Adalah Oi Marai, sebuah sekolah sederhana tempat ia bertugas selama setahun (Juni 2012-Juni 2013). Kau tau kawan, bagaimana menuju ke tempat ini? Dari Kota Bima, kita harus menumpang bus menuju Kadindi (masuk wilayah Dompu) selama 7 jam. Dari sana, lanjut naik ojek selama 30 menit menuju Kenanga, Ibukota Kecamatan Tambora. Kemudian lanjut lagi naik ojek selama 1,5 jam melewati jalanan yang 90% rusak parah. Bahkan, di titik tertentu, jalanan sudah amblas terkena abrasi air laut. Kondisi akan semakin parah jika musim Barat (hujan dan angin) datang. Jalanan sebagian berubah menjadi lumpur yang licin sehingga sangat sulit untuk dilewati. Oleh karena itu, tak banyak tukang ojek yang bersedia mengantarnya hingga ke Oi Marai.
Jangan bayangkan jalanan Kenanga-Oi Marai itu adalah jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Tidak! Dalam sehari, mungkin hanya hitungan jari orang yang melewatinya. Selain karena kondisinya yang parah itu, jalanan yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan Laut Flores dan sebelah timurnya dengan lereng Tambora itu adalah tempat bermain yang mengasyikkan bagi babi hutan. Jadi, selain harus berhati-hati terhadap kondisi jalannya, harus juga waspada sewaktu-waktu babi hutan melintas.
Selama setahun bertugas di Bima, baru 2 kali aku mengunjunginya. Pertama, saat bulan Ramadhan dan yang ke-dua sekitar 3 bulan sebelum kami purna tugas. Saat kunjungan pertama itu, aku tertegun, "Oh, begini ya hidup di sebuah tempat yang sama sekali tak ada aliran listrik." Itu berbeda sekali dengan desa penempatanku yang sudah mendapat aliran listrik PLN walaupun kenyataannya dalam sehari bisa mati-nyala beberapa kali karena kondisi jaringan listrik yang belum stabil.
Di Oi Marai, malam hari benar-benar gelap. Tak satupun terlihat ada nyala lampu listrik. Sebenarnya, desa ini mempunyai PLTA yang memanfaatkan derasnya aliran sungai Oi Marai sebagai penggerak turbinnya. Namun, PLTA tersebut rusak saat musim Barat tahun lalu dan belum ada pihak yang mau memperbaiki.
Lalu, bagaimana dengan sinyal telepon? Di tempat ini hanya ada sebuah tempat dimana 1 atau 2 bar sinyal telepon mau mampir yaitu di tebing sinyal. Jika ingin berkomunikasi dengan keluarga atau teman se-tim, ia harus berjalan kurang lebih 2 km untuk menuju tebing sinyal itu. Untungya, selalu ada saja anak didiknya yang mau menemaninya berburu sinyal. Setiap kali pergi ke tebing sinyal, ia tidak hanya menghubungi keluarga tetapi juga teman-teman termasuk aku. Aku pun selalu menantikan teleponnya yang hanya bisa ia lalukan seminggu sekali atau 2 kali. Entah kenapa, aku selalu merasa nyaman bercakap dengannya.
Pembicaraan yang belum tuntas dibahas melalui telopon biasanya akan kami lanjutkan saat bertemu di kota yang biasanya hanya sebulan sekali. Namun anehnya, ketika waktunya bertemu, kadang-kadang terjadi pertengkaran kecil di antara kami. Padahal, ketika tidak bertemu, kami selalu merindukan dan berharap cepat-cepat ingin bertemu. Aku ingat betul suatu sore saat kami PM Bima bersembilan sedang melakukan persiapan acara Festival Seni Anak Bima. Tiba-tiba aku melihat ia baru saja diberi oleh-oleh Faisal dari Toraja. Tiba-tiba hatiku rasanya seperti terbakar. Kok aku gak dikasih? Aku protes, tapi Faisal bilang sudah habis. Aku langsung berbalik arah dan cepat-cepat pergi ke masjid Sholahudin, berdalih bahwa waktu maghrib telah tiba padahal sebenarnya aku sedang marah besar. Kalau mengingat itu, rasanya lucu sekali. Aku kan sudah pernah pergi ke Toraja setahun sebelumnya dan juga sudah punya barang yang Faisal berikan padanya tadi. Buat apa aku marah, coba? Haha, kekanak-kanankan sekali. Jujur, aku adalah tipe orang yang sangat possesive. Bagiku, kami bersembilan (Pengajar Muda Bima) adalah satu keluarga. Jika satu orang diberi oleh-oleh, maka yang lain juga hari diberi. Itu yang ada di pikiranku. Belakangan aku baru tahu bahwa yang Faisal beri oleh-oleh hanya teman-teman Kecamatan Tambora sedangkan yang lainnya tidak. Ah, semakin diingat, semakin ingin ketawa saja rasanya.
Sebulan setelah acara Festival Seni anak Bima itu, kami mengadakan Olimpiade Sains untuk anak-anak SD Se-Kabupaten Bima yang kami selenggarakan di Kecamatan Bolo. Sehari sebelum hari H, kami bertujuh (minus Morin dan Budi karena mereka menangani Olimpiade yang di wilayah Tambora) sudah berkumpul di tempat pelaksanaan acara untuk menyiapkan segala sesuatunya. Saat itu, ia tiba-tiba seharian penuh tidak bersemangat. Hanya sibuk dengan HP dan membantu persiapan acara sekenanya. Aku sebagai koordinator Olimpiade ini menjadi dongkol. Panitia lainnya sedang sangat sibuk, eh dia malah ogah-ogahan. Ya sudah, mungkin dia sedang butuh waktu untuk sendiri.
Tidak hanya dua kejadian tadi tetapi masih banyak kejadian lain yang kadang membuat kami mengarah ke adu mulut atau saling diam. Untungnya, kami ternyata tidak bisa berlama-lama dalam situasi semacam itu. Tidak sampai 24 jam pasti diantara kami ada yang meminta maaf lebih dulu. Satu yang paling ku ingat adalah saat kami berjalan dari Kos Bu Nur untuk mencari ojek, tiba-tiba kami berpelukan dan saling minta maaf. Sampai-sampai si Kokoh yang berjalan di belakang kami berkata, "Kalian ini seneng banget menyakiti diri sendiri." Kami pun tertawa karena menyadari kekonyolan kami itu.
Kata orang, hati manusia itu terdiri dari ruangan-ruangan imajiner yang mana bisa diisi oleh siapapun yang dicintai oleh si pemilik hati itu. Begitulah ia. Satu ruang di hatiku sudah ku berikan untuknya. Spesial, tak tergantikan. Semoga, ia pun juga meluangkan satu ruangan di hatinya untuk aku isi.
***
"Dia" adalah Nani Nurhasanah. Seperti namanya, kehadirannya selalu menjadi cahaya, setidaknya itu menurutku. Dua bulan lagi (terhitung sejak tulisan ini diunggah) ia akan menikah. Barakallah teteh, Barakallah. Doakan aku segera menyusul ya teh! Hehe.
2 komentar:
Bumbunya persahabatan :)
Iya Fenny, hehe..
Posting Komentar