Aneh, sungguh aneh. Jika sedang berpuasa, selapar apapun saya nyaris tak pernah sakit kepala. Tapi, selagi tidak berpuasa, sebentar saja terlambat makan, sakit kepala kerap menghampiri saya. Kepala rasanya kliyengan, badan rasanya nyaris limbung terutama ketika bangun dari duduk. Kadang-kadang malah sampai mual dan hilang nafsu makan kalau terlanjur lapar berat. Hmm, mungkin ini karena anemia yang masih saja setia mengikuti saya sejak dulu kala. Tapi mungkin juga sebab lain yang entah apa.
Seperti hari Minggu lalu, karena tak sempat makan siang, paniang-lah kepala saya. Setelah mengikuti kajian di Al Azhar, saya keasyikan mengobrol dengan Kak Mutia sehingga lupa waktu. Saat pulang, saya berencana membeli cilok atau siomai atau apa saja makanan untuk mengganjal perut. Namun, takdir berkata lain. Semua penjual makanan, jejaknya pun sudah tak nampak. Ya, sudahlah. Saya berjalan pulang dengan sisa-sisa tenaga.
Sudah sampai di kos, sudah makan pula, kepala masih saja paniang. Belum lewat jam 08.00 malam, saya bersiap-siap tidur. Novel Ayah-nya Andrea Hirata sudah siap menjadi pengantar tidur. Baru beberapa halaman terbaca, HP saya berdering. Nomor asing yang nampak. Awalnya malas saya mengangkatnya, "tapi angkat saja sudah", pikir saya. Mendengar suara di ujung sana, saya spontan bangun. "Ibuuuuuuu!", seru saya. Ya, itu telepon dari Ibu angkat saya di Bima. Senang benar saya menerima telepon dari Ibu yang pernah setahun menampung saya di rumahnya itu. Setelah saling bertanya kabar dan melepas rindu, Ibu mengutarakan maksud sebenarnya kenapa malam itu Ibu sengaja menelpon saya.
"Jadi Ibu menelpon karena disuruh sama Ayra, Fiqa dan Isma ni", Ibu mengawali cerita.
"Hah?" saya kaget sekaligus penasaran. Tidak biasanya para cucu Ibu ini meminta untuk ditelponkan saya. Saban saya telepon saja, mereka selalu tak mau bicara dengan saya, "maja" (malu), begitu selalu alasan mereka. Bukankah ini hal yang aneh mereka tiba-tiba minta ditelponkan saya? *penasaran mode on.
Ibu pun mulai bercerita. Kata beliau, bocah-bocah yang belum genap berusia 8 tahun itu sibuk menulis surat sesorean. Setelah surat ditulis, mereka membeli bungkus kado dan biskuit di warung. Lalu dibungkuslah surat dan biskuit itu dengan bungkus kado. Melihat tingkah polah cucu-cucunya itu, Ibu penasaran kemudian bertanya untuk siapa itu surat dan kadonya. Mereka menjawab, "Mau dikirim buat Bibi Dita". Ibu kaget sekaligus tidak percaya anak sekecil mereka punya ide semacam itu. Sambil tertawa, Ibu bertanya pada mereka, "Memangnya kalian tau alamat Bibi Dita ro? Dengan polosnya mereka menggeleng. Di usia seperti mereka, mereka juga sebenarnya belum pahan betul proses bagaimana suatu surat/benda bisa dikirim dan sampai pada seseorang yang tinggal di tempat yang jauh.
"Kalau mau kirim surat itu, pertama-tama harus tau alamat Bibi Dita", Ibu lanjut menjelaskan pada bocah-bocah kreatif itu. "Kalau gitu, Nenek saja telepon Bibi Dita tanya alamatnya", usul mereka. Setelah eyel-eyelan siapa yang harus menelpon saya, akhirnya nenek mengalah. Neneklah yang akhirnya menelpon saya.
Menyimak cerita Ibu itu, rasa haru membanjiri hati saya. Seketika itu pula, saya tak lagi merasakan sakit kepala. Bahkan saya lupa kalau sebelumnya kepala saya paniang bukan kepalang. Tak sabar saya menunggu surat dari ponakan-ponakan yang lucu itu. Hati saya penuh, senyum lebar mengembang macam bunga sepatu di depan kantor saya. Aih, pokoknya saya senang betul! Senang bercampur haru, juga berpadu rindu pada bocah-bacah lucu itu.
Seketika itu pula, saya langsung menghubungi teman saya yang berbisnis kaos muslim Afrakids dan memesan 8 pcs untuk ponakan-ponakan saya yang di Bima. Segera setelah saya terima surat dari meraka, insyaAllah akan saya balas surat itu dan saya kirimkan kaos yang saya pesan itu untuk mereka.
Seperti hari Minggu lalu, karena tak sempat makan siang, paniang-lah kepala saya. Setelah mengikuti kajian di Al Azhar, saya keasyikan mengobrol dengan Kak Mutia sehingga lupa waktu. Saat pulang, saya berencana membeli cilok atau siomai atau apa saja makanan untuk mengganjal perut. Namun, takdir berkata lain. Semua penjual makanan, jejaknya pun sudah tak nampak. Ya, sudahlah. Saya berjalan pulang dengan sisa-sisa tenaga.
Sudah sampai di kos, sudah makan pula, kepala masih saja paniang. Belum lewat jam 08.00 malam, saya bersiap-siap tidur. Novel Ayah-nya Andrea Hirata sudah siap menjadi pengantar tidur. Baru beberapa halaman terbaca, HP saya berdering. Nomor asing yang nampak. Awalnya malas saya mengangkatnya, "tapi angkat saja sudah", pikir saya. Mendengar suara di ujung sana, saya spontan bangun. "Ibuuuuuuu!", seru saya. Ya, itu telepon dari Ibu angkat saya di Bima. Senang benar saya menerima telepon dari Ibu yang pernah setahun menampung saya di rumahnya itu. Setelah saling bertanya kabar dan melepas rindu, Ibu mengutarakan maksud sebenarnya kenapa malam itu Ibu sengaja menelpon saya.
"Jadi Ibu menelpon karena disuruh sama Ayra, Fiqa dan Isma ni", Ibu mengawali cerita.
"Hah?" saya kaget sekaligus penasaran. Tidak biasanya para cucu Ibu ini meminta untuk ditelponkan saya. Saban saya telepon saja, mereka selalu tak mau bicara dengan saya, "maja" (malu), begitu selalu alasan mereka. Bukankah ini hal yang aneh mereka tiba-tiba minta ditelponkan saya? *penasaran mode on.
Ibu pun mulai bercerita. Kata beliau, bocah-bocah yang belum genap berusia 8 tahun itu sibuk menulis surat sesorean. Setelah surat ditulis, mereka membeli bungkus kado dan biskuit di warung. Lalu dibungkuslah surat dan biskuit itu dengan bungkus kado. Melihat tingkah polah cucu-cucunya itu, Ibu penasaran kemudian bertanya untuk siapa itu surat dan kadonya. Mereka menjawab, "Mau dikirim buat Bibi Dita". Ibu kaget sekaligus tidak percaya anak sekecil mereka punya ide semacam itu. Sambil tertawa, Ibu bertanya pada mereka, "Memangnya kalian tau alamat Bibi Dita ro? Dengan polosnya mereka menggeleng. Di usia seperti mereka, mereka juga sebenarnya belum pahan betul proses bagaimana suatu surat/benda bisa dikirim dan sampai pada seseorang yang tinggal di tempat yang jauh.
"Kalau mau kirim surat itu, pertama-tama harus tau alamat Bibi Dita", Ibu lanjut menjelaskan pada bocah-bocah kreatif itu. "Kalau gitu, Nenek saja telepon Bibi Dita tanya alamatnya", usul mereka. Setelah eyel-eyelan siapa yang harus menelpon saya, akhirnya nenek mengalah. Neneklah yang akhirnya menelpon saya.
Menyimak cerita Ibu itu, rasa haru membanjiri hati saya. Seketika itu pula, saya tak lagi merasakan sakit kepala. Bahkan saya lupa kalau sebelumnya kepala saya paniang bukan kepalang. Tak sabar saya menunggu surat dari ponakan-ponakan yang lucu itu. Hati saya penuh, senyum lebar mengembang macam bunga sepatu di depan kantor saya. Aih, pokoknya saya senang betul! Senang bercampur haru, juga berpadu rindu pada bocah-bacah lucu itu.
Seketika itu pula, saya langsung menghubungi teman saya yang berbisnis kaos muslim Afrakids dan memesan 8 pcs untuk ponakan-ponakan saya yang di Bima. Segera setelah saya terima surat dari meraka, insyaAllah akan saya balas surat itu dan saya kirimkan kaos yang saya pesan itu untuk mereka.
Fais, Ayra, Fiqa dan Isma 3 tahun yang lalu |
2 komentar:
salam kenal
kunjungi juga blogku
Salam kenal juga, Naurah.
Posting Komentar