Translate

Senin, 17 Agustus 2015

The Extraordinary Vivi

Salah satu ciri sahabat yang baik adalah ia mau mengingatkan kesalahan/kekurangan kita agar kita bisa terus bertumbuh menjadi seseorang yang semakin baik. Ia memilih mengingatkan daripada mempergunjingkan kekurangan kita di depan orang lain. Ia bukan hendak memvonis kita sebagai terdakwa, melainkan ingin merengkuh kita, memilihkan jalan yang lebih tepat untuk kita lalui.


Ciri itulah yang saya temukan dari Vivi, sahabat yang saya kenal sejak tiga tahun yang lalu, saat kami sama-sama terpilih sebagai Pengajar Muda angkatan IV.  Beberapa bulan terakhir ini kami sering pergi mengaji bersama, ke Masjid Al-Azhar, Bank Indonesia dan Istiqlal. Dari situlah saya belajar banyak dari salah satu staf di Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan ini. 

Wajah Vivi selalu memancarkan ekspresi yang tulus, apa adanya. Ia juga seorang yang sangat terbuka terhadap teman-teman dan lingkungan baru. Logat Bahasa Jawanya yang khas ditambah senyumnya yang begitu sering terkembang membuat ia pantas menyandang gelar lovable. Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar orang yang mengenalnya pasti senang akan keberadaannya.  

Seperti prolog tulisan ini, seperti itu pulalah Vivi. Bagi saya, Vivi tidak hanya sebagai inspirasi, tetapi juga sahabat yang selalu tulus mengkoreksi. Seperti Minggu lalu, saat saya menginap di kosnya, Ia mengkoreksi salah satu sifat buruk saya. "Dita ini judging ya orangnya", begitu katanya. Saya kaget, lalu terdiam entah dua atau tiga detik untuk mencerna kata-kata Vivi. Jujur, saya cukup tersinggung karena Vivi mengatakan itu tanpa tedeng aling-aling. Namun, saya kemudian berusaha menguasai diri dan mengakui kekurangan itu. Vivi bisa berpendapat seperti itu pasti karena sudah menelisik sikap saya selama ini. 

"Hmm, iya sih, Vi. Tapi kenapa Vivi bisa berkesimpulan gitu?" Vivi lalu menceritakan beberapa kejadian yang menunjukkan sifat judging saya yang begitu kentara. Saya mendengarkannya baik-baik sambil memutar ulang memori kejadian-kejadian yang Vivi ceritakan.

Dulu, saat pelatihan intensif Pengajar Muda (PM), kami 71 PM mengikuti satu sesi tes MBTI. Hasil tes itu menunjukkan bahwa saya tergolong seseorang yang judging. Melihat hasil itu saya kemudian berusaha memperbaiki diri agar saya bisa lebih mudah menerima dan diterima oleh rekan-rekan kerja saya dan semua pemangku kepentingan di daerah dimana saya akan ditempatkan. 

Waktu terus berjalan. Upaya perbaikan itu ternyata menguap begitu saja. Kini, setelah tiga tahun setelah itu, saya masih menjadi pribadi yang sama, pribadi yang memasang batas bagi seseorang/situasi yang saya rasa tidak sejalan dengan pemikiran saya. Ketika saya tidak menyukai seseorang/situasi tersebut, selain memasang batas imajiner, saya selalu tak kuasa menyembunyikan ekspresi ketidaksukaan itu. Maka, jika sudah seperti itu, ekspresi wajah saya langsung berubah menjadi datar, tak ada senyuman, tak ada kata-kata. Jika kadar ketidaksukaan saya terus meningkat, saya kadang tersulut untuk mendebat setiap kata/tindakan orang-orang yang tidak sepemikiran dengan saya itu. Astaghfirullahal 'adzim

Vivi jujur. Analisisnya paralel dengan hasil MBTI yang saya ikuti tiga tahun silam itu. Padahal, boleh jadi Vivi tidak ingat dengan hasil MBTI saya. Tapi, sebagai sahabat, ia melihat perilaku sahabatnya ini sungguh-sungguh, lalu mengkoreksi. Ini tidak lain tidak bukan adalah agar sahabatnya ini terus tumbuh menjadi sesorang yang semakin lebih baik. Ah, begitu beruntungnya saya diberi kesempatan Allah untuk bersahabat dengan Vivi yang seluar biasa ini. 

Saya dan Vivi

*Judul tulisan ini diambil dari nama blog pribadi Vivi, http://extraordinaryvivi.blogspot.com


2 komentar:

Annisa Novita mengatakan...

Akkkhhhh Ditaaaa, baru baca banget. huhu, terharuu...Merasa beruntung juga bisa bersahabat dengan Dita. Thank you so much ;)

Perpustakaan Balita Ceria mengatakan...

Sama2 ya Vivi... It's a blessing to have a friend like you, Vi :-)