Pagi itu, saya dan dua orang teman kantor saya, Rosi dan Mbak Putri, mengikuti Tabligh Akbar dengan tema Guruku Pahlawanku di Masjid Istiqlal. Di acara yang diselenggarakan oleh AQL Islamic Center ini kami sengaja datang lebih pagi agar bisa menempati shaf depan. Bagi kami, duduk di shaf depan di sebuah majelis itu banyak manfaatnya. Salah satunya adalah bisa lebih berkonsentrasi menyerap dan mencatat materi karena posisi kami yang cukup dekat dengan pembicara.
Ada tiga pembicara yang hadir di acara tersebut; Dr. Adian Husaini, Ustad Bachtiar Nasir dan Syeikh Khalid Al Hamudi. Dua pembicara yang saya sebut pertama itu saya sudah cukup familiar. Tapi, Syeikh Khalid Al Hamudi ini saya baru pertama kali mendengar nama beliau (mungkin karena saya yang kurang belajar).
Saat moderator mempersilakan Syeikh yang merupakan Imam Besar Masjidil Haram ini tampil dan mengisi materi, muncullah seorang berwajah Arab yang tengah duduk di atas kursi roda. Beberapa orang mendorong kursi roda beliau sampai ke atas panggung. Seketika itu hati saya rasanya ngilu seraya terus bertanya, "Itu benar Syeikh Khalid Al Hamudi?"
Melihat pemandangan itu, saya seperti dipaksa untuk memikirkan banyak hal. Beliau saja yang, maaf, tak bisa berjalan, mau terus berdakwah sampai jauh-jauh ke Indonesia. Bahkan, menurut penjelasan moderator, Syeikh Khalid Al Hamudi ini aktif berdakwah sampai ke Afrika. Sedangkan saya, yang secara fisik tak kurang satu apapun ini kadang masih berat mengayunkan kaki menghadiri majelis ilmu. Padahal, majelis ilmu ada di seputaran kota saya sendiri. Saya pun rasanya semakin seperti tertampar saat beliau mengingatkan kami para jamaah untuk sering menghadiri majelis ilmu karena salah satu fadhillah bagi seseorang yang berjalan ke majelis ilmu adalah Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.
Dengan semangat saya mencatat materi yang beliau sampaikan. Di akhir materi, beliau memberikan tiga pertanyaan kepada para jama'ah. Bagi yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, akan beliau beri hadiah. Sepersekian detik setelah pertanyaan pertama diterjemahkan oleh penerjemah, saya langsung mengangkat tangan. Sepersekian detik setelahnya, tangan-tangan lain ikut terangkat. Dan alhamdulillah, Syeikh mempersilakan saya menjawab pertanyaan pertama. Alhamdulillah lagi, jawaban saya dinyatakan tepat. Seorang anak laki-laki berwajah Arab mengambilkan hadiah saya dari atas panggung. Gemetar saya menerima kotak kecil bersampul putih itu. Bisa ditebak apa isinya? Yes, isinya adalah pena yang sangat indah. Bukan main saya senangnya.
Kenapa pena? Saya tak tau pasti apa maksud Syeikh memilih pena sebagai hadiah untuk kami. Mungkin, maksud beliau adalah agar kami semakin termotivasi untuk mendatangi majelis ilmu dan mencatat ilmu sebanyak-banyaknya dari para mu'allim (guru). Bagi saya pribadi yang suka dunia tulis menulis, hadiah pena ini seperti metafora agar saya terus menulis. Mungkin seperti itu.
Ada tiga pembicara yang hadir di acara tersebut; Dr. Adian Husaini, Ustad Bachtiar Nasir dan Syeikh Khalid Al Hamudi. Dua pembicara yang saya sebut pertama itu saya sudah cukup familiar. Tapi, Syeikh Khalid Al Hamudi ini saya baru pertama kali mendengar nama beliau (mungkin karena saya yang kurang belajar).
Saat moderator mempersilakan Syeikh yang merupakan Imam Besar Masjidil Haram ini tampil dan mengisi materi, muncullah seorang berwajah Arab yang tengah duduk di atas kursi roda. Beberapa orang mendorong kursi roda beliau sampai ke atas panggung. Seketika itu hati saya rasanya ngilu seraya terus bertanya, "Itu benar Syeikh Khalid Al Hamudi?"
Melihat pemandangan itu, saya seperti dipaksa untuk memikirkan banyak hal. Beliau saja yang, maaf, tak bisa berjalan, mau terus berdakwah sampai jauh-jauh ke Indonesia. Bahkan, menurut penjelasan moderator, Syeikh Khalid Al Hamudi ini aktif berdakwah sampai ke Afrika. Sedangkan saya, yang secara fisik tak kurang satu apapun ini kadang masih berat mengayunkan kaki menghadiri majelis ilmu. Padahal, majelis ilmu ada di seputaran kota saya sendiri. Saya pun rasanya semakin seperti tertampar saat beliau mengingatkan kami para jamaah untuk sering menghadiri majelis ilmu karena salah satu fadhillah bagi seseorang yang berjalan ke majelis ilmu adalah Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.
Dengan semangat saya mencatat materi yang beliau sampaikan. Di akhir materi, beliau memberikan tiga pertanyaan kepada para jama'ah. Bagi yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, akan beliau beri hadiah. Sepersekian detik setelah pertanyaan pertama diterjemahkan oleh penerjemah, saya langsung mengangkat tangan. Sepersekian detik setelahnya, tangan-tangan lain ikut terangkat. Dan alhamdulillah, Syeikh mempersilakan saya menjawab pertanyaan pertama. Alhamdulillah lagi, jawaban saya dinyatakan tepat. Seorang anak laki-laki berwajah Arab mengambilkan hadiah saya dari atas panggung. Gemetar saya menerima kotak kecil bersampul putih itu. Bisa ditebak apa isinya? Yes, isinya adalah pena yang sangat indah. Bukan main saya senangnya.
Kenapa pena? Saya tak tau pasti apa maksud Syeikh memilih pena sebagai hadiah untuk kami. Mungkin, maksud beliau adalah agar kami semakin termotivasi untuk mendatangi majelis ilmu dan mencatat ilmu sebanyak-banyaknya dari para mu'allim (guru). Bagi saya pribadi yang suka dunia tulis menulis, hadiah pena ini seperti metafora agar saya terus menulis. Mungkin seperti itu.
2 komentar:
mupeng, mbaaa .. mupeeeeeng!
mupeng pulpennya. huhu
Sini main ke Salemba dek, tak pinjemin pulpennya hihiii...
Posting Komentar