"Aku akan mencarinya. Ku dengar dia tinggal di Ambon sekarang, bersama keluarga barunya."
Riana* mengawali ceritanya siang itu. Dia nampak yakin walaupun tetap saja gurat kegundahan tergambar di wajahnya.
"Ya, sebaiknya memang begitu. Bagaimanapun, dia tetap ayah kandungmu. Dialah yang paling berhak menikahkanmu", pelan-pelan aku menimpali.
"Tapi aku belum sepenuhnya ikhlas. Bagaimana bisa orang yang tak pernah ku kenal, tak membesarkanku tiba-tiba harus menjadi orang terpenting di hari pernikahanku?" matanya mulai berkaca-kaca.
Hening. Aku diam, menantikan kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan.
"Bagaimana juga dengan mamaku? Mama pasti tidak akan mau jika dia --orang yang sudah menggoreskan luka di hati mama-- yang menjadi wali nikahku. Bagaimana juga dengan perasaan bapakku yang sekarang? Aku, anak yang telah dibesarkanya sebagaimana anak kandungnya sendiri, menikah di bawah kewalian mantan suami istrinya."
"Mama mau aku memakai wali hakim", ia lalu diam, menantikan responku.
Aku diam sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "Wali pertama memang ayah kandung. Jika tidak ada, hak perwalian baru turun ke paman dari pihak ayah. Ini masalah hukum. Sebaiknya kita bertanya pada ustad yang lebih paham tentang ini." Aku kemudian menuliskan link dari situs Yutube berisi kajian Ustad Khalid Basalamah yang membahas perkara nikah.
"Kajian Kitab Bulughulmaram Hadits ke 996 Bab Nikah." Ku sodorkan catatan itu padanya.
"Coba dari sekarang sering-sering diskusi dengan Mama tentang masalah ini. Yakinkan agar beliau ridho kamu nikah di bawah perwalian ayah kandungmu. Jelaskan sepelan dan selembut mungkin. Juga pada ayahmu yang sekarang, jelaskan bahwa ini semua tidak akan mengurangi rasa hormat dan sayangmu pada beliau. Atau bisa juga begini, setelah kamu bertemu dengan ayah kandungmu, mintalah izin agar dia ikhlas kamu menikah dengan wali hakim demi menjaga perasaan mama dan ayahmu yang sekarang. Tapi pendapatku ini sangat subyektif"
"Tapi aku tetap takut. Bagaimana jika ini akan menyulut masalah baru? Aku pun sebenarnya masih ragu untuk mencari bapak kandungku ke Ambon. Ya, kalau dia mempermudah pernikahanku, kalau justru mempersulit, bagaimana? Belum lagi dengan respon keluarga besar mamaku dan keluarga besar bapak kandungku. Aku benar-benar takut konflik lama akan bangkit kembali".
Aku mencoba memahami ketakutan-ketakutannya itu. "Tugas kita berikhtiar semampu kita. Wajar kita takut pada hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Tapi, bukankah Allah selalu menyelipkan hal baik terhadap setiap hal buruk yang menimpa kita? Kita harus mengharapkan yang terbaik sembari menyiapkan hati untuk menghadapi hal yang terburuk yang mungkin akan terjadi. Ya, kita hanya perlu menghadapinya."
Kami sama-sama diam beberapa detik. "Berarti, hadapi saja ya?", retoris ia bertanya padaku. "Ya, hadapi!", aku mengangguk sembari tersenyum padanya.
*Nama sebenarnya tapi bukan nama panggilannya sehari-hari.
Riana* mengawali ceritanya siang itu. Dia nampak yakin walaupun tetap saja gurat kegundahan tergambar di wajahnya.
"Ya, sebaiknya memang begitu. Bagaimanapun, dia tetap ayah kandungmu. Dialah yang paling berhak menikahkanmu", pelan-pelan aku menimpali.
"Tapi aku belum sepenuhnya ikhlas. Bagaimana bisa orang yang tak pernah ku kenal, tak membesarkanku tiba-tiba harus menjadi orang terpenting di hari pernikahanku?" matanya mulai berkaca-kaca.
Hening. Aku diam, menantikan kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan.
"Bagaimana juga dengan mamaku? Mama pasti tidak akan mau jika dia --orang yang sudah menggoreskan luka di hati mama-- yang menjadi wali nikahku. Bagaimana juga dengan perasaan bapakku yang sekarang? Aku, anak yang telah dibesarkanya sebagaimana anak kandungnya sendiri, menikah di bawah kewalian mantan suami istrinya."
"Mama mau aku memakai wali hakim", ia lalu diam, menantikan responku.
Aku diam sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "Wali pertama memang ayah kandung. Jika tidak ada, hak perwalian baru turun ke paman dari pihak ayah. Ini masalah hukum. Sebaiknya kita bertanya pada ustad yang lebih paham tentang ini." Aku kemudian menuliskan link dari situs Yutube berisi kajian Ustad Khalid Basalamah yang membahas perkara nikah.
"Kajian Kitab Bulughulmaram Hadits ke 996 Bab Nikah." Ku sodorkan catatan itu padanya.
"Coba dari sekarang sering-sering diskusi dengan Mama tentang masalah ini. Yakinkan agar beliau ridho kamu nikah di bawah perwalian ayah kandungmu. Jelaskan sepelan dan selembut mungkin. Juga pada ayahmu yang sekarang, jelaskan bahwa ini semua tidak akan mengurangi rasa hormat dan sayangmu pada beliau. Atau bisa juga begini, setelah kamu bertemu dengan ayah kandungmu, mintalah izin agar dia ikhlas kamu menikah dengan wali hakim demi menjaga perasaan mama dan ayahmu yang sekarang. Tapi pendapatku ini sangat subyektif"
"Tapi aku tetap takut. Bagaimana jika ini akan menyulut masalah baru? Aku pun sebenarnya masih ragu untuk mencari bapak kandungku ke Ambon. Ya, kalau dia mempermudah pernikahanku, kalau justru mempersulit, bagaimana? Belum lagi dengan respon keluarga besar mamaku dan keluarga besar bapak kandungku. Aku benar-benar takut konflik lama akan bangkit kembali".
Aku mencoba memahami ketakutan-ketakutannya itu. "Tugas kita berikhtiar semampu kita. Wajar kita takut pada hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Tapi, bukankah Allah selalu menyelipkan hal baik terhadap setiap hal buruk yang menimpa kita? Kita harus mengharapkan yang terbaik sembari menyiapkan hati untuk menghadapi hal yang terburuk yang mungkin akan terjadi. Ya, kita hanya perlu menghadapinya."
Kami sama-sama diam beberapa detik. "Berarti, hadapi saja ya?", retoris ia bertanya padaku. "Ya, hadapi!", aku mengangguk sembari tersenyum padanya.
sumber gambar : ellyswartz.com |
*Nama sebenarnya tapi bukan nama panggilannya sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar