Ini adalah musim hujan ke-2 saya berada di Ibukota. Musim hujan kali ini datang agak terkambat. Kalau saya tidak salah ingat, Jakarta baru diguyur hujan sekitar awal November. Hingga pertengahan Desember kemarin, intensitas hujannya pun belum cukup sering. Juga, belum ada hujan yang begitu lebat dan lama. Baru kemarin siang (26 Desember) hujan turun cukup lama. Di daerah kantor saya di Kapuk, Jakarta Utara, hujan mulai turun siang hari dan terus berlangsung sampai sore ketika jam kantor pungkas. Alhasil, sepanjang perjalanan pulang saya ditemani oleh rintik hujan. Untungnya, tidak banjir.
Sampai di kos, hujan berhenti. Namun, tengah malam hujan kembali turun. Tidak tanggung-tanggung, hujan turun sampai pagi walaupun tidak deras. "Semoga tidak banjir, semoga tidak banjir", gumam saya dalam hati. Saya kemudian ingat doa yang diajarkan oleh Rasulullah ketika sedang turun hujan, "Semoga hujan ini bermanfaat". Sepanjang perjalanan, doa itu terus saya gumamkan.
Memasuki daerah Joglo, hujan bertambah besar. Saya tetap memacu motor saya walaupun tidak secepat biasanya karena hujan membuat jarak pandang menjadi berkurang. Saat membelok dari arah Puri Kembangan, para pengendara mortor dan sebagian mobil berputar arah. "Wah, jangan-jangan banjir nih?", pikir saya. Ternyata memang benar, banjir sudah mencapai setinggi lutut orang dewasa. Saya kemudian menepi di depan sebuah ruko bersama para pengendara lainnya. Saya tengok ke langit, tak ada biru terlihat, semua tertutup oleh awan mendung. Saya tunggu sekitar 30 menit tetapi hujan belum ada tanda-tanda akan segera reda. Saya pun menghubungi atasan saya dan minta izin untuk kembali ke kos. Alhamdulillah, beliau mengizinkan.
Ya, beginilah Jakarta. Titik banjir ada dimana-mana. Ketika hujan turun, tak sedikit orang yang tiba-tiba merasa was-was, mengeluh, atau mengungkapkan perasaan negatif semacamnya. Saya pun kadang merasakan itu. Padahal, dulu ketika masih di Klaten atau di Jogja, saya begitu mencintai hujan. Mungkin karena di kedua tempat itu saya tidak pernah sekalipun berhadapan langsung dengan yang namanya banjir. Bagi kami warga Klaten, terlebih dari kalangan petani, hujan benar-benar dirasa sebagai rahmat. Turunnya hujan pertama kali di musim penghujan adalah pertanda padi bisa segera ditanam. Juga, bukit-bukit akan kembali menghijau setelah semusim terpapar panas matahari.
Sekarang, saya tidak lagi tinggal di Klaten tetapi di Jakarta. Jadi, saya harus mengakarabi hujan dan banjir. Bagaimanapun, hujan tetaplah rahmat. Semoga hujan selalu memberikan kemanfaatan. Semoga tidak terjadi banjir besar yang membawa banyak kerusakan.
***
Teruntuk warga korban banjir di Bandung dan Aceh, semoga banjir segera reda sehingga warga bisa kembali beraktifitas seperti semula.
Sampai di kos, hujan berhenti. Namun, tengah malam hujan kembali turun. Tidak tanggung-tanggung, hujan turun sampai pagi walaupun tidak deras. "Semoga tidak banjir, semoga tidak banjir", gumam saya dalam hati. Saya kemudian ingat doa yang diajarkan oleh Rasulullah ketika sedang turun hujan, "Semoga hujan ini bermanfaat". Sepanjang perjalanan, doa itu terus saya gumamkan.
Memasuki daerah Joglo, hujan bertambah besar. Saya tetap memacu motor saya walaupun tidak secepat biasanya karena hujan membuat jarak pandang menjadi berkurang. Saat membelok dari arah Puri Kembangan, para pengendara mortor dan sebagian mobil berputar arah. "Wah, jangan-jangan banjir nih?", pikir saya. Ternyata memang benar, banjir sudah mencapai setinggi lutut orang dewasa. Saya kemudian menepi di depan sebuah ruko bersama para pengendara lainnya. Saya tengok ke langit, tak ada biru terlihat, semua tertutup oleh awan mendung. Saya tunggu sekitar 30 menit tetapi hujan belum ada tanda-tanda akan segera reda. Saya pun menghubungi atasan saya dan minta izin untuk kembali ke kos. Alhamdulillah, beliau mengizinkan.
Ya, beginilah Jakarta. Titik banjir ada dimana-mana. Ketika hujan turun, tak sedikit orang yang tiba-tiba merasa was-was, mengeluh, atau mengungkapkan perasaan negatif semacamnya. Saya pun kadang merasakan itu. Padahal, dulu ketika masih di Klaten atau di Jogja, saya begitu mencintai hujan. Mungkin karena di kedua tempat itu saya tidak pernah sekalipun berhadapan langsung dengan yang namanya banjir. Bagi kami warga Klaten, terlebih dari kalangan petani, hujan benar-benar dirasa sebagai rahmat. Turunnya hujan pertama kali di musim penghujan adalah pertanda padi bisa segera ditanam. Juga, bukit-bukit akan kembali menghijau setelah semusim terpapar panas matahari.
Sekarang, saya tidak lagi tinggal di Klaten tetapi di Jakarta. Jadi, saya harus mengakarabi hujan dan banjir. Bagaimanapun, hujan tetaplah rahmat. Semoga hujan selalu memberikan kemanfaatan. Semoga tidak terjadi banjir besar yang membawa banyak kerusakan.
***
Teruntuk warga korban banjir di Bandung dan Aceh, semoga banjir segera reda sehingga warga bisa kembali beraktifitas seperti semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar