Hari ini, 15 Juli, Rida berulang tahun. Yang ke berapa? Pokoknya yang ke sekian-sekian deh, hehe. *piss Rid :-p
Entah kenapa saya justru yang merasa melankolis di hari ulang tahun Rida ini. Ingatan saya tetiba melayang-layang pada persahabatan kami yang sudah kami mulai bukan sejak kemarin sore, melainkan sejak delapan tahun lalu, ketika kami sama-sama masuk di Jurusan Sastra Jepang UGM. Banyak hal terjadi selama delapan tahun itu. Dari yang paling menggelikan hingga yang paling menyebalkan, dari yang paling membahagiakan hingga yang paling memilukan dan menguras air mata. #apasih!
Dulu, saat masih kuliah, kami sama-sama sibuk. Di luar kegiatan kuliah, saya sibuk berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Sedangkan Rida, selain kuliah di UGM, dia mengambil kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus sebelah. Praktis kami tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang biasa menghabiskan waktu pulang kuliah dengan makan/nonton/jalan-jalan bersama. Bagi kami, tak ada waktu untuk berhaha-hihi macam itu. Tapi kami tetap bahagia.
Karena kesibukan kami ini, kami biasanya tiba di ruang kuliah saat hampir semua teman sudah berada di dalam kelas dan duduk dengan kelompok (genk) masing-masing. Ini kemudian membuat saya dan Rida kerap kali duduk bersebelahan saat jam kuliah. Selesai kuliah, saat teman-teman merencanakan kegiatan mereka setelah itu, saya dan Rida biasanya cepat-cepat pergi ke mushola untuk sholat. Usai sholat, bertebaranlah kami ke kegiatan kami masing masing.
Semua itu berjalan sangat alami. Yang akhirnya kami menjadi bersahabat, itu karena keadaan dan tentu saja karena Qadarullah. Sejak itu dan seterusnya, entah kenapa nasib kami sering hampir sama yang kemudian membuat persahabatan kami terus berlanjut.
Pertengahan tahun 2009 saya diterima menjadi tutor Bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di INCULS, FIB, UGM. Tak lama kemudian, Rida juga diterima di sana. Lalu, awal tahun 2010 kami mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang tingkat DIY dan Jateng. Qadarullah lagi, kami menjadi juara yang berhak mewakili regional DIY dan Jateng pada lomba tingkat nasional di Jakarta. Saat itu, tiket pesawat PP Jogja-Jakarta ditanggung oleh The Japan Foundation sebagai pihak penyelenggara. FYI, itu adalah pertama kalinya kami naik pesawat, hehe. Kami senang bukan kepalang karena pertama kali naik pesawat langsung Garuda dan gratis pula.
Saat lomba di Jakarta itu kami sama-sama kalah. Namun, kekalahan itu tidak terjadi lagi pada lomba pidato Bahasa Jepang di Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIMNAS XXIII) di Denpasar beberapa bulan setelah lomba di Jakarta. Dari Denpasar kami sama-sama memboyong kemenangan untuk kampus kami tercinta.
Bintang kemujuran rupanya terus bersinar di atas mimpi-mimpi Rida. Di akhir tahun 2010 itu Rida memperoleh beasiswa pertukaran pelajar selama setahun di negerinya Oda Nobunaga. Saya senang sahabat saya mendapat beasiswa bergengsi itu. Namun, dalam waktu bersamaan saya pun sedih karena saya tidak lolos seleksi beasiswa itu. Mungkin quote dari Farhan dalam Film Three Idiots ini mewakili perasaan batin saya saat itu, "When your friend fails, you feel bad. But if your friend comes in first, you feel worse." :'(
Setelah menenangkan kondisi batin yang demikian ini (halah), saya mulai berfikir jernih. Saya mulai menyadari usaha Rida untuk meraih semua itu sungguh luar biasa. Beberpa kali saya pernah diajak ke rumahnya. Pada tembok kamarnya, rida menempel potongan-potongan kertas bertuliskan huruf kanji yang pernah dia pelajari. Tiap kali saya pergi ke rumahnya, semakin penuhlah tembok kamarnya itu dengan huruf kanji. Saya pernah menyontoh cara Rida ini dengan cara menuliskan huruf kanji pada potongan kertas yang saya bawa kemana-mana (saya tidak bisa menempelkannya di kamar kos karena saya tidak tinggal sendirian di kamar kos tersebut). Semangat saya untuk menghafal kanji itu tidak se-istiqomah Rida. Selain istiqomah menghafal kanji, Rida juga istiqomah untuk berlatih menjawab soal-soal Nihongo Noryouku Shiken (Ujian Kemampuan Bahasa Jepang) yang menjadi salah satu syarat utama agar lolos beasiswa ke Jepang.
Usaha yang tak kenal lelah itu Rida barengi dengan doa yang tak putus-putus. Ia rayu Tuhannya dengan sholat tahajjud di sepertiga malam terakhir dan puasa sunnah Senin-Kamis. Dengan ikhtiar sesungguh itu, wajarlah Tuhannya mengabulkan pintanya.
Selama Rida di Jepang, seminggu sekali kami mengobrol lewat media chatting di Facebook. Saya ingat betul kala itu saya belum mempunyai modem (makan aja susah, apalagi beli modem? hehe) sehingga seminggu sekali, pada malam setelah isya', saya pergi ke warnet di dekat kos saya tiap kali akan mengobrol dengan Rida. Kesempatan itu selalu kami tunggu-tunggu karena kami ingin saling didengar dan mendengar cerita masing-masing.
Sepulang dari Jepang, Rida menyelesaikan kuliah dan skripsi di dua universitas sekaligus. Saya tidak bisa membayangkan membuat dua skripsi sekaligus. Apalagi, dosen-dosen di dua universitas ini terkenal high quality sehingga menuntut mahasiswa untuk membuat skripsi dengan standar baik. Semenata Rida kembali ke Jogja, saya justru meninggalkan Kota Pelajar ini setelah menamatkan Srata 1 saya. Saya lolos seleksi sebagai Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar yang kemudian ditempatkan untuk mengajar di sebuah SD di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Qadarullah lagi, setelah Rida menyelesaikan dua studinya dan saya menyelesaikan tugas saya di Indonesia Megajar, kami sama-sama bekerja di Ibukota sebagai penerjemah. Tahun lalu, 2014, kami mencoba peruntungan untuk melamar sebagai civil servant. Sekali lagi, qadarullah, kami lolos. Rida di Kementerian Keuangan, saya di Kementerian Sosial.
Persahabatan dengan Rida ini adalah salah satu hal yang sangat saya syukuri dalam hidup ini. Saya belajar banyak dari Rida dan keluarganya. Bapak Ibunya yang selalu menyambut baik tiap kali saya datang. Kakak-kakaknya yang juga tidak kalah baik. Saya tidak tau takdir semacam apa yang akan Allah jalankan atas persahabatan kami setelah ini dan setelah ini. Semoga itu adalah takdir baik yang berakhir di surga-Nya kelak. Aamiin ya Rabb.
Entah kenapa saya justru yang merasa melankolis di hari ulang tahun Rida ini. Ingatan saya tetiba melayang-layang pada persahabatan kami yang sudah kami mulai bukan sejak kemarin sore, melainkan sejak delapan tahun lalu, ketika kami sama-sama masuk di Jurusan Sastra Jepang UGM. Banyak hal terjadi selama delapan tahun itu. Dari yang paling menggelikan hingga yang paling menyebalkan, dari yang paling membahagiakan hingga yang paling memilukan dan menguras air mata. #apasih!
Dulu, saat masih kuliah, kami sama-sama sibuk. Di luar kegiatan kuliah, saya sibuk berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Sedangkan Rida, selain kuliah di UGM, dia mengambil kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus sebelah. Praktis kami tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang biasa menghabiskan waktu pulang kuliah dengan makan/nonton/jalan-jalan bersama. Bagi kami, tak ada waktu untuk berhaha-hihi macam itu. Tapi kami tetap bahagia.
Karena kesibukan kami ini, kami biasanya tiba di ruang kuliah saat hampir semua teman sudah berada di dalam kelas dan duduk dengan kelompok (genk) masing-masing. Ini kemudian membuat saya dan Rida kerap kali duduk bersebelahan saat jam kuliah. Selesai kuliah, saat teman-teman merencanakan kegiatan mereka setelah itu, saya dan Rida biasanya cepat-cepat pergi ke mushola untuk sholat. Usai sholat, bertebaranlah kami ke kegiatan kami masing masing.
Semua itu berjalan sangat alami. Yang akhirnya kami menjadi bersahabat, itu karena keadaan dan tentu saja karena Qadarullah. Sejak itu dan seterusnya, entah kenapa nasib kami sering hampir sama yang kemudian membuat persahabatan kami terus berlanjut.
Pertengahan tahun 2009 saya diterima menjadi tutor Bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing di INCULS, FIB, UGM. Tak lama kemudian, Rida juga diterima di sana. Lalu, awal tahun 2010 kami mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang tingkat DIY dan Jateng. Qadarullah lagi, kami menjadi juara yang berhak mewakili regional DIY dan Jateng pada lomba tingkat nasional di Jakarta. Saat itu, tiket pesawat PP Jogja-Jakarta ditanggung oleh The Japan Foundation sebagai pihak penyelenggara. FYI, itu adalah pertama kalinya kami naik pesawat, hehe. Kami senang bukan kepalang karena pertama kali naik pesawat langsung Garuda dan gratis pula.
Saat lomba di Jakarta itu kami sama-sama kalah. Namun, kekalahan itu tidak terjadi lagi pada lomba pidato Bahasa Jepang di Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIMNAS XXIII) di Denpasar beberapa bulan setelah lomba di Jakarta. Dari Denpasar kami sama-sama memboyong kemenangan untuk kampus kami tercinta.
Bintang kemujuran rupanya terus bersinar di atas mimpi-mimpi Rida. Di akhir tahun 2010 itu Rida memperoleh beasiswa pertukaran pelajar selama setahun di negerinya Oda Nobunaga. Saya senang sahabat saya mendapat beasiswa bergengsi itu. Namun, dalam waktu bersamaan saya pun sedih karena saya tidak lolos seleksi beasiswa itu. Mungkin quote dari Farhan dalam Film Three Idiots ini mewakili perasaan batin saya saat itu, "When your friend fails, you feel bad. But if your friend comes in first, you feel worse." :'(
Setelah menenangkan kondisi batin yang demikian ini (halah), saya mulai berfikir jernih. Saya mulai menyadari usaha Rida untuk meraih semua itu sungguh luar biasa. Beberpa kali saya pernah diajak ke rumahnya. Pada tembok kamarnya, rida menempel potongan-potongan kertas bertuliskan huruf kanji yang pernah dia pelajari. Tiap kali saya pergi ke rumahnya, semakin penuhlah tembok kamarnya itu dengan huruf kanji. Saya pernah menyontoh cara Rida ini dengan cara menuliskan huruf kanji pada potongan kertas yang saya bawa kemana-mana (saya tidak bisa menempelkannya di kamar kos karena saya tidak tinggal sendirian di kamar kos tersebut). Semangat saya untuk menghafal kanji itu tidak se-istiqomah Rida. Selain istiqomah menghafal kanji, Rida juga istiqomah untuk berlatih menjawab soal-soal Nihongo Noryouku Shiken (Ujian Kemampuan Bahasa Jepang) yang menjadi salah satu syarat utama agar lolos beasiswa ke Jepang.
Usaha yang tak kenal lelah itu Rida barengi dengan doa yang tak putus-putus. Ia rayu Tuhannya dengan sholat tahajjud di sepertiga malam terakhir dan puasa sunnah Senin-Kamis. Dengan ikhtiar sesungguh itu, wajarlah Tuhannya mengabulkan pintanya.
Selama Rida di Jepang, seminggu sekali kami mengobrol lewat media chatting di Facebook. Saya ingat betul kala itu saya belum mempunyai modem (makan aja susah, apalagi beli modem? hehe) sehingga seminggu sekali, pada malam setelah isya', saya pergi ke warnet di dekat kos saya tiap kali akan mengobrol dengan Rida. Kesempatan itu selalu kami tunggu-tunggu karena kami ingin saling didengar dan mendengar cerita masing-masing.
Sepulang dari Jepang, Rida menyelesaikan kuliah dan skripsi di dua universitas sekaligus. Saya tidak bisa membayangkan membuat dua skripsi sekaligus. Apalagi, dosen-dosen di dua universitas ini terkenal high quality sehingga menuntut mahasiswa untuk membuat skripsi dengan standar baik. Semenata Rida kembali ke Jogja, saya justru meninggalkan Kota Pelajar ini setelah menamatkan Srata 1 saya. Saya lolos seleksi sebagai Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar yang kemudian ditempatkan untuk mengajar di sebuah SD di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Qadarullah lagi, setelah Rida menyelesaikan dua studinya dan saya menyelesaikan tugas saya di Indonesia Megajar, kami sama-sama bekerja di Ibukota sebagai penerjemah. Tahun lalu, 2014, kami mencoba peruntungan untuk melamar sebagai civil servant. Sekali lagi, qadarullah, kami lolos. Rida di Kementerian Keuangan, saya di Kementerian Sosial.
Persahabatan dengan Rida ini adalah salah satu hal yang sangat saya syukuri dalam hidup ini. Saya belajar banyak dari Rida dan keluarganya. Bapak Ibunya yang selalu menyambut baik tiap kali saya datang. Kakak-kakaknya yang juga tidak kalah baik. Saya tidak tau takdir semacam apa yang akan Allah jalankan atas persahabatan kami setelah ini dan setelah ini. Semoga itu adalah takdir baik yang berakhir di surga-Nya kelak. Aamiin ya Rabb.
2 komentar:
Hoho....seru juga ya jalan hidup Dita dan Rida :D
Met Milad Rida.....semoga semakin bertambah yang baik baik dan semakin berkurang yang kurang baik :)
@mas hafiq: aamiiin ya Rabbal 'alamin :-)
Posting Komentar