"Kapan kita jalan-jalan lagi, Dit?"
Pertanyaan macam itu sering teman-teman alamatkan pada saya akhir-akhir ini. Pertanyaan yang saya sendiri tak tau jawabannya. Yang ada saya justru balik bertanya, "Duh, kapan ya?" sambil meratapi nasib saya yang belum punya hak cuti sampai setahun -atau mungkin lebih- ke depan.
Tapi ternyata, bagi saya, jalan-jalan sudah menjadi candu tersendiri. Naik kendaraan umum ala kadarnya, membeli makanan di pinggir jalan, menginap di rumah warga, melihat keunikan sebuah daerah, itu yang selalu saya rindukan. Dan ya, keinginan itu rasanya sudah di ubun-ubun seminggu yang lalu. Maka, sebuah ide muncul. Ide yang sebenarnya sejak berbulan-bulan yang lalu ada tapi belum juga terwujud karena kesibukan kami di jagad perkantoran ibu kota. Ya, kami akan ke Gunung Padang akhir minggu itu juga!
Itinerary dibuat. Teman-teman dihubungi, kalau-kalau ada yang bisa ikut. Sampai dua hari sebelum keberangkatan, hanya tiga orang yang bisa ikut: saya, Vivi dan Mbak Evi (senior saya di kantor). Tak masalah, rencana tetap harus dijalankan. Kamis sore menjelang maghrib, masih di ruang kerja, saya dan Mbak Evi mulai membuka laman pemesanan tiket kereta api jurusan Bogor-Cianjur. Menurut rencana, kami akan berangkat Sabtu pagi menggunakan kereta pertama, jam 07.55. Namun ternyata, tiket untuk pagi itu sudah ludes!
Pertanyaan macam itu sering teman-teman alamatkan pada saya akhir-akhir ini. Pertanyaan yang saya sendiri tak tau jawabannya. Yang ada saya justru balik bertanya, "Duh, kapan ya?" sambil meratapi nasib saya yang belum punya hak cuti sampai setahun -atau mungkin lebih- ke depan.
Tapi ternyata, bagi saya, jalan-jalan sudah menjadi candu tersendiri. Naik kendaraan umum ala kadarnya, membeli makanan di pinggir jalan, menginap di rumah warga, melihat keunikan sebuah daerah, itu yang selalu saya rindukan. Dan ya, keinginan itu rasanya sudah di ubun-ubun seminggu yang lalu. Maka, sebuah ide muncul. Ide yang sebenarnya sejak berbulan-bulan yang lalu ada tapi belum juga terwujud karena kesibukan kami di jagad perkantoran ibu kota. Ya, kami akan ke Gunung Padang akhir minggu itu juga!
Itinerary dibuat. Teman-teman dihubungi, kalau-kalau ada yang bisa ikut. Sampai dua hari sebelum keberangkatan, hanya tiga orang yang bisa ikut: saya, Vivi dan Mbak Evi (senior saya di kantor). Tak masalah, rencana tetap harus dijalankan. Kamis sore menjelang maghrib, masih di ruang kerja, saya dan Mbak Evi mulai membuka laman pemesanan tiket kereta api jurusan Bogor-Cianjur. Menurut rencana, kami akan berangkat Sabtu pagi menggunakan kereta pertama, jam 07.55. Namun ternyata, tiket untuk pagi itu sudah ludes!
Kami sempat akan mengubah rencana dengan naik bus. Tapi, setelah dipikir-pikir, terlalu banyak risiko kalau kami pergi naik bus. Pertama, kami tidak tau pasti bus jurusan Jakarta-Cianjur berangkat setiap berapa jam sekali. Kedua, tiap akhir pekan hampir dapat dipastikan jalur Puncak Pass macet parah. Daripada terjebak dalam ketidakpastian, maka kami memilih yang pasti-pasti saja deh, seperti memilih pasangan hidup ;-p
Setelah berkoordinasi dengan Vivi lewat WhatsApp, oke, akhirnya kami sepakat mengubah itinerary yang sudah kami siapkan. Kami tetap naik kereta, hanya saja kereta Pangrango yang berangkat dari Stasiun Bogor Paledang jam 13.30. Tiket masih tersedia banyak. Tapi tunggu, kenapa tidak tersedia booking icon-nya? Akhirnya, kami membeli tiket pulang dulu, Lampegan-Bogor. Alhamdulillah terbeli. Kembali ke layar pemesanan tiket berangkat, tetap tak bisa dibeli. Saya berniat menelpon ke 121, namun ternyata saya tak punya pulsa. Untungnya, Mbak Evi dengan suka rela meminjamkan HPnya -dan tentu saja menghibahkan pulsanya juga- untuk reservasi tiket KAI via telepon. Tak sampai lima menit, urusan pesan-memesan ini pun beres. Meluncurlah kami ke gerai ATM terdekat sekalian pulang dengan hati senang.
Jadwal Kereta Cianjur (CJ)-Bogor (BOO) dan sebaliknya. |
Hari yang dinantikan pun tiba. Sabtu jam 11.30 saya dan Mbak Evi ketemuan di Stasiun Manggarai lalu berangkat bersama naik Commuter Line (CL) ke Bogor. Vivi, yang tinggal di daerah Karet, naik CL dari Stasiun Sudirman. Ketika saya dan Mbak Evi sudah naik CL, masukkan pesan WA dari Vivi, "Dita, maaf aku ini baru berangkat, tadi sakit perut. Kalau jam setengah 2 aku belum nyampe, ditinggal aja gak papa." Dunia seakan runtuh, tangan saya lemas, tak kuasa menyokong ponsel Samsung kuno yang tak seberapa beratnya ini.
Beberapa detik berlalu, kesadaran saya terkumbul kembali. Saya mencoba tenang. Saya menelpon Vivi dan berkata, "Gak telat kok Vi, pasti sampai sebelum jam setengah 2. Kalau masih sakit perut, gak usah buru-buru",padahal dalam hati, saya resah. Apa jadinya kalau Vivi tidak jadi ikut?
Sesampainya di stasiun Bogor, saya dan Mbak Evi langsung bertanya ke petugas dari manakah jalur keberangkatan kereta jurusan Cianjur. Dan ternyata, Stasiun Bogor Paledang itu bukan stasiun Bogor tempat kita naik-turun CL itu, saudara-saudara! Letak stasiun Bogor Paledang itu di belakang Taman Topi Square yang mana bisa kita jangkau dengan jalan kaki lewat jembatan penyeberangan yang lumayan jauh letaknya. Saya pikir stasiun Bogor Paledang itu sama dengan stasiun tempat CL mangkal karena beberapa hari sebelumnya saya sudah mengkonfirmasi ini pada teman saya orang Bogor tentang ini. Tapi ya sudahlah.
Sepuluh menit sebelum kereta Pangrango berangkat, Vivi belum juga kelihatan ujung jilbabnya. Saya mulai resah. Saya dan Mbak Evi kemudian bagi-bagi tugas, Mbak Evi masuk ke kereta terlebih dahulu. Saya menunggu Vivi di depan pintu pemeriksaan tiket. Untungnya, Stasiun Bogor Paledang ini kecil mungil sehingga ketika peluit panjang kereta mulai dibunyikan, saya bisa cepat-cepat lari dan melompat masuk ke dalam gerbong kereta.
Saya mondar-mandir dari pos pemeriksaan tiket ke tengah jalan, mencari-cari Vivi. Satu pesan WA saya kirimkan, "Lari Viiiiii!" Berkali-kali saya minta kepada petugas agar kereta jangan dulu diberangkatkan. "Itu Pak, masih banyak kok yang telat", saya berdalih sambil menunjuk-nunjuk para calon penumpang yang berlarian karena datang terlambat dari arah jalan raya maupun Stasiun Bogor.
Dari kejauhan mata saya menangkap Vivi yang berlari pontang-panting. "Paaaak, teman saya sudah datang, Tolong tunggu satu menit lagi. Tolong Paaaaak", saya mengiba. Vivi datang dengan KTP yang sudah siap di tangan. Setelah pemeriksaan secepat kilat, melompatlah kami ke dalam kereta. Bebarapa detik kemudian, kereta perlahan melaju. Selesailah drama pengejaran kereta di Sabtu siang yang terik itu.
Kata orang, serunya jalan-jalan itu ya ada pada hal-hal yang tak terduga semacam itu. Dari sanalah kita belajar tentang banyak hal, tentang kesabaran, berbagi, pengambilan keputusan, dsb. Dan ya, bagi saya pribadi, yang saya cari adalah yang semacam itu, bukan semata-mata kebanggaan mengunjungi tempat-tempat baru.
Duh, tidak terasa ceritanya sudah sepanjang ini ya, padahal tentang Gunung Padangnya belum sama sekali, hehe.. Baiklah, kita mulai ya. Siapa tau bermanfaat untuk teman-teman yang mau main ke situs megalithikum tertua di nusantara ini.
Dari Stasiun Bogor kami naik Kereta Pangrango tujuan akhir Cianjur. Tiket yang perlu kami bayar seharga Rp 27.500 (kelas ekonomi). Setelah lebih kurang tiga jam perjalanan, kereta yang kami tumpangi ini tiba di stasiun Lampegan(LP) jam 16.30. Para tukang ojek mengerubungi kami bak ikan ketemu mangsanya. Mereka menawarkan Rp 50.000 untuk 1 ojek ke Gunung Padang. Kami tidak mau karena beberapa orang yang pernah pergi ke sana menuliskan ongkos ojeknya antara Rp 25.000 sampai Rp 30.000. Karena kami tidak mau lama tawar menawar, kami menyetujui harga Rp 35.000.
Jalanan dari Stasuin Lampegan ke Gunung Padang berkelok-kelok dan dominan menanjak. Jalanannya sudah beraspal, hanya saja ada beberapa titik yang sudah amblas. Sedikit ngeri melintasi jalanan seperti itu. Tapi kengerian itu teralihkan oleh pemandanagan perbukitan yang disulap menjadi perkebunan teh. Sejauh mata maemandang, yang tampak hanya hijau membentang, layaknya permadani yang terhampar luas. Udara pun cukup sejuk, sama sekali kontras dengan udara Jakarta yang beberapa jam sebelumnya saya hirup.
Ojek menurunkan kami tepat di depan tempat penjualan tiket masuk Gunung Padang. Kami istirahat sebentar sembari menunggu Mbak Evi sholat Asar. Seorang Ibu muda datang menghampiri kami, "Yang mau nginep di rumah Abah Dadi ya Mbak? Mari ikut saya, sudah disiapin tempatnya." Kami pun langsung mengutil di belakang Ibu Muda tadi.
homestay kami |
Beberapa hari sebelumnya kami memang sudah menghubungi Abah Dadi untuk memesan homestay di sekitar Gunung Padang. No HP Abah Dadi, 081385901950 saya peroleh dari blog seseorang yang sebelumnya sudah pernah menginap di homestay Abah Dadi. Semalam menginap di rumah Abah Dadi kami mendapat dua kali makan yaitu makan malam dan sarapan di keesokan harinya. Semua itu dihargai dengan angka Rp 80.000 per orang. Menurut kami itu sangat murah karena Abah Dari dan keluarganya memberikan pelayanan yang sangat baik. Rumah dan kamar mandinya cukup bersih sehingga membuat kami nyaman.
Sore itu, setelah menyimpan ransel di rumah Abah Dadi, kami mencoba naik ke Gunung Padang. Harga tiketnya Rp 4000. Ada dua pilihan trek yang bisa kita ambil. Trek sebelah kiri lebih curam dan terjal namun pendek. Sedangkan yang sebelah kanan lebih landai dan rapi sususan tangganya namun lebih panjang. Sore itu kami memilih trek yang sebelah kiri. Dan rasanya, byuh-byuh, cukup lumayan membuat keringat bercucuran dan nafas ngos-ngosan. Kata petugas penjual tiket, kedua trek tersebut bisa dilalui sekitar 10-15 menit. Tapi tidak bagi kami, Kami butuh lebih dari itu!
dua trek |
Karena senja sudah hampir tiba, kami tidak berlama-lama di atas. Besok paginya akan kami puaskan sembari melihat matahari terbit dari titik tertinggi Gunung Padang.
Setelah makan malam, Abah Dadi tiba-tiba memberi tahu kami bahwa sedang ada mahasiswa KKN yang malam itu akan menggelar layar tancap di halaman sebuah SD. Abah mengajak kami menonton, kami pun setuju. Setibanya di SD, kami menjumpai pemuda-pemuda yang Abah bilang sebagai mahasiswa KKN itu. Ternyata mereka adalah volunteer dari komunitas Teaching and Traveling. Siang tadinya mereka mengadakan kegiatan mengajar di SD dan esok paginya mereka akan berwisata ke Gunung Padang. Senang sekali bisa ketemu dengan anak-anak muda yang penuh semangat untuk memperbaiki negeri seperti mereka.
Kami hanya mengobrol sebentar lalu kembali pulang ke Rumah Abah. Kami tidur cepat karena besok kami akan melihat sunrise dari atas Gunung Padang. Ternyata, semakin malam udara semakin terasa dingin. Dan parahnya, saya lupa membawa jaket! Jadilah semalaman saya meringkuk dalam dingin. Brrrrr...
Sunrise Time!!! Kami bangun jam 05.00 pagi. Kami keukeuh mandi terlebih dahulu karena kami takut nanti turun dari Gunung Padang kami tak sempat mandi. Kami harus mengejar kereta jam 09.00. Gantian mandi bertiga ternyata membutuhkan waktu hampir satu jam. Pintu rumah kami buka, langit pun ternyata sudah terang, saudara-saudara! Tapi tak apalah, yang penting sampai atas, hehe..
Satu jam penuh kami menyusuri reruntuhan situs kuno itu. Mengamati rupa-rupa bentuk dan susunan batuan, menikmati udara pagi yang segar, memanjakan mata dengan dengan pemandangan perbukitan yang asri dan damai. Ah, puas sekali rasanya.
Maka, tibalah saatnya kami turun dan pulang. Ummi, istri Abah Dadi menyiapkan masing-masing sepiring nasi goreng dan telur ceplok untuk sarapan kami. Ummi pun sudah menyiapkan tukang ojek yang akan mengantar kami kembali ke Stasiun Lampegan. Ongkos ojek dari atas sini ternyata lebih murah, hanya Rp 30.000. Beruntungnya kami bertemu dengan Abah, Ummi dan warga Gunung Padang yang baik ini. Alhamdulillahirabbil'alamin.
Beginilah hasil jalan-jalan ke Gunung Padang. Next trip mau kemana lagi ya? :-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar