Translate

Senin, 12 September 2016

Cerita Sebelum 3 Juli

Tanggal 3 Juli lalu saya menikah dengan seorang lelaki yang insyaAllah baik agamanya. Melalui proses ta'aruf sekitar empat bulan, akhirnya kalimat akad terucap dari bibir lelaki yang kini menjadi imam saya ini. 

Banyak orang di sekitar saya bertanya-tanya tentang pernikahan kami yang terkesan mendadak ini. Mereka semakin terkaget-kaget setelah tahu bahwa sebelum menikah, saya dan (calon) suami hanya bertemu tiga kali saja. "Bagaimana bisa?", tanya mereka dengan mata berdenyar-denyar penuh heran. "Lha ini buktinya bisa, hehe." Saya hanya bisa menjawab sembari bercanda.

Proses perkenalan kami dimulai Bulan Februari dengan pertukaran biodata yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh beberapa pihak sebagai perantara. Oleh karenanya, antara saya dan masnya tidak ada komunikasi secara langsung.

Setelah membaca biodata dan sholat istikhoroh, kami sepakat untuk melanjutkan proses ini ke tahap berikutnya yaitu pertemuan. Karena saya bekerja di Jakarta dan masnya bekerja di Kalimantan, maka kami sepakat untuk bertemu di Jogja. Tentu, kami tidak bertemu berdua saja. Kami ditemani oleh guru ngaji dan saudara. Di hari pertemuan itu, kami saling mengkonfirmasi apa-apa yang belum jelas dari biodata kami. Pertanyaan lain yang relevan pun boleh ditanyakan di sana.

Usai pertemuan tersebut, kami diberi waktu seminggu untuk kembali istikhoroh dan mempertimbangkan masak-masak keputusan yang akan kami ambil. Bagaimanapun, bagi kami, menikah tidak hanya untuk kebersamaan dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Jadi, semua pertimbangan yang ada sebisa mungkin kami muarakan hanya pada dan untuk Allah.

Singkat cerita, kami memutuskan untuk melangkah ke tahap selanjutnya: silaturahim keluarga. Sejak keputusan lanjut itu, guru ngaji saya kemudian membuatkan grup WhatsApp yang beranggotakan beliau sendiri, suaminya, saya dan masnya. Grup ini dibuat sebagai fasilitas komunikasi antara saya dengan masnya.

Karena kami sama-sama bekerja di instansi pemerintahan, kami tidak bisa sering-sering izin untuk pulang ke kampung halaman. Akhirnya, silaturahim keluarga baru bisa kami lakukan di awal Mei yang kebetulan saat itu ada tanggal merah dua hari berturut-turut. Hari pertama masnya silaturahim ke rumah orang tua saya, di Klaten, ditemani oleh kakak iparnya. Selanjutnya, hari kedua giliran saya silaturahim ke Kebumen, ke rumah orang tua masnya.

Sampai di tahap ini alhamdulillah tidak ada keraguan. Restu orang tua pun telah diberikan. Maka, kami sepakat menyelesaikan proses ini secara happy ending. Dua minggu setelah silaturahim, keluarga masnya datang ke rumah orang tua saya untuk khitbah, lamaran. Di hari itu pula ditentukan tanggal akad nikahnya. Pada tanggal 3 Juli yang bertepatan dengan 28 Ramadhan 1437 H, kami resmi menjadi pasangan suami istri. Tidak ada pesta besar, hanya tasyakuran sederhana yang dihadiri tetangga, kerabat dan teman dekat.

Kini, di hadapan kami terentang jalan panjang yang mesti kami tapaki bersama. Semoga, Allah Yang Maha Baik senantiasa memberkahi kami dengan kesyukuran dan kesabaran dalam perjalanan ini.

sumber foto: koleksi pribadi