"Jadilah seperti garam! Keberadaannya selalu dibutuhkan. Apa jadinya jika masakan tanpa garam? Dialah garam, yang tak terlihat namun semua orang merasakan manfaatnya, yang ketika ia tak ada maka kita mencarinya."
Kira-kira seperti itu analogi yang disampaikan oleh Ustad Subhan Bawazier pada Kajian Lepas Kerja, Rabu malam pekan lalu di Masjid Agung Al Azhar. Masjid penuh, semua yang datang khusyuk mendengarkan sang guru berbicara. Beberapa khusyuk menyimak sambil tekun mencatat.
Malam itu ustad banyak berbicara tentang insan yang bermanfaat. Sebagai seorang muslim, begitulah seharusnya kita. Hidup kita, keberadaan kita, harus memberikan manfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Khoirunnas anfa'uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat untuk orang lain, begitu kata Rasulullah.
Saya menjadi teringat cerita yang pernah disampaikan oleh Ustad Bachtiar Nasir. Pendiri AQL Islamic Center ini mempunyai cara unik untuk membiasakan putranya bersedekah setiap hari. Bersedekah sebagai implementasi paling sederhana perkataan Rasulullah di atas. Setiap pagi, ustad mewajibkan putranya untuk bersedekah, entah dari bekal makanan atau uang saku yang putranya bawa ke sekolah.
Tentu saja, banyak cara yang dapat kita lakukan agar bisa membuat diri kita bermanfaat bagi banyak orang. Seperti teman-teman kita yang dalam usia masih sangat muda sudah bisa merintis usaha, membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Alih-alih merutuki situasi ekonomi yang demikian ini, mereka memilih untuk bertindak nyata. Mereka tak banyak beretorika, tapi bekerja dan menghasilkan karya yang manfaatnya dirasakan oleh banyak orang.
Saya ingat perkataan Pak Anies Baswedan dulu ketika menyambut Calon Pengajar Muda (CPM) angkatan IV, "Selama kita terus berdebat, umur anak terus bertambah, kawan! Berhentilah berdebat, mari bekerja! Kata-kata itulah yang kemudian membatasi kami, CPM IV ketika diskusi kami sudah ngalor-ngidul, tak jelas ujung pangkalnya. Tak mudah memutus hasrat kami untuk berdiskusi panjang lebar. Apalagi, anak muda seusia kami sungguh gemar mengutip pendapat tokoh-tokoh besar kemudian mengelaborasi dengan pendapat pribadi. Kami muda, kami "merasa" perlu bicara, kami pun "merasa" tau dan benar.
Kecenderungan semacam itu sepertinya terjadi pada banyak anak muda masa kini. Alih-alih menjadi seperti garam, sebagian kita justru lebih suka "tampil" agar mendapat pengakuan dari banyak orang. Media sosial menjadi ajang narsisme massal. Indah di dunia maya, tapi nihil karya di dunia nyata. Hanya maya, semu, tak nyata, ibarat bayang-bayang yang dihasilkan oleh kaca pembesar.
Lalu, mau menjadi yang seperti apakah kita, kawan?
Kira-kira seperti itu analogi yang disampaikan oleh Ustad Subhan Bawazier pada Kajian Lepas Kerja, Rabu malam pekan lalu di Masjid Agung Al Azhar. Masjid penuh, semua yang datang khusyuk mendengarkan sang guru berbicara. Beberapa khusyuk menyimak sambil tekun mencatat.
Malam itu ustad banyak berbicara tentang insan yang bermanfaat. Sebagai seorang muslim, begitulah seharusnya kita. Hidup kita, keberadaan kita, harus memberikan manfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Khoirunnas anfa'uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat untuk orang lain, begitu kata Rasulullah.
Saya menjadi teringat cerita yang pernah disampaikan oleh Ustad Bachtiar Nasir. Pendiri AQL Islamic Center ini mempunyai cara unik untuk membiasakan putranya bersedekah setiap hari. Bersedekah sebagai implementasi paling sederhana perkataan Rasulullah di atas. Setiap pagi, ustad mewajibkan putranya untuk bersedekah, entah dari bekal makanan atau uang saku yang putranya bawa ke sekolah.
Tentu saja, banyak cara yang dapat kita lakukan agar bisa membuat diri kita bermanfaat bagi banyak orang. Seperti teman-teman kita yang dalam usia masih sangat muda sudah bisa merintis usaha, membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Alih-alih merutuki situasi ekonomi yang demikian ini, mereka memilih untuk bertindak nyata. Mereka tak banyak beretorika, tapi bekerja dan menghasilkan karya yang manfaatnya dirasakan oleh banyak orang.
Saya ingat perkataan Pak Anies Baswedan dulu ketika menyambut Calon Pengajar Muda (CPM) angkatan IV, "Selama kita terus berdebat, umur anak terus bertambah, kawan! Berhentilah berdebat, mari bekerja! Kata-kata itulah yang kemudian membatasi kami, CPM IV ketika diskusi kami sudah ngalor-ngidul, tak jelas ujung pangkalnya. Tak mudah memutus hasrat kami untuk berdiskusi panjang lebar. Apalagi, anak muda seusia kami sungguh gemar mengutip pendapat tokoh-tokoh besar kemudian mengelaborasi dengan pendapat pribadi. Kami muda, kami "merasa" perlu bicara, kami pun "merasa" tau dan benar.
Kecenderungan semacam itu sepertinya terjadi pada banyak anak muda masa kini. Alih-alih menjadi seperti garam, sebagian kita justru lebih suka "tampil" agar mendapat pengakuan dari banyak orang. Media sosial menjadi ajang narsisme massal. Indah di dunia maya, tapi nihil karya di dunia nyata. Hanya maya, semu, tak nyata, ibarat bayang-bayang yang dihasilkan oleh kaca pembesar.
Lalu, mau menjadi yang seperti apakah kita, kawan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar