Kadang, aku merasa iri ketika dengan bangganya teman-temanku bercerita
tentang ayahnya atau dengan penuh keceriaan berbicara melalui telepon dengan
Ayah mereka. Ya, saat itu aku hanya bisa menelan ludah, tersenyum getir. Enak
ya, punya ayah yang perhatian. Senang ya, ditelpon Ayah. Bahagia ya, ada Ayah
yang bisa diajak berdiskusi saat harus mengambil keputusan. Oh... seandainya...
andai saja... aku... aku.... pasti...tentu... akan..., tidak perlu dilanjutkan!
Aku segera sadar dari perandaianku. Aku kembali pada kenyataan bahwa memang aku
tidak pernah merasakan itu semua. Tidak pernah!
Aku tumbuh di tengah keluarga yang penuh masalah, terutama Ayah dan Ibuku. Bahkan, aku sampai lupa kapan tepatnya terakhir kali keuarga kami hidup harmonis. Ah tidak, lebih tepatnya aku selalu sengaja berusaha untuk tidak mengingatnya.
Aku tumbuh di tengah keluarga yang penuh masalah, terutama Ayah dan Ibuku. Bahkan, aku sampai lupa kapan tepatnya terakhir kali keuarga kami hidup harmonis. Ah tidak, lebih tepatnya aku selalu sengaja berusaha untuk tidak mengingatnya.
Potongan-potongan
kenangan kurang baik dari masa lalu terkadang masih sesekali muncul di benakku.
Benar-benar seperti hantu yang membuatku selalu ingin berteriak untuk
mengusirnya. Sekuat tenaga, aku mengubur dalam-dalam semua itu. Aku tidak mau
terjebak dalam kebencian. Aku mau belajar untuk bersyukur, walaupun sungguh itu
bukan perkara yang mudah!
Untungnya, aku punya
seorang Ibu yang luar biasa, yang bisa menjalankan peran sebagai Ibu sekaligus
sebagai Ayah. Walaupun aku nyaris tidak pernah menerima kasih sayang dari
seorang Ayah, cukup Ibuku menggantikannya. She’s my everything.
Tanpa ku sadari, hidupku
pun berjalan normal. Aku punya teman-teman yang penuh semangat dan saling
mendukung dalam kebaikan. Prestasiku di sekolah dan kampus pun tidak terlalu
mengecewakan. Dan akhirnya aku berkesimpulan bahwa tidak punya Ayah itu, tidak
berarti tidak bisa maju. Tidak punya Ayah itu, tidak berarti tidak bisa
bahagia. No father, no worries!
Jika hidup dijalani dengan
penerimaan yang indah dan pengertian yang benar, ternyata Allah justru akan
menambah nikmat itu. That’s a rule!
Seperti aku saat ini. Selama menjadi Pengajar Muda, aku tinggal bersama
keluarga angkat yang luar biasa. Ayah dan Ibu angkatku sangat perhatian padaku.
Aku sangat terharu ketika setiap pagi Pak Taje, ayah angkatku selalu berkata,
“makan dulu, Dita”
Atau setiap malam bertanya,
“Sudah tidur, Dita?”
Sepertinya itu hanya
ungkapan-ungkapan sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi bagiku, itu sungguh
sesuatu yang sangat istimewa. Aku merasa diperhatikan, disayangi oleh Bapak,
sosok yang selama ini sudah hampir terhapus dari ingatanku. Walaupun secara
hubungan darah Pak Taje bukan siapa-siapa bagiku, tapi setahun ini aku
benar-benar menganggap beliau adalah Bapakku. Dan beliau pun sepertinya juga
demikian, sungguh-sungguh menyayangiku sebagaimana anaknya sendiri.
Setiap hari, Aku, Bapak
dan Ibu angkatku selalu makan bersama. Sambil mengobrol dan sesekali diselingi
humor Bapak yang khas hingga kami pun tertawa bersama-sama. Juga, saat malam
kami kadang mengobrol bersama hingga larut. Bapak bercerita banyak hal, tentang
masa mudanya, tentang pertemuannya dengan ibu, tentang masa-masa saat
putra-putri mereka masih kecil dan bercerita tentang apa saja. Sungguh, Bapak
adalah seorang pencerita yang hebat. Aku suka, suka sekali mendengarkan
cerita-cerita itu walaupun beberapa kali aku sampai terkantuk-kantuk saking sudah
larut malamnya.
Yang membuatku semakin
trenyuh adalah, beberapa hari lalu, saat kami makan malam bersama, Bapak
tiba-tiba bertanya, “Kapan Dita menikah?”
Aku kira ini pertanyaan humor seperti yang biasanya Bapak
lontarkan padaku. Maka, aku pun menjawab sambil tertawa, “De, belum tau ni
Bapak!”
Dan Bapak pun menimpali, “Maksudnya, nanti kalau Dita
menikah, Bapak pasti ke Jawa ni. Dita kan anak Bapak juga.” Kali ini Bapak
tampak serius.
Aku nyaris tersedak mendengar kata-kata Bapak itu.
Benarkah yang dikatakan Bapak itu? Dita.....anak....Bapak.... juga...??? I am dreaming, aren’t I?
Ku tatap air muka Bapak yang selalu teduh itu. Dadaku
sesak, mataku mulai penuh. Jika tidak segera ku kendalikan maka air mata ini
akan segera tumpah begitu saja.
“Benar Bapak mau ke Jawa?” aku bertanya untuk menguatkan
tanggul mataku.
“Iya ni”, jawab Bapak memastikan.
Ya Allah, betapa setahun
ini aku sungguh beruntung. Hanya setahun memang, tapi setidaknya ada episode
dari hidupku yang pernah kulewati bersama seorang Ayah yang menyayangiku. Sungguh, aku bersyukur. Dan menjadi Pengajar
Muda adalah perantara yang Allah berikan padaku untuk belajar bersyukur.
(Cerita ini
ditulis pada Mei 2013, sebulan sebelum aku meninggalkan Bima)
2 komentar:
ceritanya bagus banget. salam kenal :)
terima kasih mbak, salam kenal juga :)
Posting Komentar