Translate

Minggu, 11 Januari 2015

Mengelola Ekspektasi

Saat memasuki bulan ke-2 pelatihan intensif Pengajar Muda, pernah kami mendapat sebuah sesi dimana fasilitator meminta kami untuk mengungkapkan kesan kami terhadap pelatihan yang sudah sebulan berjalan itu. Setiap peserta diminta untuk membuat masing-masing satu kalimat berisi kesan. Syaratnya, kalimat itu harus diawali dengan kata "ternyata".

Maka meluncurlah rentetan kalimat berawal dengan kata "ternyata" itu. "Ternyata, sangat melelahkan ya, setiap pagi harus bangun sebelum subuh dan tidur menjelang tengah malam. Ternyata, tugas-tugas yang diberikan terlalu banyak ya! Ternyata ini, ternyata itu, bernyata begini, begitu, dst."

Fasilitator merangkum jawaban kami dengan cara menuliskan kisi-kisi penting dalam potongan karton warna-warni yang kemudian ditempel di papan tulis. Dari semua jawaban yang kami ungkapkan, sebagian besar bernada keluhan. Hanya beberapa saja yang bernada pujian. Fasilitator kemudian bertanya kepada kami mengapa sebagian besar dari kami membuat kalimat yang menyiratkan keluhan. Jawaban pun mengalir dari lisan kami. Kesimpulannya, kami memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi ketika awal mulai pelatihan ini. Ekspektasi tersebut berbenturan dengan kenyataan-kenyataan. Kami pun sepertinya larut dalam benturan itu. Akibatnya, respon yang muncul adalah keluhan. Ini berarti kami belum pandai bagaimana caranya mengelola ekspektasi. Atau bisa jadi ini terjadi karena ekspektasi yang kami bangun di awal tidak sejalan dengan "niat baik". 

Di sinilah kemudian "niat baik" menjadi esensi dari segala tindakan yang akan dilakukan. Dalam perjalanan waktu, itu kadang akan sempat terlupakan. Oleh karenanya, perlu sesekali rehat sejenak untuk mengingat kembali "niat baik" itu. Melaui sesi yang dipandu oleh fasilitator tersebut, kami sebenarnya sedang diarahkan untuk mengingat kembali "niat baik" kami. Jika "niat baik" terjaga, maka benturan antara kenyataan dengan ekspektasi pun bisa diambil sisi positifnya. 

Saya menjadi teringat sesuatu yang saya lakukan saat saya SMA. Waktu itu saya membuat catatan khusus tentang kekalahan saya dalam berbagai perlombaan. Catatan itu saya namai "catatan kegagalan". Sejak SD saya memang sudah senang mengikuti berbagai perlombaan. Ini berlanjut ketika SMP dan SMA. Setiap ada lomba, saya selalu ingin berpartisipasi, dari lomba membaca puisi, menulis esai, menulis surat, karya ilmilah, pramuka, olimpiade SAINS, pidato hingga debat. Saya mengalami kekalahan pada sebagian besar lomba yang saya ikuti itu. Kekalahan-kekalahan itulah yang kemudian saya tuangkan dalam "catatan kegagalan". 

Belakangan saya baru tahu bahwa menuliskan sesuatu yang negatif seperti "kegagalan" akan berdampak kurang baik secara psikologis. Sepertinya memang benar. Dulu, setiap kali membuka "catatan kegagalan" itu rasanya berat sekali. Apalagi ketika isi catatan itu sudah menjadi semakin banyak. "Yah, kok gagal lagi sih!", keluh saya. Namun, dibalik itu, setidaknya saya memiliki rekam jejak usaha saya. "Tuh Dita, kamu sudah berusaha keras kok! Yang penting usahanya, bukan hasilnya", kata saya pada diri sendiri. 

Proses tersebut tanpa saya sadari telah mengajari saya tentang satu hal besar yaitu menjaga niat. Bukankah niat saya untuk mengikuti berbagai lomba adalah untuk menaikkan kapasitas diri? Bahasa sederhananya bagi saya yang dulu masih belia adalah, menambah pengalaman dan teman. Pak Jangkung Suwargana, guru saya sewaktu SMP selalu mengingatkan kepada saya tiap kali akan mengikuti lomba, "Menang kalah iku biasa. Sing penting maju lomba kanthi percaya diri." (Menang kalah itu biasa. Yang penting ikut lomba dengan percaya diri.)

Ternyata saya sudah melalui perjalanan panjang tentang menjaga niat dan mengelola ekspektasi. Namun, hingga detik ini saya belum juga mahir menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Baiklah, saya akan terus belajar!

sumber gambar: http://www.vanseodesign.com/web-design/framing-expectation-exposure-effect/



Tidak ada komentar: