Ketika kenyataan yang kita hadapi sangat melenceng dari apa yang kita ekspektasikan, kita cenderung akan mengeluh atau bahkan marah. Secuil hal yang tak mengenakkan hati kadang menutupi hal-hal baik yang sebenarnya juga ada. Itulah yang membuat kita merasa sedang terjepit dalam situasi yang kita pandang tidak baik. Hasil akhirnya adalah kita merasa tidak bahagia. Maka, respon yang muncul biasanya akan seperti ini, "Baiklah, sepertinya saya harus bersabar dulu sekarang".
Secara sepintas, respon semacam itu sepertinya merupakan respon yang positif. Kita sedang menstimulus hati kita untuk bersabar menghadapi hal-hal yang tak mengenakkan hati itu. Namun, dengan mengeluarkan respon seperti itu, secara bersamaan kita sebenarnya sedang mengamini bahwa kita memang sedang dalam situasi yang tak ideal. Efeknya, hal-hal yang tak ideal itu akan semakin memburamkan hal-hal baik yang sebenarnya ada.
Itulah yang saya alami akhir-akhir ini. Saya terlalu banyak mengeluhkan keadaan yang saya hadapi. Saya merasa ada banyak hal tak ideal di depan mata saya. Perasaan ini bahkan sampai membuat saya tidak tau harus berbuat apa.
Dan paradigma saya dalam menghadapi kondisi ini perlahan berubah setelah saya menghadiri kegiatan tabligh akbar di Masjid Istiqlal Selasa lalu. Salah satu pembicara dalam acara tersebut, Ustad Deden (Juara Hafidz International di Maroko, 2014) menerangkan tentang sabar dan syukur. Dalam hal menghafal Al-Quran misalnya, paradigma yang kita bangun haruslah syukur, bukan sabar. Jika kita masih menggunakan paradigma sabar, maka kegiatan menghafal Al-Quran akan selamanya terasa sebagai kegiatan yang berat. Berbeda halnya jika kita menggunakan paradigma syukur. Maka, kegiatan menghafal Al-Quran akan terasa lebih ringan. Kita harus bersyukur karena kita masih dikaruniai niat untuk menghafal Al-Quran. Kita harus bersyukur karena Allah menjanjikan akan memberikan mahkota nanti di syurga pada orang tua yang anaknya adalah penghafal Al-Quran.
Paradigma sabar dan syukur ini pun berlaku dalam hal-hal lain dalam hidup kita. Umpamanya, dalam menghadapi kondisi pekerjaan atau pertemanan atau apapun itu. Jika kita merasa ada hal yang tak ideal di sana, maka sebaiknya kita bersyukur dengan cara mencari dan menghitung hal-hal baik yang ada. Seburuk-buruknya suatu kondisi, pasti ada hal baik yang menyertainya.
Saya pun mulai menghitung hal-hal baik itu. Ternyata, ada banyak hal baik yang melingkupi saya saat ini hingga saya merasa sangat perlu bersyukur atas semua hal baik yang Allah karuniakan itu. Salah satu dari bilangan hal-hal baik itu adalah keberadaan Perpustakaan Nasional yang tepat bersebelahan dengan tempat saya bekerja. Sayang sekali jika "gudang pengetahuan" ini tidak saya manfaatkan dengan baik. Dan dengan hanya menyadari satu hal sederhana ini pun, ternyata saya bisa merasa bersyukur dan bahagia. :-)
Secara sepintas, respon semacam itu sepertinya merupakan respon yang positif. Kita sedang menstimulus hati kita untuk bersabar menghadapi hal-hal yang tak mengenakkan hati itu. Namun, dengan mengeluarkan respon seperti itu, secara bersamaan kita sebenarnya sedang mengamini bahwa kita memang sedang dalam situasi yang tak ideal. Efeknya, hal-hal yang tak ideal itu akan semakin memburamkan hal-hal baik yang sebenarnya ada.
Itulah yang saya alami akhir-akhir ini. Saya terlalu banyak mengeluhkan keadaan yang saya hadapi. Saya merasa ada banyak hal tak ideal di depan mata saya. Perasaan ini bahkan sampai membuat saya tidak tau harus berbuat apa.
Dan paradigma saya dalam menghadapi kondisi ini perlahan berubah setelah saya menghadiri kegiatan tabligh akbar di Masjid Istiqlal Selasa lalu. Salah satu pembicara dalam acara tersebut, Ustad Deden (Juara Hafidz International di Maroko, 2014) menerangkan tentang sabar dan syukur. Dalam hal menghafal Al-Quran misalnya, paradigma yang kita bangun haruslah syukur, bukan sabar. Jika kita masih menggunakan paradigma sabar, maka kegiatan menghafal Al-Quran akan selamanya terasa sebagai kegiatan yang berat. Berbeda halnya jika kita menggunakan paradigma syukur. Maka, kegiatan menghafal Al-Quran akan terasa lebih ringan. Kita harus bersyukur karena kita masih dikaruniai niat untuk menghafal Al-Quran. Kita harus bersyukur karena Allah menjanjikan akan memberikan mahkota nanti di syurga pada orang tua yang anaknya adalah penghafal Al-Quran.
Paradigma sabar dan syukur ini pun berlaku dalam hal-hal lain dalam hidup kita. Umpamanya, dalam menghadapi kondisi pekerjaan atau pertemanan atau apapun itu. Jika kita merasa ada hal yang tak ideal di sana, maka sebaiknya kita bersyukur dengan cara mencari dan menghitung hal-hal baik yang ada. Seburuk-buruknya suatu kondisi, pasti ada hal baik yang menyertainya.
Saya pun mulai menghitung hal-hal baik itu. Ternyata, ada banyak hal baik yang melingkupi saya saat ini hingga saya merasa sangat perlu bersyukur atas semua hal baik yang Allah karuniakan itu. Salah satu dari bilangan hal-hal baik itu adalah keberadaan Perpustakaan Nasional yang tepat bersebelahan dengan tempat saya bekerja. Sayang sekali jika "gudang pengetahuan" ini tidak saya manfaatkan dengan baik. Dan dengan hanya menyadari satu hal sederhana ini pun, ternyata saya bisa merasa bersyukur dan bahagia. :-)
Perpustakaan Nasional RI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar