Translate

Sabtu, 10 Januari 2015

Quarter Life Crisis

"Wong urip ki mung sawang sinawang" adalah bunyi pepatah Jawa yang belakang ini cukup sering saya dengar. Secara  leksikal, pepatah tersebut mengandung arti bahwa "orang hidup itu hanya saling memandang". Maksudnya, kita sering melihat orang lain nampak lebih bahagia, lebih sukses, lebih punya segalanya daripada kita sendiri. Pun sebaliknya, bisa jadi orang lain melihat kita lebih bahagia daripada mereka. "Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau", mungkin ini ungkapan dalam Bahasa Indonesia yang artinya mendekati ungkapan dalam Bahasa Jawa tersebut.

Memasuki usia 25 tahun, saya menjadi cukup sering berdiskusi dengan teman-teman seusia saya tentang kehidupan, baik kehidupan kami maupun kehidupan orang lain. "Si A sekarang anaknya sudah 2 ya? Si B kerja di maskapai premier tanah air lho! Si C lagi S2 di Jepang. Si D udah nyicil rumah. Si E, F, G dst". Tema semacam ini sering tiba-tiba terselip dalam pembicaraan kami.

Maka, secara tak sadar kami kemudian membandingkan kondisi kami dengan orang-orang lain. Jika kami sedang bisa berfikir positif, membicarakan "hijaunya rumput tetangga" itu bisa menjadi motivasi positif. Namun, jika sedang negatif, maka yang terjadi adalah hati menjadi risau. Bahkan, bisa sampai berkecil hati atau depresi karena menyadari masih banyak mimpi yang belum sempat dicapai. Meminjam istilah dalam Ilmu Psikologi, keadaan ini disebut quarter life crisis.  

Salah seorang teman dari Jurusan Psikologi pernah membahas tentang a quarter life crisis ini. Katanya, fase ini dialami oleh hampir semua orang yang memasuki usia seperempat abad. Ini sesuatu yang normal. Istilah lainnya, fase ini adalah jembatan yang mengantarkan seseorang pada posisi matangnya. 

Salah seorang teman lainnya pernah bertanya pada saya belum lama ini, "Dita, apakah kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?" Saya perlu berfikir beberapa waktu untuk menjawab pertanyaan ini. Saya pun kemudian bertanya pada diri saya sendiri, apa saya benar-benar bahagia? Apa sebenarnya parameter kebahagiaan itu? Saya berfikir lama.

Saya lalu flash back pada apa yang terjadi pada hidup saya beberapa tahun ini. Ternyata, lebih mudah menghitung apa yang saya tidak punya daripada apa yang saya punya. Anehnya, itu tidak berlaku saat saya melihat kondisi teman-teman saya. Rasanya mudah sekali saya menghitung apa yang mereka punya daripada apa yang saya punya. Saya pun berkesimpulan, ternyata masih banyak yang saya belum bisa dan punya. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa saya belum menjadi seorang yang sukses? Ini berarti saya menjadi tidak bahagia?

Sepertinya selamanya saya tidak akan pernah merasa bahagia jika saya masih berfokus pada apa yang tidak saya bisa dan punya. Tiba-tiba saya teringat sebait kata dalam lirik OST Drama Jepang berjudul Around 40 yang dibintangi oleh Amami Yuki, 

“Count what you have now
Don’t count what you don’t have.
Find that you have so much"

Ah iya! Saya sepakat dengan kalimat itu. Kita sebaiknya menghitung apa yang kita punya daripada apa yang tidak kita punya. Yang kita punya tentu saja bukan hanya sesuatu yang bersifat materi melainkan lebih luas dari itu seperti persahabatan, pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dst. Jika kita berfokus dengan apa yang kita punya, bukan apa yang tidak kita punya, maka sebenarnya kita sedang belajar tentang bersyukur. Dengan pandai bersyukur, insyaAllah kita akan mudah bahagia. 

Berfokusnya kita pada apa yang kita punya bukan berarti kita lantas tidak mengusahakan terwujudnya keinginan yang lain. Target-target dan mimpi-mimpi besar harus tetap digenggam.  



Tidak ada komentar: