Translate

Selasa, 30 Desember 2014

Roman Sejarah

Saya termasuk orang yang menyukai sejarah. Sejak masih belajar di sekolah dasar, saya sudah menyukai pelajaran sejarah. Saya selalu takjub ketika mendengar cerita tentang kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Sebutlah Samudra Pasai, kerajaan yang mengusai perdagangan di Indonesia bagian Barat. Kemudian, Sriwijaya, kerajaan yang konon pernah menjadi tempat pendidikan agama Budha terbesar di Asia Tenggara. Mendengar cerita-cerita semacam itu, otak saya selalu berimajinasi seolah-olah kembali ke masa lampau, menyaksikan langsung keadaan yang peristiwa yang terjadi pada masa lampau itu. Inilah yang kemudian membuat saya selalu bersemangat ketika pelajaran sejarah.

Namun, itu ternyata tidak berbanding lurus dengan nilai-nilai yang saya peroleh dari setiap ulangan harian. Nyatanya, saya tetap kesulitan menjawab soal-soal yang guru berikan dalam ulangan harian. Misalnya ada soal seperti ini:

Pada masa penjajahan Belanda, Soekarno pernah dibuang ke.......
 a. Digul
b. Nusa Kambangan
c. Pulau Buru
d. Ende

Nah, kalau sudah berhadapan dengan soal semacam ini, saya angkat tangan sudah. Informasi sejarah yang sudah terkoleksi dalam memori saya tiba-tiba seperti meloncat-loncat, menjadi sangat tidak teratur sehingga menghasilkan kebingungan yang memusingkan. "Hmm.. Digul itu pembuangan Soekarno apa bukan ya? Kalau Ende? Hatta? Lalu Sutan Syahrir dibuang kemana?" Akhirnya, menyerahlah saya. Soal-soal berupa rentetan tahun dan peristiwa juga tak kalah membuat otak saya berputar-putar,

Dalam sistem pendidikan kita (aduh, berat topiknya :-p), apa sih sebenarnya tujuan pelajaran sejarah? Hanya sebatas hafalan tanggal, tokoh, tempat dan semacamnya itu? Wah, kalau begitu, tidak perlu saya belajar sejarah saja deh! (ngambek, hehe). Kalau sekedar hafalan, mungkin para siswa akan bisa hafal, tetapi sebulan atau dua bulan setelahnya bisa jadi sudah akan menguap tanpa bekas. Bukankah itu sia-sia? Kasihan sekali para siswa sudah lelah-lelah menghafal! Seharusnya, hal yang seperti ini disadari oleh para pendidik.

Pelajaran Sejarah idealnya menjadi media yang apik untuk menanamkan "nilai-nilai" yang baik bagi siswa. Dari peristiwa pembuangan Soekarno misalnya, siswa bisa belajar apa? Dari Gadjah Mada misalnya, siswa bisa mengambil "nilai" apa? "Nilai" inilah yang seharusnya menjadi esensi yang idealnya ditangkap oleh siswa dari mata pelajar Sejarah. Bukankah begitu?

Sejak memasuki bangku kuliah, saya sudah terbebas dari mata pelajaran sejarah yang memusingkan kepala itu (horeeee!!).  Sejak itu pula, saya bebas menikmati sejarah dengan cara saya sendiri. Saya mulai membaca roman-roman yang mempunyai setting sejarah. Saya membaca tetralogi Bumi Manusia karya Pramudaya Anantator, novel Jepang seperti Musashi dan Taiko, novel Perancis seperti Les Miserables, dll. Selain bisa mendapatkan gambaran utuh tentang masa lalu yang menjadi setting novel-novel tersebut, saya juga bisa mengambil "pelajaran" berharga dari sana. Misalnya, dari tokoh Jean Val Jean dalam Les Miserables, saya belajar bahwa manusia sejahat apapun ada kalanya ia akan berfikir untuk bertobat dan menjalani hidup sebagai orang baik. Begitulah, banyak sekali pelajaran penting sudah saya ambil dari novel-novel itu.

Sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, saya menjadi jarang membaca roman sejarah. Waktu luang saya lebih banyak saya pakai untuk hangaout bersama teman-teman. Maklumlah, sebagai pekerja di Ibukota, tingkat stress saya menjadi sedikit lebih tinggi daripada dulu semasa masih kuliah, hehe. Namun, beberapa bulan terakhir ini, saya mulai bosan dengan tempat-tempat hangout yang itu-itu saja. Maka, saya pun kembali memilih "jalur ketenangan" untuk meredam stress yaitu dengan kembali membaca roman-roman sejarah.

Salah satu roman yang baru saja selesai saya baca adalah "Soekarno, Kuantar ke Gerbang" Karya Ramadhan K.H. Nanti lah, In Sha Allah saya me-review buku itu ya! Sekarang waktunya Sholat Subuh dulu, :-D










Tidak ada komentar: