Lagi-lagi saya menulis tentang hal yang biasa. Ya, karena saya memang orang biasa yang memiliki kehidupan biasa-biasa saja. Namun, dari yang biasa itu saya menemukan makna.
Setahun terakhir ini saya tinggal di daerah Ciledug. Mendengar nama daerah ini disebut, para outsider mungkin sudah membayangkan beberapa atribut yang kerap mereka tempelkan pada daerah ini seperti banjir dan kemacetan. Baiklah, Ciledug memang cukup sering Banjir, tapi tidak semua titik terendam banjir, hanya sebagian daerah yang berdekatan dengan sungai. Ciledug memang macet, tapi itu hanya di jalan yang menjadi akses utama langsung menuju Jakarta seperti Jalan Ciledug Raya (menghubungkan Ciledug dengan Kebayoran Baru) dan Jalan Raden Saleh (menghubungkan Ciledug dengan Kembangan, Jakarta Barat) yang mengalami kemacetan parah setiap jam sibuk (rush our).
Untungnya, saya tidak sepenuhnya melintasi kedua jalan tersebut ketika pulang dan pergi bekerja saban hari. Saya justru sering terjebak kemacetan ketika sudah memasuki wilayah Jakarta. Lima menit berkendara dari tempat tinggal, saya sudah memasuki daerah Joglo, Jakarta Barat. Ini titik macet pertama yang harus saya lewati. Bukan jalan besar, hanya jalan sempit di tengah perumahan penduduk. Saking sempitnya, jika ada 2 mobil berpapasan, kedua supir harus memperlambat mobilnya. Jika sudah demikian, kedaraan yang ada di belakangnya harus kalembo ade (Bahasa Bima, artinya: berluas hati). Jadi, bisa dibayangkan jika sedang ada banyak mobil yang melintasi jalan ini dari 2 arang yang berseberangan?
Di titik macet pertama ini saya biasanya masih bisa kalembo ade. Bebas dari titik ini, saya melanjutkan perjalanan hingga tibalah saya di Jalan Raya Kembangan Selatan. Di siniliah ujian kesabaran dilanjutkan. Jalan ini mulai padat merayap sekitar jam 07.15 pagi. Berderet-deret kuda besi (mobil) biasanya hanya bisa merayap di sini, bahkan sering mengalami stagnasi. Saat seperti ini, para pengendara motor mulai menunjukkan kebolehan mereka selip sana selip sini. Sedangkan saya? Sebagai pengendara motor pemula di Ibukota, saya mencari titik aman dengan cara berada di samping kiri mobil. Jika ada celah untuk mendahului dari kiri, saya melakukan itu walaupun secara hukum lalu lintas itu sepertinya diharamkan. :-)
Di kedua titik yang saya lalui tersebut, alasan kemacetannya sangat jelas, titik pertama karena ukuran jalan yang sempit sedangkan pada titik kedua karena volume kendaraan yang memang selalu banyak.
Tibalah saya di titik kemacetan yang ke-3, Jalan Kamal Muara. Untuk menuju kantor saya, saya hanya melewati jalan ini sepanjang kira-kira 1,5 km. Namun, titik inilah yang paling membuat saya khawatir karena kemacetan di jalan ini sering datang tanpa terduga. Sebagai kawasan industri, daerah Kapuk Kamal ini dilewati oleh kendaraaan yang yang lebih variatif. Dari motor yang kebanyakan dikendarai oleh karyawan pabrik, angkot, bus besar, mobil jemputan karyawan, mobil pribadi, mobil box ukuran kecil, tanggung hingga kontainer. Variasi kendaraan ini menjadi salah satu pemicu kemacetan di sini. Selain itu, ada-ada saja alasanya. Entah angkot yang tiba-tiba mendahuli mobil di depannya kemudian mendadak tidak bisa bergerak karena adanya mobil atau kendaraan besar dari arah seberangnya, entah tiba-tiba truk kontainer kesulitan berbelok, entah kecelakaan lalu lintas antar pengendara motor dengan kendaraan roda empat, entah banjir. Jika lolos dari kemacetan ini, tibalah saya di kantor tepat waktu.
Selama kurang-lebih setahun saya mengalami rutinitas pagi yang semacam itu, tak jarang saya bosan dan stress. Tapi, ini membuat saya berfikir tentang satu hal. Tidakkah ini sama dengan perjalanan kita dalam menjaga niat? Saya pernah mendengar bahwa niat seseorang dalam beramal itu akan diuji di awal, di tengah dan di akhir.
Saat mau bersedekah misalnya. Pada awalnya sudah berniat untuk bersedekah. Namun, kadang di tengah jalan ada bisikan-bisikan semacam, "Ah, kalau segitu, kebanyakan", atau "Hmm.. gak usah sekarang sedekahnya, besok-besok aja", atau "Tapi kebutuhan minggu ini lagi banyak-banyaknya, gak usah sedekah dulu apa ya?", dan sebagainya. Kalaupun mampu menangkis bisikan-bisikan itu, nanti akan ada ujian lagi. Misalnya, si orang yang kita beri sedekah itu ternyata tidak mengucapkan terima kasih. Maka muncullah bisakan lagi seperti, "Orang kok tidak tau terima kasih!". Sekali lagi, kalau bisikan itu bisa dihindari, nanti lain hari akan muncul ujian lagi. Muncullah lagi, bisikan semacam "Dulu sering kita bantu, eh sekarang udah sukses, gak ingat sama kita!"
Selain tulisan ini, saya pernah beberapa kali menulis tentang betapa sulitnya menjaga niat. Bagi saya, dengan menuliskannya seperti ini, setidaknya ini bisa menjadi media bagi saya untuk meluruskan niat yang tak jarang bengkok di sana- sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar