“Nah, itu Universitas Indonesia!”, kata saya pada anak-anak
saat kereta Commuter Line (CL) yang kami tumpangi melintasi salah satu kampus
terbaik di tanah air itu. “Dulu, Ibu Mutia dan Ibu Riri kuliah di UI”, saya
menambahkan dengan lebih antusias.
Hari itu, kami Alumni Pengajar Muda Kabupaten Bima dan para
relawan sedang mengadakan kegiatan Tur Kota Tua dengan anak-anak Bima yang
mendapat kesempatan belajar di SMP-SMA Smart Ekeselensia Dompet Dhuafa dan
Insan Cendikia Madani. Itu adalah perjalanan pertama anak-anak dengan CL.
Mereka terlihat sangat bersemangat. Mereka mengamati setiap detail yang mereka
jumpai di sepanjang perjalanan dari Bogor sampai ke Kota Tua itu. Saya pun
mendadak berubah macam pemandu wisata yang menerangkan banyak hal kepada
peserta tur.
“Gedung yang bentuknya seperti batu itu adalah
perpustakaannya”, saya melanjutkan. Iman, siswa kelas VIII tiba-tiba bertanya
kepada saya, “Kalau utadzah, dulu kuliah dimana?”. Saya bingung, ustadzah
siapa? Saya tidak mengenal seorang pun ustadzah di sekolah mereka. Saya hanya
mengenal beberapa ustad wali asrama mereka. Jadi, ustadzah mana yang Imam
maksud?, saya berfikir beberapa detik.”Ustadzah siapa?”, saya bertanya untuk
mengurai maksud Imam. “Ustadzah!”, jawab Imam sambil menunjuk saya. Seketika
itu saya kaget dan Riri yang berdiri tepat di samping saya pun kaget sehingga
kami secara reflek saling berpandangan. Hening. “Yang Imam maksud itu mungkin
Kak Dita”, kata Riri sambil menahan tawa.
Pandangan saya beralih ke Imam. Saya menjadi salah tingkah.
Tak sanggup saya membahasakan diri saya sebagai ustadzah. Panggilan itu terlalu
berat untuk saya yang masih sepayah ini. “Oh, Ibu Dita maksudnya?”, pertanyaan itu
saya lontarkan sambil mengarahkan ujung jari telunjuk ke batang hidung saya.
Imam mengangguk, “Iya.” Saya yang masih agak syok dengan panggilan yang Imam
berikan pada saya itu, mulai menguasai situasi. “Kalau Ibu Dita dulu kuliahnya
di UGM, Imam. Sama seperti Ibu Diah.”
Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa Imam memanggil saya
dengan sebutan ustadzah? Apakah dia mengira saya adalah salah satu ustadzah di
sekolahnya sekarang? Dulu ketika di Bima Imam memang bukan berasal dari sekolah
yang saya ajar sehingga bisa jadi ia kurang familiar dengan saya. Tapi, selama
1,5 ia bersekolah di Smart Ekselensia, tak kurang lima kali saya sudah
menjenguknya dan mengajaknya jalan-jalan. Masakah Imam tidak mengingat saya?
“Oo.. soalnya kamu itu pantes jadi ustadzah, Dit!” terang
Kak Mutia saat saya meceritakan apa yang baru saja saya alami itu. Kejadian itu
terus terngiang-ngiang di benak saya. Barangkali Imam memanggil saya “ustadzah”
karena melihat penampilan saya, saya berkesimpulan demikian.
Kadang, apa yang nampak dari luar itu dijadikan kesimpulan
untuk menilai dalamnya seseorang. Padahal, tidak selamanya yang di luar itu
paralel dengan yang di dalam. Dengan melihat penampilan kita atau cara kita
bertutur, orang-orang mungkin akan memberikan penghargaan lebih pada kita. Di
balik itu semua, barangkali banyak sikap kita yang senyatanya belum sesuai
dengan penghargaan orang lain pada kita. Dalam situasi seperti itu, barangkali
Allah sedang menutup aib kita, cela kita. Allah sedang mendekap kita dalam
selubung yang tak tembus pandang.
Apa jadinya jika semua aib kita ini Allah izinkan tersingkap
dan nampak jelas di depan banyak orang? Tentu kita perlu bersyukur selama Allah
masih berkehendak menutupi aib kita sehingga yang nampak dari kita adalah yang
baik-baik. Jika Allah saja mau menutup aib kita, tapi kenapa kita terkadang
justru mengumbar aib saudara-saudara kita?
Tidak ada manusia yang bersih dari dosa dan cela. Usahlah
kita mencari-cari aib dan mempergunjingkannya. Karena seburuk-buruknya akhlak
seseorang, masih banyak hal yang kita pelajari dari mereka. Pun apa yang kita
lihat buruk dalam takaran kita itu bisa jadi bernilai baik dalam takaran Allah.
Imam |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar