Saya kan bersaudara itu 3 orang. Laki, perempuan, terus saya. Nah, mungkin karena sudah jadi kebiasaan keluarga, menikah itu nanti di ujung. Ibarat sebuah bangunan, menikah itu adalah lantai paling atas. Harus melalui sekolah, kerja, punya rumah, cukup semua, mobil, baru setelah itu ujungnya menikah. Kakak saya yang laki-laki menikah pas usia 35 tahun karena ngikuti alur itu. Dan saya yang termasuk juga karena aturan keluarga. Pada saat kuliah, saya sudah pacaranlah. Saya pacaran 21 kali mulai dari SMA. Tapi, begitu sama yang terakhir (Ibu Diah), saya ditantang untuk serius. Tapi, pacaran saya itu pacaran yang baik lho ya. Jangan punya bayangan yang tidak baik. Cuma nganter-nganter lah. Tukang ojek. Selesai kuliah, saya lulus. Jadi lawyer saya, setahun tapi gagal. Semua teman-teman nglanjutin S2. Saya ke Jakarta, kerja. Nglamar ke sana- sini. Saya dapat di perusahaan asing, gajinya gedhe. Zaman dulu itu Rp 3.000.000 (awal tahun 90-an).
Yang sekarang jadi istri saya ini punya 2 saudara perempuan. Yang paling besar, nyonya saya. Adiknya yang nomor 2 sudah menikah. Suatu saat adiknya yang nomor 3 mau menikah, dilamar orang. Ibunya gak tega sama nyonya saya karena bila "iya", berarti dilangkahin 2 kali. Terus saya ditanya sama ibunya nyonya saya. Jam 6 sore waktu itu, saya masih kerja di kantor, ditelpon nyonya saya katanya ibunya mau bicara serius. Ternyata ditanya, "Munif ini serius atau tidak? Dua hari lalu datang orang nglamar adeknya Diah. Kalau Munif serius, gimana kalau Munif dulu? Baru nanti beberapa bulan, adiknya. Saya jawab apa? Dengan sombongnya, "Maaf, di Jakarta itu sulit. Harus punya mobil. Harus punya rumah. Harus punya tabungan." Nanti paling ujung, baru menikah. Jadi biarkan adiknya menikah dulu ndak usah nunggu saya. Ibunya nangis waktu itu.
Saya keluar dari kerjaan karena gak kuat. Waktu banyak tersita. Pas berhenti, saya diminta mimpin kursusan kecil karena yayasannya gak punya duit. Saya jadi direkturnya. Akhirnya, uang saya habis untuk itu. Nombokin, nombokin. Di situlah ada hikmahnya. Saya ketemu satu orang hebat. Namanya Said. Teman-teman pasti gak kenal. Dia dari Singapore. Datang ke kursusan saya. Waktu itu dia habis mbangun masjid di Jakarta. Lalu dia tanya ke kami-kami, "Diantara kalian, siapa yang belum menikah?" Waktu itu kami bersembilan laki-laki semua dan belum menikah. Semua angkat tangan. Dia tanya, "Usia berapa?" Kami jawab masing-masing. Lalu dia bicara, "Sayang ya, kalian jadi korban. " Kami tanya, "Kenapa?" Dia menjelaskan. "Mungkin payung atmosfer orang tua anda itu ndak sama dengan payung atmosfer orang tua saya." Kami jadi tertarik.
Dia lanjut bercerita. "Saya menikah kelas 2 SMA. SMA di Jakarta. Istri saya teman sekelas saya. Jadi, waktu saya pacaran, saya sudah ajak pacar saya ini nonton bioskop, pake motor berdua. Bioskop itu gelap. Abah saya ngelihat itu, saya kalau malam Minggu keluar. Kemudian saya didudukkan."
Abah : Said, duduk! Abah mau tanya. Apa betul Said punya pacar?
Said : Enggak Bah.
Abah : Ah masa'? Abah dulu SMP sudah pacaran. Sudahlah, jujur! Abah ini dulu jagonya.
(Akhirnya Said terbuka)
Said : Iya, Bah.
Abah : Siapa pacarmu?
Said : Teman sekelas.
Abah : Ngapain aja kalau pacaran? Kalau Abah dulu sering ngajak nonton. Said gimana?
Said : (Sambil tersenyum malu-malu) Nonton juga, Bah.
Abah : Apa yang kamu lakukan saat nonton itu? Ayo jujur sama Abah. Kita ini bukan Abah sama anak, tapi friend.
Said : (Tersipu-sipu) Raba-rabaan tangan....
Abah : Sudah selesai? (Abah tiba-tiba nangis)
Said : (Kaget) Kenapa Bah? Kita habis guyon-guyon gini kok nangis?
Abah : Said, yok besok kita ke rumah pacarmu. Kita lamar yok. Dosa, Abah ini. Kamu sudah seperti ini, Abah dosa. Abah tanggung jawab, Said. Ayok besok kita datang, kita lamar.
Said : (Makin kaget) Abah serius?
Abah : Iya.
Said : Tapi Abah, Said kan masih SMA kelas 2.
Abah : Said, dengar ya! Gak ada hubungannya sekolah dengan menikah. Itu seperti 2 bangunan yang berdiri masing-masing. Itu 2 bangunan yang berbeda. Kamu, ya terus sekolah. Sampai di liang lahat kok nuntut ilmu itu. Menikah! Abah sudah mendengar alarm biologismu berdering kencang. Maka, kalau gak Abah bantu dengan memberikan kebutuhan biologimu, Abah dosa. Kamu nanti akan mati tapi matinya mati ruhani. Kamu ini sekarang lapar, maka makan adalah memenuhi kebutuhan jasmani. Kalau seminggu gak makan, maka jasmanimu akan mati. Nah sekarang alarm biologismu sudah berdering. Kalau tidak dipenuhi, maka lambat laun ruhanimu akan mati. Said, gak ada hubungannya antara nuntut ilmu dengan menikah. Sekarang waktunya menikah. Sekolah ya sekolah. Menikah ya menikah.
Said : Bah, Said ini kan masih anak-anak, belum dewasa. (Ngotot). Nanti kalau menikah, gampang ribut, cerai. Pernikahan dini.
Abah : Said, dengar ya! Yang namanya kedewasaan itu adalah hasil dari sebuah proses. Kamu harus nyemplung ke prosesnya, menikah! Baru kamu dewasa. Gak mungkin belum menikah itu dewasa.
Said : Lha kalau kami berantem?
Abah : Kamu itu tidak hidup di hutan. Ada Abah yang bisa bantu nyelesaikan masalah. Kedewasaan itu adalah hasil dari proses. Go! Besok kita lamar pacarmu
Said : (Gemetar) Abah, menikah itu kan harus memberi nafkah. Said masih sekolah kelas 2 SMA. Mana mungkin bisa ngasih nafkah?
Abah : Mencari nafkah sama menikah itu tergantung dari kondisi. Abah tau, waktumu sekarang belajar, bukan kerja. Ndak papa, yang kerja Abah. Nanti kamu tak kasih uang jajan, nanti kamu kasih istrimu. Selesai. Kuat kok Abah. Kamu kan cuma punya 1 adik. Ada 2 kamar di rumah. Satu untuk adikmu, satu untuk kamu dan istrimu. Abah merasa punya satu anak lagi. Selesai. Konsepnya seperti konsep mengangkat meja. Kalau kamu menikah, kamu, Abahmu, Umimu, adik ngangkat itu meja lalu istrimu duduk di atas meja? Tidak! Istrimu ikut ngangkat. Jadi Abah ikut ringan dengan adanya istrimu.
Walhasil, si Said mentok. Oke, Bismillah. Dua hari kemudian, datang ke rumah calonnya. Begitu datang, Said dan Abahnya dihadapi oleh Ayah si perempuan. Langsung ditolak. Kata Ayah pacar Said, "Anda ini gak mikir ya? Mereka ini belum apa-apa, masih kecil. Maaf, kami ndak mau merima lamaran ini." Maka pulanglah Said dan Abahnya.
Said : Tuh kan Bah.
Abah : Ndak papa,dua hari lagi kita datang lagi.
Maka, mereka benar-benar datang lagi dan ditolak lagi. Kata Abah, "ndak papa, ada kesempatan ke-tiga." Begitu mereka datang untuk ke-tiga kalinya, tetap ditolak. Lalu Abah bicara, "Maaf, boleh saya ketemu sama puteri anda?". Jawab si Ayah, "Untuk apa?" Kata Abah, "Gak papa, mereka kan teman sekelas." Maka keluarkan pacar Said itu. Abah tanya, "Kamu suka kan sama anak saya?"
Lalu Abah lanjut berbicara pada Ayah si perempuan. "Kalau malam Minggu mereka jalan, nonton, pegangan tangan, raba-raba, pipinya diciumi. Mereka melakukan dosa yang menurut saya besar. Saya gara-gara itu datang ke sini. Ibarat dosa itu satu titik jerawat, muka kita berdua sudah hitam karena sudah dipenuhi dengan jerawat yang banyak. Ayolah, kalau anak kita menikah, aman di hadapan Allah. Percayalah, tidak akan mati kelaparan putri anda. Saya orang kerja kok. (Abah si Said ini bekerja jual-beli timah, elco dan reparasi TV, radio. Sangat sederhana. Tapi dengan beraninya dia bilang, "Anak Anda tidak akan kelaparan sama saya.") Pikirkan, wajah kita sudah hitam. Kita bertanggung jawab. Jangan pura-pura tidak tahu. Sekarang, saya sekali lagi, saya minta dengan baik-baik." Si Ayah berfikir. Berapa minggu kemudian, dia terimalah lamaran itu. Akhirnya Said dan pacarnya menikah.
Tapi masalah belum selesai. Kata Said "Anda tahu, saat saya kelas 2 SMA menikah, hidup ini seperti surga. Bayangkan, dulu mau ketemu sulit, sekarang berangkat bareng, pulang bareng. Nanti di rumah, ada makanan di rumah, makan bareng. Tidur sebentar, sore bangun sudah ada bubur kacang ijo. Istri yang mbuatin. Makan lagi. Belajar, bercanda sama istri. Itu kayak surga. Anda tau, saya langsung rangking 1." Sama Abahnya, Said dikasih uang tiap bulan. Nanti disuruh ngasih istrinya. Kayak pacaran SMA tapi syah.
Begitu selesai SMA, Said pengen masuk Elektro UI. Waktu dia mau daftar kuliah, dia bilang ke Abahnya. "Sudah Abah, Said gak usah kuliah aja. Malu, ngrepoti Abah terus. Sudah 2 tahun minta uang saku terus. Said kerja saja." Kata Abah, "Jangan!" Akhirnya Said tetap kuliah sambil kerja jadi karyawan di gudang Abahnya. Kata Abah, "Tapi keuntungannya nanti kita bagi." Deal!. Said kuliah dan lulus Summa Cumlaude. Waktu wisuda, Abahnya meninggal. Begitu selesai jadi sarjana, Said kerja di PT Sony Indonesia (Waktu itu belum bangkrut). Dulu adalah perusahaan hebat. 3 bulan kerja, Said ditraining di Singapore. Di sana ia disuruh mempresentasikan tentang pekerjaanya. Ada warga Singapore keturunan India melihat presentasi Said itu."Wah, hebat anak ini", pikir si orang India itu. Lalu, orang itu langsung nyamperin Said dan minta nomor kamar hotelnya. Malamnya, Ia menemui Said di kamrnya. "You keluar dari Sony dan ikut saya. Saya langsung kasih saham ke anda. Saya punya obsesi besar untuk company saya. Keluar dari Sony, saya akan mintakan anda jadi warga negara sini. Anda dan keluarga anda, bawa ke sini. Anda pikir ini." Maka Said mengambil kesempatan itu. Istrinya ikut. Keluarga-keluarga istrinya yang dulu nolak, ikut. Mereka jadi orang kaya. Masih muda padahal.
Said melanjutkan ceritanya. "Sekarang saya punya dua anak. Yang satu laki-laki SMA kelas 1, yang satu perempuan kelas SMP. Begitu naik kelas 2 SMA, anak saya akan langsung saya nikahkan. Cuman gak sulit diterima kayak saya. Langsung diterima sama calon mertuanya. Lha wong anak saya sekolah bawa mobil sport Ford." Lalu Said bilang kepada kami bersembilan, "Maaf, anda mungkin tidak seenak saya. Anda mungkin jadi korban dari background keluarga. Tapi tolong, kalau anda saat ini sulit menikah dengan berbagai macam penyebabnya, tolong cut off di anda saja. Tolong jangan sampai itu terjadi di anak-anak anda. Saya payung atmosfernya adalah Abah saya. Maka untuk anak saya, saya buka payung yang sama. Jadi kalau saya melihat anda sudah sarjana, bunjangan, saya kasihan melihat anda. Maka, hentikan itu di anda saja. Saya doakan anda segera menikah. Maka, ketika nanti anda punya anak, cut off! Anda harus membuka payung atmosfer yang baru. Ingat 3 hal. Pertama, menikah tidak ada hubungannya sama kuliah. Kedua, menikah itu tidak ada hubungannya dengan mencari nafkah. Itu kondisional. Ketiga, menikah tidak ada hubungannya dengan kedewasaan. Karena kedewasaan adalah proses."
Saya dari bersembilan itu yang pertama menikah. Dua bulan setelah ketemu Said itu, saya menikah. Bayangkan, pada waktu itu saya dalam kondisi gak punya uang. Dulu waktu kerja di perusahaan asing yang gajinya besar, saya takut menikah. Tapi setelah di-brain wash sama Said ini, saya menikah. Setelah itu baru teman-teman bersembilan satu per satu. Saya menikah dalam kondisi nul puthul, ndak punya apa-apa. Saya mau membuktikan kata-kata Said dan janji Allah bahwa dengan menikah, Allah akan membuka pintu-pintu rezeki. Saya bilang ke orang tua saya. Beliau tidak setuju, "Kakakmu itu menikah usia 35 tahun. Kamu itu kerja apa? Sudah menghasilkan apa? Belum apa-apa! Sudah enak-enak kerja malah keluar. Sekarang nongkrongin kursusan komputer dan Bahasa Inggris."
Saya tetep minta, tapi ayah saya tetap tidak mengizinkan. Saya lalu ingat kata-kata Said, "Tolong, jadilah air yang menetes di karang yang keras, nanti tetap akan berlubang itu karang." Dulu saya orangnya keras. Kalau orang tua marah, saya ikut marah. Hari itu kok tidak. Saya rayu Abah saya. "Sudahlah, anaknya Abah ini sudah sarjana. Bisa kok handling masalah." Tapi Abah masih marah. Saya bilang, "Besok saya rencana meminang. Ayo Abah ikut. Biar tidak sendiri." Meminang, belum tentu diterima. Tapi minimal saya menunjukkan ini lho tanggung jawab. Tetap Abah saya ndak mau. Bismillah, saya sendirian meminang. Hari Kamis, 30 Desember 1994. Yang membuat lancar adalah kakaknya istri saya. Kakaknya itu Sahabat saya di kuliah. Akhirnya, karena kami satu visi, saya meminang, diterima. Senangnya saya diterima. Kami dulu sahabat bertiga, tiga M : Munir, Munif dan Mustofa Kamal (kakak istri saya yang bantu saya). Munir dan Mustofa sekarang sudah almarhum.
Terus saya minta "Kalau boleh, saya dinikahkan besok ya." Saya sudah siapkan mahar cincin. Cincinnya utang sama teman saya ini. Nikah akad saja. Kalau tidak segera, saya takut terjadi fitnah. Sekali lagi, almarhum ini yang luar biasa membantu saya. Bundanya masih agak berat. Besoknya, hari Jumat saya menikah.Orang tua ndak mau nganter. Saya telpon teman-teman saya di LBH Surabaya. Saya mau nikah, mau nganterin? Semua bilang mau. Saya telepon teman-teman yang di Jakarta, "Saya mau menikah besok." Malam langsung naik pesawat semua. Kami ngumpul di rumah salah satu teman saya. Yang ngiring-ngiringi adalah teman-teman saya dari Malang, dari LBH Surabaya dan dari Jakarta. Menikahlah saya. 31 Desember 1994.
Teman-teman, betul, karang itu akhirnya berlubang. Enam bulan kemudian, Abah saya setuju. Langsung saya disuruh nikah lagi tapi ramai-ramai semua keluarga. Dan benar Allah itu mbuka rezeki yang ndak disangka-sangka. Kerjaan saya makin jaya.
Penutup. Begitu istri saya hamil, saya berdoa sama Allah Ta'ala. Mudah-mudahan anak pertamaku perempuan supaya aku nanti pegang kartu untuk jodoh anakku nanti.
Pak Munif Chatib bersama Kepala Dinas DIKPORA Bima dan Pengajar Muda Angkatan IV Kab. Bima |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar