Syahdan, di sebuah pedesaan di kaki gunung yang permai nan damai, hiduplah seorang petani jeruk yang sangat bersahaja. Di ladangnya yang tak seberapa luas, dengan sepenuh hati ia rawat tanaman jeruknya sehingga menghasilkan buah jeruk yang ketika masa panen tiba, memanjakan setiap pasang mata orang yang melintas di jalanan dekat ladang jeruk itu.
Buah-buah yang telah ranum pun satu per satu dipanen untuk kemudian dijual ke pasar terdekat yang jika ditempuh dengan sepeda motor memakan waktu setidaknya satu jam perjalanan. Bronjong, semacam keranjang bambu yang cukup kuat, dikaitkan di bagian belakang motornya, barulah jeruk-jeruk siap jual itu dimuat ke dalam bronjong. Kemudian berangkatlah petani itu mengendarai motor ber-bronjong yang sarat muatan itu ke pasar, menyusuri jalanan pengunungan yang berkelok-kelok.
Selain berkelok-kelok, satu-satunya jalan yang mesti dilewati petani itu rupanya cukup terjal juga. Sebenarnya, jalanan itu dulu pernah sekali diaspal. Ya, dulu sekali, sampai-sampai si petani itu lupa tahun berapa tepatnya. Hingga kini, ketika jalanan itu kembali wujud seperti dulu sebelum diaspal, warga tak pernah tau kapan satu-satunya akses mereka menuju kota kecamatan itu akan kembali diaspal. Warga sudah mengusulkan kepada Kepala Desa. Kepala Desa sudah megusulkan kepada Pak Camat. Konon, katanya pula, Pak Camat sudah mengusulkan ke pejabat di atasnya. Demikian pula seterusnya entah sampai tingkat apa. Namun, apa nyatanya? Tak ada jawaban, apalagi pembangunan sebagaimana yang diharapkan oleh warga.
Sederhana saja, warga menghendaki jalan itu diperbaiki semata-mata hanya agar mereka bisa lebih mudah mengangkut hasil pertanian mereka ke pasar kecamatan. Dengan jalanan yang tidak lagi terjal, harapannya hasil pertanian mereka terutama buah-buahan tidak mengalami banyak kerusakan saat diangkut ke pasar. Beberapa tahun terakhir ini, dengan kondisi jalan yang rusak parah, petani sering merugi karena setibanya di pasar, buah-buahan yang mereka angkut rupanya banyak yang rusak setelah mengalami ratusan atau bahkan ribuan goncangan yang kuat selama perjalanan. Dan petani jeruk nan bersahaja itu pun tak luput dari kerugian semacam ini.
Andai saja jeruk-jeruk itu tidak rusak, tentu keuntungan si petani itu akan lebih banyak. Bila keuntungan bisa lebih banyak, tentu ia bisa hidup lebih layak, anak-anaknya pun bisa ia sekolahkan sampai ke bangku kuliah. Cita-cita semacam itu nyatanya hanya fantasi semata. Kenyataanya ia masih saja harus menelan pil pahit bernama kerugian. Kerugian yang menyeret mereka dalam belenggu kemiskinan. Kerugian yang muasalnya dari kondisi jalan yang tak kunjung diperbaiki itu.
Pada suatu hari, seorang warga mencuri dengar pembicaraan orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kondisi jalan yang demikian mengenaskan itu. Kabarnya, sebenarnya sejak lama sudah ada anggaran yang disiapkan untuk memperbaiki jalanan dari kota kabupaten hingga pelosok-pelosk desa. Namun, ternyata anggaran tersebut disunat oleh oknum-oknum tertentu sehingga realisasi pembangunan tidak mencapai pelosok-pelosok desa.
Warga diam, tidak tau apa yang mesti mereka lakukan. Namun, setidaknya selubung musabab kemiskinan mereka selama ini terungkap sudah. Satu musabab yang efeknya gandheng-renteng, mengular panjang, bercabang-cabang, yang akhirnya perlahan akan membunuh cabang-cabang itu dari ujung yang paling jauh.
*Kisah ini pernah dituturkan secara lisan oleh Pak Anies Baswedan lalu diimprovisasi oleh penulis.
Buah-buah yang telah ranum pun satu per satu dipanen untuk kemudian dijual ke pasar terdekat yang jika ditempuh dengan sepeda motor memakan waktu setidaknya satu jam perjalanan. Bronjong, semacam keranjang bambu yang cukup kuat, dikaitkan di bagian belakang motornya, barulah jeruk-jeruk siap jual itu dimuat ke dalam bronjong. Kemudian berangkatlah petani itu mengendarai motor ber-bronjong yang sarat muatan itu ke pasar, menyusuri jalanan pengunungan yang berkelok-kelok.
Selain berkelok-kelok, satu-satunya jalan yang mesti dilewati petani itu rupanya cukup terjal juga. Sebenarnya, jalanan itu dulu pernah sekali diaspal. Ya, dulu sekali, sampai-sampai si petani itu lupa tahun berapa tepatnya. Hingga kini, ketika jalanan itu kembali wujud seperti dulu sebelum diaspal, warga tak pernah tau kapan satu-satunya akses mereka menuju kota kecamatan itu akan kembali diaspal. Warga sudah mengusulkan kepada Kepala Desa. Kepala Desa sudah megusulkan kepada Pak Camat. Konon, katanya pula, Pak Camat sudah mengusulkan ke pejabat di atasnya. Demikian pula seterusnya entah sampai tingkat apa. Namun, apa nyatanya? Tak ada jawaban, apalagi pembangunan sebagaimana yang diharapkan oleh warga.
Sederhana saja, warga menghendaki jalan itu diperbaiki semata-mata hanya agar mereka bisa lebih mudah mengangkut hasil pertanian mereka ke pasar kecamatan. Dengan jalanan yang tidak lagi terjal, harapannya hasil pertanian mereka terutama buah-buahan tidak mengalami banyak kerusakan saat diangkut ke pasar. Beberapa tahun terakhir ini, dengan kondisi jalan yang rusak parah, petani sering merugi karena setibanya di pasar, buah-buahan yang mereka angkut rupanya banyak yang rusak setelah mengalami ratusan atau bahkan ribuan goncangan yang kuat selama perjalanan. Dan petani jeruk nan bersahaja itu pun tak luput dari kerugian semacam ini.
Andai saja jeruk-jeruk itu tidak rusak, tentu keuntungan si petani itu akan lebih banyak. Bila keuntungan bisa lebih banyak, tentu ia bisa hidup lebih layak, anak-anaknya pun bisa ia sekolahkan sampai ke bangku kuliah. Cita-cita semacam itu nyatanya hanya fantasi semata. Kenyataanya ia masih saja harus menelan pil pahit bernama kerugian. Kerugian yang menyeret mereka dalam belenggu kemiskinan. Kerugian yang muasalnya dari kondisi jalan yang tak kunjung diperbaiki itu.
Pada suatu hari, seorang warga mencuri dengar pembicaraan orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kondisi jalan yang demikian mengenaskan itu. Kabarnya, sebenarnya sejak lama sudah ada anggaran yang disiapkan untuk memperbaiki jalanan dari kota kabupaten hingga pelosok-pelosk desa. Namun, ternyata anggaran tersebut disunat oleh oknum-oknum tertentu sehingga realisasi pembangunan tidak mencapai pelosok-pelosok desa.
Warga diam, tidak tau apa yang mesti mereka lakukan. Namun, setidaknya selubung musabab kemiskinan mereka selama ini terungkap sudah. Satu musabab yang efeknya gandheng-renteng, mengular panjang, bercabang-cabang, yang akhirnya perlahan akan membunuh cabang-cabang itu dari ujung yang paling jauh.
sumber ilustrasi: www.sunpride.co.id |
*Kisah ini pernah dituturkan secara lisan oleh Pak Anies Baswedan lalu diimprovisasi oleh penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar