putih, telur, udang, cumi, kepiting, kerang) memiliki pH 4 dan 5. Nilai pH babi hanya 3, sedangkan pH ikan 6. Jadi, ikan lebih baik banyak dikonsumsi daripada daging. 
  3. Soft drink, coklat, keju, kue, mie instan, susu, mentega : pH 5 dan 6.
  4. Semua obat-obatan : pH 6. 
ALKALI (BASA) : pH 7-14
  1. Apel, pir, pepaya, anggur, pisang, nanas : pH 8 dan 9
  2. Tomat, wortel, bit, brokoli, lobak, dll : pH 10
  3. Terong ungu, mentimun, bayam, seledri dan kacang panjang : pH 11
  4. Lemon, rumput laut, ganggang air tawar, madu murni dan Brazilian Propolis : pH 12
  5. Daun Kelor (yang paling tinggi nilai pH) : pH 13
  6. Semua rempah-rempah (merica, ketumbar, jahe, kunyit, kapulaga, kayu manis, bawang merah dan bawang putih : pH rata-rata 10
Jika kita menginginkan badan kita lebih sehat, kita harus menjalani pola makan 80:20, artinya 80% berupa makanan yang mengandung pH 7-14 (alkali) sedangkan 20% sampai 30% berupa makanan yang mengandung pH 0-6 (asam). Kebiasaan kita orang Indonesia selama ini pada umumnya justru banyak mengkonsumsi karbohidrat (asam) daripada buah dan sayuran (alkali). Ini kebiasaan yang kurang baik karena darah dalam tubuh kita akan kelebihan asam. Dampaknya adalah kita akan mudah lelah, cenderung kelebihan berat badan dan mudah terserang penyakit.

Jadi, apakah kita siap mengubah pola makan? Memang tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan kita. Kata Bunda Laela, "Kesehatan bukan datang karena kebetulan, tapi sesuatu yang perlu dipelajari, diupayakan dan diperjuangkan. Anda pasti bisa mengubah pola makan, bila Anda pikir Anda bisa." 

sumber gambar: vemale.com

Senin, 21 Maret 2016

Belajar Setawakal Maryam

"Aku gak tau apa yang akan terjadi ke depan, Tam. Aku tawakal wae pokoke. Belajar setawakal Maryam". Kata-kata itu meluncur begitu saja sebagai konklusi pembicaraan saya dan Tami malam itu, sebelum sambungan telepon kami akhiri. 

Di dalam Al Quran ada banyak sekali kisah penuh hikmah. Salah satu kisah yang paling saya suka adalah kisah Maryam. Ketawakalan Maryam atas takdir Allah adalah inspirasi yang luar biasa bagi saya. Bahkan, saya sampai membubuhkan post it pada ayat-ayat Al Quran yang menceritakan kisah ibunda Nabi Isa AS ini sehingga saya bisa dengan mudah mengulang-ulang membacanya jika sedang menginginkannya.

Maryam adalah anak yang kelahirannya sangat dinanti-nantikan oleh Imran dan istrinya. Setelah sekian lama menikah, istri Imran akhirnya mengandung. Saat itulah istri Imran ini bernadzar bahwa jika nanti bayinya lahir, maka akan menjadi hamba yang mengabdi pada Allah. Namun, ternyata bayi yang dilahirkannya adalah perempuan yang kemudian diberi nama Maryam. Sesuai dengan nadzarnya, istri Imran kemudian menyerahkan Maryam kepada Nabi Zakaria untuk diasuh di Baitul Maqdis. 

Maryam kanak-kanak adalah seorang ahli ibadah. Sehari-sehari ia berdiam di mihrabnya untuk beribadah. Sesekali Nabi Zakaria masuk ke mihrab Maryam untuk mengantar makanan. Akan tetapi, setiap Nabi Zakaria membawa makanan, di dalam mihrab Maryam sudah terdapat buah-buahan. Anehnya, saat musim panas, buah yang ada di mihrab Maryam adalah buah-buahan musim dingin. Begitu pula sebaliknya. 

Ini membuat Nabi Zakaria terheran-heran sehingga bertanya kepada Maryam dari mana buah-buahan itu. Maryam menjawab bahwa itu berasal dari Allah SWT. Keajaiban ini menyadarkan Nabi Zakaria akan kebesaran Allah. 

Kala itu Nabi Zakaria dan istrinya sudah berusia senja. Mereka tidak mempunyai anak karena istrinya adalah seorang yang mandul. Nabi Zakaria menerima takdir Allah ini dan tidak pernah berdoa untuk memohon kepada Allah agar diberi keturunan. Setelah menyaksikan keajaiban yang terjadi pada Maryam, Nabi Zakaria berfikir bahwa jika Allah menghendaki, istrinya yang mandul pun pasti bisa mengandung. Kemudian beliau berdoa kepada Allah, "Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa." Allah lalu menyampaikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak laki-laki bernama Yahya. 

Maryam yang sudah memasuki usia dewasa tetaplah seorang yang rajin beribadah. Suatu hari, Maryam mengasingkan diri di sebelah timur Baitul Maqdis dan memasang tabir. Saat itulah Maryam didatangi Malaikat Jibril yang mengabarkan bahwa ia anak mengandung dan melahirkan anak laki-laki bernama Isa. Maryam hampir tidak percaya dengan ini karena ia tak pernah sekalipun disentuh oleh seorang lelaki. 

Maka kemudian Maryam mengandung. Ia mengasingkan diri di tempat yang jauh. Saat usia kandungannya tua dan rasa sakit sebelum melahirkan tiba, Maryam bersandar di pangkal pohon kurma. Malaikat Jibril menyeru Maryam agar tidak bersedih. Malaikat Jibril memintanya untuk menggoyangkan pangkal pohon kurma itu sehingga jatuhlah buah-buah kurma yang ranum. Di bawah kaki Maryam pun dijadikan anak sungai oleh Allah SWT. 

Dari keajaiban cerita kelahiran Nabi Isa binti Maryam ini kita bisa mengambil hikmah bahwa tugas kita, manusia, adalah berusaha. Adapun hasilnya, itu Allah yang mengatur. Secara rasional, bisa dikatakan tidak mungkin seorang perempuan yang sedang kesakitan menjelang melahirkan dapat menggoyangkan pangkal kurma yang kokoh sehingga buahnya bisa berjatuhan. Ini seolah menegaskan bahwa Allah hanya ingin melihat kita berusaha. Sedangkan hasil yang kita peroleh adalah hanya karena rahmat Allah.

Cerita tentang Maryam tidak berhenti sampai di sana. Jika kita mau mentadaburi semua ayat-ayat Al Quran yang menceritakan kisah Maryam, tentu kita bisa mengambil hikmah yang lebih banyak. 
Semoga kita bisa meneladani kisah putri Imran ini. 
                                                                                                          
                                                                                                              ***


Kisah Maryam dalam Surat Ali Imran

(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (35

Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk". (36

Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (37)

Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". (38

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab, (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh". (39

Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isteriku pun seorang yang mandul?". Berfirman Allah: "Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya". (40

Berkata Zakariya: "Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)". Allah berfirman: "Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari". (41) Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). (42

Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.(43)

Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (44

(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), (45)


dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh". (46


Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia. (47

Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. (48)


Kisah Maryam dalam Surat Maryam

(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, (2

yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (3

Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. (4

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, (5)

yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai". (6

Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. (7

Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua". (8

Tuhan berfirman: "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali".(9

Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat". (10

Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. (11)

Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, (12

dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, (13

dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. (14

Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali. (15

Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, (16)

maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. (17

Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa". (18

Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". (19)

Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" (20

Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan". (21)

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.(22

Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". (23

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. (24

Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,(25)

maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (26

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. (27

Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina", (28

maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?" (29

Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,(30

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; (31

dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (32

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali". (33

Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (34)

Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.(35

Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus. (36

Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar. (37

Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami. Tetapi orang-orang yang zalim pada hari ini (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata. (38)

                          https://www.youtube.com/watch?v=GXwyJq3X8Ew

sumber gambar: muslimtei.tumblr.com

Minggu, 06 Maret 2016

Doa untuk Diah

Tanggal 5 Maret 2016 ini adalah hari istimewa untuk sahabat kami, Diah Septyadari. Setelah sekian lama, akhirnya Pengajar Muda (PM) Karumbu pecah telur juga! Alhamdulillah! Maka, setelah ini tidak akan ada lagi yang berkomentar, "Kok PM Karumbu belum ada satupun yang nikah sih? Kan PM desa lainnya udah ada semua meski cuma satu." Dengan bangga kami akan berkata, "Ni Diah udah nikah, mohon doakan Kak Mutia, saya dan Riri segera menyusul ya!" :-D

Kak Mutia, saya, Riri dan beberapa PM desa lainnya didaulat Diah sebagai panitia. Istilah kerennya WO lah. Kami semua excited! Saking excited-nya, Mas Gatot, Kak Asnoer dan Benny bahkan sudah membeli tiket PP Bandung-Jakarta sebulan sebelum hari H. Luar biasa!

Masing-masing kami sudah diamanahi tugas. Riri, korlap kami pun sigap mengkoordinir kami. Dua kali pertemuan digelar sebagai persiapan.  

Qadarullah, akhirnya saya tidak bisa hadir dalam acara yang kami tunggu-tunggu itu karena harus mengikuti tugas diklat. Saya hanya bisa menyelesaikan salah satu amanah saya yaitu mengumpulkan doa-doa yang kemudian didesain dan dibingkai sebagai pajangan untuk menyambut para tamu. Nah, karena saya tak mahir di dunia per-desain-an, maka setelah doa terkumpul, saya meminta bantuan teh Morinta Rosandini untuk mendesain doa-doa tersebut. Hehe.

Agar desain yang  cantik ini tidak hanya bermanfaat saat acara walimatul'ursi Diah dan Bambang, setelah mendapat izin dari sang desainer, saya membagikannya dalam tulisan ini. Semoga bisa memberikan manfaat yang lebih luas. Check this out ya!











Sabtu, 05 Maret 2016

Langkah Kecil Purina

Kami adalah teman sekantor. Purina bertugas di lantai 4, sedangkan saya di lantai 7. Perbedaan ruang kerja ini membuat kami sangat jarang bertemu dan kurang begitu akrab. Sesekali bertemu di lobi kantor, saya hanya sekedar menyapanya, "Halo Puri!"

Awal pekan lalu kami mengikuti diklat sebagai persyaratan pengangkatan pegawai di kantor kami. Tak disangka, di asrama kami ditempatkan di kamar yang sama.

Kami tiba di balai diklat menjelang asar. Setelah mendapat informasi bahwa kami ditempatkan di kamar yang sama, kami berjalan perlahan menuju kamar, di lantai 2. Saat itulah saya baru benar-benar memperhatikan bagaimana Puri berjalan. Kaki kanannya sepertinya agak sulit digerakkan. Ada dua pilihan jalur menuju lantai 2; anak tangga biasa dan jalur landai namun lebih panjang yang biasanya dipakai oleh pengguna kursi roda. Puri memilih yang kedua. 

Tiba di kamar dan membereskan barang bawaan, kami bersiap untuk sholat asar. "Kita berjama'ah yuk?", ajak saya. "Hayuk!", jawab Puri singkat. 

Saya mengimami sholat asar kami sore itu. Jujur, saya kurang berkonsentrasi saat gerakan sholat kami sampai pada posisi "duduk di antara dua sujud". Puri tidak duduk secara sempurna. Ia duduk seperti posisi setengah berlutut. Sepertinya sendi bagian mata kakinya tidak bisa ditekuk. Saya semakin tidak bisa konsentrasi saat kami sampai pada posisi takhiyat. Kaki Puri nampak kesusahan menopang berat badannya. 

Berhari-hari saya tidak berani menanyakan ada apa sesungguhnya dengan kaki kanan Puri. Bukankah setiap orang mempunyai hal-hal tertentu yang kurang nyaman untuk dibahas? Bisa jadi, bagi Puri, memberi penjelasan tentang kondisi kakinya pada orang baru seperti saya ini akan membuatnya kurang nyaman. Maka, saya simpan pertanyaan itu dalam hati.

Saya semakin penasaran karena Puri selalu mengenakan kaos kaki selama di kamar. Saat keluar dari toilet pun Puri selalu sudah mengenakan kaos kaki. 

Rasa penasaran saya terjawab sudah pagi tadi. Saat saya selesai Sholat Sunah Fajar, saya melihat Puri keluar dari toilet tanpa kaos kaki. Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Ya Allah, ternyata Puri memakai kaki palsu sebagai pengganti kaki kanannya yang kurang sempurna. Seketika saya ingin menangis tapi saya tahan karena mungkin itu justru akan mengecilkan perasaan Puri.

Siang harinya, saat kami istirahat siang, kami mengobrol tentang teman-teman kami yang disabilitas. Lalu, pelan-pelan saya bertanya, "Kalau Puri, kakinya sakit sejak kapan?" Dengan ringan Puri menjawab, "Ini udah sejak lahir, Mbak. Bagiku ini udah biasa sih Mbak. Soalnya sejak aku lahir kakiku memang udah begini, jadi gak ada yang berubah. Yang mungkin sulit itu seperti kasusnya Mas Bina. Soalnya dia kan lagi kuat-kuatnya, terus kecelakaan dan sekarang gak bisa jalan. Itu pasti bikin down banget."

Sungguh, saya sangat kagum dengan Puri. Keterbatasan fisik tidak membuatnya berputus asa akan rahmat Allah. Setelah lulus SMA dari Lampung, kampung halamannya, ia memilih merantau sendirian ke Semarang. Jurusan Statistika Universitas Diponegoro dipilihknya untuk menimba ilmu. Tepat 4 tahun anak bungsu dari 4 bersaudara ini meraih gelar sarjananya. Saat ini Puri sudah menikah dan tengah mengandung 2 bulan.

Mengenal dan mengakrabi Puri adalah cara yang sepertinya Allah berikan bagi saya untuk semakin bersyukur dengan apa yang sudah Allah berikan pada saya. Dan bersyukurnya anggota badan adalah dengan dimanfaatkannya untuk beramal kebaikan. Kaki yang kuat, semoga selalu dipakai untuk melengkah ke tempat-tempat baik. Lisan yang fasih semoga tidak dipakai untuk melukai hati sesama. Dan seterusnya, dan seterusnya. Semoga Allah Yang Maha Pengampun, mau mengampuni anggota badan yang masih sering lalai bagaimana caranya bersyukur ini. 



Sabtu, 20 Februari 2016

Para Penjaga Iman

"Kata kakak aku yang di Medan mbak, dia iri lihat kita bisa pergi ngaji kemana-mana. Ustadnya bagus-bagus lagi. Dia pengen banget hadir langsung di kajian ustad Syafiq Reza Basalamah aja gak pernah ada kesempatan", kata mbak Arta sembari menunggu ayam goreng pesanannya siang itu.

"Iya ya Mbak, kita beruntung tinggal di Jakarta. Banyak majelis ilmu bisa kita datangi", saya menimpali. 

"E, tunggu dulu, tergantung siapa dulu temannya. Aku ngerasa beruntung lho punya teman kayak mbak ini yang suka ngajakin pergi ngaji", lanjut Mbak Arta.

"Ah, aku yang justru beruntung bisa punya teman-teman kantor kayak kalian yang semangat banget diajak pergi ngaji. Coba aku pergi sendiri terus, mungkin tidak akan se-istiqamah ini. Saking ngerasa beruntungnya ya, aku udah mau nulis tentang kalian di blog lho. Tapi belum ada waktu, hehe". Percakapan siang itu memaksa memori saya berlesatan pada masa-masa kebersamaan kami hampir setahun berlakangan ini. 

Sejak berkantor di Salemba saya bertekad untuk lebih sering datang ke majelis ilmu. Awalnya saya tidak pernah mengajak teman-teman kantor saya. Saya pergi bersama Rida, dan teman-teman alumni Indonesia Mengajar; Teh Nani, Vivi dan Kak Mutia. Lalu, pada suatu hari,  Mbak Arta, teman kantor saya bertanya, "Kenapa sih Mbak Dita kalau weekend gak pernah main ke mall bareng kita-kita?" 

"Walah mbak, coba mbak Arta sebutin nama-nama mall besar di Jakarta. Kemungkinan besar udah pernah aku jelajahi tu", saya tertawa getir membayangkan  masa-masa itu. "Dulu, awal-awal di Jakarta, aku juga kayak Mbak Arta. Sering banget ke mall, entah emang beneran belanja atau sekedar lihat-lihat. Tapi lama-lama bosen Mbak. Gitu-gitu aja dan cuma menghabiskan uang."

Lama-lama saya menyadari ada yang kurang dengan kehiduapan saya. Saya rindu masa-masa seperti dulu saat di Jogja: pergi mengaji ke berbagai masjid. Maka, sejak mulai berkantor di Salemba saya bertekad untuk kembali rajin pergi mengaji.

"Jadi, mbak kalau weekend ngapain?", lanjut Mbak Arta.

"Aku biasanya pergi ngaji sama teman-temanku, Mbak."

"Ngaji kemana Mbak? Boleh ikut?" 

Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti itu respon Mbak Arta. Kebetulan beberapa hari setelah itu, tanggal 2 Juni 2015 di Masjid Istiqlal ada kajian bertema "Kokohkan Keluarga dengan Al-Quran". Pembicara utamanya adalah Ustad Bachtiar Natsir dan Oki Setiana Dewi. Saya mengajak Mbak Arta dan gayung pun bersambut. 


"Kalau akhir pekan aku ngaji ganti-ganti Mbak. Kadang ke Istiqlal, Al- Azhar, AQL atau Masjid BI. Tergantung event yang ada. Tapi kalau Rabu malam insyaAllah aku ngajinya rutin ke Al-Azhar, Kajian Lepas Kerja The Rabbanians", kata saya pada Mbak Arta suatu hari. "Ya udah aku ikut juga ya Mbak!", seru Mbak Arta.

Saya masih ingat betul kami berdua pergi ke Al-Azhar setelah jam kerja. Dari halte Matraman kami menumpang Bus Trans-Jakarta jurusan Dukuh Atas II. Dari sana kami berjalan kaki melewati jembatan penyeberangan yang lumayan panjang dan menanjak ke halte Dukuh Atas I untuk berganti bus jurusan Blok M. Kalian tau kawan, Mbak Arta ini Allah anugerahi tangan dan kaki kanan yang ototnya mengalami pelemasan sehingga tidak bisa bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Bagi orang sehat seperti saya saja, menyeberang jembatan Dukuh Atas ini sudah cukup melelahkan. Bagaimana dengan Mbak Arta? Tapi apa nyatanya? Mbak Arta tak pernah mengeluh! Pun saat harus bergelantungan di dalam bus dengan hanya bertumpu pada satu tangan dan satu kaki, dia sama sekali tak pernah mengeluh! Jika Mbak Arta saja selalu semangat pergi mengaji dalam kondisi fisik semacam itu, tidak malukah saya jika saya bermalas-malasan?

Semakin lama, teman-teman kantor tau kalau kami sering pergi mengaji. Septa dan Oci ikut bergabung. Beberapa bulan terakhir ini Mbak Desy terkadang juga ikut bergabung. Kehadiran meraka membuat kami semakin bersemangat pergi mengaji. Satu lagi yang lebih penting adalah ketika kami harus pulang malam dari suatu kajian, kami tidak perlu lagi naik bus umum. Kami bisa naik taksi atau grab car dengan ongkos patungan. :-)

Betapa beruntungnya saya diberikan teman-teman seperti mereka. Bagi saya, ini adalah nikmat yang tak mungkin terbeli dengan uang. Saya jadi teringat dengan salah seorang teman saya yang bahkan harus sembunyi-sembunyi ketika akan pergi mengaji karena tidak ingin dianggap aneh oleh teman-temannya yang sangat gaul. Saya juga teringat dengan dua teman saya yang akhirnya tidak lagi pergi mengaji karena kesibukan setelah menikah. Satu doa saya adalah, ketika saya menikah nanti, semoga Allah tetap dekatkan saya dengan para penjaga iman seperti yang saya miliki selama ini. Atau justru semoga ada semakin banyak penjaga iman di sekitar saya. 


sumber gambar: aquila-style.com

Sabtu, 13 Februari 2016

Pengakuan

Teman   : Aku ngerasa nggak menonjol di kantor.
Saya       : Pingin menonjol?
Teman   : At least gak dilupakan.
Saya       : Untuk apa?
Teman   : Ngerasa pengen diakui aja.
Saya       : Untuk apa diakui?
Teman   : Dita, aku minta dikasih tausiyah.
                  Supaya tidak berharap pengakuan manusia, tapi Allah saja.
Saya       : Kata Rasulullah kalau gak salah, "Jadikan maut sebagai sebaik-baik nasihat". 
                  Semua yang ada di dunia ini hanya sementara. 
                  Yang kekal hanya kehidupan setelah mati.

Barangkali, semua orang (termasuk saya) pada dasarnya butuh pengakuan atas keberadaan kita. Dalam bahasa lainnya, ini disebut sebagai kebutuhan akan eksistensi.

Dulu, saya pernah berada dalam posisi sangat ingin diakui. Selalu ada rasa bangga ketika orang memuji apa yang saya lakukan. Selalu ada senyum pongah ketika posisi saya berada setingkat lebih unggul dibandingkan orang-orang lain. Tapi, semakin lama saya justru tidak mendapatkan kepuasan hidup yang sesungguhnya. Saya terlalu sibuk membangun citra, mengumpulkan tepuk tangan dari orang-orang sekitar. Lama-lama saya lelah.

Adalah sesuatu yang perlu saya syukuri karena seiring dengan berjalannya waktu Allah membisikkan pemahaman bahwa semua yang saya kejar itu hanyalah tujuan yang semu. Untuk apa semua pengakuan itu jika Allah tidak mengakuinya? Untuk apa pujian dari manusia jika Allah hanya akan menghinakan kita di akhirat nanti? Untuk apa semua orang mengingat kita jika Allah sama sekali melupakan kita?

Nasihat yang saya berikan untuk teman saya itu sesungguhnya juga saya tujukan untuk diri saya sendiri. Meski saya sudah paham betul bahwa yang perlu saya kejar hanya pengakuan Allah, sesekali saya masih ingin mendapat pengakuan dari manusia. Saya terkadang masih ingin bersaing dengan orang lain dalam urusan duniawi. 

Mungkin itulah gunanya teman. Semoga Allah selalu melingkupi kita dengan teman-teman yang mau meluruskan ketika jalan kita mulai bengkok.


sumber gambar : ciputraentrepreneurship.com