Pesawat yang saya tumpangi tinggal landas dari Bandara Soekarno Hatta 15 menit lebih lambat dari jadwal yang tertera pada tiket. Saya duduk di kursi yang dekat dengan jendela. Dua kursi di samping saya kosong. Syukurlah, dengan begitu saya bisa menikmati perjalanan ini tanpa harus berbasa-basi dengan penumpang lain. Terkadang saya memang lebih suka mengadakan perjalanan sendiri karena saya bebas meresapi nilai dari perjalanan itu.
Melihat cakrawala yang terbentang luas selalu membuat saya berimajinasi tentang banyak hal. Apalagi, perjalanan kali ini adalah perjalanan yang sudah saya impikan sejak lama. Selama 90 menit penerbangan, imajinasi saya terus mengangkasa, memutar ulang impian yang pernah tertancap kuat di hati ini. Beberapa menit setelah pesawat mengudara, sempat saya bertanya pada diri sendiri, "Apakah perjalanan ini nyata atau hanya bunga tidur?"
Saya melahab sajian makan siang yang diangsurkan oleh pramugari. Semua penumpang melakukan hal yang sama. Beberapa di antara mereka asyik mengobrol sembari menikmati santap siang. Dialek yang mereka pakai seolah menjadi jawaban bahwa saya memang sedang menuju ke tanah itu, tanah impian. Saya tengok wajah beberapa penumpang yang masih dalam jangkauan sapuan mata saya. Wajah-wajah itu, wajah khas masyarakat di tanah yang saya impikan.
Pilot memberikan pengumuman bahwa dalam beberapa menit ke depan pesawat akan mendarat di bandara tujuan. Mata saya nyaris tak lepas dari kaca jendela. Pegunungan yang berbaris-baris, garis pantai yang mengular indah, seperti menyihir saya. Nampak pula pulau-pulau kecil yang seperti sedang mengapung damai di hamparan lautan yang tenang tak berselimut ombak. Dalam hati saya berbisik, "Duhai Allah, sungguh indah alam ciptaan-Mu ini!"
Semakin hampir menjangkau daratan, lanskap kota mulai jelas terlihat. Kota yang nampak damai. Tak ada gedung-gedung pencakar langit macam di Ibukota. Pepohanan hijau pun masih banyak menghiasi kota.
Pesawat sudah berhenti sempurna dan penumpang dipersilakan untuk turun. Saya yang duduk di bagian agak belakang memilih untuk tetap duduk sembari menunggu penumpang lain turun terlebih dahulu. Mata saya kembali mengarah ke luar jendela pesawat. Kali ini yang terlihat adalah bentangan tanah luas yang ditumbuhi rerumputan. Di kejauhan nampak pula pegunungan yang berdiri kokoh membentang, bak benteng yang tak akan runtuh oleh apapun.
Sepertinya di luar sana sedang berangin. Rerumputan dan tanaman perdu nampak bergoyang lembut ditiup angin. Di sepanjang tepi landasan pesawat, rerumputan setinggi tak lebih dari selutut orang dewasa serentak kompak menari-nari macam ada yang sedang memberi komando. Mereka menari dengan riang dan seolah sedang berkata, "Selamat datang di Tanah Minang!"
Melihat cakrawala yang terbentang luas selalu membuat saya berimajinasi tentang banyak hal. Apalagi, perjalanan kali ini adalah perjalanan yang sudah saya impikan sejak lama. Selama 90 menit penerbangan, imajinasi saya terus mengangkasa, memutar ulang impian yang pernah tertancap kuat di hati ini. Beberapa menit setelah pesawat mengudara, sempat saya bertanya pada diri sendiri, "Apakah perjalanan ini nyata atau hanya bunga tidur?"
Saya melahab sajian makan siang yang diangsurkan oleh pramugari. Semua penumpang melakukan hal yang sama. Beberapa di antara mereka asyik mengobrol sembari menikmati santap siang. Dialek yang mereka pakai seolah menjadi jawaban bahwa saya memang sedang menuju ke tanah itu, tanah impian. Saya tengok wajah beberapa penumpang yang masih dalam jangkauan sapuan mata saya. Wajah-wajah itu, wajah khas masyarakat di tanah yang saya impikan.
Pilot memberikan pengumuman bahwa dalam beberapa menit ke depan pesawat akan mendarat di bandara tujuan. Mata saya nyaris tak lepas dari kaca jendela. Pegunungan yang berbaris-baris, garis pantai yang mengular indah, seperti menyihir saya. Nampak pula pulau-pulau kecil yang seperti sedang mengapung damai di hamparan lautan yang tenang tak berselimut ombak. Dalam hati saya berbisik, "Duhai Allah, sungguh indah alam ciptaan-Mu ini!"
Semakin hampir menjangkau daratan, lanskap kota mulai jelas terlihat. Kota yang nampak damai. Tak ada gedung-gedung pencakar langit macam di Ibukota. Pepohanan hijau pun masih banyak menghiasi kota.
Pesawat sudah berhenti sempurna dan penumpang dipersilakan untuk turun. Saya yang duduk di bagian agak belakang memilih untuk tetap duduk sembari menunggu penumpang lain turun terlebih dahulu. Mata saya kembali mengarah ke luar jendela pesawat. Kali ini yang terlihat adalah bentangan tanah luas yang ditumbuhi rerumputan. Di kejauhan nampak pula pegunungan yang berdiri kokoh membentang, bak benteng yang tak akan runtuh oleh apapun.
Sepertinya di luar sana sedang berangin. Rerumputan dan tanaman perdu nampak bergoyang lembut ditiup angin. Di sepanjang tepi landasan pesawat, rerumputan setinggi tak lebih dari selutut orang dewasa serentak kompak menari-nari macam ada yang sedang memberi komando. Mereka menari dengan riang dan seolah sedang berkata, "Selamat datang di Tanah Minang!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar