Kata Mas Gun, "Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan." Seperti dalam pertemanan dan jodoh misalnya. Kita akan selalu dipertemukan dengan orang-orang yang punya tujuan sama. Hati kita hanya akan benar-benar sakinah jika kita dekat dengan orang-orang yang punya banyak kesamaan dengan kita, terutama kesamaan tujuan hidup.
Pun kami, Pengajar Muda Karumbu Ceria Sholehah. Aih, maafkan kami menyematkan frasa yang demikian panjang sebagai panggilan kami berempat, Kak Mutia, saya, Diah dan Riri. Iya, karena kami sadar betul bahwa nama adalah doa. Semoga kami sungguh menjadi wanita yang sholehah dan selalu ceria. Aamiin.
Gerakan Indonesia Mengajar adalah jalan yang mempertemukan kami berempat. Seperti kata Mas Gun tadi, kami bertemu karena tujuan kami sama, memberikan setahun waktu kami untuk anak-anak Indonesia. Itulah mengapa, meskipun kami berasal dari 4 generasi penugasan, kami tetap memiliki kedekatan jiwa.
Jalan yang kami tempuh seumpama jalan panjang yang tak melulu lurus. Tapi, tujuan kami satu. Kak Mutia, generasi pertama adalah ibarat pembabat hutan. Ia memainkan perannya selama setahun. Lalu, perjalanan itu saya lanjutkan hingga setahun berikutnya. Datanglah Diah, yang mengisi rangkaian estafet ini selama setahun berikutnya. Setelah Diah menyelesaikan tugasnya, Riri menggenapinya sebagai pelari ke-4, masih dalam garis estafet yang sama. Maka, praktis kami tidak pernah berlari dalam waktu bersamaan. Namun tetap, tujuan yang sama adalah pengikat jiwa-jiwa kami. Ikatan yang membuat kami merasa bersaudara satu sama lain.
Kini, ketika perjalanan 4 tahun itu sudah selesai, ternyata ikatan kesejiwaan kami tidak lantas pudar sampai di sana. Yang ada justru sebaliknya. Ada ruang khusus yang kami siapkan di hati kami untuk ikatan ini. Meski masing-masing kami memiliki kesibukan yang berlainan, jika janji pertemuan sudah disepakati, maka ia akan menjadi prioritas.
Minggu lalu, Pak Yusuf, salah satu penggerak pendidikan di desa dulu kami ditugaskan, datang ke Jakarta memenuhi undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah pengaturan jadwal yang tak mudah, kami berempat sepakat akan bertemu untuk menyambut kedatangan Pak Yusuf. Kami akan bertemu di salah satu tempat makan di kawasan Jalan Margonda Depok, Sabtu petang.
Saya tiba di Stasiun UI tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Pak Yusuf sudah hampir sampai di UI. Riri masih terjebak hujan lebat di kawasan Sudirman, Kak Mutia masih berganti pakaian di kos karena baru pulang dari kondangan. Dan Diah, berkali-kali saya telepon tapi tidak ada jawaban. Cepat-cepat saya berjalan ke tempat pertemuan yang kami sepakati. Tiba di sana, saya memesan tempat lalu bergegas ke mushola, sholat maghrib.
Saat saya kembali dari mushola, Pak Yusuf dan seorang temannya, Pak Ajhar, sudah tiba di sana. Kami lalu memesan makanan dan bernostalgia tentang masa 3 tahun yang lalu, masa saat saya masih bertugas di Desa Karumbu. Satu jam kemudian Kak Mutia datang dan disusul Riri beberapa menit berikutnya. Suasana semakin ramai dan obrolan pun semakin seru.
Tapi, terasa ada yang kurang. Diah belum datang. Diah lalu menelpon kalau dia belum berangkat dari Bintaro karena suaminya ketiduran di masjid setelah sholat maghrib dan sekarang baru menjemput Diah di Klinik tempatnya bertugas. Karena Diah sangat ingin bertemu dengan Pak Yusuf dan juga kami, maka kami sepakat menunggu kedatangan Diah dan suaminya. Akhirnya, lewat jam 10 malam kami bisa kumpul dalam formasi lengkap. Alhamdulillah!
Bagi saya, bertemu dengan mereka adalah sama dengan memperbarui energi dan semangat. Terlebih, malam itu ada Pak Yusuf yang membawa banyak cerita perubahan dari Karumbu. Memori saya bertubi-tubi berlesatan ke desa yang berada di pesisir tenggara Pulau Sumbawa itu. Ada rindu yang menyeruak akan suasana desanya juga orang-orang yang pernah bekerja bersama saya di sana.
Pun kami, Pengajar Muda Karumbu Ceria Sholehah. Aih, maafkan kami menyematkan frasa yang demikian panjang sebagai panggilan kami berempat, Kak Mutia, saya, Diah dan Riri. Iya, karena kami sadar betul bahwa nama adalah doa. Semoga kami sungguh menjadi wanita yang sholehah dan selalu ceria. Aamiin.
Gerakan Indonesia Mengajar adalah jalan yang mempertemukan kami berempat. Seperti kata Mas Gun tadi, kami bertemu karena tujuan kami sama, memberikan setahun waktu kami untuk anak-anak Indonesia. Itulah mengapa, meskipun kami berasal dari 4 generasi penugasan, kami tetap memiliki kedekatan jiwa.
Jalan yang kami tempuh seumpama jalan panjang yang tak melulu lurus. Tapi, tujuan kami satu. Kak Mutia, generasi pertama adalah ibarat pembabat hutan. Ia memainkan perannya selama setahun. Lalu, perjalanan itu saya lanjutkan hingga setahun berikutnya. Datanglah Diah, yang mengisi rangkaian estafet ini selama setahun berikutnya. Setelah Diah menyelesaikan tugasnya, Riri menggenapinya sebagai pelari ke-4, masih dalam garis estafet yang sama. Maka, praktis kami tidak pernah berlari dalam waktu bersamaan. Namun tetap, tujuan yang sama adalah pengikat jiwa-jiwa kami. Ikatan yang membuat kami merasa bersaudara satu sama lain.
Kini, ketika perjalanan 4 tahun itu sudah selesai, ternyata ikatan kesejiwaan kami tidak lantas pudar sampai di sana. Yang ada justru sebaliknya. Ada ruang khusus yang kami siapkan di hati kami untuk ikatan ini. Meski masing-masing kami memiliki kesibukan yang berlainan, jika janji pertemuan sudah disepakati, maka ia akan menjadi prioritas.
Minggu lalu, Pak Yusuf, salah satu penggerak pendidikan di desa dulu kami ditugaskan, datang ke Jakarta memenuhi undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah pengaturan jadwal yang tak mudah, kami berempat sepakat akan bertemu untuk menyambut kedatangan Pak Yusuf. Kami akan bertemu di salah satu tempat makan di kawasan Jalan Margonda Depok, Sabtu petang.
Saya tiba di Stasiun UI tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Pak Yusuf sudah hampir sampai di UI. Riri masih terjebak hujan lebat di kawasan Sudirman, Kak Mutia masih berganti pakaian di kos karena baru pulang dari kondangan. Dan Diah, berkali-kali saya telepon tapi tidak ada jawaban. Cepat-cepat saya berjalan ke tempat pertemuan yang kami sepakati. Tiba di sana, saya memesan tempat lalu bergegas ke mushola, sholat maghrib.
Saat saya kembali dari mushola, Pak Yusuf dan seorang temannya, Pak Ajhar, sudah tiba di sana. Kami lalu memesan makanan dan bernostalgia tentang masa 3 tahun yang lalu, masa saat saya masih bertugas di Desa Karumbu. Satu jam kemudian Kak Mutia datang dan disusul Riri beberapa menit berikutnya. Suasana semakin ramai dan obrolan pun semakin seru.
Tapi, terasa ada yang kurang. Diah belum datang. Diah lalu menelpon kalau dia belum berangkat dari Bintaro karena suaminya ketiduran di masjid setelah sholat maghrib dan sekarang baru menjemput Diah di Klinik tempatnya bertugas. Karena Diah sangat ingin bertemu dengan Pak Yusuf dan juga kami, maka kami sepakat menunggu kedatangan Diah dan suaminya. Akhirnya, lewat jam 10 malam kami bisa kumpul dalam formasi lengkap. Alhamdulillah!
Bagi saya, bertemu dengan mereka adalah sama dengan memperbarui energi dan semangat. Terlebih, malam itu ada Pak Yusuf yang membawa banyak cerita perubahan dari Karumbu. Memori saya bertubi-tubi berlesatan ke desa yang berada di pesisir tenggara Pulau Sumbawa itu. Ada rindu yang menyeruak akan suasana desanya juga orang-orang yang pernah bekerja bersama saya di sana.
makan hampir tengah malam |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar