Translate

Minggu, 28 September 2014

Istiqomah

Ende gut alles gut. Itu peribahasa Bahasa Jerman yang ku pelajari pertama kali saat aku SMA. Secara singkat, dia berarti "akhir bagus, semua bagus". Maksudnya, ketika kita melakukan suatu pekerjaan, jika di akhir kerja kita bagus, biasanya di awal dan di tengah-tengahnya juga bagus. Secara nalar, hanya orang yang benar-benar bekerja keraslah yang bisa mengejarkan suatu pekerjaan sampai titik akhir dengan baik. Orang yang tidak bekerja keras biasanya akan menyerah di tengah jalan atau bahkan ketika ia baru melangkahkan kaki. Jadi, jika akhir bagus, maka dapat dipastikan semua bernilai bagus. Dalam kitab suci, itu diwakilkan dengan kata "istiqomah". Sebuah kata sederhana tapi begitu sulit dilaksanakan.

Saat awal menjadi mahasiswa, aku mulai berkenalan dengan dunia dakwah kampus. Saat itu, para senior di Lembaga Dakwah Kampung (LDK) sering mengirim sms motivasi. Kata-kata yang sering mereka tuliskan adalah "Istiqomah di jalan dakwah ya dek". Apa sih maksudnya? Aku yang masih hijau masalah agama ini tidak begitu paham. Gak perlu disuruh istiqomah, aku akan tetap istiqomah di jalan Islam kok, pikirku waktu itu.

Waktu terus berjalan, orang-orang baru pun semakin banyak ditemui, orang-orang lama ada yang masih sering ditemui, adapula yang mulai jarang. Waktu berganti, kisah hidup orang pun berganti. Terdengarlah cerita-cerita yang kadang sulit dipercaya. Si A yang dulu waktu SMA rajin sholat, bahkan sholat dhuha juga, sudah berpindah agama. Si B, seorang perempuan yang suka olah raga maskulin tiba-tiba dikabarkan menjadi lesbian dan punya pacar seorang perempuan. Si C yang dulu memakai jilbab, sekarang.menjadi hobi mengunggah foto dengan tank top dan hot pant di social media.

Tidak ada tindakan yang tidak beralasan. Pun dengan teman-temanku yang kemudian memilih jalan yang semacam itu. Mereka tentu punya alasan, punya sebab. Terlepas dari apapun sebabnya, aku menjadi mafhum dengan apa yang dimaksud dengan istiqomah. Oh, ternyata memang tidak gampang menjadi istiqomah. Pantaslah dulu para senior sering mengingatkan tentang kata yang diserap dari Bahasa Arab itu.

Aku semakin paham ketika sebuah peristiwa besar menimpa salah seorang teman yang ku kenal baik. Di awal-awal pertemanan kami, aku mengenalnya sebagai mahasiswi berjilbab dan rajin sholat. Ia juga dikenal sebagai mahasiswa yang pintar, aktif dan ceria. Karena kami berlainan kampus dan kesibukan masing-masing kami yang terus bertambah, kami menjadi jarang bertemu. Komunikasi kami hanya sebatas lewat FB. Betapa tercengangnya aku ketika melihatnya tidak memakai jilbab di foto yang ia unggah di FB. Aku benar-benar sedih.

Aku berusaha mencari tahu tentangnya dari beberapa temanku. Belakangan, aku baru mendengar cerita utuh dari sahabatku yang sekaligus juga sahabatnya.

Ia, temanku yang pintar itu tadi, tumbuh dalam keluarga yang bermasalah, orang tuanya bercerai. Beratnya masalah yang ada di keluarganya itu membuat dia menjadi seorang yang rajin berdoa. Namun, dia merasa Tuhannya tidak pernah mendengarkan pintanya. Hidupnya semakin berantakan, tanpa ada rasa tenang hingga ia memutuskan untuk melepas jilbab dan memilih menjadi seorang yang aqnostic.

Tidak hanya itu, dia yang sangat pandai berbahasa Inggris dan sering bergaul dengan orang dari berbagai negara itu, mulai menyukai sesama jenis. Itu berlangsung beberapa saat hingga ia berteman dengan orang beragama dengan lambang salib. Ia menemukan kedamaian di agama itu. Ia menjadi rajin pergi ke gereja dan membaca alkitab. Begitulah pilihan hidupnya. Aku sedih tapi aku tak bisa berbuat apapun.

Aku kemudian flash back ke masa laluku. Aku dan dia mempunyai latar belakang keluarga yang hampir sama. Tentu saja aku bisa merasakan kesulitan yang ia rasakan. Ketika duduk di bangku SMP, bibit-bibit rasa berontak mulai bercokol di jiwaku. Aku tumbuh menjadi remaja yang keras dan mudah marah ketika berada di rumah. Selalu saja ada rasa ketidakterimaan kenapa orang tuaku bercerai dan aku hanya tinggal bersama ibuku. Untungnya, aku bersekolah di SMP yang bagus dengan guru-guru, teman-teman dan iklim belajar yang bagus juga sehingga ketika di sekolah aku merasa senang dan melupakan masalah keluargaku. Di sekolah banyak kegiatan positif dan guru-guru banyak memberikan PR. Oleh karena itu, waktuku banyak ku habiskan di sekolah. Ketika di rumah, banyak PR yang menunggu untuk dikerjakan.

Ketika naik kelas 2, Pak Jangkung Suwargono, guru Bahasa Jawa, menemukan bakatku yaitu story telling dan membaca geguritan (puisi dalam Bahasa Jawa). Diikutkanlah aku dalam beberapa lomba hingga di tingkat kabupaten. Alhamdulillah aku selalu membawa pulang piala untuk sekolah walaupun bukan juara I. Dan masa-masa itu pun aku menjadi sangat sibuk dan obsesiku untuk maju semakin bertambah besar. Aku menikmati semua itu.

Saat naik ke kelas 3, aku mendapat wali kelas yang sangat baik. Namanya Ibu Tri Syamsiyah, guru matematika yang sekaligus menjadi wali kelas kami. Di sela-sela mengajar, Ibu berkaca mata itu selalu menyempatkan untuk melakukan coaching pada kami. Sambil berkeliling kelas beliau biasanya bergiliran ngobrol dengan anak-anak secara bergantian. Itulah yang membuat kami, anak-anak kelas 3B menjadi sangat dekat dengan beliau.

Pada suatu kesempatan, beliau berbicara padaku, "Nanti masuk SMA Metias pakai jilbab aja ya! Pasti tambah cantik". Tanpa pikir panjang, aku pun mengangguk. Padahal saat itu aku belum mengerti bahwa hukum memakai jilbab bagi seorang muslimah itu wajib. Lain hari ketika sudah di SMA aku baru belajar tentang hukum itu. Walaupun begitu, aku hanya memakai jilbab saat di sekolah. Saat di rumah? Aku masih melenggang dengan rambut terutai kemana-mana.

Alhamdulillah di SMA aku bertemu dengan orang-orang yang semangat dalam beragama. Ada Mariana (akhirnya kami menjadi sahabat baik hingga saat ini) yang selalu getol mengajak teman-teman putri termasuk aku untuk ikut kajian setiap Jumat sepulang sekolah. Bahkan, saat Mariana tahu bahwa aku sering mangkir, dia selalu sigap mencegatku di depan kelasku (dia kelas B, aku C) beberapa detik setelah bel tanda pulang berbunyi. Jika sudah begitu, menyerah sudah aku.

Selain Mariana dan teman-teman lainnya, aku bersyukur dipertemukan dengan guru-guru yang juga agamis. Adalah Pak Aris Yunanta yang selalu mengajariku tentang dasar-dasar kebaikan: tentang Ketuhanan, disiplin, kejujuran, keaktifan, kerja keras dst. Beliau inilah salah satu inspirasiku ketika aku memutuskan untuk menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar.

Seperti yang ku ceritakan di awal tadi, saat di bangku kuliah aku bertemu dengan senior-senior yang juga bersemangat dalam berislam. Sungguh, aku merasa sangat beruntung.

Apa jadinya ketika aku tidak tumbuh di lingkungan yang seperti itu? Aku tak bisa membayangkan aku menjadi seperti apakah aku. Setelah ini, jalanku mungkin masih panjang. Apakah aku bisa tetap istiqomah dan bersemangat untuk memperbaiki diri? Tidak ada yang bisa menjamin. Maka, doa yang selalu ku dengungkan setiap selesai sholat adalah, "Ya Allah, selalu kumpulkanlah aku dengan orang-orang sholih dan sholihah, orang-orang yang hatinya selalu terpaut denganmu. Perjalankanlah kakiku ke tempat-tempat yang kau berkahi. Matikanlah aku dalam keadaan khusnul khotimah dan masukkanlah aku ke dalam surga Firdaus-Mu. Aamiin. "

Jumat, 26 September 2014

SMS Istimewa

Pagi ini aku terbangun sebelum alarmku berbunyi. Ketika seperti itu, aku biasanya cepat-cepat meraih ponselku untuk melihat jam, memastikan aku tidak melewatkan waktu sholat malam. Ketika sedang sangat lelah atau kurang tidur di hari sebelumnya, aku kadang tidak sadar mematikan alarm dan efeknya tentu saja adalah waktu sholat malam terlewat sudah. Untungnya, pagi ini hal itu tidak terjadi. Aku terbangun beberapa menit sebelum alarmku berbunyi.

Saat melihat jam di ponselku, aku menyadari ada sebuah sms masuk. Ah, paling dari operator seluler, pikirku saat itu. Lagi pula, beberapa bulan terakhir ini, saat hampir semua orang-orang di sekitarku menggunakan aplikasi WhatsApp, kami mulai sangat jarang berkomunikasi lewat sms. Sms hanya ku pakai sesekali untuk berkomunikasi dengan keluarga di Klaten dan Bima, tapi kami lebih sering berkomunikasi lewat telepon daripada sms. Jadi, akhir-akhir ini sms yang ku terima biasanya hanya dari operator seluler. Jadi, wajar bila pagi ini aku beranggapan bahwa sms yang baru saja aku terima itu hanya sebatas iklan atau pemberitahuan dari operator seluler. Aku yang masih ngantuk berat, bersiap kembali tidur, memanfaatkan beberapa menit sebelum alarm membangunkanku. Tapi tunggu dulu, aku mulai menyadari sesuatu. Sms yang baru saja kuteria itu berasal dari nomor asing. Iya, asing karena berkode +966. Wow, sms dari siapa ya? Mataku tiba-tiba melek.

Aku baca sekali, tapi otakku belum juga memahami. Sekali lagi ku baca, ternyata itu adalah sms dari ibu angkatku (selama di Bima) yang sekarang sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah. Ku ulangi lagi, kubaca kata demi kata yang ibu tuliskan. Seketika itu rasa haru menyeruak, mataku berkaca-kaca. Oh Ibu, terharu sekali ibu masih mengingatku saat ibu berada di tanah suci.

Aku bukanlah anak yang ia kandung dan ia besarkan dengan tangannya. Aku hanyalah anak yang datang dari Jawa, kemudian melewati hari-hari bersamanya, makan nasi yang ia masak dari periuknya, tidur di salah satu ruangan di rumahnya. Tidak lama, hanya setahun. Dan sekarang "si anak dari Jawa", begitu ibu selalu memperkenalkan aku pada kerabat-kerabatnya, sudah setahun lebih kembali ke tempat asalnya, Jawa. Namun, ternyata aku masih diingat sebagai salah satu dari anaknya. Bahkan, sampai saat ini ibu masih membahasakan aku sebagai bibi dari cucu-cucunya. Itu berarti, aku masih dianggap sebagai anggota dari keluarga besarnya. Benarkah seperti itu, Ibu?

Ibu, Bapak, terima kasih telah menjadi orang tua ke-2 bagiku. Ketika nanti ada rezeki dan kesempatan, aku akan kembali ke Bima. Ah, bukan "kembali", melainkan "pulang". Bolehkah aku memakai kata "pulang", wahai Ibu, Bapak?

Rabu, 24 September 2014

Ibu dan Cerita Tentang Kemarau

Aku lahir dan tumbuh besar di Klaten, sebuah daerah yang tepat berada di sebelah timur Gunung Merapi. Karena keberadaan Gunung Merapi inilah di daerahku banyak bermunculan mata air secara alami. Jadilah air selalu tersedia melimbah di daerah kami. Kondisi ini membuat pertanian menjadi cukup maju. Hasil pertanian utama di daerah kami adalah padi dan salah satu hasil padi primadona kami adalah beras "Raja Lele Delanggu" atau lebih terkenal dengan sebutan "Beras Delanggu".

Di desaku, sebagian warganya berprofesi sebagai petani. Alhasil, hampir setiap rumah selalu memiliki persediaan padi yang cukup banyak. Biasanya setiap rumah punya ruangan khusus yang berfungsi sebagai semacam lumbung padi. Padi yang sudah dipanen, dijemur hingga menghasilkan gabah kering yang bisa bertahan bertahun-tahun.

Musim panen padi adalah musim yang paling membahagiakan di kampung kami, tak kecuali bagi kami anak-anak kecil pada masa itu. Sebelum ani-ani (sebutan untuk proses panen padi), si pemilik sawah biasanya akan membawa makanan berupa nasi, urap, ayam bakar dan pisang ke lahan padi yang siap panen. Dipanggillah anak-anak kecil dan para tetangga untuk makan bersama di sawah. Tradisi ini disebut wiwit yang berarti awalan. Singkatnya, wiwit bisa diartikan sebagai prosesi awal sebelum panen padi sebagai ungkapan rasa syukur atas panen kali ini. Sebagai anak-anak, aku sangat senang mengikuti kegiatan ini bersama teman-temanku. Usai prosesi wiwit, rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak pemotong padi segera turun ke sawah untuk melaksanakan tugasnya. Pada saat seperti ini, kami anak-anak kecil biasanya menguntit di belakang para pemotong padi ini. Kami mencari dahan-dahan padi yang luput dari potongan pasukan pemotong padi itu. Kami potong dahan-dahan itu dan kami kumpulkan sebanyak-banyaknya. Selesai itu, kami biasanya ikut naik gerobak sapi pengangkut padi. Empuk sekali rasanya duduk diatas karung yang penuh terisi padi.

Memasuki masa SMP dan seterusnya, aku sudah tidak lagi ikut prosesi panen padi. Kegiatan sekolah mulai banyak sehingga kadang-kadang  aku baru pulang dari sekolah jam 5 sore. Lagi pula, aku sudah mulai menginjak usia remaja sehingga mulai merasa malu bermain layaknya anak-anak :-). Sejak saat itu, kemewahan pesta panen padi perlahan bukan lagi menjadi bagian dari hidupku. Ianya tersimpan di memoriku.

Kini aku sudah menjelma menjadi manusia dewasa. Sesekali, ketika teringat moment-moment tertentu yang pernah ada di masa kecilku, aku tersenyum geli. Ketika sedang teringat satu moment, terkadang rentetan moment lainnya itu muncul. Sekali datang pemantik, bermunculanlah cerita-cerita masa kanak-kanak itu.
Seperti beberapa hari lalu saat ibu menelponku. Entah kenapa ketika ibu menelpon, selalu saja ada sisipan memori masa kecil yang ikut tersangkut di sela-sela pembicaraan kami sehingga pembicaraan pun menjadi sangat menarik. Namun, di pembicaraan yang terakhir kemarin, kami sedikit mengelus dada. Ibu menceritakan tentang kondisi pertanian di desa kami yang sudah sangat berbeda dengan dulu ketika aku kecil.

Beberapa tahun terakhir ini pergantian musim tidak lagi menentu. Ini membuat para petani bingung menggarap sawah mereka. Kadang kemurau datang sangat panjang, kadang hujan datang berlebihan. Seperti tahun ini, kemarau sudah lebih dari 3 bulan, tak sekalipun hujan turun. Tanah persawahan kering kerontang. Biasanya, sawah di daerah kami mendapat giliran pengairan dari mata air Jalatunda yang berjarak kira-kira 3 km dari desa kami. Namun, beberapa tahun terakhir ini Jalatunda menyurut ketika kemarau tiba. Alhasil, tidak cukup untuk mengairi sawah-sawah di kampung kami. Kata ibu, saat ini sawah-sawah sedang ditanami jagung yang mana sedang dalam fase berbunga. Jika tidak mendapat pengairan cukup, bisa dipastikan akan mengalami puso. Oleh sebab itu, para petani menyewa genset besar milik salah seorang warga kaya di kampung kami untuk mengambil air dari sungai yang juga sudah surut airnya. Satu petak sawah biasanya harus diairi dengan genset selama 15 jam dimana harga sewa gensetnya adalah Rp 20.000 per jam. Oleh karena itu, para petani setidaknya harus merogoh kocek mereka Rp 300.000 untuk sekali pengairan.

Cerita tentang kemarau belum berakhir sampai di sana. Karena musim yang tidak menentu itulah, dalam setahun petani desa kami hanya bisa sekali menanam padi dalam setahun. Sisanya, biasanya mereka menanam jagung atau kacang yang cukup bisa tahan tanpa air melimpah. Dan tentu saja, keceriaan pesta panen padi tidak lagi terlihat di kampung kami.

Untuk mengatasi masalah ini, Ibu Kepala Desa sudah mencari solusi dengan cara membuat sumur bor untuk dipakai bersama. Namun, debit air yang keluar dari sumur ini sangat minim. Masih menurut Ibu kepala desa, pemerintah akan membuat program Wanadesa yang berarti "hutan desa". Nantinya akan diadakan penanaman pohon besar-besaran dan tidak boleh lahan kosong yang dibiarkan teronggok tanam pepohonan hijau. Harapannya, pohon-pohon ini akan sedikit menahan laju pemanasan global yang salah satunya berefek pada perubahan musim yang tidak menentu. Juga, dengan banyaknya pohon, tanah menjadi bisa menampung persediaan air yang lebih banyak.

Sebagai warga desa yang sudah lama meninggalkan desanya, aku merasa belum berbuat apa-apa. Tapi setidaknya, mulai hari ini aku akan lebih rajin mengingatkan ibuku untuk menanam dan merawat pohon (OMG!). Dan mungkin hal kecil yang juga bisa aku lakukan adalah dengan menghemat penggunan air bersih. Semoga nanti muncul ide-ide baru yang lebih bermanfaat. Aamiin.
Hmmm... mungkin suatu saat nanti aku perlu kembali ke desaku dan belajar menjadi petani?

Senin, 22 September 2014

Tumbuhlah dengan Riang dan Gembira, Sayang!

Lima belas purnama sudah kulewati sejak terakhir aku menginjakkan kakiku di Bima, tempatku bertugas sebagai Pengajar Muda. Namun, bayang-bayang ekspresi anak-anak didikku masih tergambar jelas di memoriku. Bahkan, suara mereka, genggaman tangan mereka pada tanganku, gelayutan tangan mereka pada pundakku saat ku duduk, terkadang masih terasa. Semua itu seolah baru kemarin lusa terjadi.

Setiap teringat mereka, hatiku selalu membuncah. Ada rindu, ada harap, ada cemas pula. Cemas oleh pertanyaan; semangat mereka, keriangan mereka, akankah tetap seperti itu sampai mereka dewasa? Padahal di depan sana mereka masih harus menapaki jalan panjang nan asing.

Ketika aku seumuran mereka, aku juga memiliki keriangan yang sama. Bedanya, aku tidak memiliki guru-guru seperti pengajar Muda (terus kenapa?). Bangun pagi, pergi ke sekolah, berangan-angan tentang masa depan, selalu percaya diri dengan cita-cita. Semua ku jalani penuh keringan, tanpa beban. Tapi, ketika usia terus bertambah dan fase hidup berganti, mulai terasalah tentang beban hidup, tentang perjuangan, kegagalan, keputus-asaan dan sederet situasi yang membuat takut dan cemas. Ah, dunia orang dewasa itu ternyata rumit, pikirku saat itu. Kalau bisa kembali ke masa kecil, sepertinya menyenangkan ya?
Ketakukan semacam itu mungkin akan datang pada siswa-siswaku. Bisakah mereka mewujudkan mimpi-mimpi masa kecil mereka? Aku yakin mereka bisa, pasti bisa. Tapi aku terlalu khawatir ketika sesekali mereka harus tersandung, terjatuh kemudian terluka, bingung ketika tiba di persimpangan jalan, kemudian mereka harus duduk sejenak mengusap air mata dan mengobati luka. Membayangkan hal itu saja membuat hatiku terasa sesak. Ah, sepertinya ini kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Bagaimanapun, mereka harus melewati semua itu agar bisa mewujudkan cita-citanya.

Aku pernah membaca tulisan tentang adab guru dan murid. Dijelaskan bahwa seorang guru itu hendaknya senantiasa mendoakan kebaikan untuk murid-muridnya. Doa, itu saja yang bisa ku berikan pada mereka saat ini. Dari tanah yang berjarak lebih dari 2000 km ini, doa-doa yang baik ibu kirimkan untuk kalian, sayang. Teruslah tumbuh dalam keriangan dan kegembiraan meraih mimpi-mimpi kalian!

Minggu, 21 September 2014

Benarkah Tugas Guru Adalah Memfasilitasi, Bukan Mengajari?

Saya sangat suka menyanyi. Namun, kesukaan saya dalam bidang tarik suara ini tidak lantas membuat saya menjadi mahir. "Dita tuh kalau nyanyi suka mengubah nada", komentar salah seorang teman. Aku menelan ludah. Tapi ya sudahlah, memang seperti itulah kenyataannya. Pahit memang. Tapi.. tapi... (siap-siap ngambil tisu)

Begitulah saya, ketika menyanyi. Sering kali tidak bisa mengikuti nada seperti yang didendangkan penyanyi aslinya. Saya menyadari itu. Tetapi saya merasa tidak masalah karena bagi saya menyanyi itu yang penting bisa menghayati isi lagunya. Jadi, menyanyi ya menyanyi saja. Du...dudu..dudu... (melenggang sambil kibasin rambut, eh bukan ding. Tapi kibasin jilbab hehee)

Salah seorang teman berkomentar lagi, "Suaramu kalau nyanyi tuh fals, Dit". Mendengar kata-kata itu, hati teriris perih, benar-benar perih. Separah itukah suara saya? Kalau tidak separah itu, mungkin ia tidak seterang itu mengkomplain suara saya. Huhuu... (mulai ngambil tisu selembar demi selembar)

Januari 2013 ada perlombaan menyanyi lagu-lagu Bima untuk anak-anak SD se-kabupaten Bima. Saya melihat ada beberapa anak didik saya yang memiliki bakat menyanyi. (Walapun tidak bagus dalam bernyanyi, saya cukup bisa melihat mana anak yang berbakat menyanyi atau tidak, lho!). Yosh, akhirnya saya memutuskan untuk mengikutkan Mita dan Sumi dalam kontes tingkat kabupaten itu.

Saya teringat sebuah doktrin yang saya pelajari ketika Pelatihan Intensif Pengajar Muda, yaitu bahwa tugas guru bukanlah mengajar melainkan memfasilitasi anak-anak agar mereka menemukan gaya belajarnya kemudian termotivasi untuk belajar secara mandiri. Saya merasa mendapat angin segar setelah teringat doktrin itu.

Saya pun bergerak cepat. Sumi dan Mita segera saya panggil untuk berlatih. Siapa yang melatih? Saya? Oh tentu tidak! Lha wong suara saya saja fals, bagaimana mau mengajari mereka? Saya tau diri. Maka, saya putarkan video beberapa lagu yang akan dilombakan. Mereka pun memilih satu lagu berjudul "Maira Dambe". Setiap sore saya perdengarkan lagu itu kepada mereka lalu saya minta mereka menirukan dengan benar dan kemudian menyanyikan dengan gaya mereka. Ketika berlatih seperti itu, saya undang semua teman sekelas mereka untuk melihat dan menilai. Jika mereka merasa ada yang kurang dengan penampilan Mita dan Sumi, mereka boleh mengkritik dan memberi saran bagaimana sebaiknya. Beberapa guru juga kadang datang saat latihan dan memberi masukan untuk penampilan mereka. Latihan seperti itu kami lakukan sampai lebih dari dua minggu. Empat hari sebelum lomba, penampilan Mita dan Sumi sudah cukup bagus. Tetapi saya masih merasa ada yang kurang. Lalu, saya menyampaikan ini kepada Ibu Kepala Sekolah.

"Ibu, penampilan Mita dan Sumi sudah cukup bagus. Tapi, selama ini mereka berlatih hanya dengan iringan musik dari DVD. Sedangkan nanti di perlombaan pengiringnya adalah live musik. Jadi, sebaiknya bagaimana ya Ibu?
Ibu diam sejenak. "Nanti biar saya minta Edy untuk melatih anak-anak pakai organ-nya". Saya jadi lega. Oh iya, Abang Edy adalah pemain organ yang cukup terkenal di daerah kami.

Bisa ditebak bagaimana ending cerita ini? Iyes, Sumi dan Mita tampil dengan sangat sempurna dan memuaskan sehingga berhasil meraih juara 2 di lomba yang berskala kabupaten itu. Alhamdulillah.

Jadi, hikmahnya adalah seorang guru tetap bisa membuat murid-muridnya mahir di bidang yang gurunya sendiri pun sama sekali tak mahir. Saya tersenyum bahagia.

Sumi dan Mita (Berbaju Kuning)

Yang Akan Selalu Diingat

Pada suatu hari,
Sebulan di penempatan. Saat itu, kepala UPT Dikpora kecamatan tempatku bertugas akan memasuki masa pension. Oleh karena itu, para kepala sekolah se-kecamatan mengadakan acara perpisahan berupa piknik bersama ke sebuah pantai di Dompu. Maka, di hari yang telah disepakati bersama, diadakanlah piknik perpisahan itu dan aku pun tidak boleh absen dari acara yang spesial itu.
Setelah perjalanan dengan bus selama kurang lebih 3 jam, kami tiba di pantai yang menjadi tujuan kami. Dipilihlah tempat yang banyak pohon sehingga kami bisa duduk-duduk santai sambil menikmati perbekalan. Saat tengah mengobrol bersama, mataku menangkap sesuatu yang membangkitkan perhatianku.
“Itu, buah sirsak ya, bang?” tanyaku padanya sambil menunjuk buah yang nampaknya hampir masak itu.
“Iya ni, sirsak. Mau makan?”
“Hehe.. iya sih, tapi kita kan tidak tahu siapa pemilik pohonnya”
“Oh, sebentar ya!” ia berjalan ke arah Pak tua yang tengah berdiri kira-kira 10 meter dari kami.
“Heeeeee......?” aku pun terperangah menyaksikannya menghampiri Pak tua yang beberapa saat kemudian baru aku tahu bahwa Pak tua itu tidak lain adalah penjaga kebun tempat kami berteduh itu. Dari jauh kuamati mereka nampak bercakap-cakap beberapa saat hingga akhirnya,
“Ini. Nanti bawa pulang ya!”
“Astaga, diambilkan beneran, bang? Padahal tadi saya cuma kepengin aja. Hehe.. jadi gak enak ni”, jawabku sambil malu-malu menerima buah sirsak yang baru ia petik dari pohonnya itu.
“Terima kasih banyak bang!”, aku berkata sambil menyeringai.
“Waaaa... dia baik sekali ya”, aku membatin.

Pada suatu hari yang lain,
Di kecamatan tempatku bertugas terdapatlah sebuah desa bernama Kalodu, desa yang cukup tersohor namanya karena dua alasan. Alasan pertama, desa ini terletak di sebuah bukit yang cukup tinggi sehingga menjadikannya sebagai desa tertinggi di kecamatan kami. Karena letaknya yang ada di dataran tinggi ini, desa Kalodu mempunyai tetumbuhan yang berbeda dengan yang ada di desa tempatku bertugas. Tanaman andalan di desa ini adalah jambu biji yang ketika tiba musim berbuahnya, akan menjadi primadona bagi warga di seluruh pesisir teluk Waworada.
Alasan kedua, di desa ini terdapat masjid Kamina, masjid tertua di Bima. Konon, masjid ini dibangun oleh sultan pertama Bima yang diislamkan oleh ulama dari kerajaan Goa, Sulawesi Selatan. Karena nilai sejarah inilah, Kalodu tidak jarang mendapat kunjungan dari pejabat Kabupaten Bima.
Awal-awal berada di desa penempatan, aku sudah mendengar cerita dari para warga tentang keistimewaan Kalodu. Banyak orang menyarankan, “Sekali-kali nanti Ibu Dita harus main ke Kalodu.” Siapa yang tidak penasaran setelah mendapat cerita-cerita seperti itu?
Untuk menuju desa ini ternyata tidak mudah. Orang-orang biasanya memilih berjalan kaki karena kondisi jalan yang terjal, curam, mendaki dan berkelok-kelok. Beberapa orang yang sudah pandai mengendarai motor pun  tetap harus sangat berhati-hati saat melewati jalan menuju Kalodu itu agar tidak tergelincir. Kalau tergelincir, pengendara ada kemungkinan jatuh ke jurang. Kasus kecelakaan semacam ini pun ternyata sudah beberapa kali terjadi.
Pada suatu malam, aku tengah mengobrol dengan keluarga angkatku. Aku mengutarakan bahwa nanti suatu waktu aku ingin berkunjung ke desa Kalodu.
“Yakin mau ke sana? jalan kaki mendaki gunung 2 jam bisa?”
“What? 2 jam?”, aku berkata dalam hati.
“Hmm.. mungkin bisa, bang!” jawabku mencoba bernada mantap, padahal sebenarnya agak ragu.
“Baiklah, nanti kita berangkat sama-sama”.
“yes, yes, yes...!” aku bersorak, masih dalam hati.
Di suatu sore yang telah direncanakan, bersiaplah kami menuju Kalodu. Tidak jalan kaki, tapi naik motor. Tak lupa, temanku sesama Pengajar Muda yang bertugas sekecamatan denganku ikut pergi bersama kami ke Kalodu. Awalnya dari rumah aku membonceng temanku itu. Tapi, ketika sudah hampir melewati jalan yang sulit,
“Ayo dita saya bonceng saja, biar ndak jatuh. Soalnya, jalannya nanti sulit sekali”
“Oh, gitu?” Aku pun menurut. Bagaimanapun, ia yang lebih tau tentang kondisi jalan. Memang benar, semakin menanjak, kondisi jalan semakin menantang –untuk tidak dikatakan mengerikan-. Kira-kira 20 menit waktu yang harus aku habiskan dengan jantung berdetak kencang  karena menahan rasa takut selama di perjalanan. Beberapa kali nyaris tergelincir, tapi untungnya kami tiba di puncak dengan selamat. Alhamdulillah.. senangnya.. Akhirnya aku bisa melihat sendiri Kalodu yang tersohor di kalangan warga pesisir ini. Masjid Kamina, kampung yang hijau dan sejuk oleh pepohonan, lanskap Tanjung Langgudu dari atas bukit benar-benar membuatku berkali-kali berdecak kagum.
“Terima kasih sudah mengajakku ke sini, bang!”

Lagi, pada suatu hari
Idul Adha, Oktober 2012. Ini adalah pertama kalinya aku merayakan hari raya Idul Adha jauh dari keluargaku. Ingin sekali pulang, tapi apa daya, tugas negara menantiku (haha, lebay....).
Setelah beberapa kali bicara dengan 3 orang teman se-timku, akhirnya diputuskan kalau ketiga temanku, Kokoh, Gilar dan Slam akan datang ke desa penempatanku. Horeee...! Aku senang bukan kepalang. J
Setibanya di rumahku, kami berempat makan, mengobrol, bercanda bersama-sama. Akan tetapi, kalau kegiatan seperti itu dilakukan seharian penuh, ternyata bosan juga ya? Saat menjelang sore, aku punya ide untuk pergi ke pantai. Tapi, pantai kan lumayan jauh dari rumahku? Naik apa? Kami kan berempat.
Tik, tak, tik, tak... se-per sekian jam kemudian, datanglah ia beserta istri dan dua orang anaknya.
“Ini bang, kami sebenarnya mau ke pantai”, aku mencoba munduk-munduk, hehe.
“Ke pantai mana?”
“Mana pantai yang bagus ya, bang?
“Ke Temba Ruma saja, di Sembane”.
“Jauh ya, dari sini?”, memasang muka memelas dan agak pragmatik. Ternyata, dia menangkap pesan tersiratku itu.
“Pakai saja motor Bapak dan satu lagi biar saya ambil motor di rumah bawah”.
“Oh gitu?”, jawabku sambil meringis, hihiii.
Jadilah sore itu kami berpiknik, semacam piknik keluarga. Menikmati suasana sore pantai sambil mengobrol, makan mangga, bermain pasir dengan kedua anaknya, berfoto, bercanda-canda. Sangat menyenangkan J
Sepertinya, ini adalah sesuatu yang kecil dan biasa. Tapi, bagiku tidak! Di keluargaku, aku adalah anak sulung, tidak pernah merasakan bagaimana senangnya punya seorang kakak. Di sini, di tanah Bima ini, aku merasa menjadi seorang adik, yang diperhatikan, juga disayangi. Sekarang aku tahu, betapa bahagianya punya seorang kakak.

Pada suatu hari yang lain lagi,
Awal Mei 2013, aku dan temanku menghadiri pesta pernikahan di kota Bima. Seperti biasa, saat harus pergi ke kota, terkadang kami meminjam motor milik abangku itu. Kebetulan, hari itu juga dia dan istrinya juga menghadiri pesta pernikahan teman mereka di kota Bima. (Tapi, teman kami dan teman mereka berbeda, lho J).
Mereka berangkat lebih awal dengan Vario sedangkan kami dengan Supra Fit. Saat sudah di Bima, dia mengirim sms meminta agar kami berempat pulang ke desa bersama-sama karena dia mengkhawatirkan keselamatan kami berdua. Maklum, untuk menuju ke desa kami, kami harus melewati jalan-jalan berbukit yang sisi kanan kirinya adalah hutan dan jurang. Jika hari mulai gelap, tak jarang ada perampok yang menghadang pengguna jalan, terutama pengguna motor.
Saat perjalanan pulang, kami berjanji akan bertemu di sebuah tempat, lalu melanjutkan perjalanan bersama-sama agar lebih aman. Karena di beberapa titik kami tidak bisa mendapatkan sinyal HP, kami kesulitan untuk saling berkomunikasi hingga akhirnya tidak bisa bertemu di tempat yang sudah ditentukan itu. Saat itu, aku dan temanku santai-santai saja karena yakin bahwa insyaAllah perjalanan ini akan aman.  Tapi, tahukah apa yang mereka rasakan?
Sampailah kami di rumah. Bapak, ibu, abangku dan istrinya berada di teras rumah. Ternyata, mereka sedang menanti kedatangan kami. Dari nada mereka berbicara, jelas sekali mereka khawatir dengan keadaan kami. “Untung tidak terjadi apa-apa”, Ibu berkata singkat namun mengandung makna yang mendalam. Aku merasa sangat bersalah karena sudah membuat mereka menunggu kedatangan kami dengan perasaan penuh khawatir. Hari itu aku belajar tentang khawatir dan dikhawatirkan, tentang menyayangi dan disayangi, tentang menunggu dan ditunggu, and the most significant lesson is.... tentang apa yang orang-orang harapkan dariku.

Pada suatu hari yang lain lagi,
Lagi,
Lagi,
....................
....................


Tidak terhitung!
Namun, semua itu terikat kuat di memori otakku, tersimpan rapih di alam bawah sadarku. Entah sampai kapan. Karena ia adalah abangku, anak perama dari bapak ibu angkatku, suami terbaik dari kakak iparku, ayah terhebat dari dua keponakanku yang lucu-lucu.

Pada suatu hari setelah aku kembali ke Jawa.
Rabu, 21 Agustus 2013 aku mendapat kabar bahwa dia berpulang ke Rahmatullah.



Kau tahu bagaimana perasaanku, kawan? 

Sabtu, 20 September 2014

Mari Saling Menyebut Nama dalam Doa

Sebelum kerja di tempat yang sekarang ini, aku pernah 2 bulan kerja di tempat lain. Karena satu dan lain hal, aku memutuskan untuk resign. Saking tidak betahnya, aku resign begitu saja walaupun belum tau akan bekerja apa setelah itu. Dua hari setelah resign, aku mendapat panggilan untuk tes di perusahaan tempat saat ini aku bekerja. Alhamdulillah langsung diterima dan bisa masuk kerja seminggu setelahnya.

Aku merasa itu seperti sebuah keajaiban. Amalan apa yang kira-kira menjadikanku layak mendapat keajaiban ini? Setelah ku pikir-pikir, tidak ada yang istimewa dengan amalan-amalanku, semua biasa-biasa saja. Jadi, apa ya? Aku berfikir keras.

Aha! Aku tau jawabannya. Mungkin semua hal-hal baik yang datang padaku selama ini adalah tersebab oleh doa orang-orang di sekitarku. Ibu, saudara-saudara, para sahabat, para guru dan orang-orang yang mungkin aku tidak terlalu dekat dengannya. Sering kali ketika hendak melakukan suatu hal, atau sedang punya keinginan tertentu aku menyampaikan ke orang-orang sekitar dan mohon doa dari mereka. Nah, bisa jadi doa-doa mereka inilah yang diijabah oleh Allah SWT.

Karena berdoa itu gratis, yuk kita berdoa sebanyak-banyaknya. Sebut nama-nama orang di sekitar kita satu persatu. Mintakan permintaan terbaik dari Allah untuk mereka. Kalau mereka mendapat kebaikan/kesuksesan dari Allah, bukankah kita juga akan ikut bahagia? Oh iya, semoga kita tidak lupa mendoakan saudara-saudara kita sesama muslim di berbagai belahan bumi ya!

*Hey kamu! Siapapun kamu yang akan menjadi pendamping hidupku. Yuk saling mendoakan dalam kebaikan! Gusti Allah mboten sare, yuk banyak-banyak berdoa!


Selasa, 16 September 2014

Kapan manggung lagi ya?

Pak Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul "Gurunya Manusia" mengatakan bahwa guru adalah seniman tingkat tinggi. Ya, aku sependapat. Menjadi guru berarti menjadi seniman. Oleh karena itu aku mengasumsikan kelas sebagai panggung. Di sanalah aku berekspresi dan membuat siswa-siswaku bebas berekspresi pula. Kami menyanyi, menari, mendongeng, berpuisi, bermain kuis, bermain sulap, bermain peran, bersorak sorai, bertepuk tangan, berbicara dari hati ke hati, berkreasi apapun sehingga kami pun tertawa dan kadang menangis bersama.

Dari semua aktifitas itu ku menyaksikan lahirnya maetro-maetro cilik. Si Mita yang pandai bernyanyi, Sumi yang pandai membuat gerakan tari, Dayat dan Isti si calon ilmuan matematika, Taufiq si ahli pembuatan teknologi tepat guna, Rika yang pandai mendongeng, Tona si saudagar cilik, Dion si bintang sepak bola, Fani si anak paling percaya diri. Ah, mereka semua anak-anak hebat, anak-anak juara. Kapankah aku menjumpai anak-anak semacam mereka lagi? 
Benar-benar rindu naik panggung lagi.

Sekotak Nasi untuk Berdua

Kadang, kita lebih mengingat efek dari sebuah kejadian daripada kejadian itu sendiri. Bisa jadi itu karena si efek begitu terpateri, terukir dalam di hati (Aseek).

Jadi begini ceritanya. Beberapa hari lalu Rida mengajakku menonton film Rurouni Kenshin, Samurai X versi manusia. Kabarnya film itu bagus sekali sehingga aku pun tergiur ingin nonton. Tapi... tapi..., aku kemudian teringat janjiku pada diri sendiri untuk lebih menghemat dan absen sebentar dari bersenang-senang. Pasalnya, aku baru saja jalan-jalan dari negara sebelah dan membeli motor. So, bisa dibayangkan kondisi keuanganku saat ini. (gigit jari)

Rida kemudian menawariku untuk mentraktirku nonton kali ini. "Kan nanti kalau Dita udah banyak uang lagi bisa ganti traktir aku", begitu kata Rida. Ah Rida, kamu selalu mengerti keadaanku. Tiba-tiba kami teringat efek dari sebuah kejadian yang hampir mirip dengan yang baru saja terjadi itu.

Sekitar bulan Oktober 2011, Rida kedatangan 3 orang temannya semasa ia belajar di Jepang. Ketiga teman tersebut berencana akan berlibur ke Jogja selama 4 hari. Mereka meminta Rida untuk menemani mereka menjelajahi Jogja dan sekitarnya. Karena ketiga teman tersebut adalah laki-laki, Rida merasa kurang nyaman jika hanya pergi dengan mereka saja. Maka, Rida mengajakku menemaninya. Kami pun berhitung berapa uang yang akan kami keluarkan untuk wisata 4 hari itu. Sewa mobil, tiket masuk Borobudur, Prambanan, Ramayana Balet, Ulen Sentalu (Merapi), Keraton dll. Belum lagi makan siang yang minimal adalah restoran sekelas Raminten. Semua total pengeluaran itu akan kami bagi berlima sehingga masing-masing iuran dengan jumlah yang sama. Hohoo... melihat angka yang harus dibayar itu, aku hanya bisa meringis. Jelas saja aku meringis. Aku baru saja pulang dari Semeru dan Bromo. Ditambah lagi, bulan depannya aku wisuda. Oh uang, I need you indeed.

Hmm.. kami memutar otak.

"Oke, beberapa minggu ke depan aku sarapan Energen aja. Jadi, budget untuk sarapan bisa dipotong", kataku sambil menyeringai.
"Oh gitu?" Rida tampak iba padaku. Diam sejenak, tampak sedang berfikir.
"Karena Dita udah mau nemenin dan bantu aku, nanti tiap hari aku bawa bento dari rumah. Jadi kita bisa makan siang bareng. Dita gak perlu beli makan siang. Kan bisa tambah irit tuh?" jelas Rida.
"Aha!", tiba-tiba mataku kembali menyala. "Tapi Rida gak papa tiap hari bawa bento buat aku juga?"
"Gak papa", jawab Rida sambil tersenyum.

Liburan yang direncanakan pun sudah dilewati dengan menyenangkan dan mengesankan. Tibalah waktunya usaha pengiritan dijalankan. Sekotak nasi untuk berdua, begitu sampai beberapa hari atau minggu kedepan. Di ruang minum INCULS, saat jam makan siang. Unforgettable.
di Kraton Yogyakarta

Mentari

"Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang
Dan mentari kan terus bernyala
Di sini di dalam hatiku.
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri sekitarku
Semua tak kan sanggup menghalangimu bernyala di dalam hatiku"
(Petikan lagu berjudul "Mentari" karya Abah Iwan Abdurrahman)


Aku pertama kali bertemu dengan Abah Iwan saat acara pelepasan Pengajar Muda angkatan IV, pertengahan Juni 2012. Waktu itu jujur aku tidak tau siapa beliau. Saat beliau memasuki aula tempat kami berkumpul, teman-teman yang berasal dari ITB langsung bersorak haru. Aku masih diam saja, belum mengerti. Lalu salah seorang dari mereka menjelaskan kepadaku bahwa Abah Iwan itu adalah pencipta lagu yang terkenal di era tahun 70 sampai 80-an. Salah satu lagu gubahannya yang masih tidak asing sampai saat ini adalah "Burung Camar" yang pernah dipopulerkan oleh Vina Panduwinata. 

Temanku menambahkan bahwa Abah Iwan tidak pernah absen bernyanyi dan memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru di ITB. Jadilah beliau idola bagi mahasiswa dan alumni kampus ganesha dari tahun ke tahun. Selain aktif menulis lagu, Abah Iwan juga seorang pecinta alam sejati. Beliau tercatat sebagai anggota kehormatan di Kopassus dan Wanadri. Beliau tidak hanya hobi mendaki gunung tetapi juga ikut berlatih layaknya seorang prajurit.

Lagu-lagu yang Abah Iwan tulis adalah hasil perjalanan batin beliau sebagai aktivis sejak masa kuliah. Oleh karena itu, semua lagu Abah Iwan memiliki "nyawa". Siapapun yang mau mendengarkan lagu ini sepenuh hati pasti bisa merasakan "nyawa" itu.

Setelah acara pembekalan PM itu, Abah Iwan menghadiahi kami CD kaset lagu-lagu Beliau. Masing-masing kami mendapat 1 keping. Kami semua terharu karena memperoleh CD itu langsung dari maestronya. CD itu pun ku bawa ke penempatan. Hampir setiap malam sebelum tidur aku memutarnya. Mendengarkan lagu-lagu Abah Iwan itu membuatku merasa damai karena lagu itu juga mewakili perjalanan batinku.

Dari semua lagu-lagu Abah Iwan, aku paling suka "Melati dari Jayagiri", "Dhuha" dan "Mentari". Terkhusus untuk "Mentari" aku terkadang sengaja mendengarkannya ketika semangatku menurun, ketika beban kehidupan terasa berat, ketika cita-cita mulai memudar. Abah Iwan mengatakan bahwa lagu itu Beliau tulis sekitar tahun 1978 ketika kampus diduduki kekuasaan tiran. Para aktivis diusir dari kampus, dipukuli dengan popor senjata. "Mentari" kemudian beliau tulis untuk menggambarkan perjalanan batin beliau dan teman-teman saat itu. Bahwa kata "Mentari" adalah personifikasi dari cita-cita. Apapun yang terjadi dalam hidup ini, seberat apapun, cita-cita harus terus menyala seperti mentari. Cita-cita semacam apa? Yaitu cita-cita untuk menjadi orang yang paling bermanfaat untuk banyak orang, paling memikirkan banyak orang.
Semoga, mentari tetap bernyala di dalam hati kita sehingga orang-orang di sekitar kita bisa merasakan terang dan hangatnya mentari itu.

Sabtu, 13 September 2014

Abdullah

Bulan Juni 2012, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima tempatku bertugas menjadi Pengajar Muda (PM). Sebagai PM angkatan ke-2 di Bima, selama 2 minggu aku mendapat kesempatan mendengar semua hasil kerja, pencapaian, kendala dan berbagai cerita dari Kak Mutia, PM pendahuluku di Langgudu. Selama 2 minggu itu pula kami berkeliling desa, berkenalan dengan warga dan para penggerak lokal, mengupas seluk beluk sekolah hingga memetakan harapan dan kekhawatiranku selama setahun ke depan.

Aku tentu saja merasa sangat bangga karena terpilih menjadi Pengajar Muda. Tapi, waktu itu aku takut apakah aku bisa menjalankan tugas berat itu. Ketakutan semakin terasa kian besar menjelang kepulangan kak Mutia ke Jawa karena masa penugasannya sudah selesai. Setelah kak Mutia pulang, aku akan bertugas sendirian di tanah yang benar-benar baru itu. Semua masih serba asing; lingkungan, orang-orang, bahasa, makanan dll. Apa aku bisa kuat selama setahun ke depan?

Dan tantangan pun datang tepat sehari setelah kak Mutia kembali ke Jawa. Sore itu aku untuk ketiga kalinya mengunjungi rumah Abdullah, siswa kelas VI SDN 2 Rupe yang mendapat beasiswa SMART Ekselensia Dompet Duafa untuk bersekolah SMP-SMA Percepatan di Bogor. 

Abdullah atau yang kerap dipanggil Dula adalah satu-satunya perwakilan NTB yang berkesempatan memperoleh beasiswa ini setelah melewati serangkaian proses seleksi yang panjang dan mengalahkan anak-anak lainnya termasuk anak-anak dari kota besar seperti Mataram. Menurut jadwal, Dula akan berangkat ke Bogor seminggu ke depan. 

Sebelum kunjungan sore itu, Kak Mutia sudah 2 kali mengajakku ke rumah Dula. Setiap kali kunjungan, Kak Mutia selalu memberi semangat dan dorongan kepada Dula agar tidak takut bersekolah di Bogor. Namun, sepertinya Dula belum sepenuhnya berani. Begitu pula dengan Ibunya. Sang Ibu sepertinya belum ikhlas melepas anak lelaki satu-satunya untuk belajar di tanah yang jauh. Apalagi, belum genap setahun Ayah Dula meninggal dunia. Jadilah Dula adalah satu-satunya laki-laki di rumah panggungnya yang sangat sederhana itu. 

Dula adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara. Dua orang kakak perempuannya sudah duduk di bangku SMA dan adik perempuannya kelas 3 SD.
Aku begitu kaget ketika sore itu aku sendirian berkunjung ke rumah Dula dan dengan nada menyedihkan dia mengatakan, "Ti cau lao ke Bogor" (Tidak mau pergi ke Bogor).

"Kenapa tidak mau? Kan kemarin-kemarin Dula bilang mau", kataku padanya. Kucoba membujuknya namun ia hanya menggelengkan kepala sambil duduk memeluk lutut di pojok ruangan sempit yang tidak bisa disebut sebagai ruang tamu itu. Samima, sang kakak ikut membujuk dengan Bahasa Bima, aku tak tau persis apa yang ia katakan. Hampir semua kata-kata yang keluar dari mulut si kakak ini, selalu dijawab dengan gelengan kepala. Aku menghela nafas.

Untungnya, beberapa saat kemudian datanglah Ibu Laila atau yang biasa dipanggil Ibu Lau, sang Kepala Sekolah SDN 2 Rupe. Setibanya beliau di rumah Dula, aku segera menjelaskan situasi yang baru saja terjadi. Beliau langsung menasehati Dula dan sepertinya beliau juga meyakinkan Ibu Dula. "Iyota, Ibu", begitu bebera kali Ibu Dula sambil mengangguk-angguk menanggapi perkataan Ibu Kepala sekolah.

Situasi menjadi kembali baik. Tapi, sepertinya keteguhan hati Dula masih bisa digoyahkan. Setelah menggali informasi dari beberapa pihak, aku tahu bahwa ada beberapa tetangga yang tidak setuju Dula pergi ke Jawa. Alasannya bermacam-macam, mulai dari ketakutan penipuan, aliran sehat hingga jaminan keselamatan Dula. Isu itulah yang membuat Dula dan Ibunya ragu. 

Wajar, di Kabupaten Bima Dula adalah anak pertama yang berhasil mendapatkan beasiswa Smart Ekselensia Dompet Dhuafa ini. Jadi, warga belum memiliki gambaran nyata tentang beasiswa ini. Untungnya, Ibu Lau dan para guru di SDN Rupe 2 tetap optimis untuk memberangkatkan Dula ke Bogor. 

Selama seminggu tersisa itu kami bersama-sama menyiapkan semua perlengkapan Dula. Dokumen-dokumen, baju seragam, tas, sepatu, semua kami persiapkan bersama-sama. Jika ada barang yang harus dibawa namun Dula tidak memilikinya atau yang ia miliki sudah tidak layak pakai, maka Ibu Kepala Sekolah dan para guru ini cepat tanggap mencarikan dan dengan cuma-cuma memberikannya pada Dula. Kebaikan Ibu Kepala Sekolah dan para guru ini membuatku trenyuh. Merekalah sosok nyata pahlawan tanpa tanda jasa.

Sejak sore itu, aku setiap hari menyempatkan untuk berkunjung ke rumah Dula. Para ibu guru SDN 2 Rupe juga bergantian berkunjung, memastikan semangat Dula agar tidak surut. Akan tetapi, yang terjadi adalah empat hari sebelum keberangkatan, Dula demam dan tidak mau makan. 

Aku datang membawakannya roti dan susu tapi ia hanya mau menyentuh sedikit saja sehingga pada hari berikutnya kondisi Dula memburuk. Salah seorang Ibu guru kemudian membawanya ke bidan desa. Hari berikutnya lagi, Dula semakin tampak pucat dan lemas. Setiap aku atau ibu guru atau ibu kepala sekolah datang ke rumahnya, ia tampak ketakukan dan terus berbisik kepada ibunya bahwa ia tidak mau pergi ke Jawa.

Sore hari, tepat 2 hari sebelum jadwal keberangkatan Dula, Ibu Aini menelponku, "Ibu Dita, Dula akhirnya kita infus di rumah, supaya tidak lemas dia. Tadi ibu bidan sudah datang pasang infus". "Oh gitu ya ibu, saya ke sana sekarang", jawabku singkat.

Sehari sebelum keberangkatan, keadaan Dula masih sama. Sore itu hujan gerimis. Aku pergi ke rumah Dula bersama Mita, salah seorang siswaku, menggunakan motor Bapak angkatku. Setibanya di sana, Dula dan ibunya menangis. Dengan bantuan Samima sebagai penerjemah, aku tahu bahwa sang Ibu tidak mengizinkan Dula berangkat. Ku coba bujuk mereka. Kembali ku buka layar laptoku dan ku tunjukkan foto-foto sekolah Smart Ekselensia beserta profil, kegiatan dan prestasi siswa. 

Ku yakinkan bahwa insyaAllah Dula akan baik-baik saja di sana. Mereka tetap tidak bergeming. Adzan maghrib berkumandang, ku tutup pembicaraan dengan berkata, "Besok pagi jam 06.00 kita berangkat ke Bandara ya, pakai mobil ibu Kepala. Sebelum jam 06.00 ibu Dita sudah akan tiba di rumah Dula." Aku pun bergegas pamit dari kamar tidur Dula yang remang-remang karena hanya bercahayakan lampu minyak itu. Ya Allah, izinkanlah Dula tetap berangkat kalau ini baik baginya. 

Pikiranku kacau saat itu. Langit sudah gelap, hujan gerimis masih tetap turun. Ku coba nyalakan motor tapi berkali-kali tak bisa. Mau meminta tolong orang tetapi keadaan kampung sudah sepi. Mita tampak agak panik. Ku coba menenangkannya walaupun aku sendiri juga panik. Lengkap sudah perasaanku sore itu. Tetap ku coba menyalakan motor sambil terus berdoa. Alhamdulillah, motor kami akhirnya menyala dan kami pun bisa pulang ke desa Karumbu, kira-kira 1 km dari rumah Dula.

Hari yang dinantikan itu datang juga. Ketika aku tiba di rumah Dula, para tetangga sudah banyak yang berdatangan. Beberapa berkata, "Itu Ibu Dita sudah datang!". Aku mulai menaiki tangga rumah panggung Dula. Terdengar Dula merengek, "ti cau, ti cau". Para tetangga semakin ramai dan berbisik-bisik entah apa yang mereka bisikkan. 

"Ini yang mau naik pesawat kok belum mandi?", tanyaku spontan karena waktu itu aku bingung harus berkata apa. Tiba-tiba kata-kata bujukan, rayuan, penyemangat dan yang semacamnya pun muncul berhamburan terlontar dari mulutku. Intinya, pagi itu Dula harus berangkat ke Bogor. Itu harapanku. Ibu kepala sekolah dan para guru sudah datang. Melihat kondisi itu, ibu kepala sigap mengambil tindakan.

"Harus berangkat, demi masa depan. Anak seperti Dulu ini harus kita dukung, biar sukses dia nanti. Bla bla bla.... ", rentetan kata-kata dalam bahasa Bima pun terus Ibu Laila keluarkan. Beliau terlihat sangat bertekad agar Dula berangkat demi masa depan yang lebih baik. Tampaklah beberapa sesepuh dusun berdatangan, saling berbicara dengan bahasa yang tidak ku mengerti. Sepertinya mereka juga sedang memberi pengertian kepada Ibu Dula. 

"Sudah-sudah, berangkat sudah.", mereka saling mengangguk. Seketika itu, ada yang melepas infus Dula, menganti pakaiannya walapun Dula terus meronta. Dula pun kemudian digendong menuju mobil bak terbuka milik Ibu Kepala yang akan mengantar kami ke bandara. Dula masih tetap meronta, menangis sambil berteriak-teriak tidak mau pergi. Beberapa orang yang hadir di sana pun tampak menitikkan air mata. 

Semua pengantar pun bergegas naik ke atas mobil. Dula, adik dan ibunya duduk di depan, sedangkan kakak, para tetangga, sanak saudara, para guru, teman-teman Dula, tak terkecuali aku di belakang. 

Di halaman depan rumah Dula semakin banyak orang berdatangan. Mereka ingin ikut melepas keberangkatan si anak yang jago matematika itu. Mobil mulai berjalan, menyusuri jalanan Desa Rupe. Hampir semua warga keluar dari rumah mereka, melambaikan tangan ke arah mobil kami dan menggumamkan doa-doa. Haru sekali suasana hari itu.

Kira-kira 2 jam perjalanan kami tempuh dengan mobil itu. Dula sempat menyunggingkan senyum saat tiba di Bandara Sultan Shalahudin Bima dan melihat pesawat. Pak Usman, utusan dari Dasi Mataram yang akan mengantarkan Dula ke Bogor pun sudah datang. 

Alhamdulillah Dula tidak canggung dengan Pak Usman. Selama kami di Bandara, tidak ada raut kesedihan. Semua pengantar memasang muka ceria di depan Dula, tak henti-henti memberi semangat. Begitu pun Dula, sisa-sisa air mata sama sekali sudah tak tampak. Ini seperti keajaiban.

Pesawat sudah mulai mengangkasa, meniggalkan tanah Bima. Semua pengantar melambaikan tangan penuh takzim, mengarahkan pandangan ke arah pesawat hingga pesawat itu mengecil dan tak tertangkap lagi oleh jangkauan mata kami. "Selamat belajar Dula. Semoga Allah memberkahi usahamu mencari ilmu", doaku dalam hati. 

Malam hari, ku terima sms dari Pak Usman yang mengabarkan bahwa selama perjalanan Dula baik-baik saja dan sempat berkata, "caru poda" ketika di dalam pesawat. (Caru poda berarti enak sekali). 


*Tulisan ini saya unggah saat Dula sudah duduk di kelas IX.

Kamis, 11 September 2014

Maaf

"Rasa sesal di dalam hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
Lelah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti"
(Kutipan lagu berjudul Denting Piano, Iwan Fals)


Begitulah personifikasi perasaan saya saat ini. Menyesal, namun tidak tahu bagaimana harus memperbaikinya. Ingin meminta maaf, tapi belum punya cukup keberanian.
Peristiwa itu memang sudah lebih dari setahun berlalu. Akan tetapi, semakin lama rasa bersalah ini kian membuncah. Terngiang-ngiang perkataan salah seorang teman pada waktu itu, "kamu akan menyesal telah mengecewakannya Dit". Awalnya saya tidak ambil pusing dengan perkataan itu. Toh saya belum pernah bertemu dengan orang itu. Tetapi, akhirnya tiba juga rasa bersalah dan penyesalan itu.

Harus bagaimana setelah ini? Ternyata saya belum punya cukup nyali untuk mengatakan "Maaf". Semoga suatu saat nanti, kata maaf itu bisa tersampaikan langsung. Semoga, Allah lekas menghapus rasa kecewanya dan kemudian mau memaafkan saya walau kata maaf belum mampu terucap dari lidah ini.

*Saya masih terlalu naif*

Rabu, 10 September 2014

KL -Part 1-

Sabtu, 30 Agustus. Hari yang bersejarah buatku karena hari itu untuk pertama kalinya aku akan menginjakkan kakiku di negeri orang. Tidak sabar rasanya :-D

Seharian itu tak henti-hentinya aku menatap jam dinding yang terpasang di ruang kerjaku. Setiap kali menoleh ke jam tersebut, hatiku selalu berbisik, "cepatlah jam 2, cepatlah!" Ya, karena hari itu jam kantor kami selesai pada jam 2 siang. Menjelang jam 2, atasanku belum terlihat hendak pulang. Hatiku mulai was-was. Di kantor kami ada semacam peraturan tidak tertulis yang menyatakan bahwa pulang mendahului GM adalah tabu. Kira-kira begitu.Jam 2.15, sebuah pesan WhatsApp ku terima dari Mari, temanku.

"Dit, aku udah berangkat dari rumah lho!"
Apa? Udah berangkat? Aku kekuar dari kantor aja belum. Aku semakin gelisah. Piye iki?

Akhirnya, jam setengah 3 aku baru bisa keluar kantor. Dan semakin resahlah aku karena Sari, teman yang biasanya aku tebengin mendadak mau pergi ke rumah temanya. Jadilah aku berjibaku mengejar metromini agar bisa cepat pulang ke kos mengambil barang bawaan yang untungnya sudah selesai aku kemas malam sebelumnya.

Secara matematis, aku tidak mungkin tiba di Blok M (tempat aku dan Mari akan bertemu) tepat jam 4 sesuai kesepakatan kami. Baiklah, tidak apa-apa. Aku akan berusaha dulu. Yosh! Setelah ganti angkot 2 kali, tibalah aku di dekat kosku. Sebenarnya aku ingin berlari, tapi malu dilihat tetangga-tetangga. Nanti malah pada ngliatin. Hihii. Tiba di kos, perutku keroncongan karena belum sempat makan siang di kantor. Aha, mataku menangkap segelas nata de coco yang tampak sangat enak. Maka, aku pun melahap nata de coco itu sebelum berangkat ke blok M. *Bagian ini tidak aku ceritakan kepada Mari karena kalau dia tau aku makan nata de coco padahal dia sedang menungguku, dia bisa marah besar padaku.*

Yah, lagi-lagi ujian datang. Metromini no 69 yg ku tumpangi menuju blok M terjebak macet dari pintu tol Ciledug sampai hampir Kebayoran Baru. Saat itu jam 5.10. Mari mengirim pesan WA padaku.
"Dit, Damri yang tadi udah berangkat jam 5. Ini ada lagi tapi mau berangkat jam 5.30. Kamu punya waktu 20 menit biar bisa naik yang ini. Cepatan! Aku gak bawa uang rupiah ini."

Hadeuh... Apa pula ini?
Sebenarnya, selama terjebak kemacetan tadi, aku sudah berusaha nyari-nyari ojek. Niatnya mau ganti naik ojek gitu, biar cepat sampai. Tapi ternyata tidak ada. Untungnya, menjelang fly over Kebayoran Baru, jalan mulai lancar. Metro mini pun tancap gas. Aku mengirim pesan ke Mari, "Mari, tolong bilang Pak supirnya biar tunggu aku sebentar. Udah nyampe Paku Buwono ni." Beberapa saat kemudian Mari menelponku.

"Udah nyampe mana Dit?"
"Lagi di lampu merah kejaksaan ni, lama banget" Telepon terputus. Beberapa saat kemudian, dia menelpon lagi. Sebelum dia bicara, aku bicara lebih dulu. "Ni mau turun di terminal blok M, belakang. Tunggu! Aku lari."Aku pun berlari dengan tenaga nata de coco yang aku makan tadi. :-) Semua orang melihat ke arahku. Aku tetap berlari sampe menemukan bus damri paling depan. #Akurapopo.

"Ini dia yang ditunggu-tunggu datang juga", kata Pak Supir sambil tersenyum ke arahku. Aku pun meminta maaf kepada Pak supir, kondektur dan semua penumpang. Untungnya mereka tidak marah walaupun bus yang mereka tumpangi terlambat berangkat 5 menit. *Hmm..yang ini semacam adegan di drama korea, hehe*

Pendek kata, aku dan Mari sudah tiba di Bandara Sukarno Hatta dan masuk ke pesawat. Saking capeknya, aku sudah terlelap tidur sebelum pesawat take off dan baru terbangun setelah tiba di Kuala Lumpur International Airport 2. Rasanya seperti mimpi, ini beneran KL atau bukan ya? Hehee.. Oh.. Ternyata ini benar-benar KL lho. Setelah tidur di KLIA 2 sampe terbit matahari, kami langsung menjelajahi ibukota negara tetangga itu. Ini lho ada bukti fotonya. Hehe.