Translate

Jumat, 27 Februari 2015

Kami, Kita, dan Niat Baik

Dear teman-teman BFM,

Seharian ini pekerjaan saya di kantor tidak banyak sehingga bisa menyimak obrolan kita di grup Whatshapp kita. Voluntourism, tema kita seharian ini. Adik-adik panitia Voluntourism#4 tampak sangat bekerja keras dalam hal ini. Lalu, hati saya pun tiba-tiba tersentuh setelah mengetahui cerita tentang Eirene, ketua panitia Voluntourism#4 yang saat ini sedang pulang ke kampung halamannya di Nias, Sumatra Utara. Demi bisa berkoordinasi dengan panitia lainnya via media sosial, Eirene harus naik ke bukit tertinggi berburu sinyal. Tentu saja tidak hanya Eirene yang sudah memberikan usaha lebih agar persiapan kegiatan ini berjalan dengan rapih, teman-teman lainnya pun pasti juga demikian.

Kami, generasi tua, memberikan kritik dan masukan kepada kalian, adik-adik panitia. Dan kalian sangat berbesar hati menerima semua kritik kami yang lantas segera ditindaklanjuti dengan aksi yang cepat. Sungguh, kalian keren sekali!

Ingatan saya tetiba kembali ke masa 5 tahun lalu, tepatnya Juli 2010 yaitu saat ide untuk membuat perpustakaan di lokasi KKN kami di Lombok, dicetuskan oleh Mbak Niniek dan Mbak Rusel. Apa mereka mengira ide sederhana itu akhirnya menjadi cikal-bakal terbuntuknya komunitas yang hingga awal 2015 ini terus bekerja untuk anak-anak di pelosok negeri? Tolong Mbak Niniek dan Mbak Rusel jawab ya! Hehee..

Sepulang KKN, kami memulai kegiatan trauma healing di beberapa shelter pengungsian Merapi. Anggota KKN Lombok yang baru saja pulang itu ikut bekerja bakti, memberi apa yang bisa diberikan. Orang bertambah, bantuan berdatangan. Tentu saja, "kami" sudah berkembang menjadi "kita" karena dari sanalah komunitas Book For Mountain terbentuk, komunitas yang tidak lagi hanya milik "kami", tapi "kita".

Kita rasa-rasanya seperti terkena virus "kesukarelawanan". Dari Merapi muncullah ide-ide baik lainnya. Ngadierejo, Ponre-Ponre, Pulau Sebesi, Semeru, Asahan, Bintuni, Nusa Penida, Lebak dsb adalah tempat-tempat yang berurutan kita kunjungi. Ke sana kita antarkan buku-buku terbaik untuk anak-anak. Kita mengajar dan bermain bersama mereka. Mereka gembira, kita pun bahagia.

Selain project perpustakaan, lahirlah 2 ide baik lainnya yaitu Sekolah Berjalan dan Voluntourism. Generasi pun berganti. Ada yang pergi, ada pula yang datang. Akan tetapi semangat kita sama persis, tak berbeda barang satu jengkal pun. Kadang kita harus rapat berjam-jam hingga tak jarang berselisih pendapat. Kita merogoh kocek pribadi untuk membiayai project. Kita berpeluh, melintasi alam yang menantang, tinggal di pondok sekedarnya dan makan seadanya saat berada di lokasi project. Bagi saya, itu adalah hari-hari terbaik dalam hidup saya. Hari-hari terbaik yang terus saya syukuri. Bukan hanya karena pengalamannya, melainkan juga karena kebersamaan dengan kalian. 

Energi apa yang menyatukan kita sehingga semua itu bisa kita lewati? Niat baik, mungkin itulah yang akhirnya menggerakan dan menyatukan kita, anak-anak muda dari berbagai latar belakang pendidikan. Kita bergandengan tangan, merapatkan barisan untuk bersama-sama mengupayakan senyum untuk anak-anak Indonesia. Dan sampai hari ini, upaya ini tetap kita jalankan. Apakah ini akan terus kita lanjutkan?

Ah, tiba-tiba hati saya rasanya seperti bercabang-cabang. Cukup, sepertinya saya harus menyukupkan tulisan ini. Semoga, Tuhan selalu menjaga niat kita, menguatkan langkah kita untuk terus bekerja atas nama cinta dan kebaikan. 

Selamat bekerja untuk panitia Voluntourism #4!




Kamis, 26 Februari 2015

Mengenang Buya HAMKA

Salah satu kebiasaan Buya HAMKA adalah mencatat intisari sebuah buah setelah buku tersebut selesai beliau baca. Beberapa waktu lalu saya membeli buku biografi Buya HAMKA yang ditulis oleh salah satu putranya, Irfan HAMKA. Terinspirasi oleh kebiasaan Buya yang gemar menulis intisari buku, saya menuliskan beberapa hal tentang Buya HAMKA di blog saya ini. Berharap ilmu yang saya dapatkan dari buku ini bisa terikat dan tentu saja saya berharap juga para pembaca bisa lebih kenal dengan Buya kemudian tergerak untuk mengikuti kebiasaan baik Beliau.

1. Buya HAMKA adalah sosok yang sangat dekat dengan Al-Quran. Buya selalu membawa serta Al-Quran kecilnya kemana-mana dan membacanya saat memungkinkan. Pada malam hari, sebelum tidur, Buya juga selalu membaca Al-Quran. Selain dekat dengan Al-Quran, hati Buya juga tidak pernah lepas dari dzikir untuk mengingat Allah. 

2. Buya sangat kukuh dalam urusan yang menyangkut agama. Pada suatu hari Buya mendapat surat dari Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin, yang meminta persetujuan Buya untuk membuat lokalisasi judi dan prostitusi yang legal di Jakarta. Buya kemudian membalas surat tersebut yang isinya meminta agar gubernur meninjau kembali rencana itu. 

3. Kepada istrinya, buya sering meminta pertimbangan jika akan mengambil keputusan yang besar. Buya bisa saja mengambil keputusan sendiri dengan bekal kapasitas ilmu Buya yang mumpuni. Namun, Buya tetap meminta pertimbangan istrinya. Ini adalah bukti yang menunjukkan betapa Buya sangat menghormati wanita yang sudah berpuluh-puluh tahun mendampingi hidupnya itu. Sebagai contoh, saat Buya ditawari oleh Presiden Suharto untuk menjadi Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Buya meminta pertimbangan istrinya. Lalu istrinya menyarankan agar tawaran itu ditolak saja karena sebagai duta besar nanti Buya akan menjadi sangat sibuk sehingga dikhawatirkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kesempatan beliau untuk membaca Al-Quran, menulis dan berceramah agama di masjid-masjid, di RRI dan TVRI. Buya pun menyetujui saran sang istri.

4. Saat perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, Buya berkeliling Sumatra Barat dan Riau, masuk keluar hutan dan perkampungan penduduk untuk menghimpun massa agar mau bersama-sama melawan penjajah. Ini menunjukkan bahwa Beliau adalah seorang yang sangat nasionalis.

5. Beliau sangat gemar membaca dan menulis. Sejak awal usia belasan, beliau senang mendatangi perpustakaan milik pamannya. Selesai pulang sekolah diniyah, jam 10.00-13.00 Buya remaja tenggelam dalam buku-buku dari yang bertema agama, filsafat, pergerakan hingga roman-roman. Setelah membaca buku, dicatatlah intisari buku-buku tersebut. Perbendaharaan ilmu inilah yang membuat Buya akhirnya bisa menghasilkan karya-karya sastra besar seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Vijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah. Selain menulis roman, Buya juga menulis buku-buku Agama Islam. Salah satu karya terbesarnya adalah Kitab Tafsir Al-Azhar. Buya juga mendirikan sekaligus mengelola penerbitan majalah bernama Panji Masyarakat.  

6. Selain penyayang kepada sesama manusia, Buya juga penyayang kepada hewan. Adalah Si Kuning, kucing kesayangan Buya. Awalnya, Si Kuning hanyalah bayi kucing yang kurus kering, kelaparan dan kedinginan. Kucing itu tiba-tiba berada di rumah Buya. Buya lalu mengambil kucing tersebut, mengelap tubuhnya yang basah, meletakkannya di atas keset yang di atasnya ditaruh kain dan memberinya susu kental manis. Kucing yang akhirnya diberi nama Si Kuning itu terus setia menemani aktivitas Buya di sekitar rumah. Saat Buya sholat jamaah di Masjid Agung Al-Alzhar Kebayoran Baru,  Si Kuning selalu turut serta membersamai langkah Buya. Demikian juga setiap malam saat Buya mengaji di atas tempat tidur, Si Kuning selalu duduk di atas kaki Buya.


7. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Buya difitnah oleh golongan komunis bahwa Buya merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Pada Waktu itu, tokoh yang getol menulis tuduhan tersebut adalah Pramoedya Anantatoer. Selain melancarkan kritikan pedas dan tuduhan keji terhadap Buya, golongan komunis juga membredel semua buku-buku dan karya tulis Buya. Tuduhan tersebut menyeret Buya ke dalam penjara selama 2 tahun 4 Bulan. Beberapa tahun berselang setelah Buya bebas, datangklah Astuti, salah seorang putri Pramoedya Anantatour, ke rumah Buya bersama calon suaminya yang nonmuslim. Astuti  diperintahkan sang ayah untuk mengantarkan calon suaminya kepada Buya HAMKA agar belajar Agama Islam. Buya pun bersedia mengajari agama pada pemuda itu. Ini menunjukkan betapa pemaafnya Buya. Di sisi lain, ini juga menunjukkan permintaan maaf Pram, penulis tetralogi Bumi Manusia itu, kepada Buya. Permintaan maaf yang tidak disampaikan secara eksplisit. 
 



Rabu, 25 Februari 2015

Piknik Jakarta Ceria #1

1. Museum Nasional
Hari Minggu tanggal 8 Februari lalu, saya, Rida dan seorang teman Rida jalan-jalan ke beberapa tempat di Jakarta. Tujuan pertama sebenarnya ke Galeri Nasional. Kami akan melihat pameran serba-serbi tentang Pangeran Diponegoro. Beberapa hari sebelumnya, teman saya memberi tahu saya tentang pameran itu. Katanya, Galeri Nasional itu ya Museum Nasional a.k.a Museum Gajah. Makanya, pagi itu kami naik KRL dari Jatenegara, dekat kos Rida, kemudian turun di stasiun Juanda dan sambung naik bus Trans-Jakarta turun di halte Monas. Museum Gajah persis berada di seberang halte. 

Saat akan masuk, kami bertanya kepada petugas museum dimanakah tempat diselenggarakannya Pameran Diponegoro. "Wah, itu di Galeri Nasional, Mbak. Naik busway sekali lagi turun di Gambir", jawab bapak petugas museum yang tampak ramah itu. Saya dan 2 teman saya pun saling pandang sejenak kemudian tertawa menyadari kekonyolan kami. Karena diantara kami bertiga belum pernah ada yang mengunjungi Museum yang katanya kaya akan benda-benda bersejarah dari berbagai daerah di tanah air ini, kami memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat koleksi museum. Toh tiketnya hanya Rp 5000.

Kami pun mulai berkeliling. Ternyata lengkap sekali koleksinya. Selasar sebelah kanan memajang benda-benda warisan budaya dari 34 propinsi. Perkakas rumah tangga, baju adat, perhiasan, senjata, alat musik, piranti upacara adat, dll. Semua tersimpan dalam lemari-lemari kaca dengan penataan yang menarik. Setiap benda koleksi diberi informasi ringkas dan jelas.

Di ruang-ruang berikutnya berturut-turut dipajang koleksi replika rumah adat, alat-alat dari keramik, benda-benda peninggalalan kerajaan Hindhu-Budha seperti archa dewi-dewi. Tak ketinggalan juga artefak dari zaman batu dan zaman perunggu. Saat memasuki area koleksi zaman prasejarah ini, mata saya langsung tertuju pada 3 buah nekara berdiameter kurang lebih masing-masing 1 meter yang dipajang tepat di tengah ruangan. "Wow, ternyata besar juga ya nekara itu", batin saya. Ingatan saya langsung melayang ke pelajaran Sejarah sewaktu saya SMP. Teman-teman sekelas saya sering memplesetkan kata "nekara" menjadi "neraka". Kenakalan anak baru gedhe, hehe..

Setelah kurang lebih satu jam berkeliling Museum Nasional, kami bersepakat menyukupkannya karena masih ada beberapa tempat yang ingin kami kunjungi. Belum puas sebenarnya, belum semua dilihat dan dibaca. Semoga lain kali bisa ke sini mengajak anak sendiri, anak saudara, anak tetangga atau anak siapa saja yang mau, hehe.. Soalnya tempat ini memang cocok sekali untuk mengenalkan anak-anak akan wisata budaya negeri kita tercinta. 
Nekara

2. Galeri Nasional
Sesuai namanya, Galeri Nasioanal adalah tempat memamerkan berbagai karya seni baik seni rupa, kriya, maupun sastra. Di ruang utama galeri ini dipakai untuk mengadakan pameran tematik secara berkala. Kebetulan, saat itu sedang berlangsung pameran bertajuk Diponegoro. 

Saat tiba di galeri yang letaknya hanya sepelemparan batu dari Stasiun Gambir ini (sepelemparan batu: meminjam istilah Tere Liye, hehe), kami takjub karena pengungjung pameran sangat membludak sehingga kami harus berdiri di barisan antrian yang sudah mengular. Setelah mengantri, pengunjung hanya diberikan waktu 15 menit untuk menikmati serba-serbi karya tentang Diponegoro. Kenapa hanya 15 menit? Alasannya jelas, agar bisa bergantian dengan pengunjung lainnya.

Saat sudah berada di dalam ruangan pameran, kami mulai menyusuri satu persatu karya tentang Diponegoro. Ada lukisan dari beberapa pelukis kenamaan, buku-buku baik berbahasa Indonesia maupun Inggris, diagram perjalanan hidup Diponegoro dari lahir sampai meninggal, gambar dengan media kapur tentang kronologi perang Diponegoro, dll. Sangat menarik dan informatif. Salah satu informasi yang menarik bagi saya adalah bahwa saat berada dalam masa interniran (pembuangan) oleh Belanda di Makassar, Pangeran Diponegoro ternyata menulis 2 manuskrip: Sejarah Ratu Jawa dan Hikayat Tanah Jawa, sebagai bahan bacaan bagi ketujuh anaknya yang lahir di pengasingan. Wow, keren sekali, kan?


3. Planetarium
Selesai menikmati 15 menit yang berharga, kami naik kopaja menuju Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini. Kami berencana akan menonton pertunjukan film tentang benda-benda luar angkasa di Planetarium yang mana berada di komplek TIM ini. Sayang seribu kali sayang, hari itu film sedang tidak diputar karena ada alat yang rusak. Ini adalah ke-dua kalinya saya berkunjung ke Planetarium untuk menonton film namun kedua-duanya saya gagal menonton. Saya cukup kecewa, tapi ya sudahlah. Kata Rida, "Ini namanaya belum jodoh, Dit!"

Jadilah siang itu kami hanya makan siang di komplok TIM dan sholat dzuhur di sebuah mushola milik hotel yang terletak persis di depan komplek TIM. Selesai sholat, kami berjalan kaki ke Taman Suropati.

Planetarium
Gerbang Komplek Taman Ismail Marzuki

4. Taman Suropati
Teman saya pernah menulis di blog pribadinya tentang taman yang berada di kawasan Menteng ini. Karena penasaran, saya akhirnya mengajak Rida untuk sekalian pergi ke sini. Dan, ternyata Taman Suropati yang akhirnya saya kunjungi ini, persis seperti yang dituliskan teman saya di blog-nya. Pepohonan besar yang rindang, bebungaan yang terawat cantik, rerumputan hijau yang terpangkas rapih membuat pengunjung betah berlama-lama  berada di Taman ini. Bangku-bangku tersedia cukup banyak untuk duduk-duduk. Pengunjung pun tidak hanya berduduk santai sambil mengobrol atau membaca buku di sini, diantara mereka ada yang bermain dengan hewan peliharaannya, berlatih biola, berlatih teater, mengawasi anak-anaknya bersepeda, berfoto-foto, dsb. Ah, seandainya tempat tinggal saya berada dekat dari sini, ingin rasanya sering-sering berkunjung ke taman ini sambil membaca buku. 



5. Majid Agung Sunda Kelapa
Tujuan terakhir kami adalah Masjid Agung Sunda Kelapa. Menurut kabar yang saya dengar, masjid ini cukup khas karena bangunannya yang "antimainstream" pada zaman dibangunnya. Arsitektur masjid ini tidak seperti masjid pada umumnya yang memiliki kubah dan simbol bulan bintang. Saat akhirnya saya bisa berkunjung ke masjid ini, saya sedikit terkejut. Ternyata lingkungan masjid ini tidak cukup bersih. Sampah berserakan di mana-mana, di tempat wudhunya tercium bau yang tidak sedap. Itu patut disayangkan.


But anyway, perjalanan hari itu sangat memuaskan. Senang sekali rasanya. Saat mau pulang, kami sudah merencanakan tempat-tempat mana lagi yang akan kami jelajahi bulan depan (Maret). Yosh! Semoga nanti lebih menyenangkan. :-)

Senin, 23 Februari 2015

Virus Itu Bernama Kebaikan



Terdengar suara kunci pintu diputar, terbukalah pintu itu dari luar dan muncullah Tami, teman sekontrakan saya. Ia tampak buru-buru masuk, menurunkan buku-buku kuliahnya di kamar kami. “Aku ngajar TPA dulu ya, Dit!”, ucapnya pada saya sambil bergegas keluar.

Beberapa kali sore, adegan terburu-buru Tami semacam itu saya saksikan. Sore itu, tetiba sebuah bisikan mengusik hati saya. “Tami keren sekali. Di tengah kesibukan kuliah dan organisasi, ia tak pernah absen mengajar TPA di masjid dekat kontrakan. Ia mengajar TPA dengan sukarela, tak mengharapkan imbalan materi. Sedangkan saya, setiap sore justru sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan mengajar les privat.” Saya sempat berdalih, “Tami tidak perlu mencari uang karena orang tuanya memberinya uang saku setiap bulan, sedangkan saya tidak! Jadi, wajar kalau Tami mau mengajar TPA tanpa bayaran.”

Saya kemudian teringat nasihat guru SMA saya bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk banyak orang. Glek. Saya menelan ludah. Apa manfaat yang sudah saya berikan selama 19 tahun saya hidup? Nyaris tak ada!

Saya harus berbuat sesuatu! Ya, harus! Tapi apa yang bisa saya lakukan? Sejenak berfikir, kemudian muncullah beberapa opsi. Namun, mengajar TPA di desa saya adalah opsi yang sepertinya bisa lekas saya eksekusi. Karena jarak Yogyakarta dengan desa saya tak lebih dari 1,5 jam, setiap Jumat sore saya pulang ke rumah dan baru akan kembali ke Yogyakarta Senin pagi. Jadi, Sabtu dan Minggu bisa saya manfaatkan untuk mengajar TPA.

Beberapa tahun terakhir ini, tidak ada TPA di desa saya. Terakhir kali saya mengikuti TPA di masjid desa saya saat saya kelas V SD. Karena pengajar TPA kami mempunyai kesibukan baru, TPA tiba-tiba berhenti. Saya pun pindah ke TPA di desa lain. Di sana, TPA terorganisir dengan sangat rapih. Salah seorang dermawan di desa itu menyisihkan sebagian penghasilan bulanannya untuk menggaji para pengajar TPA.

Sejak saya kelas V SD hingga saya berada di tingkat 2 masa kuliah, tak ada aktivitas TPA di masjid desa saya. Inilah yang membuat saya ingin menghidupkan kembali TPA di masjid desa saya. Saya lantas menghubungi Mbak Iwin, tetangga saya yang baru saja pulang merantau dari Jakarta dan sekarang menetap di desa melanjutkan usaha bisnis keluarganya. “Tapi aku agak repot Dit. Nggak bisa rutin ngajarnya”, kata Mbak Iwin merespon ajakan saya untuk mengajar TPA. “Nggak apa-apa mbak. Kita ngajar TPA seminggu 3 kali aja. Rabu, Sabtu dan Minggu. Mbak Iwin nanti ngajar Rabu. Aku Sabtu dan Minggu. Tapi kalau Mbak Iwin ada waktu senggang Sabtu dan Minggu, mbak Iwin masuk juga ya! Hehe.” Gayung pun bersambut. Berjalanlah TPA  kami. Mula-mula siswanya hanya beberapa anak yang tinggal dekat dengan masjid. Lama-lama jumlahnya mencapai 30-an anak.

Beberapa bulan berjalan, saya ajak Dek Emy, tetangga kami juga,  untuk ikut mengajar. Kebetulan saat itu Dek Emy baru saja diterima menjadi mahasiswi jurusan  Pendidikan Agama Islam di sebuah unversitas di Solo. Alhamdulillah, dengan kehadiran Dek Emy TPA kami rasanya menjadi semakin semarak.

Melihat aktivitas masjid yang menggeliat dengan keberadaan TPA kami ini, Ibu Kepala Desa mengajukan proposal bantuan pengembangan TPA ke pemerintah daerah. Setelah menunggu beberapa bulan, Alhamdulillah dana tersebut cair. Kami pakai untuk membeli buku IQRO dan buku-buku bacaan Islami serta untuk menyelenggarakan outbond dengan menggunakan jasa pemandu outbond yang profesional. Anak-anak senang bukan kepalang. Sejak adanya buku-buku Islami dengan cerita dan gambar yang menarik, aktivitas kami di TPA tidak hanya belajar membaca dan menghafal Al-Quran tetapi juga membaca buku.

TPA semakin tampak lebih hidup. Sesekali kami memperlihatkan video Islami kepada anak-anak. Kami juga berlatih bermain drama dengan lakon kisah-kisah sahabat Rasulullah. Saat ada lomba TPA di tingkat kecamatan, kami pun tak ketinggalan untuk ikut berpartisipasi.

Bulan Ramadhan pertama -setelah TPA kami kembali berjalan- pun datang.  Saat itu kami, para pengajar, memutuskan untuk sebulan penuh TPA masuk tanpa libur. Terblesitlah ide dalam benak saya untuk menyelenggarakan acara buka bersama. Akan tetapi, darimana dananya? Jika anak-anak diminta untuk membawa bekal makanan masing-masing, sepertinya akan memberatkan orang tuanya karena sebagian besar warga kami berada dalam tingkat ekonomi menengah kebawah. Lalu bagaimana sebaiknya?

Hari pertama puasa, saya berinisiatif untuk membeli kurma dari tabungan pribadi saya. Saat berbuka tiba, setiap anak saya beri 5 biji kurma dan segelas teh manis hangat. Anak-anak tampak senang. Mereka mungkin tidak terlalu memperhatikan “menu” buka puasa yang mereka terima tetapi yang mereka perhatikan dan nikmati adalah suasana buka puasanya saat itu. Duduk melingkar,  bersama-sama menghafalkan surat-surat pendek sambil menunggu waktu berbuka tiba, kemudian membaca doa berbuka bersama-sama. Mungkin hal-hal yang tampak sederhana itulah yang membuat mereka tampak riang dan bersemangat sore itu.

Hari ke-2 puasa, “menu” yang saya sajikan masih yang sama dengan hari pertama. Anak-anak masih tampak ceria. Hari ke-3, saya mau membeli apa lagi ya? Kalau untuk makan besar seperti nasi, jelas tabungan saya tidak akan mencukupi. Untuk makanan ringan -semacam yang saya sajikan pada hari pertama dan ke-dua- saja tabungan saya segera menipis dan mungkin hanya akan bertahan dua atau tiga hari lagi jika saya menyajikan “menu” dengan harga yang kurang lebih sama dengan hari pertama dan ke-2. Itu pun selama 2 hari kemarin teh dan gula Ibu saya yang membeli. Saya hanya membeli kurmanya.

Hari ke-3, kira-kira ba’da dzuhur, Ibu saya berkata bahwa beberapa warga menyedekahkan sejumlah uang dan beras untuk acara buka puasa anak-anak TPA. Nanti memasaknya akan dilakukan di rumah Mbak Umini, rumah warga yang tepat berada di samping masjid An-Nurrohman, masjid desa kami. Ibu-ibu akan bergotong-royong untuk memasak makanan buka bersama itu. Saya terharu, hampir tidak percaya mendengar ini. Ternyata ada warga yang tergerak dengan aktivitas kami di TPA.

Sejak hari itu, anak-anak TPA selalu mendapat menu buka puasa berupa makanan besar.  Menunya berganti-ganti. Kadang soto, opor ayam, sop ayam, bubur sagu mutiara, bubur kacang hijau, dll. Anak-anak tampak semakin bersemangat. Dana sedekah dari warga semakin banyak terkumpul. Saban hari ada saja yang bersedekah. Ada yang berupa beras, uang, buah-buahan, kue-kue ringan dsb. Saking banyaknya makanan yang disedekahkan, buka puasa bukan hanya bisa diberikan kepada anak-anak melainkan kepada seluruh jama’ah masjid yang hadir saat sholat maghrib, termasuk dibagi-bagikan untuk warga yang kurang mampu juga.

Di tahun-tahun selanjutnya, sedekah warga untuk buka bersama ini terus dilakukan. Semoga Allah SWT melipatgandakan pahala warga yang bersedekah untuk buka puasa ini.

Pak Hikmat Hardono, atasan kerja saya 2 tahun yang lalu, pernah berujar bahwa kebaikan itu menular. “Maka, teruslah berbuat baik dan sebarkan virus kebaikan itu dimanapun kalian berada”, begitu ujar beliau. Ya, saya sepakat dengan beliau. Saya melakukan semua ini karena terinspirasi dengan kebaikan yang dilakukan Tami, teman saya. Dan kelihatannya relasi sebab akibat antara“saya dan tami” juga berlaku untuk “saya dan warga desa saya”. Wallahu’alam bishowab. 

                                                                                                            ***
Artikel ini diikutsertakan pada kompetisi Blog Nurul Hayat : Nyala Inspirasi untuk Negeri. www.nurulhayat.org/partisipasi

Sabtu, 21 Februari 2015

Terus Bertumbuh

Atasan saya suatu ketika pernah berujar bahwa hampir semua perusahaan Jepang sangat memperhatikan pertumbuhan karyawannya. Yang dimaksud dengan "pertumbuhan" (seichou: Bahasa Jepang) adalah perubahan ke arah yang lebih baik dari awal seorang karyawan diterima di sebuah perusahaan hingga batas-batas waktu tertentu. Dengan kata lain, "pertumbuhan" di sini bisa juga diartikan dengan "perkembangan".

Ketrampilan teknis apa saja yang sudah dikuasai? Bagaimana kemampuannya mengelola pekerjaan? Apakah hubungannya dengan klien dan rekan kerja semakin baik? Hal-hal semacam itulah yang dinilai secara periodik. 

Sebulan lagi saya akan keluar dari perusahaan yang telah mengajari saya tentang seichou ini. Jika direfleksikan lebih mendalam, seichou seharusnya tidak berlaku hanya pada lingkup pekerjaan tetapi juga dalam kehidupan kita secara utuh. Apakah tahun ini hati kita lebih lapang daripada tahun lalu? Apakah sholat kita bulan ini tebih tegak daripada bulan lalu? Apakah pekan ini lebih banyak orang yang kita bantu daripada pekan-pekan sebelumnya?

Untuk terus bertumbuh, rasa-rasanya kita tidak bisa sendirian. Kita harus menjaga erat teman-teman yang selalu setia mengingatkan tentang kebaikan. Kita perlu meluangkan waktu untuk membaca buku-buku inspiatif yang bisa menggerakkan kita untuk memperbaiki diri. Kita butuh mendatangi majelis-majelis ilmu yang memperkaya pemahaman kita sebelum beramal. Kita mesti sejenak merenungkan kejadian yang kita alami kemudian mengambil hikmah sehingga di lain hari kita bisa bertindak semakin baik. 

Mari terus bertumbuh, memperbaiki diri!


Jumat, 20 Februari 2015

Yang Tersembunyi di Balik Hujan

Ternyata sudah seminggu lebih saya tidak menulis. Banyak hal terjadi seminggu belakangan kemarin. Rasanya ingin ditulis semuanya. Baiklah, kita coba urai satu persatu ya! (Ini kok nada tulisannya berlagak kayak mau dibaca banyak orang gitu ya? Anggap saja ada yang baca hehe.)

Hujan mengguyur Jakarta dengan sangat bersemangat sejak akhir minggu lalu. Dan apa yang terjadi setelahnya? Banjir! Yap, benar sekali. Sampai-sampai berita di layar kaca dipenuhi berita hajatan tahunan ibukota ini. Daaaan, beberapa teman dan saudara pun menghubungi saya, "Ditaaa, Ciledug banjir gak?" Hmm.. menurut kalian, saya harus jawab apa? :'(

Sabtu malam Jakarta sudah mulai hujan, hanya rintik-rintik namun berlangsung semalaman sampai Minggu pagi. Saya menginap di kos Rida, sahabat saya. Hari Minggunya kami berencana akan berjalan-jalan ke Galeri Nasioanl, Museum Nasional, Planetarium, Taman Suropati dan Masjid Sunda Kelapa. Karena rencana sudah tersusun rapih, berangkatlah kami berdua Minggu pagi ditemani rintikan hujan yang awet sejak semalam itu. Untungnya, hujan reda setelah kami tiba di Galeri Nasional. Seharian itu pun hujan malas turun dan hanya bertengger di angkasa sebagai awan. Nah, dengan begitu kami justru terlindung dari panasnya mentari siang di Jakarta. Alhamdulillah ya! Cerita tentang tempat-tempat yang kami kunjungi itu, mungkin sebaiknya saya tuliskan lain kali saja ya, hehe.

Minggu malam, tepat saat saya tiba di kos setelah jalan-jalan, hujan kembali turun. Syukurlah, saya justru bisa tidur nyenyak hehe. Benar saja saya tidur dengan amat nyenyak sehingga tidak tahu bahwa hujan turun semalaman. Ini baru saya tahu saat Senin pagi, di bawah rerintik hujan saya mengendarai motor saya ke kantor. Di beberapa titik jalanan sudah tergenang air dan cukup sulit dilewati. Ketika sudah memasuki kawasan Kapuk, air sudah setinggi lutut orang dewasa. Beberapa motor sudah mogok karena menerabas banjir. Saya mulai was-was. Bismillah, pelan-pelan saya lewati itu banjir dan selamatlah saya sampai di kantor.

Jam 11 siang hujan semakin deras. Setelah melihat pantauan banjir di beberapa tempat di Jakarta Utara melalui media massa, atasan saya kemudian memutuskan untuk memulangkan seluruh karyawan karena khawatir ketinggian air semakin bertambah sehingga tidak bisa kami lewati. Horeee, pulang cepat!! Hati saya bercabang dua. Satu cabang saya senang karena pulang cepat (karyawan macam apa ini?), cabang lainnya saya khawatir motor saya mogok menembus banjir.

Sepanjang perjalanan pulang saya melihat orang-orang mendorong motor mereka yang mogok tersebab mesin motornya kemasukan air banjir. Duh, kasihan sekali ya, kata saya dalam hati. Selasa-Rabu, ketinggian air banjir belum juga surut, maka diliburkanlah kami seluruh karyawan. Dua hari libur itu saya manfaatkan untuk melahab 2 buku Muhammad Assad: Note From Qatar 1 dan 2.

Salah satu pelajaran yang saya peroleh dari kedua buku tersebut adalah tentang sedekah. Assad menjelaskan dengan sangat gamblang tetek-bengek tentang sedekah, mulai dari dasar hukum bersedekah, kebiasaannya bersedekah sampai cerita-cerita inspiratif tentang keajaiban setelah bersedekah. Rabu sore, saat kedua buku tersebut saya tamatkan, ada semacam energi yang menggerakkan untuk bersedekah. Saya kemudian pergi ke ATM dan mentrasfer uang Rp 100.000 pada saudara saya yang secara ekonomi pas-pasan. Kebetulan ia baru saja keluar dari Rumah Sakit. Saya katakan padanya agar uang tersebut dipakai untuk membeli makanan yang ia suka agar ia cepat sembuh.

Keesokan harinya, saya berangkat ke Kantor. Banjir ternyata masih cukup tinggi. Namun saya nekad melaluinya. Alhasil, setelah melalui jalanan banjir nan macet itu, motor saya mogok. Saya lalu menuntunnya. Ternyata, menuntun motor di tengah jalanan banjir plus macet itu sungguh berat. Saya pun menangis sepanjang jalan. Ya Allah, rasa-rasanya saya hampir putus asa.

Sampailah saya di jalanan yang sudah tidak banjir. Seorang bapak membantu saya menyalakan motor saya. Motor menyala dan saya melanjutkan perjalanan. Tiba di kantor, saya bersihkan kaki saya dari sisa-sisa air banjir. Saya kemudian sholat dhuha. Mungkin karena keadaan, sholat dhuha saat itu saya tunaikan sepenuh hati. Doa-doa mengalir lancar dari bibir saya.

Menjelang siang, saya membuka website salah satu kementrian dimana saya mendaftarkan diri sebagai calon pegawainya. Betapa terkejutnya saya ketika menjumpai nama saya tertera di urutan teratas pegawai yang lolos seleksi. Saya benar-benar terharu. Karena tidak yakin apakah ini mimpi atau kenyataan, saya tutup website itu kemudian saya buka lagi. Ternyata nama saya memang terpampang di sana. Alhamdulillah ya Allah, semoga ini adalah jawaban dari doa-doaku selama ini. Semoga Kau selalu limpahkan keberkahan di setiap langkahku.

Sungguh benar janji Allah bahwa "sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan"(QS.Al-Insyirah:6). Benar pula janji Allah bahwa, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji, Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS.AlBaqarah:261)

Jumat, 06 Februari 2015

Idola Baru

Bagi seorang muslim, yang layak dijadikan idola nomor wahid tentu saja hanya Rasulullah Muhammad. Perangai Rasulullah sedikitpun tak ada cacatnya. Jika kita cari sesosok yang kebaikan budinya melebihi Beliau, mungkin kita tidak akan menemukannya.

Setelah Rasulullah, kita boleh mengidolakan yang lain misalnya para sahabat Rasulullah, ulama, tokoh-tokoh besar atau bahkan orang-orang di sekitar kita. Sebagai seorang muslim, alangkah baiknya jika sosok yang menjadi idola kita adalah yang memberi inspirasi kita untuk terus mempebaiki diri. Siapapun boleh kita idolakan tak peduli latar belakang agama atau bangsanya. Asalkan, dari mereka kita bisa memperoleh sesuatu yang menjadikan diri kita semakin baik dan berilmu. "Dengarkan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan", begitu bunyi pepatah lama. Jadi, yang terpenting adalah bukan siapa yang berbicara dan berkarya, melainkan apa yang keluar dari lisaannya dan apa yang yang ia karyakan.

                                                                                                    ***
Beberapa waktu lalu saya bergabung di sebuah grup teman-teman yang gemar menulis. "PM (Pengajar Muda) Suka Menulis", nama grupnya. Anggota grup ini adalah alumni Pengajar Muda Indonesia Mengajar angkatan I sampai VII (saat ini baru sampai VII) yang mempunyai minat menulis. Bulan Februari ini kami berencana akan berdiskusi langsung untuk yang pertama kalinya. Maka beberapa teman mengusulkan nama-nama penulis yang akan kami undang untuk menjadi pembicara utama di acara diskusi kami itu. Muncullah salah satu usulan nama, Fahd Djibran, penulis buku "Perjalanan Rasa". Lalu teman yang mengusulkan nama Fahd Djibran itu menuliskan web pribadi Fahd, www.fahdpahdepie.com  Karena saya belum pernah mendengar nama itu, maka saya segera membuka link tersebut. Saya baca satu persatu tulisan Bang Fahd, begitu Fahd Djibran sering disapa oleh para pembaca tulisannya.

Saya hampir membaca semua tulisan yang Bang Fahd tulis di web pribadinya. Saya mendapat banyak inspirasi, pengingat dan pemahaman baru. Tentang pengembangan diri misalnya, saya mencatat quote ini, "Bukan tentang menjadi apa dan siapa, tetapi tentang bagaimana kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri." Tentang masa lalu, Bang Fahd memberi penjelasan yang membuat saya selangkah lebih maju untuk berdamai dengan masa lalu saya, "Masa lalu, jejak yang terlanjur terpacak, tak perlu dihapus. Masa lalu adalah milik masa lalu, masa kini milik kita dan masa depan selalu menarik sebagai rahasia."

Lalu, tentang kepenulisan, bang Fahd memberi keterangan yang ringkas namun sangat bermakna. Dikatakannya bahwa penulis profesional adalah penulis yang tidak pernah berhenti membaca. Sepenangkapan saya, kalau kita mau menjadi penulis yang profesional, kita harus memperbanyak bacaan kita. Saya menjadi semakin semangat membaca.

Sebagian besar tulisan Bang Fahd berkisar tentang cerita sehari-hari yang penuh makna. Pilihan diksinya sederhana dan susunannya pas. Gaya berceritanya hidup dan menyentuh hati. Temanya tentang keluarga, humanisme, cinta, dan Islam. Itu mungkin yang membuat saya jatuh hati pada karya-karya ayah dari dua anak ini. Dan yang paling menjadi perhatian saya adalah, nafas Islam yang dibawanya dalam karya-karya itu. Salah satu kutipan tentang Islam yang saya suka adalah, "Islam adalah ketika kau menemukan sebuah batu di tengah jalan, kau menyingkirkan batu itu karena khawatir ia akan mencelakakan pejalan kaki yang lain. Siapapun pejalan kaki itu. Kemudian kau mencari seseorang untuk berdiskusi, membicarakan berbagai kemungkinan dan solusi terbaik agar batu itu bisa bermanfaat untuk orang lain."

Maka, setelah membaca tulisan-tulisan Bang Fahd, saya tidak ragu lagi menjadikannya sebagai idola baru saya. Saya mengidolakannya karena ia menginspirasi saya untuk terus belajar dan berkarya demi kebermanfaatan banyak orang. Terima kasih Bang Fahd Pahdepie, idola baru saya.

Kamis, 05 Februari 2015

20 Facts About Me

Pernah iseng menulis ini di Facebook beberapa bulan lalu. Aku salin di sini biar nanti-nanti gampang dibaca lagi, hehe..

1. Populer dengan sebutan "putri tidur" karena bisa tidur dimana saja dan kapan saja. Bahkan beberapa kali tertidur pas nonton di bioskop. Komentar teman saya, "parah!"
2. Selalu simple, terutama kalau tentang barang-barang. Selama 4 tahun kuliah di Jogja belum pernah yang namanya punya lemari baju karena baju cukup disimpan di koper. Terus kalau pergi-pergi tidak pernah berurusan sama over bagage.
3. Waktu zaman jadi mahasiswa, sehari kuliah maksimal 6 SKS. Tapi sehari kerja tidak pernah kurang dari 6 SKS. Jadilah tiap hari pulang ke kos jam 21.30 dan langsung tepar.
4. Selalu terlihat ceria dan semangat di depan orang banyak padahal sebenarnya hatinya rapuh. (Malah curhat, hihii )
5. Tahun 2010, pas KKN di Lombok Timur mulai terkena virus travelling. Sejak saat itu rela super ngirit demi bisa ke Bromo, Semeru, Krakatau, Makassar, Tanah Toraja, Danau Toba, Dieng, Pulau Komodo, Kawah Putih dll.
6. Tidak suka jalan-jalan sendirian soalnya kalau ketiduran di kendaraan umum, tidak ada yang membangunkan. Berkali-kali naik metromini kebablasan karena ketiduran.
7. Bercita-cita nikah sebelum usia 25 tapi ini udah lebih 25 dan belum nikah. (Apasih?)
8. Golongan darah O, mudah bosan dengan suatu hal. Jadi, paling tidak bisa mengerjakan hal yang sama dalam waktu lama.
9. Suka banget ngajar, terutama ngajar anak-anak SD. Kata temanku, aku cukup berbakat jadi inspirator dan motivator untuk anak-anak, hehee (sombong)
10. Suka banget bersepeda. Rute terjauhku baru Imogiri-Parangtritis dan Jogja (kos) - Klaten (rumah). Dari kos ke rumahku itu kira-kira 60 atau 70 km. Cihuy kan? (makin sombong)

11. Bercita-cita Umrah sebelum umur 30 tahun. InsyaAllah sebentar lagi, Bismillah.
12. Mudah tertular kebaikan orang. Pas kelas 1 SMP pernah main ke rumah kakak kelas. Pas nyampe sana si embaknya lagi baca Quran. Sejak saat itu aku bertekad mau baca Quran setiap hari. Alhamdulillah istiqomah sampai saat ini.
13. Suka kegiatan out door seperti main ke pantai dan gunung. Gunung pertama yang pernah ku daki sampai puncak tertingginya adalah gunung Tambora di Pulau Sumbawa.
14. Mudah nangis sekalipun karena hal-hal kecil dan nangisnya pun kadang di depan banyak orang. (Hadeuh, bikin malu aja!)
15. Loyal banget sama keluarga, sahabat-sahabat dan orang-orang terdekat. Nandemo ageru-lah.
16. Merasa bersyukur banget atas pembiasaan baik yang ibuku tanamkan padaku sejak kecil. Ingat banget kelas 2 SD ibuku sudah mewajibkanku sholat. Tiap dibangunkan buat sholat subuh, aku selalu nangis berderai-derai.
17. Sejak SMA suka nonton drama Jepang. Jadi tau kalau anak-anak di Jepang kalau udah kuliah rata-rata sambil bekerja agar bisa mandiri, membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Sejak itu, aku pengen banget kayak gitu. Alhamdulillah bisa mewujudkannya.
18. Pengen banget punya rumah sendiri yang ada perpustakaannya. Jadi, anak-anak tetangga bisa baca-baca buku dan belajar di rumahku.
19. Pengen belajar memainkan alat musik; gitar/keyboard/biola.
20. Suka kegiatan yang bersifat sosial atau voluntary.

Rabu, 04 Februari 2015

Sebait Nasihat dari Para Sahabat

Salah satu kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah memberi nasihat. Banyak orang, temasuk saya, tidak sulit memberi nasihat. Apalagi, ketika kita merasa diri kita benar dan orang lain salah, dengan mudahnya kita mengeluarkan serangkaian nasihat bijak. Namun, jika suatu saat kita berbuat khilaf, akankah kita dengan berluas hati menerima nasihat?

Saya mempunyai seorang sahabat, Uli Tri Utami namanya. Kami sama-sama sedang terus berusaha memperbaiki diri. Entah sejak kapan tepatnya kami mulai saling berbagi hikmah saban hari. Bahkan, kami saling memberi tahu doa apa yang kami rapalkan. Salah satu doa Tami, begitu ia disapa, adalah "semoga Allah melunakkan hatiku, tidak keras dan mudah menerima nasihat".

Mendengar doa Tami itu, telinga saya tetiba rasanya seperti tersentil. Doa itu seharusnya dilafalkan oleh orang egois dan berhati keras seperti saya ini! Begitu yang terlintas dalam benak saya kala itu.

Sebagai orang yang mempunyai sifat egois, saya termasuk orang yang sulit menerima nasihat. Akan tetapi, sepertinya perlahan saya sedang dibelajarkan untuk melunakkan hati agar mudah menerima nasihat. Beruntunglah saya dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik seperti Uli Tri Utami, Mariana Suci Swastika, Rida Rohmawati, Irma Indrawati, Nani Nurhasanah, Annisa Novita dan masih banyak lainnya. Mereka adalah sahabat sekaligus inspirasi saya dalam mengeja kebaikan, salah satunya tentang bagaimana melapangkan dan melunakkan hati.

Tidak diragukan lagi kebenaran nasihat "Berkumpullah dengan orang-orang salih". Juga, nasihat "Jika kita berdekatan dengan penjual minyak wangi, maka kita akan ikut berbau wangi. Demikian juga jika kita berdekatan dengan penjual bangkai, maka kita akan ikut berbau busuk." Sekali lagi, beruntungkah saya dikumpulkan dengan sahabat-sabahat terbaik yang selalu saling menasihati dalam kebaikan.

Maka, doa yang sering saya rapal hingga saat ini (mudah-mudahan sampai akhir hayat) ialah, "Ya Allah, perjalankanlah kakiku ke tempat-tempat yang Kau berkahi. Kumpulkanlah aku dengan orang-orang shalih yang hatinya selalu terpaut pada-Mu. Lunakkan dan lapangkanlah hatiku serta lembutkanlah tuturku."

Mungkin orang-orang di sekitar saya masih sering melihat saya berperilaku egois, mudah marah, terlalu banyak tertawa dan mengeluarkan kata-kata yang kurang enak didengar. Mohon ingatkanlah saya, berilah saya nasihat. Saya sangat ingin memperbaiki diri.  Maka, nasihatilah saya meski hanya sebait atau dua bait.

Selasa, 03 Februari 2015

Pelit

Adakah di dunia ini nama orang yang mengandung unsur arti kata "pelit'? Mungkin tidak ada. Yang ada justru sebaliknya. Banyak kita jumpai nama orang yang mengandung unsur kata "dermawan" (lawan kata "pelit"). Karena nama adalah doa, maka unsur kata "dermawan" atau "darmawan" lebih banyak dipilih oleh para orang tua. Harapannya, anak-anak mereka akan menjadi anak yang gemar berderma, murah hati.

Alih-alih menyematkan unsur arti kata "dermawan" pada nama saya, ibu saya memilih memberi contoh langsung perilaku berderma pada saya sejak saya kecil. Walaupun perekonomian keluarga kami selalu pas-pasan, justru kadang kurang, ibu saya tidak pernah pelit berbagi. Ketika membuat masakan tertentu misalnya, ibu tak lupa berbagi pada para tetangga dan saudara terdekat. Tidak tanggung-tanggung, ibu kadang membagikan setengah dari hasil masakannya. Saat membuat seperiuk bubur mutiara misalnya, setengah periuknya biasanya dibagikan seketika setelah bubur masak. Setengah sisanya baru untuk kami.

Dulu saat saya masih kecil, saya kadang tidak menyukai kebiasaan ibu membagi-bagi makanan ini. Sebabnya adalah saya belum puas memakan masakan ibu itu, ternyata sudah habis dibagi-bagikan. Saya dongkol kalau sudah seperti itu. Selain itu, hal yang juga membuat saya dongkol adalah ibu sering menyuruh saya yang mengantarkan makanan itu ke tetangga padahal saya masih asyik menonton TV. Kenapa sih harus saya yang mengantar?

Entah sejak kapan saya kemudian menyadari apa yang dilakukan oleh ibu saya itu adalah contoh yang baik. Saya berusaha menyontoh semua itu walaupun sampai detik ini kadang masih berat. Ada saja godaaan yang kadang membuat saya urung berderma. Saya berusaha sering-sering mengingat perkataan ibu saya, "Dadi uwong rasah pelit. Bondo mati ora digowo!" (Jadi orang jangan pelit. Harta mati tidak dibawa)

Barangkali sulit menjadi orang yang benar-benar dermawan, tidak mengharapkan balasan apapun selain dari Allah. Semoga kita (terutama saya pribadi) selalu diringankan tangannya untuk berbagi. Juga, semoga Allah SWT menjadikan kita orang yang kaya sehingga semakin banyak harta yang bisa kita dermakan.