Translate

Senin, 16 November 2015

Naik Pesawat

Salah satu mimpi masa kecil saya adalah bisa naik pesawat terbang. Ketika ada pesawat yang suaranya terdengar cukup keras, cepat-cepat saya keluar rumah dan menengok ke angkasa. Mata dan telinga saya seolah bersinergi mencari sumber suara tersebut. Saya pun girang bukan kepalang ketika mendapati pesawat tersebut terlihat lebih besar daripada yang saya lihat pada hari-hari lainnya. Jika sedang sangat bersemangat, saya bahkan melambaikan tangan seraya berteriak, "Halo Pilot!", berulang-ulang. #norakmodeon.

Adalah hal yang nyaris mustahil bagi anak desa seperti saya ini bisa naik pesawat. Bisa makan tiga kali sehari saja sudah alhamdulillah, kok jauh-jauh membayangkan berpergian naik pesawat. Walaupun begitu, impian saya untuk bisa naik pesawat tidak pernah pupus. Ketika usia saya semakin bertambah, nyatanya saya tetap takjub tiap kali ada pesawat yang terbang cukup rendah melintasi angkasa. Suatu hari nanti saya pasti bisa naik pesawat, gumam saya sembari menerawang jauh mengikuti laju pesawat itu.

Saat saya kelas XI SMA, saya lolos ke babak final tingkat nasional lomba pidato anti-korupsi yang diselenggarakan oleh KPK. Tentu saya senang menerima kabar ini. Namun, ada satu hal yang membuat saya lebih senang, saya membayangkan pergi ke Jakarta dengan naik pesawat. Saya sudah yakin betul bahwa panitia akan menyediakan tiket pesawat PP untuk para finalis berlaga di Jakarta. Namun, ternyata tidak! Kata guru saya yang mengurus perjalanan saya ini, panitia hanya bisa menyediakan tiket kereta api eksekutif untuk finalis yang berasal dari Pulau Jawa karena keterbatasan anggaran. Runtuh sudah imajinasi tentang pesawat ke Jakarta itu.

Empat tahun setelah kejadian itu, saat saya kuliah semester VI,  saya mengikuti lomba pidato Bahasa Jepang tingkat DIY dan Jawa Tengah. Tak disangka, saya menang sehingga berhak maju ke babak final di Jakarta. Sebagai penyelenggara, The Japan Foundation meyiapkan tiket pesawat PP untuk saya ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung, Pesawat Garuda! Bukan main bahagianya saya kala itu. Pertama kalinya naik pesawat, langsung Garuda!

Tak lama setelah itu, nasib baik sepertinya berpihak pada saya. Berturut-turut saya memenangkan lomba. Pekerjaan saya pun semakin lancar. Pundi-pundi tabungan saya mulai terisi.

Menjelang akhir tahun 2010, saya dan teman-teman saya yang tergabung dalam kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) menginisiasi sebuah komunitas, Book For Mountain namanya. Kami mengunjungi daerah-daerah pelosok di Indonesia untuk memotivasi anak-anak agar gemar membaca dan berani meraih cita-cita. Dengan tabungan pribadi, saya bisa mengikuti semua project yang kami rencanakan. Dan tentu saja, beberapa lokasi project itu berada di tempat yang jauh sehingga harus kami tuju dengan pesawat. Lama-lama, naik pesawat adalah hal yang biasa bagi saya.

Dulu ketika saya kecil, saya membayangkan semua kenyamanan yang akan saya raih di masa depan, termasuk berpergian dengan naik pesawat, sepenuhnya hanya demi saya pribadi. Ibarat sebuah sebuah Diagram Venn, himpunan mimpi saya itu sama sekali tidak ada irisannya dengan himpunan lain. Akan tetapi, semua itu perlahan berubah karena banyak faktor: keluarga, pertemanan, buku-buku bacaan dan lingkungan lainnya. Faktor-faktor itu serupa puzzle yang satu persatu tersusun membentuk gambar pemahaman yang utuh.

Saya mulai paham bahwa semua kenyamanan yang saya dapatkan tidak akan ada nilainya di mata Allah jika tidak dibagikan kepada sesama. Saya mulai mengerti bahwa kebahagian yang sesungguhnya itu bisa kita raih jika kita mau berbagi. Seperti kata Sayyid Quthb, "Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri, maka ia akan terasa sangat singkat dan tak bermakna. Tapi, ketika hidup ini kita persembahkan untuk orang lain, ia akan terasa panjang, dalam dan penuh makna."

Dan ternyata, jika kita niatkan hidup kita untuk orang lain, beban hidup rasanya semakin ringan. Segala penat, lelah dan sedih rasanya berkurang beberapa derajat ketika kita mengingat untuk siapa semua pengorbanan ini kita berikan. Mengutip kata-kata Pak Anis Baswedan saat pelatihan Pengajar Muda Angkatan IV, "Ingatlah, apa yang kita kerjakan ini bukan tentang kita, tapi tentang mereka (anak-anak Indonesia). It's not about me, but about them!" Ah kawan, semoga Allah selalu memberikan sinyal hidayah-Nya pada kita agar istiqomah menciptakan arti untuk orang-orang sekitar.


sumber : dearryk.com

Tidak ada komentar: