DOMPU. Ketika disebut nama itu, mungkin sebagian orang akan mengernyitkan dahi sambil berkata, “mana tuh?”. Berada di tengah-tengah pulau Sumbawa, Kabupaten Dompu seolah tertutup oleh nama tenar Sumbawa. Namun, jika kita sempat mengunjungi tanah Dompu ini, sungguh kita tidak akan pernah menyesal!
Selama
tahun 2012, saya berkesempatan bertugas di Kabupaten Bima, ujung timur pulau
Sumbawa. Wow, bukan main senangnya saya ketika mendapat kesempatan ini. Betapa
tidak, saya akan segera berkenalan dengan savana, kuda liar dan Tambora. Icon-Icon terkenal dari Pulau Sumbawa.
Begitu pikir saya saat itu.
Waktu penugasan pun tiba. Saya mendarat
di Bandara Sultan Muhammad Shalahuddin, Kapupaten Bima. Saat itu cuaca sedang
sangat cerah. Saat pesawat yang saya tumpangi hampir mendarat di Bandara tersebut,
mata saya tiba-tiba menangkap pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit yang
tetumbuhannya menguning oleh kemarau, langit biru sempurna dan teluk Bima yang
menentramkan hati. Berkali-kali saya berdecak kagum.
Setahun
bukan waktu yang lama. Mengingat saya di sana bukan untuk jalan-jalan,
melainkan bekerja. Ya, bekerja! So, saya harus pintar-pintar memanfaatkan waktu
libur untuk menjelajah pulau Sumbawa, especially
Dompu!
Well, Pantai Ria! Itu tempat pertama di
Dompu yang saya kunjungi. Pantai ini cocok sekali untuk rekreasi keluarga. Oh
ya, orang Dompu sangat suka sekali berwisata bersama keluarga ke pantai.
Biasanya mereka memanfaatkan waktu-waktu tertentu untuk berlibur bersama
keluarga. Bisa waktu libur sekolah, setelah pembagian raport, hari raya Idul
Fitri atau hari Minggu biasa. Nah, saat itulah biasanya mereka memboyong
seluruh anggota keluarga sampai cucu-cucu yang masih balita pun tak boleh
ditinggal. Mereka biasanya membawa bekal nasi dan makanan kecil dari rumah.
Sedangkan lauknya? Ini yang unik, dengan angkutan yang mereka pakai, mereka
sertakan ayam, bebek atau entok yang masih hidup. Unggas-unggas inilah yang
kemudian dipotong dipinggir pantai, dicuci dengan air laut dan dibakar. Setelah
matang, daging-daging unggas ini dinikmati dengan sambal khas Dompu yang dibuat
dari irisan bawang merah, cabai dan jeruk nipis ditampah garam secukupnya. Atau
bisa juga ditambah kecap. Hmmm... Caru
poda!! (enak sekali).
Destinasi
ke II, Satonda. Yuhuuu..... Pulau
Satonda!!
Dulu,
semasa kuliah, saya pertama kali mendengar nama Satonda dari seorang teman
saya, mahasiswa jurusan Geologi. Baginya, Satonda adalah fenomena Geologi yang
menarik. Satonda hanyalah pulau kecil di sebelah utara Dompu. Apa menariknya??
Saya baru bisa berkata “Wow”, ketika akhirnya saya berkesempatan menapakkan
kaki saya di Pulau yang ternyata cukup terkenal di kalangan wisatawan asing
ini.
Kira-kira
20 menit adalah waktu yang saya perlukan untuk menyeberang ke Pulau Satonda
memakai perahu motor bermesin satu. Perahu yang saya tumpangi ini hanya
berukuran 3 x 0,5 meter. Jadilah saya basah kuyup terkena cipratan air karena
saking derasnya arus laut. Sungguh perjalanan yang menegangkan sekaligus
menantang. Mendekati pulau Satonda ini,
perahu mulai bergerak melambat. Saat itulah, mata saya menangkap pemandangan
bawah laut yang sangat indah, terumbu karang berwarna-warni sangat jelas
terlihat dari permukaan air laut yang jernih.
Ternyata, kekaguman saya masih
berlanjut. Sesampainya di Satonda, saya dan rombongan segera menuju ke danau
yang letaknya tepat di tengah-tengah pulau. Dari bibir pantai, danau tersebut
tidak terlihat karena posisinya yang berada di tempat yang agak tinggi.
Pengunjung harus menaiki tangga sejauh kurang lebih 600 m dari bibir pantai.
Baiklah, saya pun dengan semangat menaiki setiap anak tangga itu.
Akhirnya, tibalah saya di danau
vulkanik yang asin rasa airnya itu. Suasana yang tenang membuat danau itu
sepertinya memunculkan suasana mistis, itu menurut saya, hehe... Mungkin orang
lain akan berpendapat berbeda. Dan benarlah, serombongan turis asing tiba beberapa
saat setelah saya. Apa yang mereka lakukan di sana? Dengan ceria, turis-turis
itu berenang-renang hingga ke tengah danau. Hilang sudah kesan mistis yang
sebelumnya menempel di pikiran saya.
Pantai, pulau dan danau sudah.
Oke, sekarang giliran Gunung. Mana lagi kalau bukan Gunung Tambora, gunung yang
200 tahun lalu letusannya pernah menggemparkan dunia. Bahkan, konon, Eropa
sampai mengalami paceklik berbulan-bulan karena langitnya tertutup debu letusan
Gunung Tambora. Maha Dahsyat!!
Tambora, tanah yang hilang.
Begitu kata orang-orang tua setempat. Secara administratif, Gunung Tambora
berada di wilayah Kabupaten Dompu di belahan selatan dan Kabupaten Bima di
belahan utara. Dulunya, Bima dan Dompu berasal dari satu nenek moyang, yaitu
orang-orang dari Sulawesi Selatan. Maka, sampai sekarang Bima dan Dompu memakai
Bahasa yang sama yaitu Bahasa Mbojo. Adat Istiadat, kuliner, sampai bentuk
rumah pun sama, rumah panggung mirip milik orang-orang Bugis.
Secara geografis, bentangan alam
Dompu dan Bima juga mirip. Sedikit perbedaannya adalah di Dompu lebih banyak
terdapat savana-savana yang luas. Di savana-savana inilah hidup kawanan kuda
liar, sapi, kerbau dan kambing. Saat musim kemarau, rumput-rumput di savana ini
akan menguning. Jadilah bentangan luas yang serba kuning. Jika kita berada di
sana saat itu, maka rasa-rasanya kita sedang berada di Afrika. Sayangnya, di
savana Dompu ini tidak ada singa, hehe...
Savana-savana luas ini menjadi
pemandangan yang saya nikmati sepanjang perjalanan dari ibu kota kabupaten
Dompu hingga dataran tinggi Tambora. Saat perjalanan sudah mulai melewati
dataran yang agak tinggi, pemandangan savana digantikan oleh pemandangan hutan
yang tidak terlalu lebat, kemudian, berhektar-hektar pohon kopi, kopi khas
Tambora. Kalau kita sempat ke Tambora, akan rugi jika tidak membeli kopi
Tambora sebagai buah tangan. Oh ya, selain kopi, madu Tambora juga tidak kalah
menarik untuk dijadikan buah tangan.
Perjalanan dari ibukota kabupaten
Dompu kami tempuh dengan Bus hingga Kadindi, termasuk ke dalam wilayah
kecamatan Pekat, Dompu. Perjalanan kami lanjutkan dengan ojek selama kurang
lebih 50 menit menuju Dusun Tambora, tempat saya dan teman-teman akan memulai
penadakian. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian Tambora. Kami waktu itu
memilih melalui Dusun Tambora karena kami punya kenalan di sana. Maka, setelah
persiapan usai ditunaikan, pendakian pun dimulai.
Dua hari dua malam kami berjibaku
dengan medan Tambora yang mengesankan. Beberapa anggota tim kami terkena gigitan
pacet dan tertusuk duri tumbuhan Meladi, Tumbuhan khas Tambora. Saya pun dua
kali tidak sengaja merasakan sensasi gatal dan panas akibat tertusuk duri
Meladi. Rasanya hampir menyamai sengatan lebah. Semua rasa capek dan sakit
selama penadakian, tuntas terbayar saat kami tiba di Puncak Tambora. Sun Rise yang mempesona, kaldera yang mengagumkan.Tambora
oh Tambora!
Tahun 2015 nanti kabarnya
pemerintah pusat akan mengadakan festival Tambora untuk memperingati 200 tahun
meletusnya Tambora. Kabarnya pula, utusan dari berbagai negara pun akan ikut
serta dalam acara itu. Sudah saya niatkan, semoga saat itu sekali lagi saya
bisa menyambangi puncak Tambora. Semoga ada kesempatan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar