Satu lagi perjalanan bersama BFM (Februari 2012)
Selalu ada jalan untuk setiap
niat baik. Hukum itulah yang selalu ku pegang, ku yakini kebenarannya.
Berkali-kali aku mengalami langsung hukum itu berlaku dalam hidupku. Bukan
hanya jalan yang selalu terbentang, melainkan keajaiban yang tak pernah
disangka-sangka.
Hari itu, Senin, 16 Januari
2012. Aku memutuskan untuk tidak ikut kegiatan BFM kali ini, ke Asahan, Sumatra
Utara. Ingin sekali, ingin sekali aku ikut. Ingin bertemu anak-anak di sana,
ingin belajar bersama mereka, ingin tahu mimpi mereka, ingin melihat tawa
mereka, dan ingin, ingin, ingin banyak sekali. Tapi, harapannku semakin menciut
setelah melihat kondisi keuanganku saat itu yang tidak mengizinkan aku ikut.
“Ok, mungkin untuk perjalanan kali ini aku tidak ikut dulu”, kataku dalam hati
dengan sangat berat tapi mencoba untuk ikhlas.
Sore hari sekitar jam 14.30 aku
bersama Rida, sahabatku duduk di sebuah bangku di bawah pohon besar yang
meneduhi area parkir belakang fakultas kami. Angin berhembus perlahan, membuat
kami betah berlama-lama duduk di tempat itu tanpa suara, hanya ingin menikmati
suasana sore itu. Aku menarik nafas panjang dan mulai bersuara, “jadinya aku
gak ikut acara BFM ke Sumatra Utara Rid”. “oooh.. gitu?”, Rida yang dari awal
sudah tahu kesulitanku menjawab dengan nada seolah ikut merasakan apa yang aku
rasakan. Kami pun kembali diam.
Tak berapa lama, HPku bergetar.
“Ada telepon”, aku masih sedikit kaget karena suara HP itu memecahkan
keheningan kami. Aku langsung membuka tasku dan dengan cepat menemukan letak HP
itu. “Hah, mbak Umi nelpon. Ada apa ya?”. “Udah, buruan angkat aja!”, perintah
Rida sambil melihat layar HPku. Kami sama-sama kaget karena jarang-jarang mbak
Umi, pegawai administrasi jurusan kami menghubungi mahasiswa. Aku semakin bertanya-tanya
karena pada saat itu posisiku sudah bukan mahasiswa lagi, melainkan alumni.
“Semoga bukan karena ada masalah”, doaku dalam hati.
“Assalamu’alaikum.. Mbak Umi,
ada apa ya?
“Haloo, Dita san ya? Ini Pak
Stedy”, terdengar jawaban dari ujung sana.
“Oh, Stedy sensei. Maaf, saya
kira mbak Umi. Ada apa sensei?”, tanyaku sedikit grogi karena sudah lama tidak
berbicara dengan ketua jurusanku itu.
“Ini, Dita san dapat beasiswa
tapi belum diambil ya?
“Hah?, beasiswa apa sensei?”
Lalu beliau menjawab singkat dan
meminta saya untuk segera datang ke kantor pusat.
“Tapi sensei, Saya kan sudah
lulus?Apa masih bisa diurus?”
“Datang saja ke kantor pusat,
nanti ditanyakan di sana”
“Iya sensei, terima kasih
banyak!”
Aku masih tidak percaya dengan
telepon yang baru saja ku terima tadi. “Ini keajaiban Rid, benar-benar
keajaiban!”, aku menggebu-gebu berkata pada Rida. “Iya dit, segera diurus aja!
Ayo aku anterin ke kantor pusat!”
Kami pun segera melangkah
bersama ke tempat yang kami hendak tuju itu dan tak henti-hentinya mengucap
syukur. Aku lalu teringat sesuatu bahwa beberapa bulan lalu, saat aku
mengerjakan skripsi, aku pernah membaca pengumuman di website akademik kampusku
bahwa aku mendapat beasiswa. Tapi karena kesibukan skripsi, aku benar-benar
melupakan itu tanpa ku sengaja. Tapi, hari ini, Allah mengingatkanku pada saat
yang sangat tepat. “Subhanallah, rencana Allah indah sekali ya Rid?”. “Iya,
dit!”. Kami tersenyum lebar.
Di kantor pusat, kujumpai namaku
ada di daftar penerima beasiswa itu. Lalu ku tengok nominal yang tertera di
sana. Alhamdulillah cukup untuk ongkos ke Sumatra Utara, lebih bahkan, hehe. Aku langsung mengambil HPku,
ku ketik sms ”InsyaAllah jadinya aku ikut”. Ku kirim ke nomor mbak Niniek,
salah seorang teman di BFM. Alhamdulillahhirabbil ‘alamin. Ya Allah, ini sungguh
keajaiban-MU!
Sesuai rencana, kami, tim BFM
Asahan, Sumatra Utara berangkat dari Jogja hari Rabu sore tanggal 25 Januari.
Ini adalah pejalanan BFM paling heboh sekaligus paling lama. 14 orang jumlah
tim kami; Aku, Niniek, Tya, Russel, Arni, Bulan, Ve, Bagus, Ivan, Sogi, Halim,
Sholeh, Lambang dan Faqquh. Semua berangkat dengan penuh semangat.
Untuk menghemat beaya,
perjalanan Jogja-Jakarta kami tempuh dengan kereta api kelas ekonomi. Cukup
dengan Rp 35.000 kami sudah bisa sampai di Jakarta. Di kota itu, kami menginap
semalam di rumah Faqquh.
Penerbangan kami ke Medan dibagi
menjadi 2 kloter. Maklumlah, kami memakai tiket yang sedikit murah sehingga
harus rela mendapat jadwal penerbangan paling pagi dan paling malam. 7 orang
berangkat jumat pagi jam 08.00 dan 7 orang lagi jam 06.00 petang masih dalam
hari yang sama. Di hari itu, kami menginap di Medan, rumah Uwak mbak Russel.
Sabtu pagi kami bertolak menuju
Pematang Siantar, rumah mbak Tya. Sebagian naik mobil pinjaman dari Uwak mbak
Rusel dan sebagian naik bus. 3 jam perjalanan yang kami butuhkan dari Medan ke Siantar. Bagiku, ini adalah
perjalanan yang sangat menarik karena untuk pertama kalinya aku melewati
kota-kota yang biasanya hanya aku dengar dari buku-buku, Koran dan TV. Medan,
Tebing Tinggi, Deli serdang, Serdang Bedagai, Pematang Siantar, Simalungun dll.
Jajaran perkebunan karet dan kelapa sawit di kanan dan kiri jalan menghiasi
hampir seluruh perjalanan kami. Pemandangan yang belum pernah aku temukan di
Jawa.
Setelah menginap semalam di
Siantar, kami menuju Kisaran, ibukota kabupaten Asahan. Di kota itu kami
disambut hangat oleh Tante dari mbak Rusel. Semalam pula kami menginap di sana. Esok harinya, baru kami datang ke Dinas Dikpora Kabupaten Asahan untuk memberitahuakan tentang kegiatan kami.
Setelah menginap di beberapa
loksi yang berbeda itu, akhirnya Senin sore, 30 Januari kami tiba di sekolah
kami, SD Inpres 017725 Buntu Pane, Dusun Sido Rukun, Desa Sionggang, Kecamatan
Buntu Pane, Asahan, Sumatra Utara. Sejenak kuedarkan pandangan ke sekeliling
sekolah itu sambil berucap syukur, “Alhamdulillah kami akhirnya tiba di sini”.
Damai sekali rasanya setelah tiba di sekolah yang kokoh berdiri di
tengah-tengah perkebunan kelapa sawit itu.
Karena sudah sore, sekolah yang
hanya memiliki 4 ruangan itu tampak sepi. Tapi di lapangan sepak bola yang
tebentang di depannya, ramai dengan sekelompok pemuda yang tengah asyik bermain
bola.
Secara bangunan fisik, sekolah
ini bisa dikatakan sudah cukup bagus. Keempat ruangannya sudah berupa bangunan
permanen. 3 ruang untuk ruang kelas dan
1 untuk ruang guru. Masing-masing ruang kelas disekat menjadi 2 bagian karena
dipakai sekaligus untuk dua kelas. Pembagiannya, kelas satu seruangan dengan
kelas 2, kelas 3 dengan kelas 4 dan kelas 5 dengan kelas 6.
Saat pelajaran berlangsung,
kelas yang berada pada ruangan yang sama tentu saling terganggu walaupun jumlah
murid di masing-masing kelas tidaklah banyak. Namun, karena sudah menjadi
kebiasaan, para guru dan murid sudah tidak terlalu menganggap ini sebagai
masalah yang besar. Mereka masih sangat bersyukur karena gedung yang sekarang
mereka tempati itu adalah gedung baru. Ini jauh lebih baik dari gedung
sebelumnya.
Di sekolah mungil ini, ada 43
anak yang tiap hari datang menimba ilmu. Masing-masing kelas, dari kelas 1
sampai kelas 6 mempunyai 1 wali kelas. Semua murid dan guru menyambut
kedatangan kami dengan sambutan yang sangat hangat setelah mengetahui maksud
kami untuk membuat sebuah perpustakaan dan seminggu mengajar di sana.
Selama seminggu di sana, kami
menempati rumah dinas guru yang sudah beberapa tahun tidak ditempati. Karena
sudah lama tidak ditempati, di rumah ini tidak ada penerangan satu pun. Jadilah
malam pertama kami di sana harus diisi dengan kegiatan memasang lampu dan
bersih-bersih. Pak Supratman, kepala sekolah baik hati yang bertempat tinggal
tidak jauh dari sana turut membantu kami malam itu. Istri beliau juga tak kalah
baik. Beliau meminjamkan dua buah tikar besar sebagai alas kami tidur dan
perlengkapan untuk memasak, dari kompor, panci, penggorengan, baskom hingga
alat-alat makan seperti sendok, piring dan gelas. Kami benar-benar merasa
terbantu.
Di satu ruangan dari 3 ruang
yang ada di rumah yang kami tempati itu, kami meletakkan sebuah rak buku yang
kami buat sendiri dua hari setelah tiba di sana. Rak sederhana ini adalah
tempat kami memajang 160 buah buku yang kami bawa dari Jogja. Agar suasana
ruangan ini nampak menarik bagi anak-anak, kami mengajak anak-anak menggambar
di tembok ruangan ini dengan cat minyak. Lucu sekali melihat mereka dengan
semangat mengoreskan kuas di tembok, menggambar sesuka mereka, menuliskan nama
mereka. Tidak hanya di tembok bagian dalam, di bagian luar pun anak-anak dengan
antuasis menggambar apapun yang mereka inginkan. Warna-warni, sangat cantik dan
lucu.
Di bagian atas tembok yang tidak
terjamah oleh gambar cat minyak itu kami tempelkan hasil karya anak-anak selama
kami mengajar di sana; berbagai bentuk origami, papper quiling, kerajinan
flannel, kerajinan dari stick dan gambar anak-anak di atas kertas. Tak
ketinggalan 2 buah peta yaitu peta Indonesia dan peta dunia turut menambah
semarak ruangan perpustakaan kami itu. inilah persembahan kami BOOK FOR
MOUNTAIN; sebuah perpustakaan mini untuk SD Inpres 017725 Buntu Pane, sekolah
yang sejak tahun 1983 berdiri belum pernah memiliki perpustakaan.
Selain pengadaan perpustakaan,
program utama kami di sana adalah seminggu mengajar. Kegiatan seminggu mengajar
ini kami bagi menjadi 3 waktu yaitu pagi di sekolah, sore di rumah anak-anak
dan malam di rumah kami tinggal sementara. Materi utama yang kami sampaikan
adalah ketrampilan-ketrampilan dan membaca buku bersama sebagai upaya
menumbuhkan minat baca pada anak-anak sekaligus mengajak mereka untuk senang
terhadap buku. Ketrampilan-ketrampilan itu antara lain papper quling, kerajian
dari kain flannel, origami, ecomonopoly, kesenian Randai, membaca puisi dan
permainan-permainan edukatif.
Selain mengajar, ada 2 buah
kegiatan tambahan yaitu outbond dan pentas seni saat hari terakhir kami di
sana. Semua berjalan sangat menyenangkan.
Tapi, saat outbond, ada sebuah masalah kecil. Isma, seorang siswi kelas 6
menangis saat tiba di pos 5. Saat itu dia bertugas sebagai pemimpin dan
kebetulan saya sebagai pendamping kelompoknya. Dia menangis karena ada salah
seorang anggota kelompoknya yang mengejeknya. Tidak hanya itu, mungkin dia
merasa minder juga karena sejak di pos pertama hingga pos ke 5 ini kelompoknya
belum pernah menang. Aku sebagai pendamping kelompoknya cukup bingung karena
harus membujuk Isma agar berhenti menangis sekaligus harus membesarkan hati
anggota kelompok agar tetap bersemangat walaupun belum pernah sekalipun menang.
Untungnya, mbak Russel sebagai penjaga pos 5 membantuku untuk menenangkan Isma.
Sampai pos terakhir, Isma masih tetap diam, tidak mau mengikuti rangkaian acara
selanjutnya. Beberapa teman kami ikut membujutnya, tapi ia tetap tak bergeming.
Perlu waktu lama hingga akhirnya ia mau kembali tersenyum saat pengumuman bahwa
kelompoknya mendapat hadiah sebagai kelompok paling sportif.
Sejak awal tiba di sana, kami
sudah mendengar cerita tentang Isma yang mempunyai masalah krisis percaya diri
yang akut. Dari cerita-cerita itu kami tahu bahwa masalah ini adalah sebagai
akumulasi dari pandangan negative tentangnya dari orang-orang di sekitarnya
termasuk teman-teman, guru dan orang tuanya. Di sekolah, gurunya melabelinya
sebagai anak bodoh sehingga sangat sering mendapat tamparan dari gurunya. Di
rumah ,orang tuanya menganggapnya sebagai anak yang suka ngambek dan agak lemah
menerima pelajaran. Pandangan-pandangan itulah yang membuatnya mengalami krisis
percaya diri, mudah minder dan kurang mau bergaul.
Di sore hari setelah outbond,
kami bertiga, aku, Mbak Rusel dan Mbak Ve mengungjungi Isma di rumahnya untuk
memastikan apakah ia masih ngambek atau tidak. Saat kami tiba di rumahnya
beberapa anak sedang berkumpul dan bermain bersama-sama. Dan kami temukan Isma
ada diantara mereka, terlihat cerah wajahnya. Ia beserta teman-temannya itu
tampak bersemangat menyambut kami. Aku dekati dia dan melontarkan beberapa
pertanyaan untuk memastikan bahwa ia sudah baik-baik saja. Setelah sedikit
memberinya semangat dan yakin bahwa dia sudah kembali tersenyum, kami sangat
lega.
Secara umum, anak-anak di
sekolah yang kami kunjungi itu sangat bersemangat mengikuti rangkaian kegiatan
dari kami. Sayang, kami hanya seminggu bisa membersai mereka. Akhirnya, kami
pun harus meninggalkan mereka. Di hari terakhir, kami mengadakan acara
peresmian perpustakaan yang dihadiri oleh seluruh guru, kepala sekolah,
perwakilan Dinas Pendidikan, perwakilan UPT dan yang paling penting adalah para
wali murid. Baru kali ini, acara perpisahan BFM dihadiri oleh wali murid. Kami
merasa senang sekali atas antusiasme mereka memenuhi undangan kami yang hanya
kami tulis secara manual. Maklum, tidak ada tempat untuk fotocopy di sana.
Tidak hanya itu, para wali murid juga masing-masing membawa makanan sebagai
suguhan acara perpisahan tersebut. Dan yang paling membuat kami terharu adalah,
saat acara hampir selesai, para orang tua secara suka rela tanpa kami minta, mengumpulkan
uang yang kemudian diberikan kepada kami. “sedikit tambahan untuk ongkos”,
begitu kata mereka. Entah apa yang menggerakkan mereka untuk melakukan itu.
Kami hanya bisa berucap, “terima kasih, Pak, Bu….”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar