Hari/Tanggal : Rabu, 05 Agustus 2015
Jam : 19.30-21.30
Pemateri : Ustad Nuzul Dzikri, Lc
Tempat : Masjid Agung Al-Azhar
Angka 360⁰ adalah analogi untuk menggambarkan fenomena dimana saat kita memasuki Ramadhan, kita memasukinya dengan semangat yang membara, kita lahap semua ibadah di bulan Ramadahan, tapi selepas Ramadhan kita kembali pada gaya hidup kita sebelum Ramadhan. Kita tidak membaca Al Quran lagi, kita jarang berdzkir, puasa syawal pun tidak kita genapi. Masjid kembali sepi.
Jam : 19.30-21.30
Pemateri : Ustad Nuzul Dzikri, Lc
Tempat : Masjid Agung Al-Azhar
Angka 360⁰ adalah analogi untuk menggambarkan fenomena dimana saat kita memasuki Ramadhan, kita memasukinya dengan semangat yang membara, kita lahap semua ibadah di bulan Ramadahan, tapi selepas Ramadhan kita kembali pada gaya hidup kita sebelum Ramadhan. Kita tidak membaca Al Quran lagi, kita jarang berdzkir, puasa syawal pun tidak kita genapi. Masjid kembali sepi.
Lalu, bagaiman kita bisa istiqomah dan tidak jatuh pada fenomena 360⁰? Ini adalah tantangan besar bagi kita. Ada banyak hal yang bisa lakukan agar kita tetap istiqomah menjadi hamba Allah, bukan hamba Ramadhan.
Setelah Rasulullah meninggal, Abu Bakar pernah berkata, "Barang siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah, ketahuilah Allah akan terus ada selama-lamanya." Para ulama mengaitkan ini dengan Ramadhan, "Barang siapa yang menyembah Ramadhan, ketahuilah bahwa Ramadhan akan berakhir. Barang siapa menyembah Allah, ketahuilah Allah akan terus ada selamanya-lamanya. Seharusnya kita melakukan ibadah bukan karena datangnya Ramadhan, tapi karena Allah. Jadilah hamba Allah, jangan jadi hamba Ramadhan. QS. Al Hijr : 99, "Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kematian". Jadi, kita harus terus beribadah sepanjang tahun, tidak hanya Ramadhan saja. Lalu, bagaimana caranya supaya kita bisa terus istiqomah menjaga ibadah?
Evaluasi Hati
Semua berawal dari sini. Rasulullah bersabda, "Iman seorang hamba iu tidak akan istiqomah, kecuali hatinya dulu yang istiqomah." (HR. Ahmad). Sebelum berbicara tentang berbagai ibadah, terlebih dulu mari evaluasi hati kita, niat kita apakah karena Allah atau bukan.
Orang sekarang biasanya menjadikan parameter keshalihan seseorang dari penampilan. Padahal, Nabi Rasulullah mengatakan, "..... Sesungguhnya, di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika daging itu baik, maka baik pula seluruh anggota badannya. Jika daging itu rusak, maka rusaklah seluruh anggota badannya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah qalbu. (HR. Bukhori dan Muslim). Kita tidak akan commit beribadah, memilih yang halal daripada yang haram, kecuali kita memperbaiki hati (iman) kita terlebih dahulu.
Dakwah Rasulullah terdiri dari fase yaitu fase Makkah dan Madinah. Fase Makkah (13 tahun) Nabi hanya fokus pada Laillaha illallah, mengokohkan akidah, hati/iman kaum muslimin. Baru pada fase Madinah (10 tahun berikutnya) Rasulullah mengajarkan sholat, puasa dan ibadah fisik lainnya. Semua hukum fikih secara umum ada di fase Madinah.
Apa yang membuat kita bangun sebelum Subuh dan sholat dua rakaat? Bukankah iman? Kalau hati ini sudah tumbuh di atas iman kepada Allah, maka apapun perintah Allah, kita selalu mengatakan sami'na wa atho'na. Seperti yang dilakukan para sahabat ketika larangan meminum khamar itu Allah turunkan di Madinah, maka para sahabat langsung meninggalkan khamar. Bahkan ada seorang sahabat yang baru saja meminum khamar langsung kembali memuntahkannya.
Lagi-lagi ini masalah iman. Kita tidak sedang meremehkan sholat dan puasa. Namun, semua amalan dhahir itu tidak akan merealisasikan hakikat takwa yang sesungguhnya. Ibnu Qudamah (murid Syeikh Abdul kadir Al Jaelani) berkata, "Perbedaan para ulama terdahulu dengan orang saat ini adalah bahwa para ulama menghabiskan mayoritas waktunya untuk amalan-amalan hati." Kalau kita fokus pada sholat namun hati masih saja sombong, ini tidak ada gunanya.
Para ulama klasik (para sahabat, tabi'in dan ulama terdahulu lainnya) pasca Ramadhan selama enam bulan berdoa kepada Allah agar Allah berkenan menerima amal ibadah mereka di bulan suci Ramadhan, "Rabbana taqobbal minna innaka Anta sami'un 'alim. Ya Allah terimalah amal ibadah kami di bulan Ramadhan." Hati mereka tidak bisa melupakan Ramadhan.
QS. Al-Mu'minun: 60, "Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya." Rasulullah menjelaskan ayat ini dalam hadist Aisyah, "Mereka adalah orang-orang yang sholat, puasa Ramadhan, infak, sedekah, berdzkir, beribadah dan setelah mereka beribadah hati mereka takut jangan-jangan amalan mereka tidak akan diterima oleh Allah."
Orang sekaliber Usman bin Affan yang khatam Quran sehari sekali di bulan Ramadhan pun tetap berdoa terus selama 6 bulan agar ibadah Ramadhannya diterima oleh Allah. Demikian juga dengan Imam Syafi'i yang sehari bisa mengkhatamkan Quran dua kali, beliau tetap berdoa pada Allah agar amalannya diterima. Mereka khawatir/takut apakah ibadahnya akan diterima oleh Allah atau tidak. Maka, PR kita hari ini adalah mempertebal amalan hati, menumbuhkan rasa cinta pada Allah, mengkaji tentang masalah keikhlasan, membaca ayat-ayat tentang surga dan neraka agar tumbuh rasa cinta dan takut kita pada Allah.
Belajar
Pasca Ramadhan, jika kita ingin terus istiqomah, maka kita harus terus belajar agama. QS. Ali-Imran: 101, "Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasulnya (Muhammad) pun berada di tengah-tengah kamu? Barang siapa berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sungguh, dia diberi petunjuk kepada jalan yang lurus." Artinya ini garansi bahwa jika kita tetap mendengarkan ayat-ayat Allah dikaji, maka kita bisa istiqomah. Kuncinya adalah kita harus punya waktu untuk duduk belajar mempelajari agama Allah. Syarat istiqomah adalah belajar.
Teman
Kenapa Abu Bakar menjadi orang yang imannya tertinggi di antara para sahabat Rasulullah? Karena Abu Bakar adalah sahabat yang paling sering bersama Rasulullah. "Seseorang itu tergantung agama sahabat dekatnya. " (HR. Imam Ahmad). Kata orang Arab, "Seseorang itu anak dari lingkungannya." Kita adalah makhluk yang lemah. Kita sering terbawa oleh sifat-sifat sahabat kita. Maka, kita harus selektif memilih teman dekat kita. Pastikan orang-orang yang paling sering berbicara dengan kita adalah orang-orang sholih. Pastikan yang paling sering dilihat oleh mata kita adalah orang-orang sholih.
Perumpamaan teman yang baik dengan yang tidak baik itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Jika kita berteman dengan penjual minyak wangi, maka ada tiga kemungkinan. Pertama, kita akan diberi minyak wangi itu. Kedua, kita akan membelinya. Ketiga, jika memang kita tidak punya uang untuk membelinya dan dia tidak mau memberi kita satu botol penuh, maka ia setidaknya akan memberikan beberapa semprot tester pada kita. Maka kita pun ikut menjadi wangi. Sementara itu, orang yang berteman dengan pandai besi, maka ia akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, ia akan terkena cipratan api sehingga akan membolongi bajunya. Kemungkinan kedua, ia akan terkena asap sehingga berbau apek.
Kita juga bisa menganologikan teman seperti air mineral. Sebotol air mineral yang dijual di pinggir jalan harnyanya Rp 5.000. Air mineral dengan merk yang sama kita temui di sebuah toko retail seharga Rp 7.000. Di lain hari kita menemukan air mineral dengan merk yang masih sama dijual di sebuah cafe di hotel bintang lima harganya Rp 25.000. Kenapa harganya bisa berbeda-beda? Ini karena lingkungan tempat air mineral itu dijajakan. Begitu pun dengan kita. Jika lingkungan pertemanan kita adalah orang-orang sekelas bintang lima, maka sekelas itulah kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar