Salam penutup dari moderator bagai aba-aba yang membuat peserta majelis An-Nisa di AQL Islamic Center Sabtu siang itu berdiri nyaris serentak. Berputar arah kemudian menuju tempat wudhu karena sebentar lagi akan masuk waktu dzuhur. Tiba-tiba, telinga saya mendengar nama saya dipanggil, "Mbak Dita!"
Saya mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Seorang perempuan muda berjilbab dan bergamis coklat tua melambaikan tangan ke arah saya sambil sekali lagi menyebut nama saya.
"Riska?"
"Iya, Mbak!"
Kami pun berpelukan, melepas rindu sambil mengingat-ingat sudah berapa tahun kami tak bersua. Ingatan saya seketika mengembara ke masa-masa sewaktu kami masih menyandang status sebagai mahasiswa Gadjah Mada.
Kami berteman baik kala itu. Walaupun berbeda jurusan, kami relatif sering bertemu karena kami menjadi pengurus organisasi yang sama. Sayangnya, kebersamaan itu tak berlangsung lama. Riska tergolong mahasiswa yang brilian sehingga pada pertengahan tahun 2010 ia bisa menamatkan Diploma Tiganya tepat waktu. Sejak itu kami tak pernah bertemu lagi, hingga Sabtu siang di awal Desember 2015 yang dibalut gerimis tipis itu.
Siang itu Riska segera bisa mengenali saya setelah saya mengajukan pertanyaan kepada ustadzah pada sesi tanya jawab. Selepas acara, tanpa ragu Riska menyapa saya terlebih dahulu. Awalnya saya hampir tak mengenali penampilannya. Tapi, saya yakin tak asing dengan suara yang memanggil saya itu. Setelah mata saya menangkap wajah Riska, satu atau dua detik kemudian otak saya berhasil menerjemahkan nada suara dan wajah yang baru saja saya lihat. Tidak salah lagi, dia Riska!
Secara penampilan, Riska totally different. Riska yang saya lihat Sabtu siang itu bukan lagi Riska yang memakai celana jeans, kemeja berlengan panjang dan jilbab paris minimalis seperti lima tahun silam. Riska yang sekarang adalah Riska yang penampilannya masyaAllah, sangat sholihat.
Kami mengobrol beberapa menit sambil menunggu waktu dzuhur. Kami saling bercerita tentang pekerjaan dan aktivitas kami saat ini. Saya pun harus berkali-kali berucap masyaAllah saat Riska bercerita tentang kegiatannya menuntut ilmu di berbagai majelis ilmu yang memang banyak di gelar di ibukota. Ia mempersembahkan waktu dan sebagian rezekinya untuk menuntut ilmu.
"Senin sampai Rabu ada kajian di kantor, Mbak, setelah jam kantor. Materi rutinnya tahsin. Kamis malam aku ikut kajian Ustad Fatih Karim yang di Masjid BI (Bank Indonesia). Kajian bulanan yang ustad Khalid Basalamah di AQL juga ikut. Kalau weekend kadang ke AQL, BI atau Istiqlal." Kami lalu menyebutkan beberapa judul kajian yang pernah kami ikuti dan ada beberapa yang sama. Dan ternyata takdir Allah akhirnya mempertemukan kami di majelis An-Nisa hari itu. Takdir Allah memang selalu penuh kejutan!
Saya sangat bersyukur dipertemukan dengan Riska di sebuah majelis ilmu, majelis yang insyaAllah malaikat pun datang untuk melingkupinya. Apa jadinya jika hari itu saya memutuskan pergi ke tempat lain yang katakanlah kurang baik, tentu saya tidak akan bertemu dengan Riska yang cantik nan sholihat itu. Pertemuan dengan Riska ini mengingatkan saya pada perkataan Ibu beberapa hari sebelumnya, "Kalau perginya ke tempat-tempat baik, insyaAllah ketemunya juga teman-teman baik."
Mengobrol dengan Riska beberapa menit, hujan menderas. Usai sholat dzuhur pun hujan masih deras. "Mbak mau kemana setelah ini?", tanya Riska pada saya (Fyi, Riska ini seumuran dengan saya dan sejak dulu hingga sekarang selalu memanggil saya dengan sebutan 'mbak'). "Mau ke rumah teman di daerah Karet, Ris", jawab saya.
"Naik apa, Mbak?"
"Naik kereta dari Stasiun Tebet."
"Kalau gitu bareng aku aja yuk Mbak, sampai stasiunnya. Aku udah pesen taksi."
"O gitu,.,.. ", saya bingung mau merespon apa.
"Mbak bawa payung gak?
Saya menggeleng, speechless.
"Ya udah mbak, pake payungku aja ya!"
Saya kembali speechless. Ah Riska, kamu masih sama baiknya seperti dulu. Semoga Allah selalu memperjalankan kita ke tempat-tempat yang diberkahi ya Riska! Semoga kaki kita selalu Allah ringankan untuk melangkah ke majelis-majelis ilmu. Dan semoga hati, lisan, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan kita selalu sami'na wa atho'na untuk mengamalkan ilmu yang kita peroleh.
Saya mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Seorang perempuan muda berjilbab dan bergamis coklat tua melambaikan tangan ke arah saya sambil sekali lagi menyebut nama saya.
"Riska?"
"Iya, Mbak!"
Kami pun berpelukan, melepas rindu sambil mengingat-ingat sudah berapa tahun kami tak bersua. Ingatan saya seketika mengembara ke masa-masa sewaktu kami masih menyandang status sebagai mahasiswa Gadjah Mada.
Kami berteman baik kala itu. Walaupun berbeda jurusan, kami relatif sering bertemu karena kami menjadi pengurus organisasi yang sama. Sayangnya, kebersamaan itu tak berlangsung lama. Riska tergolong mahasiswa yang brilian sehingga pada pertengahan tahun 2010 ia bisa menamatkan Diploma Tiganya tepat waktu. Sejak itu kami tak pernah bertemu lagi, hingga Sabtu siang di awal Desember 2015 yang dibalut gerimis tipis itu.
Siang itu Riska segera bisa mengenali saya setelah saya mengajukan pertanyaan kepada ustadzah pada sesi tanya jawab. Selepas acara, tanpa ragu Riska menyapa saya terlebih dahulu. Awalnya saya hampir tak mengenali penampilannya. Tapi, saya yakin tak asing dengan suara yang memanggil saya itu. Setelah mata saya menangkap wajah Riska, satu atau dua detik kemudian otak saya berhasil menerjemahkan nada suara dan wajah yang baru saja saya lihat. Tidak salah lagi, dia Riska!
Secara penampilan, Riska totally different. Riska yang saya lihat Sabtu siang itu bukan lagi Riska yang memakai celana jeans, kemeja berlengan panjang dan jilbab paris minimalis seperti lima tahun silam. Riska yang sekarang adalah Riska yang penampilannya masyaAllah, sangat sholihat.
Kami mengobrol beberapa menit sambil menunggu waktu dzuhur. Kami saling bercerita tentang pekerjaan dan aktivitas kami saat ini. Saya pun harus berkali-kali berucap masyaAllah saat Riska bercerita tentang kegiatannya menuntut ilmu di berbagai majelis ilmu yang memang banyak di gelar di ibukota. Ia mempersembahkan waktu dan sebagian rezekinya untuk menuntut ilmu.
"Senin sampai Rabu ada kajian di kantor, Mbak, setelah jam kantor. Materi rutinnya tahsin. Kamis malam aku ikut kajian Ustad Fatih Karim yang di Masjid BI (Bank Indonesia). Kajian bulanan yang ustad Khalid Basalamah di AQL juga ikut. Kalau weekend kadang ke AQL, BI atau Istiqlal." Kami lalu menyebutkan beberapa judul kajian yang pernah kami ikuti dan ada beberapa yang sama. Dan ternyata takdir Allah akhirnya mempertemukan kami di majelis An-Nisa hari itu. Takdir Allah memang selalu penuh kejutan!
Saya sangat bersyukur dipertemukan dengan Riska di sebuah majelis ilmu, majelis yang insyaAllah malaikat pun datang untuk melingkupinya. Apa jadinya jika hari itu saya memutuskan pergi ke tempat lain yang katakanlah kurang baik, tentu saya tidak akan bertemu dengan Riska yang cantik nan sholihat itu. Pertemuan dengan Riska ini mengingatkan saya pada perkataan Ibu beberapa hari sebelumnya, "Kalau perginya ke tempat-tempat baik, insyaAllah ketemunya juga teman-teman baik."
Mengobrol dengan Riska beberapa menit, hujan menderas. Usai sholat dzuhur pun hujan masih deras. "Mbak mau kemana setelah ini?", tanya Riska pada saya (Fyi, Riska ini seumuran dengan saya dan sejak dulu hingga sekarang selalu memanggil saya dengan sebutan 'mbak'). "Mau ke rumah teman di daerah Karet, Ris", jawab saya.
"Naik apa, Mbak?"
"Naik kereta dari Stasiun Tebet."
"Kalau gitu bareng aku aja yuk Mbak, sampai stasiunnya. Aku udah pesen taksi."
"O gitu,.,.. ", saya bingung mau merespon apa.
"Mbak bawa payung gak?
Saya menggeleng, speechless.
"Ya udah mbak, pake payungku aja ya!"
Saya kembali speechless. Ah Riska, kamu masih sama baiknya seperti dulu. Semoga Allah selalu memperjalankan kita ke tempat-tempat yang diberkahi ya Riska! Semoga kaki kita selalu Allah ringankan untuk melangkah ke majelis-majelis ilmu. Dan semoga hati, lisan, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan kita selalu sami'na wa atho'na untuk mengamalkan ilmu yang kita peroleh.
sumber gambar klik di sini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar