Translate

Jumat, 03 April 2015

Kami Perlu Tau

Saat ini masyarakat dunia tengah bertransformasi menuju paperless society (masyarakat tanpa kertas). Produk tulisan yang dicetak di atas kertas berangsur-angsur diubah menjadi halaman maya. Surat kabar misalnya. Hampir semua surat kabar cetak kini telah mempunyai versi mayanya yang bisa diakses melalui koneksi internet secara daring (online). Bahkan, ada pula yang hanya memiliki situs berita daringnya saja, tanpa memiliki versi cetaknya.

Sumber berita daring memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pendahulunya, berita cetak. Salah satu keunggulan tersebut adalah kemudahan dan kecepatan aksesnya. Berita yang baru saja selesai ditulis, bisa segera diunggah ke situs daringnya kemudian dalam hitungan menit langsung bisa dinikmati oleh khalayak. Inilah yang kemudian membuat sebagian masyarakat memilih situs berita daring ketimbang media cetak.

Sumber grafik dapat dilihat di sini
Seperti yang terbaca dari hasil survei atas kerja sama BPS (Badan Pusat Statistik) dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) akhir tahun 2013 ini. Survei dilakukan dengan sasaran pelaku industri dan rumah tangga/konsumen perorangan. Hasil survei menunjukkan bahwa penggunaan internet terbasar (95%) yaitu untuk mengirim atau menerima e-mail. Satu peringkat dibawahnya adalah penggunaan internet untuk mencari informasi berita (78%). Hal ini menunjukkan bahwa berita daring cukup diminati oleh masyarakat.

Ada ribuan (atau mungkin bahkan jutaan) situs berita daring di negara kita. Pengelola situsnya pun ada yang jelas, ada pula yang anonim. Maka, dalam hal ini konsumen berita daring harus ekstra hati-hati dalam menyaring isi sebuah berita, terutama berita yang dikeluarkan oleh situs daring yang tidak jelas siapa penulis dan redaktur beritanya.

Sebenarnya, batasan konten situs daring sudah diatur dalam UU ITE (Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Apa saja konten yang dilarang pun sudah tertulis di Bab VII UU tersebut. Walaupun begitu, tetap saja ada situs-situs tertentu yang dengan terang-terangan ataupun tersirat memasukkan sebagian hal yang dilarang. Maka, untuk menanggulanginya, UU ITE menyantumkan Bab X yaitu tentang Penyidikan. Tujuannya adalah untuk mengadakan penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU tersebut. Atau dengan kata lain, semua hal yang dikategorikan sebagai tindak kejahatan (sebagaimana yang tertera di Bab VII) seharusnya diproses secara hukum (sebagaimana yang tertulis di Bab X).

Baru-baru ini kita mendengar bahwa ada penghapusan belasan situs internet yang berhaluan Islam oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika. Alasan penghapusan situs-situs tersebut adalah karena situs-situs tersebut terindikasi terkait dengan radikalisme. Kalau memang benar terkait radikalisme, apa bukti keradikalannya? Bagian mana konten informasi/berita dalam belasan situs tersebut yang mengarah ke sana? Apakah penghapusan ini sudah melalui proses penyidikan dan proses hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UU ITE? Publik perlu tau tentang itu.

Era memang sudah berubah. Namun, satu hal yang sepertinya masih sama terjadi dari masa ke masa, yaitu pembredelan sumber berita. Dulu, pada masa Demokrasi Terpimpin, Majalah Panji Masyarakat yang dikomandoi Alm Buya Hamka dibredel karena memuat karangan mantan Wakil Presiden Moh Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita", pada Mei 1960. Lalu, pada masa Orde Baru, Majalah Tempo juga mengalami nasib yang sama, dibredel oleh rezim yang tengah berkuasa. Kini, ketika media daring menggeser media cetak, ternyata "pembredelan" pun masih dilakukan. Justru caranya jauh lebih gampang. Dengan hanya meminta ke ISP untuk menghapus situs tertentu, maka tamat sudah riwayat situs malang tersebut.

Kalau sudah begini, kadang saya merasa sedih.


*Kutipan UU ITE bisa dibaca di sini

Tidak ada komentar: