Saya pertama kali mendengar tentang Max Havelaar saat saya SMP. Saat itu roman karangan Douwes Dekker alias Multatuli ini diperkenalkan sepintas lalu saja oleh guru mata pelajaran Sejarah. Disebutkan bahwa roman tersebut berhasil mendorong para tokoh nasionalis untuk melanjutkan perjuangan meraih kemerdekaan. Saya yang saat itu belum menaruh minat pada dunia sastra, sama sekali tak punya keinginan untuk membacanya. Saat SMA, saya kembali belajar tentang sejarah VOC dan hal-hal yang terkait dengannya, termasuk tentang Max Havelaar. Bahkan, di pelajaran Sastra Indonesia (Saya masuk jurusan Bahasa saat kelas XI dan XII) pernah dibahas cerita Saidah dan Adinda yang merupakan bagian dari novel yang terbit pertama kali di Belanda ini. Lagi-lagi, saya kurang berminat membacanya. (Duh, betapa malasnya saya ini.)
Beberapa hari lalu, saya baru punya keinginan untuk membacanya karena Rida, teman saya, meminjamkan buku itu pada saya. Membaca lembar demi lembar Max Havelaar ini, hati saya betul-betul geram. Ya, geram terhadap kesewenangan para pejabat pribumi pada rakyatnya sendiri. Para pejabat, dari tingkat kepala desa sampai bupati menjadi pemungut hasil pertanian dari sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Karena semua hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah, rakyat menjadi kekurangan bahan pangan. Belum lagi, pemerintah tidak memperbolehkan petani menanam padi tetapi harus menggantinya dengan tanaman tebu. Ini memperparah kondisi paceklik. Terjadi kelaparan dimana-mana.
Jadi, ternyata pada saat itu yang memeras rakyat bukan hanya para penjajah melainkan para pejabat pribumi pula. Mereka mendapat bagian dalam jumlah tertentu dari hasil pertanian yang mereka pungut dari rakyatnya. Tak heran jika pejabat pada saat itu bisa hidup bermewah-mewah padahal rakyatnya sengsara. Dalam hati saya geram, "kenapa rakyat ini mau-maunya menyerahkan semua hasil pertaniannya pada pemerintah?" Hal ini karena rakyat mempunyai kepatuhan yang tinggi terhadap pejabat yang merupakan keturunan bangsawan. Ini yang baru saya pahami setelah membaca buku yang pernah menggegerkan kerajaan Belanda saat pertama kali diterbitkan ini. Tidak zaman dulu, tidak pula zaman sekarang. Sama saja! Banyak pejabat yang sewenang-wenang dan tidak amanah.
Belum lagi, praktik korupsi yang mereka lakukan dalam pembangunan gedung-gedung. Seringkali, gedung dibangun dengan anggaran yang tidak sama dengan yang tertulis karena pengerjaan banyak memanfaatkan tenaga rakyat tanpa bayaran. Ini juga hampir sama dengan yang terjadi saat ini. Misalnya, anggaran yang tertulis di laporan adalah Rp 5. Namun, yang sebenarnya dipakai hanya Rp 3. Kemana yang Rp 2 ? Kemana lagi kalau tidak masuk kantong para pejabat pelaksanannya. Ini sudah menjadi rahasia umum saat ini. Miris.
Melalui roman ini, Multatuli ingin mengungkapkan kondisi yang sesungguhnya dari Hindia Belanda terutama Jawa pada saat itu. Penduduk Belanda yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah Jawa sama sekali tidak mengerti penderitaan orang Jawa karena berita yang sampai di negeri Belanda hanya yang baik-baik saja. Maka, dengan kemunculan karya ini, terjadilah pro dan kontra.
Tentang karyanya ini, Multatuli menuliskan,
"Ruwet, terbengkalai, mencari sensasi, gayanya jelek, pengarangnya tidak cakap, tidak punya metode. Baik, Baiklah. Tapi orang Jawa dianianya."
Kemuadian ia menambahkan,
"Aku mau dibaca! Ya, Aku mau dibaca! Aku mau dibaca oleh negarawan-negarawan yang berkewajiban memperhatikan pada tanda-tanda zaman. Oleh sastrawan-sastrawan yang harus membaca buku itu yang begitu banyak dijelek-jelekkan orang."
Menurut saya, buku ini berhasil menyampaikan kritik sosial dengan sangat gamblang. Walupun menuai banyak kritik, keberadaan karya ini berhasil membawa dampak yang besar diantaranya adalah dicetuskannya Politik Etis (Balas Budi) oleh ratu Belanda.
Saya kemudian teringat dengan bunyi sebuah Hadist berikut ini,
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”
(Hadist Riwayat Muslim)
Dowes Dekker yang entah apa agamanya secara tidak langsung telah mengamalkan isi Hadist di atas. Ia tidak bisa menggunakan tangannya untuk mengatasi kemungkaran yang terjadi di Jawa saat itu. Maka ia menulis. Ya, menulis! Kata-kata yang ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Dalam konsep masyarakat kekinian, menulis adalah salah satu cara cerdas untuk menuangkan apapun buah pikir seseorang. Selain itu, tulisan juga memungkinkan untuk menyebarkan ide secara luas dan dalam waktu singkat. Tidakkah seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar